Saturday, January 30, 2010

Jual Diri

Ketika John Fitzgerald Kennedy mau ngapel ke rumah Jacqueline Lee Bouvier, dia mendapat kesulitan klasik yang dialami oleh setiap laki-laki yang mau melamar pacarnya: tidak disukai oleh calon mertua. Soalnya, JFK itu senator dari Partai Demokrat, sedangkan bokapnya Jackie penggemar Republikan tulen. Tukas Mr Bouvier waktu itu, “Ketimbang gw beramah tamah sama Yankee Demokrat itu, mendingan gw nontonin tinju di tipi!” Jackie kecil hati karena merasa hubungannya dengan JFK tidak akan direstui.

Malam itu, JFK datang sungguhan ke rumah Jackie dengan baju rapi. Bisa ditebak, Mr Bouvier cuek bebek. Apa yang dilakukan JFK? Dia bergabung ke ruang tengah, lalu melonggarkan dasi, dan minta ijin, “Boleh nggak saya numpang nonton tinju?”

Kita tahu bahwa JFK akhirnya menikahi Jackie, dan beberapa tahun kemudian JFK menjadi presiden Amrik.

Cerita itu cuman dramatisir dari sebuah film lama yang pernah gw tonton sekitar 15 tahun yang lalu, judulnya lupa, tapi ceritanya tentang biografi Jackie Kennedy, dan Jackie-nya sendiri dimainin oleh Jaclyn Smith. Tapi gw menarik pelajaran dari sana tentang sebuah konsep bernama jual diri.

JFK tahu diri, dia tidak memenuhi kriteria yang diharapkan oleh Mr Bouvier untuk menjadi menantunya, tapi dia tetap bersikukuh memberikan alternatif kriteria yang bisa memuaskan bokap pacarnya itu. Misalnya Mr Bouvier memberlakukan syarat bahwa untuk menjadi suaminya Jackie, orang itu harus pendukung Republik, yang mungkin tidak bisa dipenuhi JFK. Maka JFK men-“jual” dirinya sendiri dengan nyodorin kriteria lain yang kira-kira disenangi Mr Bouvier, yaitu dirinya adalah penyuka pertandingan tinju. Cara ini ternyata berhasil, sehingga proposalnya untuk menikahi Jackie pun gol.

Gw menulis ini setelah semalam gw nonton siaran tivi tentang Ayu Azhari yang mencalonkan diri jadi wakil bupati Sukabumi. Kita semua tahu bahwa Ayu beken lantaran dia sendiri seorang bintang film dan sinetron, jadi tahu apa sih dia tentang mengatur kabupaten? Tapi Ayu bilang di siaran itu bahwa meskipun dirinya nggak pernah terjun di kehidupan politik, tetapi dia punya kemampuan untuk mengajak rakyat Sukabumi menjadi mandiri. Buktinya, meskipun sudah berulang kali ganti suami, tapi dia nggak pernah sampai kepayahan menjadi single parent buat membesarkan anak-anaknya yang jumlahnya balapan sama anaknya Titi DJ itu. Katanya, kalau dia bisa membesarkan semua anaknya sendirian, kenapa dia harus diragukan untuk mengawal rakyat Sukabumi untuk membangun wilayah itu secara mandiri. Dan perkara reputasi keluarga Azhari yang doyan terseret skandal, Ayu menepis dengan mengajak kru tivi buat nyiarin dirinya dari pesantren miliknya yang terpencil di Sukabumi dan merawat sekitar 16.000 anak.

Agak sulit buat gw untuk yakin bahwa Ayu Azhari bisa menang menjadi wakil bupati Sukabumi. Tapi gw harus mengapresiasi upaya Ayu untuk menjual dirinya menjadi calon pejabat. Rakyat awam mungkin menginginkan seorang bupati atau wakil bupati itu lazimnya mulai dari tingkat bawah dulu, misalnya menjadi sekretaris daerah atau jadi pentolan pengurus partai politik cabang daerah, bukan yang berangkat dari karier sebagai bintang film. Tetapi Ayu berusaha menyodorkan alternatif-alternatif lain yang bisa dijual dari dirinya, kualitas yang mungkin layak diharapkan untuk menjadi seorang pemimpin daerah: sifat mandiri dan tidak tergantung kepada kucuran anggaran dari pemerintah, hati yang agamis, dan komitmen untuk membangun Sukabumi dengan sungguh-sungguh (dia sudah berencana vakum syuting film kalau sampai sungguhan jadi wakil bupati).

Kita semua, mungkin pernah berada dalam situasi di mana kita harus jual diri kepada calon pembeli. Misalnya melamar jadi suami, atau mengajukan diri jadi wakil bupati, atau melamar kerja, atau mungkin menawarkan sewa kamar di sebuah hotel. Siyalnya, kadang-kadang calon pembeli itu sudah punya standar sendiri tentang apa yang mau dia beli, dan dia tidak menemukan standar yang dia cari itu dalam diri kita. Misalnya, calon mertuanya kepingin calon mantunya bisa macul sumur. Wakil bupatinya harus dari kalangan pegawai negeri sipil. Pelamar kerja harus bisa bahasa Mandarin. Dan calon tamu hotel minta kamarnya menghadap air terjun. Kita sebagai penyedia tawaran nggak bisa mengakomodasi semua keinginan itu.

Tapi tentu saja kita bisa nawarin alternatif lain. Misalnya:

“Saya mungkin nggak bisa macul sumur, Om. Tapi saya tahu ke mana manggil tukang gali sumur yang kerjanya langsung sehari dan bayarnya murah.”

“Saya belum pernah jadi PNS. Tapi kalau kita mau membangun suatu daerah, saya tahu caranya meningkatkan potensi diri sendiri tanpa menunggu investor.”

“Saya tidak bisa bahasa Mandarin. Tapi saya bisa bahasa Jepang, Korea, dan saya pernah kerja magang di Vietnam selama dua tahun.”

“Di sini hotelnya tidak menghadap air terjun, Bu. Tapi semua kamar kami menghadap kolam renang yang letaknya di sebelah kolam lotus raksasa.”

Jadi, daripada orang melihat sisi negatif diri kita karena nggak nemu apa yang dia cari, lebih baik membantu dia melihat sisi positif diri kita yang bermanfaat baginya.

Bagaimana, Sodara-sodara?

Thursday, January 28, 2010

Kuantar ke Penghulu, Tapi Kembalilah


Kata orang, banyak anak itu banyak rejeki. Tapi gw nggak pernah percaya pepatah itu di rumah gw cuman ada dua anak, tapi adek ngabisin stick roll lebih banyak ketimbang gw sampai-sampai gw hampir nggak kebagian.

Mungkin lebih tepatnya, banyak anak berarti akan banyak cara untuk selamat. Di ajaran agama gw, kesempatan seorang manusia untuk dapet pahala akan putus begitu dia meninggal, sehingga tinggal timbangan antara amal baik dan amal jeleknya aja yng akan mutusin apakah dia akan menghabiskan masa akhiratnya di surga atau malah nyungsep di neraka. Kesempatan untuk menghapuskan dosanya, sesudah dirinya meninggal, hanya bisa difasilitasi oleh anak-anaknya yang masih hidup dan mendoakan sang orang tua supaya dosa-dosa sang orang tua diampunin. Itulah sebabnya makin banyak anak, berarti makin banyak kesempatan suara dari anak yang memohon supaya orangtuanya selamat di dunia akhirat. Ini seperti menyelamatkan kontestan favorit dari Zona Tidak Aman di Indonesia Idol.

Seharusnya begitu kan? Kalau bukan begitu, apa manfaatnya punya anak banyak? Jangan bilang karena orang kepingin rumahnya rame macam Dufan setiap hari.

***

Grandma gw berumur 85 tahun, dan masih punya sembilan orang anak yang semuanya udah menikah. Cucu-cucunya sekarang ada 29 orang, dan gw yang nomer 16. Seharusnya hidupnya meriah.

Semenjak Grandpa gw meninggal tujuh tahun yang lalu, Grandma gw kesepian. Sehari-hari hidupnya cuman ditemenin asisten pribadi. Gw sangat menyesal Grandma gw nggak punya hobi yang cukup membuatnya sibuk untuk mengalihkan kesepiannya. Kesembilan anaknya sering datang ngunjungin, tapi Grandma gw cuman kepingin paman-paman dan tante-tante gw tinggal di situ. Jelas nggak bisalah. Anak-anak udah punya keluarga sendiri.

Kadang-kadang gw melihat rasa bersalah di mata anak-anak Grandma gw coz mereka lebih memilih ngurusin keluarga mereka ketimbang tinggal bareng Grandma. Tapi bukankah udah firman Tuhan begitu? Dia berfirman kepada Adam dan Hawa supaya turun dari surga ke dunia dan beranak-pinak. Artinya manusia memang harus punya keturunan. Jadi sah dong kalau mereka lebih mengutamakan anak ketimbang orang tua?

Tentu saja kita semua tahu jalan tengahnya. Jika kau udah punya anak, nggak berarti kau boleh melupakan orangtuamu. Kalau perlu, jika kau udah dewasa, milikilah rumahmu sendiri untuk istri/suami dan anak-anakmu, dan bawa orangtuamu untuk tinggal di rumahmu juga. Gw sendiri ngidam, kalau gw udah punya suami nanti, gw kepingin sekali punya rumah dengan dua pavilyun. Satu pavilyun buat bonyok gw, satu pavilyun lagi buat mertua gw.

Di dunia nyata, itu tidak gampang. Salah satu pakde gw punya rumah yang letaknya persis di sebelah rumah gw, tapi ternyata itu tidak membunuh kesepian Grandma gw. Soalnya, pakde gw dan istrinya kerja dari pagi sampai malam, jadi hampir nggak pernah di rumah. Sepupu-sepupu gw udah pada sekolah dan sibuk dengan dunia remajanya sendiri. Siapa mau nemenin Grandma gw?

Kenapa orang tua mengeluh kesepian ketika ditinggal anak-anaknya yang berkeluarga sendiri? Apakah dia lupa, bahwa dia sendiri yang dulu semangat menyuruh anaknya menikah? Memangnya siapa sih orang di sekitar kita yang paling sering nyap nyap nyuruh-nyuruh kawin? Orang tua, kan? Jadi ketika anaknya itu sudah punya keluarga sendiri, kenapa dirinya harus merasa kesepian?

Orang tua selalu bilang, "Menikahlah. Jangan pikirkan Mami/Papi. Mami/Papi bisa jaga diri sendiri."
Tapi ketika orang tua sudah renta, mereka akan bilang, "Anak-anakku sudah minggat semua dan mereka nggak butuh aku lagi."

Lalu orang tua yang kesepian akan menghabiskan hari-hari tuanya dengan mengamuki anak-anaknya yang selalu bekerja hingga nggak pernah ada di rumah. Mereka menjadi pribadi yang mudah tersinggung, nangisan, dan pemarah. Dan para anak, akhirnya akan menyesal karena pernah meninggalkan rumah demi menuruti fitrah manusia untuk menikah dan membentuk keluarga.

Orang-orang warga senior itu (sebutan gw buat lansia), kalau ngamuk bisa sampai nggak karu-karuan. Kolega gw, bulan lalu, ditinggal mati neneknya, lantaran aspirasi makanan. Wanita malang itu sedang makan, sambil marah-marah, lalu keselek. Demi menolong, rumah sakit terpaksa masukin slang via hidung si nenek supaya nenek itu tetap bisa makan dan makanan pun dimasukin lewat slang itu.

Gw menulis ini, coz kemaren gw baru aja dapat ide bahwa mungkin aja gw harus ninggalin orang tua gw sendiri suatu saat nanti, untuk berbakti kepada suami gw. Semoga mereka cukup pengertian nanti, bahwa apa yang gw lakukan ujung-ujungnya hanya karena gw mau mereka bahagia. Gw menikah karena Tuhan menyuruh begitu, karena bonyok gw mau begitu, dan supaya anak gw sah di mata hukum. Jika gw nggak punya norma agama, hidup selibat bukanlah ide buruk buat gw.

Yang di atas itu Emily Grillot, tinggal di Ohio, tersenyum lebar di depan foto-foto anak-cucunya kepada kamera Jodi Cobb, untuk National Geographic. Orang itu, makin tua seharusnya makin bahagia, bukan jadi depresi.

Wednesday, January 27, 2010

Nak, Jangan Lihat Burung Papa

Bagaimana caranya mencegah anak-anak dari pelecehan seksual seperti yang dilakukan Babeh yang akhir-akhir ini beritanya wara-wiri di media? Kita nggak bisa bilang itu semata-mata karena nasib buruk, tapi orang tua dari masing-masing korban layak ditanyai kenapa anak-anak mereka bisa berakhir seperti itu. Kalau dipikir-pikir, anak-anak yang menjadi korban Babeh tidak kenal pria itu begitu saja, kan? Tapi ada tahap-tahap tertentu di mana mereka dimanipulasi sedemikian rupa sampai mereka sulit membedakan kapan hubungan mereka dengan Babeh adalah semata-mata hanya sebagai “paman dan keponakan” dan kapan hubungan nista itu sudah berkembang menjadi “sepasang pacar”.


Tuesday, January 26, 2010

Garuda 29 Dolar

Jelas ini bukan iklan tiket pesawat. Rute Jakarta-Bandung aja nggak bakalan semurah itu.

Gw curiga Giorgio Armani baru nonton film Garuda di Dadaku. Kalau tidak, gimana caranya dos-q bisa bikin kaos yang gambarnya burung Garuda?

Eh, sebentar, dia bilang ini bukan gambar garuda. Katanya ini gambar elang militer. Ya elah, garuda kan elang juga. Iya nggak, seh? Haloo..teman-teman pakar burung, bantuin gw dong.

Jadi, spesifikasinya, burung di kaos ini nggak beda-beda jauh dari lambang negara kita. Cuman diubah dikitlah. Gambar yang mestinya banteng diganti jadi huruf A. Gambar beringin diganti huruf X. Ini karena nurutin inisial Armani Exchange, merknya si perancang itu.

Lalu, garuda kan biasanya mencengkeram pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika. Kalau burungnya Armani ini, malah megang pita Armani Exchange.

Bahannya 100 persen katun, model pas badan. Gambar burungnya dibikin dengan sablon timbul.

Kaos ini dijual di website-nya Armani Exchange, dibanderol dengan harga USD 29. Masih diskon lho, coz harganya USD 42. Ada ukuran XS sampai XXL. Tapi beberapa situs yang gw baca masih simpang siur nyebutin warna yang tersedia. Yang bisa dipastiin adalah warna putih dan item. Katanya ada juga sih yang warna ungu, tapi ada yang nyebutin itu warna biru tua.

Gw nggak ngerti bahwa dari sekian banyak burung di dunia ini, kenapa Armani mesti niru burung garuda sih? Kan masih ada burung-burung lain buat dijiplak, misalnya burung kasuari, burung parkit, burung beo, burung pipit? Kayaknya hil yang mustahal deh kalau gambar burung ini karang-karangan Armani sendiri, coz bentuknya sama persis dengan garuda. Dan harap diingat bahwa di dunia nyata nggak ada itu burung garuda sungguhan, itu simbol rekaan pahlawan-pahlawannya Indonesia jaman dulu. Jadi bingung nih, gimana sebaiknya reaksi kita sebagai warga Indonesia? Tersanjung, atau tersandung?

Coz, kalau kita mau misuh-misuh, buktinya mungkin juga kurang kuat. Kalau lambang negara dijiplak mentah-mentah oleh pihak asing buat jadi produk komersial, maka sah aja kalau kita menuntut. Tapi burung kaos ini kan cuman dijiplak sebagian? (atau 90 persennya jiplakan?)

Nah, menurut Anda gimana? Sebagai orang Indonesia, Anda mau tersinggung, atau mau tersungging?

Foto diambil dari sini dan sini

Monday, January 25, 2010

Syiar Pasangan Anyar


"Nikah kok nggak bilang-bilang?"

SMS itu jatuh ke inbox gw minggu lalu, dari seorang kolega di Jakarta. Bikin gw terpingkal-pingkal sampai sakit perut.

Jadi, pangkal permasalahannya gini. (ceilee..serasa ngurus sengketa tanah)
Isi SMS itu resminya berbunyi gini, "Vic, td wkt gw lg nunggu giliran periksa d SpOG, gw ngeliat ibu hamil mukanya mirip lo. Sumpah mirip bgt, smpe gw brkta dlm ht, 'vicky nkh ga ngasihtau..'"

Sebenarnya batin gw rada tersinggung, soalnya kok bisa-bisanya ada orang yang nyama-nyamain muka sama gw sih. Memangnya beli muka di mana sih, kok bisa sama? Heyy..muka gw ini cuman satu-satunya, nggak ada lho Tuhan nyiptain muka orang lain sama persis dengan muka gw..
*mengerutkan kening, berpikir jangan-jangan pada siang bolong di Pulang Pisau itu nyokap gw memang bukan melahirkan satu anak, tapi dua*

Oke, kenapa gw terpingkal-pingkal? Yah, kolega gw itu cukup kenal gw dengan baik, dia tahu kelakuan gw yang memang selalu bikin kejutan. Termasuk ide nikah nggak bilang-bilang itu mungkin saja jadi ide gw, jadi wajar aja kolega gw langsung mencurigai gw, hahaha.

Setiap anak gadis pasti pernah mengimpikan pernikahan, dan gw juga pernah dong. Cuman, ide khayal gw itu nggak pernah melibatkan "resepsi yang ngundang sampai 2000 undangan". Busso..bejibun amat seh, mosok gw mesti berdiri nyalamin tamu sebanyak itu, bisa pegel punggung gw nanti.
(Tapi mungkin begitu konsekuensinya kalau gw bersedia jadi menantunya presiden, jadi gw harus siap-siap)
*dipelototin my hunk*

Itu masalah teknis. Di lain pihak, sebagai perempuan generasi X yang dibesarkan dengan tontonan film Hollywood, gw pernah terkesan sekali sama beberapa film di mana tokohnya nikah nggak pakai pesta-pestaan.
Di Lois and Clark-nya Teri Hatcher, Lois Lane dan Clark Kent nikah cuman dihadirin bonyok dan adeknya Lois, sementara pendetanya adalah Perry sendiri. (Tahu Perry, kan? Iya, boss-nya Daily Planet itu ternyata pernah ditahbiskan jadi pendeta.)
Di Sex and the City, Carrie Bradshaw akhirnya nikah berdua aja sama Big di Balai Kota New York. Nggak pakai resepsi, tapi mereka traktir-traktir Charlotte dan keluarganya, Miranda dan keluarganya, Samantha, dan Stanford bareng pacar gay-nya, di kedai kopi tempat mereka biasa sarapan.
Ide lebih asyik lagi di film What A Girl Wants. Perdana menteri Inggris-nya yang diperanin oleh Colin Firth akhirnya kawin sama mantan pacarnya secara diam-diam di Maroko, dan mereka naik onta yang buntutnya dipasangin panel bertuliskan "Just Married".

Sebenarnya di dunia nyata kita juga lihat beberapa orang yang kita kenal menikah diam-diam. Cindy Fatika terpaksa nggak bilang-bilang kalau dia sudah menikahi Tengku Firmansyah, coz takut dipecat dari Mustika Ratu yang mengontrak dia sebagai model iklan kosmetik remaja. Pernikahan Armand Maulana dan Dewi Gita baru ketahuan bertahun-tahun kemudian, entah kenapa. Anda pasti bisa nyebutin contoh-contoh lainnya.

Di agama gw, nikah itu yang penting sah kalau ada penghulu, ada saksi minimal dua orang, ada persetujuan dari bokapnya penganten perempuan. Juga ada kepercayaan di suku gw bahwa anak perempuan harus minta restu dulu dari nyokapnya kalau menikah. Lain-lainnya, nggak wajib.

Paling-paling yang ngambek adalah temen-temennya bonyoknya penganten yang merasa nggak diundang. Soalnya merasa nggak diajakin makan-makan, hahaha..

Dewasa ini, kebiasaan ngundang-ngundang pas hajatan nikah itu meluas ke "tahap-tahap lain". Jangankan orang yang nikah, baru tunangan aja udah bikin hajatan meriah. Di kalangan kelas ingusan, anak a-be-geh yang baru "jadian" aja ditodong teman sesekolahannya buat ditraktir makan bakso.

Intinya sama aja, kita menikah, atau tunangan, atau baru pacaran, nampaknya "dituntut" kudu bilang-bilang. Gw pikir, haruskah?

Mungkin ada benarnya. Ada semacam konsensus nggak tertulis di kalangan pemuka agama gw, bahwa nikah itu sebaiknya diumumin ke orang banyak. Alasannya, biar nggak jadi fitnah. Misalnya, laki-laki dan perempuan digosipin kumpul kebo coz mendadak mereka tinggal serumah, padahal mereka memang udah legal sebagai suami-istri.

Termasuk berdiri berjam-jam nyalamin 2000 tamu undangan?

Salaman = ucapan selamat. Dalam ucapan selamat berarti ada doa. Ada restu. Artinya ada semacam pengakuan kedaulatan dari orang lain atas hubungan baru mereka sebagai suami-istri.

Dan tidak ada yang lebih membanggakan, selain dari kenyataan bahwa kedaulatan kita sebagai "new couple" dapet pengakuan dari orang lain, kan? Kedaulatan itu tidak akan bisa diberikan secara resmi, kalau pasangan baru itu hanya menikah diam-diam saja di atas onta.

Pengen difoto sama Jim Liaw, seperti karyanya di atas.. Gaunnya bisa buat nyapu lantai.

Sunday, January 24, 2010

Perempuan Jangan Sendirian?


Sebagai seorang perempuan yang biasa dididik mandiri semenjak kecil, gw bisa dibilang nyaris nggak kenal rasa takut. Sikap berani itu melingkupi gw untuk segala tantangan: nggak takut keluyuran sendirian ke tempat asing, nggak takut pakai baju apapun yang gw suka, nggak takut salah waktu belajar hal baru, dan nggak takut entah apa lagi. Sikap itu kadang-kadang bikin bonyok gw kuatir, terutama kuatir gw akan terlena dengan mental mandiri gw sehingga gw lupa bahwa suatu saat nanti gw juga butuh orang lain.

Semalam, gw dapet ujian atas mental itu. Jadi, minggu lalu gw baca iklan bahwa di konsulat Perancis mau digelar konser piano klasik. Gw sendiri seorang pemain piano, dan gw merasa diri gw wajib datang ke situ. Problemnya, acaranya malem, dan bonyok gw nggak ngijinin gw pergi ke sana sendirian.

Gw pikir, konyol aja kalau gw batal nonton sesuatu yang gw suka cuman gara-gara acara itu digelar malem-malem. Gw udah gede lho, tiga tahun lagi umur gw udah nginjak kepala tiga. Tapi gw takut kalau gw melanggar larangan bonyok gw, nanti gw kuwalat. Tahukah Anda bahwa kuwalat itu tidak kenal batas usia? Tante gw yang umurnya 30-an aja pernah sendal jepitnya putus di pasar gara-gara dos-q pergi dari rumah sembari marah-marah sama Grandpa gw.

Jadi, memahami bahwa tidak adil kalau gw dilarang pergi cuman karena acaranya malem, maka bonyok gw bilang, gw boleh pergi asal perginya nggak sendirian. Busso daah..dulu gw waktu kerja di Cali aja biasa mondar-mandir keluyuran di Palangka dan Banjar yang sepi itu, sendirian malem-malem, kok sekarang di Bandung yang rame gini gw nggak boleh keluyuran malem-malem sendirian. Lagian siapa mau nonton orang Polandia yang main piano klasik dengan lagu-lagu yang nggak familiar di kuping? Gw nggak nemu teman yang seleranya sama untuk yang satu ini. Teman-teman gw seleranya macem-macem, tapi nggak ada yang seneng nonton musik klasik; lagipula sebagian besar dari mereka udah punya suami.

Jadi supaya gw dapet ijin keluar dari bonyok gw, satu-satunya yang gw harapkan untuk sudi nemenin gw tanpa ditodongin revolver adalah adek gw. Gw nggak bisa ngeharepin bonyok gw nemenin gw ke konser itu, coz:
1. Bokap gw? "Haduh, Sabtu malem ya? Itu kan waktunya kerja."
2. Nyokap gw? "Oh, nonton konser piano ya? Sebentar, ta' siapin dulu rantang nasi, sukun, edamame.. Nanti mau pakai nggelar gelar tikar, ndak? Apa perlu bawa bantal?"
Gw menatap nyokap gw dengan ngeri. "Mom, ini konser piano, bukan layar tancep.."

Kabar baiknya, my hunk bilang dia mau nemenin gw, meskipun mungkin Chopin bukan sesuatu yang nyaman di kupingnya yang David Foster-oriented itu. Tapi gw nggak bisa ngajak dia, soalnya..buat nyantol ke gw aja dia kudu naik pesawat dulu dari rumahnya, hiks..

Jadi, kemaren, gw udah siap-siap dari pagi mau ke konser itu malemnya. Gw wanti-wanti adek gw coz kita mau pergi jam 6.30 malem supaya nggak kemacetan. Pas siangnya, hujan turun deras dan nggak mau berhenti.

Adek gw pulang kuliah sorenya dan menatap gw dengan cemberut. "Kalau kamu pergi sendirian aja, gimana, Ky?"
Beuh, itu tanda bahwa adek gw males ke konser itu. Gw tahu sih yang dia pikirin, dia kecapekan karena kerjaannya sebagai koass menguras tenaganya sepanjang minggu, dan hujan ini akan merusak dandanan kami yang cantik-cantik.

Gw bilang ke adek gw, gw nggak pa-pa kok nonton sendirian.
Lalu nyokap gw mengucapkan kata-kata saktinya kepada adek gw, "Koen temenin Vicky atau Mom yang temenin!"
Gw langsung ngeri. Tidaak..! Kalau nyokap gw akan ke konser sambil bawa rantang dan tiker itu, lebih baik gw pakai cadar!

Sore, hujan masih juga rintik-rintik. Dooh, gw kepingin pergi. Kesiyan, gw nggak mau maksa adek gw nemenin gw kalau dia kecapekan sih. Lagian kenapa nyokap gw nuntut gw nggak boleh pergi malem-malem tanpa ditemenin seh? Apa takut gw diculik terus dijual dan dipaksa jadi bintang film Hollywood? *huek..*

Apakah karena gw perempuan? Bahwa umur segini gw mestinya udah tahu diri, duduk manis di rumah melayani suami, bukannya hujan-hujanan di jalan malem-malem demi nonton pertunjukan musik? Aduh, tolong deh, gw nggak sekuno itu.

Lalu gw putuskan buat cari pendapat kedua, dari laki-laki yang paling penting nomer dua dalam hidup gw minggu ini.
Gw tanya, gimana menurutnya soal perempuan menembus hujan di jalan demi nonton orang Polandia main piano klasik? Dia kan selama ini melindungi gw banget, tadinya gw harap dia akan jawab, "Kamu nggak usah pergilah. Nanti kamu sakit dan aku jadi kuatir."
Tapi ternyata my hunk malah jawab SMS gw begini, "Hati2 dg kameramu, jgn basah."
Grrhh..gw gondok berat. Ceweknya mau hujan-hujanan dan yang dia pikirin cuman kamera!

Alangkah nggak enaknya jadi perempuan perempat baya yang lajang, dianggap nggak pantes jalan sendirian malem-malem hujan-hujanan demi nonton konser piano klasik. Andai gw laki-laki. Andai gw masih jadi remaja veteran. Andai konsernya digelar siang bolong aja.

Atau, gw berharap lahir di tempat yang menganut budaya perempuan boleh jalan sendirian.

Saturday, January 23, 2010

Mana Janji Manismu?


Sebuah iklan di koran menarik perhatian gw kemaren. Isi iklan itu bunyinya gini, bayar Rp 4000 udah bisa pakai push mail dan chatting selama seharian. Kalau masih kurang irit, bayar Rp 20.000 bisa seminggu. Malah, buat sebulan pakai aja paket yang bayarnya Rp 45.000.

Wow, batin gw. Paket yang menarik. Apalagi penjual paketnya adalah operator seluler yang gw pakai. Cuman ada syaratnya, penggunanya harus pakai HP bikinan Finlandia yang tag-nya "connecting people" itu. Bikin gw nangis, hwaa..! HP gw kan jebolan Swedia!

Gw pikir beruntung banget deh kita sekarang, coz lama-lama makin bejibun aja operator seluler nawarin biaya internet yang makin murah. Gw masih inget lho tahun lalu, entah bulan Maret atau April gitu, pemerintah janji tarif internet mau dibikin turun. Mungkin itu satu-satunya kampanye kebijakan populis yang gw sukai, coz menyentuh langsung kehidupan gw yang udah kecanduan internet. Kebijakan itu sempat bikin para pengusaha warnet ketar-ketir coz takut orang kalau mau internetan nggak usah pakai kompie lagi tapi cukup pakai HP.

Tapi lama-lama kok gw pikir, kualitas internet HP kita masih jauh dari sempurna ya? Sebagai contoh, tiga hari lalu gw ngirimin e-mail dari HP ke seorang teman. Ternyata di HP gw ada keterangan e-mail masih ngantre di server. Gw bingung kenapa e-mail nggak bisa langsung terkirim, padahal pada saat yang bersamaan gw bisa dapet e-mail masuk ke inbox gw sampai lima biji dalam sejam.

Semula gw kirain, traffic-nya server kepenuhan, jadinya e-mail macet nggak bisa jalan. Gw tunda kirim e-mail, terus baru gw kirimin e-mail besok paginya. Di HP ada tulisan, e-mail sudah terkirim. Terus pas teman gw yang gw kirimin e-mail itu nelfon gw, ternyata dia nggak nerima e-mail apapun dari gw. Lhoo? E-mail kok nyantol?

Teman gw punya masalah yang lain lagi. Dia kan pakai kartu pasca bayar dengan koneksi internet yang unlimited. Murah sih, kalau nggak salah, bayarnya cukup Rp 125 ribu/bulan. Tapi kayaknya ada yang salah kaprah dengan penggunaan istilah "unlimited" ini. Menurut pemahaman gw, unlimited ya boleh internetan sebanyak-banyaknya dengan koneksi tetap. Tapi pada kenyataannya, menurut operator seluler ini, kalau penggunaannya udah mencapai kuota sekian gigabyte, kecepatan koneksi akan turun sampai di bawah 100-an kilobyte/detik. Kata adek gw, kecepatan yang selemot ini nggak akan bisa dipakai buat nontonin YouTube. Beuh!

Ada masalah lain lagi. Gw pernah pakai produk yang cap broadband itu, mbayarnya Rp 350/menit, dengan koneksi yang melesat gila-gilaan. Ternyata setelah lima menit connect, koneksinya putus!

Jadi kesimpulannya, koneksi mobile internet di negeri kita masih jauh dari memuaskan. Gw sebenarnya nggak kepingin yang muluk-muluk kok, gw pengennya kalau internetan dari HP tuh:

1. Biayanya murah, per menit maupun per byte.

2. Koneksi kencang seperti jalan tol Padaleunyi, bukan seperti jembatan Semanggi pada jam 5 sore, hehehe.

3. Koneksinya jangan putus di tengah jalan!

Pemerintah memang sudah janji tahun lalu bahwa tarif internet akan makin murah. Kenyataannya memang tarif tuh makin lama makin murah, tapi kualitas koneksinya belum ada peningkatan. Janji yang tidak manis sama sekali..

Thursday, January 21, 2010

Laurentina's Goodreads

Kali ini tulisan gw tentang curhat pribadi aja ya..

Gara-garanya my hunk nanyain gw tadi pagi, gw senengnya baca buku apa. Terus Eka Situmorang juga nge-tag gw di note Facebook-nya, nanyain gw tentang daftar 15 buku favorit gw, maka gw nulis ini. Sebenarnya gw nggak inget persis buku kesukaan gw apa, soalnya gw kan seneng baca dan setiap buku pasti ada makna memorialnya buat gw. Tapi ya udah, gw tulis aja 15 buku yang gw inget langsung di kepala gw saat ini. 15 buku aja ya, jangan banyak-banyak.


1. Benny and Mice. Sukaa semua serinya! Gw penggemar berat mereka, gw ngikutin setiap kartun mereka di Kompas, jadi gw bahagia sekali bisa memiliki buku-buku mereka di rumah. Menurut gw, mereka tuh selalu bisa lihat sisi kocak dari setiap persoalan yang ada di masyarakat, dan itu malah memberi ide buat ngasih solusinya.


2. Princess Diaries, by Meg Cabot, dari seri 1 sampai entah berapa yang sekarang belum selesai. Ini gw yang curang, coz serinya udah 10 buku lebih. Kenapa gw suka ini? Yah.. coz temanya mengingatkan kepada diri gw sendiri, yang bingung memutuskan antara hidup a la classy tapi juga kepingin jadi bohemian. Ceilee. Gw paling suka sama Michael Moscovitz, tipe laki-laki pinter dan lembut dengan selera musik yang bagus. Oh ya, versi filmnya jelek banget.


3. Peran Sang Ayah, karya Bill Cosby. Isinya tentang pengalamannya Bill Cosby akan kesusahannya mengurus lima orang anak sekaligus. Dasar Bill orangnya lucu, jadi gw ngakak melulu dari awal sampai akhir. Buku ini direkomendasikan banget buat anak-anak yang suka berantem sama bokapnya, juga untuk para bokap yang punya masalah komunikasi dengan anaknya.


4. Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial, by Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Huahahaha! Eh, nggak ada yang bilang gw nggak boleh nulisin buku pelajaran gw di list gw kan? Tapi terus terang aja gw emang suka buku ini. Isinya sebenarnya diktat tentang kedokteran kebidanan, tapi gaya nulisnya a la kolumnis koran. Mudah-mudahan suatu hari nanti gw bisa nulis buku kayak gini. Amien.


5. First Wives Club, by Olivia Goldsmith. Sudah difilmin lho, dengan bintangnya Diane Keaton. Gw baca novel milik tante gw ini 10 tahun yang lalu. Dengan setting metropolitan a la New York, ceritanya tentang istri-istri pertama yang balas dendam lantaran ditinggal suami-suami mereka yang kawin lagi. Buku ini “girl power” banget! Dan ending-nya bahagia, coz masing-masing dari mereka akhirnya menemukan jodoh di tempat yang nggak disangka-sangka.


6. Dan itu membuat gw ingat sama tetralogi Laskar Pelangi by Andrea Hirata. Gw belajar di sini bahwa manusia nggak boleh berhenti bermimpi, untuk mencapai sekolah yang lebih baik, untuk dapet melihat dunia yang lebih luas. Termasuk juga berjuang untuk mencari mantan pacar yang hilang. Terharu gw ngikutin perjuangan Ikal nyariin A Ling sampai ke rumah bordil di Belanda, padahal orangnya masih terkurung di pulau nggak jelas di Laut Cina Selatan.


7. Tetralogi Twilight, by Stephenie Meyers. Ya elah, semua orang suka buku ini. Roman picisan, cenderung suram, tapi kok bisa ya, buku ini merusak pola tidur gw lantaran gw begadang melulu bacanya padahal gw benci banget sama cerita mehek-mehek. Tapi gw anggap buku ini bagus, coz ngajarin bahwa kita nggak selalu bisa dapet apa yang kita mau, jadi mesti sabar. Oh ya, gw harus menggarisbawahi di sini, bahwa Bella Swan is a dumb.


8. Belok Kanan: Barcelona! karya keroyokan Aditya Mulya, Ninit Yunita, dan dua orang entah siapa lagi. Adalah sulit membuat sebuah novel yang ceritanya dirangkai oleh empat orang sekaligus; gw pernah mencoba itu, dan gagal. Gw suka novel ini coz banyak selipan tips traveling-nya tentang tempat-tempat di Eropa. Oh, gw ngakak keras di adegan waktu tokohnya naik pesawat dari maskapai gombal di Afrika dan pesawatnya terguncang-guncang mau jatuh.


9. Indiana Chronicles, by Clara Ng, seri 1-3. Hebat, hebat, gw sampai ikutan sakit hati merasakan penderitaan Indiana yang susah-payah jadi perempuan metropolitan dengan masalah karier dan memperjuangkan citra supaya pantas jadi istrinya Francis. Tahukah Anda bahwa kita para perempuan mengalami masalah yang sama? Pekerjaan kantor yang ribet, complicated relationship, dan mertua yang pemaksa? Oh ya, Francis Marijono is hot.


10. Bung Karno, Guruku, Ayahku, by Guntur Sukarno Putra. Buku klasik ini sebenarnya dikasih Grandpa gw ke bokap gw, terus diturunin ke gw. Ini mungkin buku yang otentik sekali ngegambarin Bung Karno di luar citranya sebagai presiden. Presiden itu manusia biasa, Bung Karno kadang-kadang bisa slengean juga, dan dengan mengecualikan keputusannya untuk beristri lebih dari satu, gw menaruh salut untuk laki-laki yang satu ini.


11. Harry Potter, by J.K Rowling, dari 1-7. Itu tujuh buku ya? Bukan satu. Hahaha! Biarin ah. Gw suka ini, coz tiap halaman selalu ada kejutan yang nggak terduga. Cerita anak-anak, tapi konfliknya bau dewasa juga. Gw naksir berat sama Sirius Black, ayah baptisnya Harry yang jadi buronan. Gw selalu punya tendensi simpati kepada orang-orang terlarang, entah kenapa. J.K. Rowling jenius, menurut gw. Kenapa dia nggak jadi professor aja sih?


12. Doctors, by Erich Segal. Novel wajib buat tiap mahasiswa kedokteran. Gw baca ini pas masa kuliah dulu, kalau gw sudah putus asa sama kuliah gw yang bikin pusing itu. Tentang perjuangan mahasiswa-mahasiswa kedokteran Harvard semenjak kuliah sampai mereka praktek jadi dokter beneran. Banyak yang harus dikorbankan buat jadi dokter: berantem sama orang tua, gonta-ganti pacar, sampai terlibat affair sex. Ujung-ujungnya kesimpulannya ya sama: Dokter juga manusia.


13. Ca Bau Kan, by Remy Sylado. Bau romance antara penari cokek pribumi dengan saudagar Cina yang ganteng bin licik, kental mewarnai buku yang inti sebenarnya nyeritain tentang perkembangan masyarakat Tionghoa pada masa kolonial ini. Gw banyak banget dapat wawasan tentang warga Tionghoa dari sini. Oh ya, Tan Peng Liang seksi banget. Kok bisa ya, Remy Sylado bikin gw tergila-gila sama kokoh yang satu ini.


14. Marriageable, oleh Riri Sardjono. Tentang perempuan yang nggak kepingin menikah tapi dipaksa menikah karena sudah dikejar umur. Pelajaran dari sini yang gw tarik adalah, belajarlah untuk memaafkan, mempercayai, dan mencintai orang lain. Cinta akan datang, kalau kamu mau buka hatimu. Yaiks, kok gw jadi sok bijak gini sih? Oh ya, di buku ini ada quote yang gw suka banget: Priest creates marriage, God creates sex. Superb!


15. Candy Candy, by Kimiko Uehara, seri 1-9. Ini komik anime Jepang dari masa kecil gw, hahaha. Biarpun nih komik udah jadul banget, tapi gw nggak pernah bosen baca komik ini berkali-kali. Dan anehnya, gw selalu nangis di adegan yang sama: Waktu Candy putus dari pacarnya si Terry Grandchaster, lalu waktu sepupunya Aristea Cornwell tewas pas lagi nyetir pesawat. Kejutannya adalah ketika di akhir seri ini ketahuan, siapa jodoh Candy sesungguhnya. Tuhan itu ada-ada aja.


Haah..untung cuman 15 buku. Gw nulis ini aja sampai nggak nafas. @Eka, mbok gw tuh di-tag yang lebih gampang aja deh. 15 soundtrack film yang paling gw suka, atau 15 tempat makan yang paling gw inget gitu..

Wednesday, January 20, 2010

Yahoo yang Aneh

Rada terheran-heran dengan apa yang gw temuin hari ini, tapi itu menjawab segala keheranan gw selama beberapa bulan terakhir.

Jadi gini, Sodara-sodara Jemaah, sebagian besar dari Anda mungkin udah tahu gw punya blog di tiga tempat sekaligus, yaitu di Blogspot, Wordpress, dan Kompasiana. Dan tiga-tiganya aktif semua, dan syukurlah Anda semua masih seneng komentar di ketiga tempat itu. Karena buat gw interaksi aktif di blog gw sangatlah penting, maka gw sengaja nyetel notifikasi di blog-blog itu supaya kalau ada komentar datang, gw langsung diberi tahu oleh para host itu via e-mail. Alasannya adalah supaya kalau ada komentar biarpun cuman satu biji aja, langsung gw bales komentarnya saat itu juga.

Nah, ternyata rencana gw nggak berjalan baik. Pernah sekali waktu gw buka dashboard Blospot gw, dan ternyata sudah ada tiga komentar baru nongkrong di daftar antrean moderasi blog gw, padahal gw nggak dapet notifikasi sama sekali di e-mail gw. Kesiyan tuh tiga orang jemaah nungguin kok komentarnya nggak dimuat-muat, lha gw nggak ngeh kalau orang-orang itu sudah berkomentar. Ada apa ini? Mungkinkah Blogspot sedang error?

Lalu, ternyata yang gituan nggak cuman Blogspot doang. Wordpress juga suka nggak kirim notifikasi ke e-mail gw bahwa e-mail baru. Itu Kompasiana juga sering nggak bilang-bilang kalau gw dapet komentar baru di tulisan-tulisan gw. Ada apa dengan para host blog ini?

Tadinya gw pikir, itu cuman robot-robotnya Blogspot, Wordpress, dan Kompasiana doang yang error. Itu kan mesin bikinan manusia, ya bisa error juga, termasuk “lupa” ngirimin pemberitahuan komentar baru ke gw. Sampai kemudian gw dapet jawabannya hari ini.

Ceritanya gw ini lagi janjian sama panitia sebuah konferensi dokter buat daftar ikutan konferensi itu. Prosedurnya sih standar, gw kirimin biaya pendaftaran via transfer, bukti transfernya gw kirim via e-mail ke panitia, lalu panitia akan ngirimin bukti konfirmasi pendaftarannya ke gw via e-mail. Nah, mestinya tuh bukti konfirmasi udah di-e-mail ke gw minggu lalu, tapi sampai tadi siang gw belum dapet e-mail dari panitia itu juga. Gw telfon panitianya, terus panitianya bilang, “Sudah dikirim kok, Dok.” Padahal gw nggak nerima lho, apakah mereka salah ngetik alamat e-mail gw yak?

Lalu tadi sore gw curhat ke seorang teman gw bahwa gw kuatir perkara tanda bukti pendaftaran itu (kan itu menyangkut biaya yang banyak sekali). Teman gw curiga si panitia emang udah ngirimin e-mail yang dimaksud ke gw, cuman tuh e-mail-nya masuk spam. Sesuatu yang aneh, menurut gw, tapi akhirnya gw cobain periksa kandang spam e-mail Yahoo gw.

Dan ternyata eh ternyata, ya ampun, ternyata si panitia itu memang udah ngirimin e-mail yang gw tunggu-tungguin itu, cuman e-mail-nya masuk spam! Dan nggak cuman e-mail dari si panitia itu doang yang masuk spam, tapi juga e-mail notifikasi komentar dari Blogspot, dari Wordpress, dan dari Kompasiana. Bahkan e-mail dari seorang teman di Maumere juga ikutan masuk spam, padahal gw sama sekali nggak pernah nandain dia sebagai spammer lho.

Yang lucu, ternyata nggak selalu e-mail notifikasi komentar dari Blogspot itu masuk spam. E-mail-e-mail yang ditandain oleh Yahoo secara otomatis sebagai spam itu ternyata adalah yang berisi komentar dari teman-teman tertentu aja, antara lain dari seorang teman di Surabaya, seseorang di Palembang, seseorang di Kebumen, dan seseorang di Jakarta. Lain-lainnya sih, nggak ditandain spam oleh Yahoo. Gilingan, bujubunee..Yahoo tegaan banget sih nandain teman-teman gw sebagai spammer. Pantesan kalau teman-teman itu ngirim komentar ke blog gw nggak pernah ada notifikasinya di e-mail gw, tapi cuman langsung nongol doang komentarnya di blog gw.


Jadi, Sodara-sodara, adakah Anda merasa tidak mendapat e-mail dari teman-teman tertentu akhir-akhir ini? Barangkali mereka nggak pernah berhenti ngontak Anda, tapi Yahoo yang nandain nama mereka sebagai spammer tanpa sepengetahuan Anda. Mari kita cek kandang spam e-mail masing-masing, dan lihatlah berapa banyak e-mail yang mestinya Anda baca ternyata tidak pernah Anda lihat di inbox sama sekali..

Tuesday, January 19, 2010

Susah Masuk, Susah Keluar


Orang kalau anaknya mau diwisuda itu mestinya seneng banget dan sumringah. Tapi kalau gw malah menerima berita gembira ini dengan jidat berkerut-kerut dalam. Gw sampai mesti mijat jidat gw lagi supaya alus seperti semula. Malu ah sama Becky Tumewu kalau umur gw belum 30 tapi udah ada kerutan.

Adek gw pulang tadi sore bawa kabar gembira. Kalau nggak ada halangan, dos-q mau diwisuda jadi dokter dua bulan lagi. Reaksi keluarga kami begini:
Bokap gw: "Mbayar berapa?"
Nyokap gw: "Pasti koen minta bikin kebaya lagi ya?"
Gw: "Kamu jadi apa nanti pas hajatannya?"

Sekedar cerita ya, mahasiswa kedokteran itu kan sekolahnya dua kali, empat tahun pertama dapet gelar sarjana kedokteran dan dua tahun terakhir dapet gelar dokter. Karena dapet gelarnya dua kali, ya wisudanya dua kali juga dong dalam enam tahun. Nah, untuk wisuda dokternya sendiri upacaranya dua kali, yaitu upacara pemberian ijazah (yang belum ada namanya) dari universitas, dan upacara pengucapan sumpah dokter dari fakultas kedokteran bersangkutan. Ribet? Yeah.

Karena upacaranya berkali-kali itulah, maka mahasiswa yang diwisudanya juga nyiapin kostum yang banyak.

Gw inget dulu pas gw sendiri mau lulus dokter, gw sampai nyiapin kebaya dua biji. Satu buat acara pre-sumpah dokter, satu lagi buat acara sumpah dokternya sendiri. Apa bedanya? Acara sumpah dokter adalah acara di mana dokter yang baru jadi itu diangkat sumpahnya oleh penghulu. Acara pre-sumpah dokter adalah acara photo session di mana calon dokter dipotret dulu dengan toganya, di mana hasil foto itu akan dipajang di hajatan sumpah dokter nanti.

*I know! It sounds like pre-wedding photo, cuman belum ada yang ngeluarin fatwa bahwa foto pre-sumpah dokter itu haram.*

Kenapa gw nanya ke adek gw dia mau jadi apa pas acara hajatan nanti? Soalnya gelaran sumpah dokter ini nggak kayak wisuda biasa, tapi akan ada prosesi pemberian cindera mata dari dokter baru kepada pejabat-pejabat kampus. Dan tentu aja yang ditunjuk buat ngasih souvenir-souveniran itu ada gengsinya dong, coz dia yang dipilih mewakili 100-an wisudawan, hehe. Dulu pas angkatan gw diwisuda, yang kebagian tugas nyodorin souvenir ada 10-an orang, dan gw salah satunya. Gw ditugasin ngasih souvenir ke siapaa gitu (gw lupa, pokoknya pejabat kampus), dan gw cengar-cengir sepanjang sesi itu coz semua kamera nyorotin gw. *dasar banci tampil!*

Nah, sekarang gw ngerutin jidat coz adek gw baru mau nyodorin proposal ke bokap. Soalnya, buat perhelatan sumpah itu, tiap mahasiswa yang mau disumpah kudu nyiapin dana sampai tujuh digit.

Gw sampai terlonjak. Hah?? Buat apa segitu? Kayak orang mau hajatan kondangan aja!

Setelah itu, gw mulai mengingat-ingat masa waktu gw disumpah dulu. Well, acara sumpah dokter itu mirip pesta prom-nya mahasiswa kedokteran, cuman minus pemilihan raja dan ratu doang. Ada keribetan milih gedung acara. Ada biaya manggil penghulu sampai lima orang, coz dokter-dokternya kan disumpah menurut agama masing-masing. Ada kesulitan milih katering. Ada yang ngurus ijin bising ke kantor polisi. Belum lagi pembuatan buku acara yang memuat tampang-tampang wisudawan (dulu gw kebagian tugas yang ini). Semua itu, biayanya dikerok secara patungan dari kocek mahasiswa sendiri. Makin banyak mahasiswa yang diwisuda, makin dikit biaya yang kudu dibayar tiap orang.

Gw dulu inget, pas angkatan gw, biaya yang ditarik per orangnya Rp 650 ribu. Itu setelah gw ngomporin ketua panitia supaya melakukan efisiensi di sana-sini. Apa maksudnya efisiensi? Misalnya, nggak usah ngasih souvenir berupa kompie ke fakultas (coz gratifikasi itu masih bersodara dengan kolusi). Nggak usah ngadain acara arak-arakan dokter baru pakai delman (tradisi yang aneh, soalnya kampus tetangga kami, ITB yang bikin insinyur itu, suka mengarak wisudawan barunya keliling kampus, jadi kami ngiri). Nggak usah bikin buku acara segede A3, cukup bikin yang sekecil A6. Sebenarnya panitia bisa aja memangkas biaya, sehingga satu orangnya cukup bayar Rp 350 ribu aja, tapi fakultas mewajibkan sekitar 300 ribuan per orang buat dibayarkan ke fakultas untuk biaya entah-apa.

Lalu, gw pikir, sebenarnya biaya tetek-bengek itu nggak perlu. Maksud gw, kalau memang acara utamanya cuman pengambilan sumpah, ya udah kita dateng aja ke Kantor Urusan Agama terus ngucapin sumpah di sana, beres kan? Nggak usah pakai acara ramah-tamah segala, apalagi bikin jamuan kondangan lengkap dengan stand empal gentong sampai stand es puter segala. Tapi kalau gw ngusulin itu, pasti ditolak mentah-mentah oleh siapapun. Alasannya, sudah turun-temurun acara sumpah dokter dibikin sama kerennya seperti resepsi pernikahan.

Maka, gw pikir, sekolah dokter itu susah masuk dan susah keluar. Susah masuk coz mau masuk sekolahnya kudu lewat seleksi ketat. Susah keluar coz susah dapet nilai A, dan kalaupun sudah dapet IPK bagus tetap aja nggak dikasih sertifikat sumpah dokter kalau belum bayar biaya upacaranya yang lebay.

Mudah-mudahan biaya itu jadi berkah. Bukan cuman buat lahan bisnis doang.

Monday, January 18, 2010

Korban Matematik

“Nih, akibatnya kalau pelajaran sekolah terlalu di-drill di pelajaran matematik, tapi lupa diajarin budi pekerti. Makanya jadinya kayak gini,” keluh seorang teman suatu hari.

“Lho, kenapa tho ya, Mas?” tanya gw sembari ngemplok salak.

“Ya, soalnya gara-gara kita semua dulu dituntut supaya bisa jago matematik, tapi pelajaran PMP-nya nggak diperhatikan, makanya sekarang kita jadi makhluk-makhluk egois yang nggak mau berbagi terhadap sesama.”

Gw mengerutkan kening. Nggak setuju. Omong kosong itu. Perasaan waktu dulu gw jadi anak sekolah dulu, gw sering berbagi deh. Kalau pipis kan suka bareng-barengan di bilik toilet, soalnya teman gw dulu takut di toilet ada wewenya. Sering kita dulu jajan cilok di kantin, satu cilok digigit bareng-bareng. Belum lagi kalau ulangan suka bikin “aliansi bangku belakang”. Kita bahkan punya jaringan yang sangat terorganisir, kalau mau ulangan, teman A kebagian tugas ngapalin halaman 51, teman B kebagian halaman 52, teman C kebagian halaman 53, dan seterusnya. Nanti kalau soal yang keluar itu dari halaman 53, si C wajib nulisin jawabannya di contekan kecil, terus contekannya dioper ke teman-teman lain. Apanya yang nggak berbagi?

*pentung*

Tapi gw diam aja sama teman gw yang ngeluh itu. Biarin aja dia berkeluh kesah, sementara keluhannya masuk ke telinga kiri gw dan keluar di telinga kanan.

“Kita sekarang jadi pelit sama sesama. Mau beramal aja perhitungan. Kalau dimintai tolong, pasti mikir-mikir dulu, nih orang ada gunanya apa nggak buat saya? Kalau dapet rejeki dari klien, diemplok sendiri, nggak dibagi-bagi ke sejawatnya..” lanjut temen gw itu.

Gw mutusin buat angkat bicara. “Nggak, Mas, tuntutan jago matematiknya nggak salah. Tapi isi pelajaran matematiknya yang salah kaprah.”

Teman gw itu terheran-heran. “Lho, kok bisa salah? Matematik itu ilmu pasti, nggak mungkin salah.”

“Isi pelajarannya, maksud saya, bukan isi matematiknya,” sahut gw sembari ngemplok salak lagi. “Inget nggak dulu, pelajaran matematik paling gampang itu ya pelajaran tambah-tambahan, pelajaran kurang-kurangan. Giliran pelajaran kali-kalian, mulai deh pusing. Apalagi waktu sudah mulai pelajaran bagi-bagian, wuaah..muridnya langsung minggir semua!”

Teman gw itu ngakak keras. “Bwahahaha..iya, Vic, dulu waktu SD kalau belajar pecahan, rasanya kok ya mumet!”

“Nah, salah itu. Mestinya pelajaran matematik itu, kalau pertama kali diajari ya bagi-bagian dulu, baru kali-kalian. Nanti tambah-tambahannya belakangan,” kata gw. “Kalau yang diajari pertama kali bagi-bagian, hikmahnya kan langsung dirasakan. Si Bejo dapet cheese cake sebesar 25 cm, dibagi ke empat teman. Berapa besar cheese cake yang dimakan setiap orang? Terus belajar kali-kalian. Si Bejo nggak kenyang makan cheese cake 5 cm, maunya yang 10 cm, gimana caranya supaya dapet makannya lebih banyak tapi temennya nggak ngiri? Ya berarti solusinya kuenya harus dikali, toh? Coba sekarang, anak malah diajari tambah-tambahan duluan. Si Bejo dikasih cheese cake 5 cm, nggak kenyang ternyata malah minta tambah dan minta tambah melulu. Padahal temen yang lain juga kepingin makan cheese cake yang cuman 25 cm itu. Solusinya Bejo, cheese cake yang dikasih temen dikurangin, supaya bisa dimakan sama Bejo sendiri. Tuh, akibatnya kalau diajari kurang-kurangan..”

Teman gw menatap gw dengan aneh. “Vic, mana ada soal cerita matematik jaman dulu yang pakai cheese cake? Yang ada paling-paling juga pakai telur, sate, buah asem..”

“Ya, itu juga salah. Mestinya anak-anak diajarin mental gimana caranya supaya nanti kalau gede bisa jajan cheese cake. Bukan sekarang bisanya cuman jajan buah asem melulu..” tukas gw.

Teman gw manyun. “Vic, kalau anak diajarin makan cheese cake, nanti kan jadi orangtuanya bangkrut..”

“Satu lagi, Mas!” gw belum puas. “Kenapa sekarang bangsa kita banyak yang korup tapi gagal ditangkep? Itu bukan karena polisi yang tugas nangkepnya nggak lulus pelajaran budi pekerti, tapi itu tergantung apakah koruptornya mempraktekkan matematik dengan baik dan benar.”

“Lho kok??”

“Iya, soalnya kalau koruptornya pinter pelajaran bagi-bagian, kalau dia dapet duit korup, dia akan bagi-bagi ke temennya yang lain sehingga setiap orang kecipratan dan nggak ngomong-ngomong sama pulisi. Tapi kalau koruptornya bodo matematik, dia dapet duit korup ya semuanya diembat sendiri dan nggak dibagi-bagi. Temennya yang sirik nggak kecipratan langsung bilang sama pulisi, maka ditangkep deh yang korup itu..”

“Halah! Dirimu juga termasuk korban pelajaran matematik yang salah kaprah ya Vic? Lha kamu dari tadi makan salak nggak bagi-bagi..”

Gw bengong lihat salaknya yang tadi di atas meja, ternyata sudah raib, tinggal kulit-kulitnya doang berceceran. “Hwahahaha! Maap..!”

Sunday, January 17, 2010

Tuhan Mahatahu, Tapi Dia Menunggu

Tuhan itu ada-ada aja.

Seorang sobat keluarga kami yang tinggal di Jakarta, mau beli tanah di Lembang, kawasan sebelah utara Bandung dan sudah mengincar sebidang tanah yang letaknya cukup bagus. Dos-q sudah cocok dengan tanah itu, dan mau bikin deal dengan si pemilik tanah yang bersangkutan.

Suatu ketika, sudah tiba waktunya membahas urusan teknis seperti akta jual-bali dan lain-lain, dan ini tentu harus dilakukan melalui pertemuan empat mata, bukan via kabel telepon. Anehnya, saban kali sobat kami nelfon ke orang yang punya tanah ini, yang njawab selalu asisten pribadinya dan bilangnya “Ibu lagi tidur”. Lha mau bikin janjian gimana antara orang Jakarta dan orang Bandung kalau saban kali ditelfon aja susah banget.

Maka minggu lalu sobat kami ini datang sendiri bertandang ke rumah yang punya tanah itu. Yang nerima ternyata asisten pribadinya pemilik tanah itu, dan dijawab “Ibu lagi pergi” (padahal mobilnya ada di rumah). Nampaknya ada gelagat bahwa pemilik tanah ini nggak mau menjual tanahnya, jadi akhirnya sobat kami pun menyerah dan nggak jadi beli tanah itu.

Tapi sobat kami masih ngotot kepingin beli tanah di Lembang, maka akhirnya dos-q cari lokasi lain. Kemudian dapet juga, posisinya nggak jauh dari tanah incaran yang pertama, cuman bedanya tanah yang kedua ini letaknya rada masuk ke dalam dikit dari jalan lintas, sejauh paling-paling 300 meter. Dan coba tebak, harga tanah yang satu ini jauh lebih murah sampai tiga kali lipat dari tanah incaran yang pertama. Ck ck ck..

Maka kami pun berpikir, kayaknya memang Tuhan sudah ngatur supaya rejeki melimpah kepada sobat kami ini. Bayangin kalau dos-q jadi beli tanah yang pertama, mungkin dos-q kudu bayar tiga kali lipat lebih mahal, padahal kalau dipikir-pikir investasi lokasinya beda-beda tipis. Perkembangan tata letak ruangan di Lembang itu pesat banget lho, punya rumah di tempat mblusuk nggak jadi soal coz pembangunan jalan hanya tinggal masalah waktu.

Gw mikir, kadang-kadang kita mengincar sesuatu yang kita idam-idamkan, tapi Tuhan nggak kasih. Ternyata ini cuman masalah timing doang, Tuhan sebenarnya sudah mau kasih incaran itu ke kita, tapi Dia menunggu sampai kita bisa menerima hadiah-Nya pada waktu yang tepat. Kadang-kadang apa yang kita pikir baik, itu bukan yang baik menurut Tuhan, coz sebenarnya Tuhan sudah menyiapkan yang lebih baik lagi buat kita.

Bukan cuman untuk urusan property tanah lho. Tapi juga untuk macam-macam hadiah-Nya yang lain. Nggak dapet kerjaan yang satu, mungkin nanti akan dapet kerjaan lain yang lebih baik. Kelewatan diskon di butik anu, mungkin nanti dapet diskon yang lebih gede di butik lain yang lebih bagus. Putus dari pacar yang satu, mungkin nanti dapet pacar lain yang lebih menyenangkan. Ini hanya masalah waktu. Sekarang tinggal urusan kita mau sabar atau enggak dalam mencari berkah dari-Nya. Gw sudah mengalaminya akhir-akhir ini. Dan gw sedang menikmati kebahagiaan yang Dia ganjarkan buat gw atas kesabaran gw selama ini.

Sebab, seperti kata Leo Tolstoy, “Tuhan Mahatahu. Tapi Dia menunggu.”

Saturday, January 16, 2010

Pre-Wed yang Halal

Hore, ada yang bilang haram lagi. Eh, kenapa yang sering ngomong haram-haram gini kebanyakan orang Jawa Timur ya? Kenapa bukan para ulama dari propinsi lain gitu? Misalnya ulama dari Sulawesi Utara, ulama dari Papua, atau ulama dari Nusa Tenggara Timur? Kenapa mereka jarang ngeluarin fatwa haram juga? *wink*

Sekarang Jawa Timur ngeluarin pernyataan bahwa foto pre-wedding juga haram, soalnya laki-laki dan perempuan yang berada di dalam foto itu bercampur seperti suami-istri padahal mereka belum kawin.

Padahal gw sendiri lebih menghargai foto pre-wedding itu sebagai sarana seni. Gw perhatiin bahwa orang-orang kalau bikin foto pre-wedding itu bukan sekedar mamerin dua orang berpelukan aja, tapi ada banyak unsur seni yang ada di situ. Pencahayaan fotonya, pengarahan gaya pose orang-orangnya, nyari-nyari fokus buat spot fotonya, ngatur latar belakang yang artistik, sampai pemilihan kostum dan make-up. Tidak heran buat bikin foto pre-wedding ini bisa sampai kerja keras yang hectic-nya mengalahkan produksi sinetron kejar tayang. Menurut gw pribadi, foto pre-wedding yang bagus adalah foto yang bisa menimbulkan minimal satu dari tiga macam kemungkinan sekaligus:
1. Bikin orang jadi kebelet kepingin kawin.
2. Bikin orang jadi sirik sama yang difoto.
3. Bikin orang jadi sirik sama yang moto.

Maka gw pun bertanya-tanya, apakah foto pre-wedding itu harus selalu menampakkan tampang orang-orang berpelukan? Apakah suatu foto pre-wedding harus selalu ditafsirkan sebagai foto suami-istri? Jadi gw browse cari-cari foto pre-wedding, yang kira-kira tidak berpotensi ditilang MUI:

Foto 1. Diambil dari http://rickycophotography.com. Gw lebih terpesona sama latar belakangnya. Gimana caranya bisa turun ke daerah berbatu-batu karang begitu tanpa takut kaki tergores-gores?
Foto 2. Karya Randolph Quan, diunduh dari http://randolphquan.com. Kesulitannya adalah memotret dua orang yang meloncat pada saat yang bersamaan. Oh ya, foto ini bisa ditiru di tempat versi kita sendiri, misalnya di Jembatan Surapati – Bandung atau Jembatan Suramadu – Selat Madura. Dengan syarat nggak dipentungin hansip lantaran ngehalangin jalan. Oh ya, foto ini tidak cocok dilakukan di daerah Indonesia yang PLN-nya sering ngadain pemadaman bergilir.
Foto 3. Dijepret oleh Robert Hooper, gw ngambilnya di http://roberthooper.co.uk. Gw suka banget foto ini, coz si neng-nya tetap nampak bahagia bahkan ketika harus berpisah. Waktu gw ngomongin foto ini sama teman cowok tadi pagi, teman gw protes soalnya muka mas-nya cuman sekelebat doang, nggak keliatan. Susah memang kalau cowoknya narsis.
Foto 4. Diculik paksa dari http://baliwww.com. Lupakan latar belakang tembok pilarnya yang udah bulukan dimakan usia. Ini lebih mirip dua orang yang lagi main petak umpet ketimbang foto suami-istri. Hayo, fotonya mau haram di sebelah mananya?
Foto 5. Gw dapet karya Prayasa ini di http://prayasa.com. Cocok buat para pasangan yang kerja nyambi jadi tukang perahu di Sungai Musi atau Sungai Kapuas. Gw nggak ngerti kenapa orang senang foto di atas perahu, apa nggak takut kecebur? Kan kalau kecebur, sayang gaunnya lho. Dan fotonya nggak cocok buat tipe penganten cewek yang pecicilan.
Foto 6. Dipotret oleh Kosmas, dimuat di http://deviantart.com. Cocok buat para penganten gotik. Ini maksudnya apa sih? Persatuan antara pendekar persilatan dari Dunia Yin dan Dunia Yang?
Foto 7. Download dari http://dinomarket.com. Dua orang ini tidak nampak mesra coz saling memalingkan muka ke arah yang berbeda. Gw nggak melihat tanda-tanda mereka akan menikah, justru gw mengira mereka lagi sakit lantaran bibirnya mirip pasien syok hipovolemik. Oh ya, gw nggak sepakat sama ornament rumput-rumput itu. Gatel!
Foto 8. Bikinan Budiman Wira di http://warnasari.com. Ini kan tidak berpelukan? Cuman yang perempuan lagi mbetulin baju yang laki-laki. Ini pohon di mana sih? Kok akar-akarnya gede-gede gini..
Foto 9. Hasil karyanya Bernardo Halim, gw unduh dari http://citizenimages.kompas.com. Foto macam gini mengingatkan gw pada motto gw, “only me, my baby, and God”. Kalau orang-orang itu masih mengharamkan foto ini juga, gw angkat tangan deh..

Foto 10. Favorit gw dari http://aditiniranjan.com. Yang laki-laki jagoan motret, sedangkan yang perempuan jagoan pose manis. Mengingatkan gw pada sesuatu yang sangat familiar buat gw akhir-akhir ini. :-)
Satu hal lagi, dalam setiap foto pre-wedding mana pun, mau muka ceweknya yang sehari-hari mecucu kayak jeruk purut, atau cowoknya biasanya kayak pentol korek, kalau udah difoto pre-wedding pasti kelihatan kayak yang cantik dan ganteng. Makanya foto pre-wedding itu butuh fotografer yang bener-bener jago!

Oh ya, tema pre-wedding favorit gw adalah penganten kesasar. Kayak foto-foto ini. Ini yang laki ada di mana sih, kok mbaknya ditinggal sendirian?

Foto 11. Penganten kesasar di kota. Karya Jim Liaw, diambil dari http://jimliaw.com. Ganti gambar-gambar posternya pakai gambar gw, it’s absolutely perfect!
Foto 12. Penganten kesasar di sungai. Karya Jim Liaw juga. Ini background-nya palsu kan? Sayang gaunnya kalau sampai kecelup beneran.
Foto 13. Penganten kesasar di tangga spiral. Diunduh dari http://portraitg.easycgi.com. Pasti pegel naikin tangga yang anaknya banyak pakai high-heels itu. I’m dying for this pose for my own!
Jadi, seharusnya foto pre-wedding bisa kreatif dan artistik, tanpa mesti melawan sabda-sabda kaum religius. Yang kita butuhkan cuman cita rasa seni yang tinggi dan pikiran yang nggak melulu mesum.

Anda sudah melakukan foto pre-wedding? Atau mau melakukannya lagi? :-)

Friday, January 15, 2010

Hak untuk Cantik

Sewaktu gw kerja di Cali tahun lalu, gw sering lihat perempuan-perempuan Dayak jalan berkilo-kilo ngangkut kayu bakar di punggungnya. Pemandangan yang unik, soalnya mukanya pakai bedak gitu, semacam bedak dari beras, yang ditaburinnya tuebel banget. Tampangnya jadi nggak jelas, seperti pakai masker tapi nggak rata, seperti pakai bedak tabur tapi kayaknya nggak juga. Sayangnya gw nggak pernah bisa motret mereka dengan jelas, coz nampaknya mereka selalu bisa menghindar tiap kali gw pasang kamera (waktu itu gw belum jagoan candid). Gw nanya ke perawat gw, kenapa sih emak-emak Dayak kalau pakai bedak nggak rata, padahal kayaknya mereka cukup duitlah buat beli cermin biarpun cuman seupil doang. Kata perawat gw, “Memang cara mereka dandan begitu, Dok. Katanya pakai bedak itu biar cantik, dan juga untuk kesehatan kulit wajah..”

Di Pangalengan, sebelah selatan Bandung, kadang-kadang gw juga lihat emak-emak petani yang kerja di kebun teh, panas-panas di bawah terik matahari. Lagi sibuk-sibuknya ngurusin daun teh itu, kadang-kadang sempat-sempatnya mereka nyuri-nyuri kesempatan buat ngaca di cermin kecil dan ngolesin lipstik. Bayangin, di kebon teh, masih nekat pasang make up! Gw aja nolak mentah-mentah ide pasang make up di muka umum, tapi ibu-ibu ini dengan merdekanya pakai lipstik di kebon teh. Emang siapa yang mau lihat sih?

Tapi kedua cerita di atas, memberi tahu gw fenomena penting tentang kesamaan perempuan di belahan negeri manapun: Perempuan nggak bisa berhenti dandan, dalam keadaan seprihatin apapun. Beberapa perempuan tidak seperti gw yang cukup beruntung bisa hidup nyaman tanpa takut keringetan, coz mereka mesti kerja keras bagai kuda, dicambuk dan didera, kurasa berat beban hidupku (halah..niru-niru Koes Plus!). Namun mereka tetap berusaha tampil cantik dan nggak mau muka mereka seperti jeruk purut, biarpun mereka mesti kerja keras berjalan jauh manggul kayu bakar dan bergerilya panas-panas memanen daun teh di kebon.

Apalagi perempuan-perempuan yang nyambi jadi narapidana di penjara. Mereka juga kepingin cantik.

Oleh sebab itu, gw bisa mengerti kenapa Artalyta Suryani bisa sampai nekat mendatangkan dokter kulit supaya bisa tetap cantik biarpun dos-q kudu mendekam di penjara Pondok Bambu Jakarta. Tanpa menyingkirkan rasa tidak adil karena dos-q menempati sel penjara yang tampangnya lebih mewah ketimbang kamar tidur gw sendiri, gw harus mengakui bahwa usaha Artalyta untuk tetap rajin facial di penjara adalah sangat manusiawi, coz dia seorang perempuan. Cewek nggak selayaknya punya tampang asem seperti acar. Bahkan meskipun dia dipenjara seumur hidup, mereka juga berhak dandan lengkap, apakah itu cuman sekedar mandi luluran di kamar mandi penjara, atau yang versi kakap seperti pakai bulu mata palsu yang ada glitter-nya. Memangnya siapa yang mau lihat perempuan dandan? Wah, itu pemahaman yang salah. Perempuan berdandan bukan buat dilihat laki-laki, bukan buat ajang pamer kepada sesama perempuan lainnya, tapi itu adalah perilaku perempuan yang manusiawi untuk menghargai dirinya sendiri.

Jangankan perempuan, laki-laki juga boleh dandan kok. Mungkin dalam bentuk lain, misalnya nyukur jenggot atau pakai parfum sehabis mandi. Boleh dong laki-laki yang lagi jadi narapidana tetap kelihatan ganteng seperti Brad Pitt?

Gw dengar, hasil inspeksi dadakan di Rumah Tahanan Pondok Bambu telah menyebabkan Artalyta Suryani mesti rela dipindahin ke rumah tahanan lain. Tanpa melupakan perbuatan suapnya kepada jaksa tahun lalu, gw turut simpati lantaran perbuatannya sedang facial di kamar tahanannya dipolitisir berlebihan. Perempuan berhak untuk cantik, karena itu perempuan berhak merawat dirinya semampunya, coz begitulah caranya menghargai anugrah atas wajah yang dikaruniakan Tuhan kepadanya.

Tuesday, January 12, 2010

Pecinta Berondong

Apakah Anda termasuk pria yang suka sama bronis? Bukan, ini bukan pelesetan dari brownies, kue yang suka dijual di pinggiran jalan-jalan di Bandung dan sering jadi bahan incaran turis-turis dari luar Bandung itu. Bronis adalah singkatan dari berondong manis, alias makhluk-makhluk yang usianya masih muda-muda dan tampangnya kece-kece (duh, kece? Diksi gw jadul banget.)

Ada banyak pria yang senang punya pasangan yang jauh lebih muda daripada usianya, biasanya terpaut jauh sampai 10 atau bahkan mungkin 20 tahun. Ada yang sifatnya cuman ngegebet doang buat dijadiin obyek flirting, tapi ada juga yang sampai dipacarin serius bahkan sampai dinikahi. Yang laki-laki sudah bangkotan itu biasanya disebut pecinta berondong, dan yang perempuan masih kinyis-kinyis itu disinyalir ngidap older-complex.

Nah, seorang laki-laki kemaren cerita ke gw tentang pengalamannya naik haji beberapa tahun yang lalu. Om ini punya istri yang usianya lumayan terpaut jauh darinya, mungkin sekitar 10 tahun lebih gitulah. Selama mereka naik haji di Mekkah ini, si om nekat aja membiarkan rambut-rambut di wajahnya tumbuh lebat nggak keruan. Hampir seluruh rambutnya sudah beruban, kumisnya beruban, jenggotnya beruban, kasarnya sih udah mirip mbah wek gitu deh. Pasangan ini lengket sekali, ke mana-mana mereka berdua gandengan (meskipun mungkin menurut gw itu bukan tanda kemesraan, tapi lebih takut terpisah di tengah lautan jutaan manusia di padang Arafah!). Lalu, rupanya ada yang mengamati mereka dengan seksama. Suatu waktu istrinya disenggol orang, dan orang itu bertanya bisik-bisik, “Bu, Bu, maaf ya, saya mau tanya. Dulu waktu Ibu dapet Bapak, Bapak itu sudah punya anak berapa..?”

Bwahahahaha! Jadi si tante ini dikira selirnya si om, soalnya si tante kan tampangnya masih muda gitu sementara si om kan tampangnya udah bangkotan banget gara-gara uban-uban di wajah yang nggak dicukur itu. Dikiranya si tante itu istri keberapanyalah dari si om. Terus si tante jawab, “Lho, saya istri satu-satunya kok..!”

Gw jadi mikirin, apa bener ya ternyata ada konsekuensi gitu kalau perempuan kawin sama laki-laki yang jauh lebih tua. Perempuan yang tampangnya masih muda bisa dijadiin sasaran gossip empuk kalau suaminya jauh lebih tua, coz bisa disangka gundiknya. Apalagi sekarang produk-produk anti-aging buat wanita makin membanjir, tidak dibarengin produk anti-aging buat pria, sehingga kita mesti menerima kenyataan baru: laki-laki tambah umur akan makin nampak tua, tapi wanita yang tambah umur akan tetap bisa selalu nampak muda.

Jangankan perempuan muda yang punya suami tua, gw aja kadang-kadang sering merasa aneh kalau lagi jalan sama bokap gw. Gw memang sering ke mana-mana bareng bokap, soalnya kita berdua kan punya profesi yang sama dan hobi yang sama. Belum lagi kenyataan bahwa gw kan anak sulungnya, jadi paling sering disuruh-suruh jadi escort. Mana tampang gw masih ranum gini, apa nggak sewaktu-waktu ada orang kurang kerjaan yang ngira gw lagi jalan sama om-om, padahal gw lagi pergi sama bokap gw sendiri? Itu sebabnya gw sering ngomel kalau nyokap gw nggak ikut bokap gw pergi sama gw, coz gw takut ada yang ngira bokap gw punya istri muda.

Gw rasa, gw harus menge-set ulang rencana gw buat jadi Nyonya Brad Pitt. Apalagi gw dan Pitt usianya udah terpaut cukup jauh sampai 20 tahun, nanti gw digosipin yang enggak-enggak jadi perebut ayah orang pula. Pitt, kalau kau baca ini: Sudahlah, barangkali kita memang nggak ditakdirkan bersama-sama. Mungkin lebih baik, gw sama laki-laki yang beda umurnya nggak terlalu jauh dari gw aja.

Monday, January 11, 2010

Mencopot Status Sosial

Semalam, seorang ibu curhat di tivi bahwa anaknya yang udah kerja di bank dengan penghasilan cukup akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dan berusaha di bidang lain. Sang ibu keberatan kenapa anaknya harus meninggalkan pekerjaan itu. Menurut dia, dia kan berasal dari “kampung”, jadi dia berpendapat kalau seseorang kerja di bank, orang itu akan dapet status sosial yang tinggi. (Sampai di sini, gw agak bingung mengkorelasikan antara “berasal dari kampung” dengan “berpikir bahwa kerja di bank = status sosial tinggi”).

Apakah kerja di bank itu = status sosial tinggi? Kalau seseorang kerja jadi tukang sapu di bank, atau jadi satpam di bank, itu status sosialnya tinggi, nggak? Sebenarnya status sosial tinggi itu apa sih?

Hasrat orang tua untuk punya anak yang memeluk status sosial tinggi itu sebenarnya udah dibentuk semenjak kecil. Coba bayangin, anak dimotivasi supaya jadi ranking 1 di SD -> supaya keterima di SMP favorit -> gampang masuk SMA favorit-> gampang masuk kampus bereputasi bagus -> mudah dapet pekerjaan -> dapet kedudukan -> status sosial tinggi. Jalur ini familiar banget buat gw, apakah ini familiar juga buat Anda?

Pengalaman ngobatin pasien-pasien berjabatan tinggi bikin gw percaya bahwa kedudukan nggak selalu bisa menolong kita dari bencana kesakitan. Gw pernah didatengin seorang pensiunan kolonel di sebuah kursi roda yang mengeluh sakit punggung. Dia ngidap hernia nucleous pulposus, yang menyebabkan dia nggak bisa berdiri buat gendong cucunya yang masih balita. Kata boss gw yang dokter bedah saraf, si pasien kudu dioperasi supaya punggungnya normal lagi. Riwayat medisnya bilang dia sempat cari pertolongan ke rumah sakit bagus di kota, sebelum akhirnya dia memilih dioperasi di rumah sakit sederhana lantaran asuransi kesehatan pegawainya berlaku di situ. Gw paham bagaimana preferensi seseorang dalam memilih tempat pelayanan kesehatan bisa berubah kalau urusannya sudah menyangkut uang.

Yang gw pikirkan, orang kalau udah jadi kolonel mestinya ya udah berjasa besar buat negara, mbok ya menikmati hasil kerjanya dengan pelayanan kesehatan di tempat yang bagus seperti hotel, bukan akhirnya bergantung sama asuransi. (Gw nggak bilang bergantung sama asuransi kesehatan itu jelek lho ya. Tapi kalau lagi ngomongin kualitas pelayanan hospitality di negeri kita, jangan berharap sama asuransi kesehatan.) Status sosial yang tinggi, menurut gw ya dirawat dengan pelayanan kesehatan yang kualitasnya paling bagus secara total, mulai dari konsultasi pertama sampai pemulihan operasi terakhir. Tapi nampaknya Pak Kolonel belum termasuk golongan yang mampu untuk itu. Padahal status sosialnya sudah tinggi, kan? Dan apa sih yang diinginkan laki-laki pada usia segitu? Meluk cucu kan?

Nyambung pada kasus anaknya si ibu, gw terhenyak jika orang berpikir bahwa berusaha sendiri tidak akan bikin status sosial tinggi. Aneh. Justru pasien-pasien gw yang rata-rata menyatakan sanggup bayar pelayanan yang berkualitas tinggi, malah berasal dari golongan pengusaha, bukan dari golongan pegawai. Mereka rata-rata boss, bukan karyawan.

Tulisan ini bukan buat mengkontroversikan penyesalan si ibu karena anaknya lebih seneng jadi pengusaha ketimbang jadi pegawai bank. Tapi gw menggarisbawahi, “Mengapa si ibu harus menyesal?” Anak kepingin jadi boss, mbok ya mesti didukung, bukan diharapkan jadi pegawai. Pada dasarnya, kalau seseorang nggak enjoy kerja di situ, (entah itu bank, atau angkatan bersenjata, atau kantor entah apalah), biarpun dia sampai di tahap menjadi direktur pun (yang notabenenya pasti status sosialnya tinggi), maka sampai kapanpun dia nggak akan pernah bahagia. Pertanyaannya sekarang, kita mau ngejar bahagia, atau cuman mau ngejar status sosial yang tinggi?

Dan orang-orang yang pinter akan berkata, kenapa kita nggak dapet dua-duanya aja, ya bahagia, ya status sosial tinggi? Jawaban gw, kenapa tidak? Dan untuk menjadi bahagia dengan status sosial tinggi itu, tidak perlu setengah mati sekolah hanya supaya diterima jadi pegawai kan?

Jangan pernah mengharapkan anak berhasil di bidang yang Anda inginkan. Sebaliknya, dukunglah dia berhasil di bidang yang dia inginkan. Boss yang paling pantas buat diri kita adalah diri kita sendiri, jangan mengharapkan orang lain untuk jadi boss buat diri kita.