Monday, May 31, 2010

Suara Pedas yang Mau Sembahyang

Sekedar peringatan kecil, hati-hati buat Sodara-sodara semua yang berniat menghelat pesta pernikahan di gedungnya kompleks mesjid. Ternyata ada aja orang mesjid yang suka rewel kalau ada orang bikin hajatan. Mudah-mudahan rewelnya bukan karena merasa nggak kecipratan suguhan makanan.

Semalem, saya pergi ke pernikahan kolega. Pesta yang cukup rame, dan pengantennya pakai acara lempar kembang buket segala ke para jomblo. Saya tadinya disuruh my hunk ikutan berbaris buat nangkep kembang, tapi saya lebih ngeri kalau sepatu hak tinggi saya kenapa-kenapa. Maklumlah, hal-hal buruk selalu terjadi kalau saya terlalu excited, entah itu tali sepatu saya putus lah, atau tahu-tahu saya jatuh dan kaki saya keseleo lah. Dan ternyata bener aja, yang berhasil nangkep kembangnya adalah temennya si penganten, dalam proses penangkapan yang sedemikian brutal, dan ternyata sepatunya si penangkap itu ilang pas dia dapet kembangnya.. Wkwkwk..

Oke, itu yang lucunya. Sekarang, saya cerita yang nggak enaknya. Gedung kondangannya itu ada di Jalan Diponegoro, salah satu gedung yang paling sering jadi langganan orang Bandung buat disewa bikin hajatan. Sebelahnya gedung itu adalah salah satu mesjid paling beken se-Bandung.

Pas lagi nyari-nyari tempat parkir, terdengarlah dari pengeras suara yang bisa kedengeran sampek seluruh lapangan, seorang khatib (atau muadzin? Entahlah) memperingatkan siapapun untuk tidak main gamelan. Soalnya ada orang lagi sholat. Saat itu kan jam tujuh malem, tahu sendirilah kalau itu jamnya orang baru adzan sholat Isya.

Saya pikir si halo-halo itu berhenti di satu kalimat aja. Nggak taunya dia nyerocos. Katanya, cobalah buat nggak membunyikan apapun kalau waktunya orang sholat. Biarpun Anda sudah merasa menyewa gedung dan manggil tukang gamelan sampek artis sekalipun. Kalau cuman sekedar mau menabuh-nabuh, apapun bisa ditabuh kalau di sekitar mesjid. Tapi jangan pas waktunya orang sholat. Jangankan tabuh-tabuhan, malah kalau di depan kita ada orang lagi sholat pun, kitanya jangan ngaji. Ngaji itu bisa gangguin konsentrasi orang sholat.

Lalu si halo-halo ngelanjutin lagi. Katanya dia kesiyan sama Anda (entah itu siapa) yang nekat tabuh-tabuhan gamelan. Kesiyan coz nggak ngehormatin orang sholat. Katanya dia ngomong gini bukan karena merasa dirinya pemilik mesjid. In fact, mesjid itu milik Allah Subhana Wa Ta’ala.

Nggak ngerti, mungkin kadar takwa saya yang tipis atau saya yang lagi sensi, tapi mendadak saya jadi sebel dengernya. Itu maunya nyindir yang lagi bikin hajatan ya? Kok nggak sekalian aja bilang kalau di deket mesjid jangan bikin kondangan gitu? Memangnya orang kalau shalat tuh cuman pas jam 12 siang atau jam tujuh malem doang, enggak kan? Shalat itu bisa kapan aja, entah itu jam satu siang, atau jam sembilan malem, dan kalau ada yang shalat jam segitu, orang tetep nggak boleh bikin kondangan di gedung sebelahnya?

Saya yakin, itu yang nyewain gedung hajatannya juga nggak bego-bego amat. Dia sudah tahu bahwa gedung itu sebelah mesjid. Konsekuensinya, tuh gedung mestinya ya kedap suara, supaya bunyi-bunyi apapun yang ditabuh di dalam gedung, nggak sampek kedengeran ke mesjid sebelahnya. Jadi nggak usahlah orang mesjid mengkritik tajam via pengeras suara untuk orang-orang yang nabuh gamelan di gedung hajatan supaya nggak gangguin orang sembahyang. Kalau memang orang merasa terganggu dengan suara-suara apapun waktu sholat, sekalian aja tukang parkir suruh libur dan jangan niup-niup peluit parkir. Memangnya bunyi peluit itu nggak potensial gangguin orang sembahyang ya?

Atau ya sekalian aja, jangan nyewa-nyewain tuh gedung buat orang bikin kondangan. Jadi adil toh?

Lagian juga, saya yakin tuh si halo-halo nggak maksud nyepet kolega saya yang lagi bikin hajatan. Lha waktu saya masuk ke tempat hajatan itu, ternyata nggak ada gamelan sama sekali. Soalnya buat hiburannya, kolega saya nyewa pianis jazz. Dan semua orang juga tahu, segaduh-gaduhnya musik jazz yang cuman pakai piano dan string itu, masih kalah berisik ketimbang musik gambus..

Mestinya orang nggak cuman disuruh bertoleransi kepada orang yang sedang beribadah. Tetapi orang yang mau beribadah juga nggak boleh nyindir-nyindir orang yang tidak sedang hendak beribadah. Kritik seharusnya disampaikan dengan cara yang lebih elegan, bukan dengan cara yang menggurui dan menyindir-nyindir. Bukan begitu?

Eh, mendadak saya jadi terhenyak. Saya mengkritik si halo-halo di blog saya ini, itu elegan juga nggak ya? :-p

Gambarnya dari http://madah.com

Sunday, May 30, 2010

Go Green, Dong!

Ada yang menarik waktu saya pergi ke sebuah toko kosmetik keluaran Inggris beberapa minggu yang lalu bareng adek saya. Ceritanya saya beli body lotion, sementara adek saya beli minyak wangi. Variannya banyak banget di tempat itu, ada yang wangi rasa buah, ada yang wangi rasa kembang. Saya dengan cepat nemu wangi peach, lalu saya bawa ke kasir. Sementara adek saya susah nemu pilihan. Abis semuanya wangi sih.

Sang petugas kasir membungkus body lotion saya dalam sebuah kantong kertas kecil, lalu menjepretnya. Dan transaksi pun selesai.

Beberapa saat adek saya pun datang dan siap bayar minyak wangi yang dos-q beli. Saya membuka jepretan kantong belanjaan saya, memastikan sang kasir sudah masukin belanjaan saya dengan benar dan nggak ketuker sama orang lain. Sang kasir ngeliatin kita berdua, menyadari bahwa kita berdua adalah kakak-adek, dan menawari, “Mau barang ini (yang dibeli adek saya – Red) dimasukin ke situ, Mbak?”

Saya mikir sebentar. Mm..saya takut kantong kertas itu jebol sih. Tapi nampaknya minyaknya adek saya ringan-ringan aja. “Ya deh, boleh. Demi para orang utan.”

Sang petugas kasir pun ketawa. Akhirnya dia membuka kantong belanjaan saya yang isi lotion tadi, lalu masukin minyak adek saya ke dalamnya. Padahal kan beda transaksi mestinya beda kantong belanjaan ya?

Di toko itu, digelar poster segede gaban bergambar orang utan. Saat ini toko tersebut mengklaim bahwa untuk penjualan kosmetik dari cabang-cabangnya di seluruh dunia, prosesnya dibikin seefisien mungkin untuk membantu pelestarian orang utan di Cali. Beberapa cara yang mereka lakukan untuk itu, antara lain bikin supaya tiap botol plastik yang mereka pakai untuk mengemas kosmetik itu, dibikin sebanyak 30%-nya dari plastik yang bisa didaur ulang. Cara lainnya adalah dengan membiasakan belanjaan produk mereka yang dibawa pulang oleh konsumen dibungkus dalam tas dari kertas daur ulang.

Saya pikir, lucu juga kalau setiap toko menggunakan cara ini. jika kita bisa meminimalisir tiap kantong plastik yang dipakai buat belanja dan menggantikannya dengan barang-barang yang bisa didaur ulang, bumi nggak akan kecapekan karena mesti menanggung beban sampah plastik yang dihasilkan penduduk dunia setiap tahunnya. Cara sederhana yang bisa kita lakukan, antara lain membungkus tiap belanjaan kita pakai tas kain yang syukur-syukur kita bawa sendiri dari rumah.

Beberapa hari lalu, seperti biasa saya pergi belanja ke supermarket buat beli barang kebutuhan sehari-hari. Saya bawa tas kain hasil menangin kuis dari Didut ini, hehehe. Lumayan lho, si petugas kasir supermarketnya nggak jadi mbungkusin belanjaan saya pakai kantong plastik. Lagian tampang tasnya juga cukup modis dan serasi dengan kostum saya, hihihi.

Kita mengurangi sampah plastik, sebetulnya bukan sekedar karena kita sayang sama orang utan. Tetapi, semakin banyak sampah plastik dibakar setiap tahunnya, maka semakin sulit tanah harus megap-megap mengandung polimer-polimer bekas plastik, sehubungan polimer plastik itu paling susah diuraikan menjadi zat hara. Kalau tanah penuh dengan zat-zat anorganik, maka tanah akan susah ditanemin pohon. Padahal pohon perlu untuk ventilasi udara yang dihirup sehari-hari, tidak saja oleh para orang utan yang hidup di kawasan hutan, tetapi juga oleh manusia, kaum kita sendiri.

Kalau Anda mau sekedar berbaik hati, gimana kalau Anda beli barang apa aja di toko manapun, sedapat mungkin bawa tas sendiri buat mbungkusinnya. Entah itu dimasukin ke dalam tas kanvas Anda, atau ditenteng masukin ke dalam saku celana. Kalaupun Anda nggak biasa bawa tas, bilang sama mas-mas kasirnya supaya nggak usah repot-repot misahin mana kantong plastik buat sampo, dan mana kantong plastik buat makanan kaleng. Satu-satunya kondisi di mana kita mesti misahin belanjaan adalah saat kita belanja daging cincang dan sabun mandi sekaligus. Oh ya, juga saat kita beli oli dan sekaligus minyak goreng.. :-D

Saturday, May 29, 2010

Lovely Shock

Giling, giling, giling!

My hunk sempat nanyain saya, beberapa minggu lalu, saya mau dikadoin apa buat ulang tahun. Saya tahu dia belum bisa kabulin daftar keinginan saya. Tapi akhirnya saya bilang ke my hunk, “Kadonya kamu aja deh. Kamu yang dimasukin kotak terus dibungkus pakai pita..”

Saya cuman becanda. Soalnya, dia kan tinggalnya jauh banget, ngapelin saya aja mesti naik pesawat dulu. Jadi saya berharap, yah mudah-mudahan dia kirim kado.

Sampek hari Kamis sore, nggak ada orang berhenti di depan rumah sama sekali. Saya jadi gemes. Nggak ada orang tukang kurir nganterin paket malem-malem, kan? Saya jadi nyesel, soalnya waktu my hunk nanyain saya mau kado apa, saya dengan sok tegarnya bilang saya nggak dikadoin juga nggak pa-pa.. (Huu..padahal..)

My hunk ng-sms, dia lagi nonton Fariz RM di tivi. Uh..jadi jam segini dia lagi ongkang-ongkang kaki di rumahnya dan nggak ngepakin saya kado.

Saya pakai kimono saya, tidur cepat malam itu. Baru bangun besoknya pas saya ulang tahun. Itu hari Jumat, libur Waisak, dan saya memutuskan bahwa “the birthday girl kepingin bangun siang”. Setengah masih merem, saya nyalain HP dan membiarkan SMS-SMS dan e-mail-e-mail masuk buat bilang selamat ulang tahun. Termasuk my hunk. Saya mulai bikin beberapa varian dari kata “terima kasih”.

Lalu my hunk ng-sms, godain saya yang masih di kasur. Saya jawab, “Tadi malem aku mimpi Mas dateng ke sini dan lihat aku baru bangun n belum mandi. Waktu aku bangun, aku kecewa coz ternyata cuma mimpi..”
Jawabnya, dia lagi di jalan dan nanti mau nelfon saya. Saya melirik jam. Biasanya jam segini dia lagi keluyuran nyetir cari pecel buat sarapan.

Ternyata beberapa menit kemudian dia nelfon. Saya langsung nyamber, “Kamu kalo lagi nyetir kamu jangan nelfon aku.” Bahaya, tahu.
Tapi dia malah jawab, “Aku nggak nyetir. Aku ada di depan rumahmu.”
Saya masih setengah ngantuk. “Apa?”
Dia: “Aku di depan rumahmu.”
Saya pikir telinga saya berhalusinasi. “Apa??”
Dia: ”Aku di depan rumahmu!”
Saya kaget. “APA?!”

Serentak saya mengikat kimono saya yang longgar dan lari keluar kamar, lari ke teras, celingukan dan berharap saya mimpi. Ketika saya menoleh ke depan pintu pager rumah, saya terperanjat. My hunk berdiri di luarnya, menatap saya sambil bersidekap, persis Romeo nggak dibukain pager oleh Juliet.

Saya melongo persis ikan mas koki. “Mas..?”
Dia tersenyum.
Tapi yang keluar dari mulut saya kemudian, “What are you..(doing)?!”

Sumpah, saya kaget setengah mati. My hunk ada di depan rumah saya? Di Bandung? Jam enam pagi?!
Dan saya menyadari tampang saya kacau total saat itu. Saya kan baru bangun!
Alih-alih bukain dia pager, saya malah lari masuk ke rumah. Dan dia tetap tinggal di luar pager..

Saya ngeliat muka saya di cermin kamar dan mufakat tampang saya betul-betul awut-awutan. Tapi saya nggak bisa langsung mandi, coz asisten pribadi nyokap saya baru aja bukain pager dan minta my hunk duduk di teras..

Saya keluar lagi ke teras dan siap mengomeli dia karena mau datang nggak bilang-bilang dulu. Tapi dia malah membungkam mulut saya, “Selamat ulang tahun..”

Ya Tuhan, mestinya saya nangis terharu atau semaput? Tega bener dia, dateng mendadak ke rumah saya pagi-pagi dengan tampang ganteng, padahal saya belum mandi dan mata masih penuh belekan..

Ternyata, diam-diam dia udah pesen tiket pesawat jauh-jauh hari buat ke Bandung dan booking hotel. Dia tiba di Bandung Kamis sore dan survey bagaimana naik angkot dari hotelnya ke rumah saya. Jadi Kamis sore, pas saya lagi ngeluh kenapa nggak ada pak pos nganterin paket kado buat saya, sebenarnya dia udah sampek jalan depan rumah saya tapi dia balik lagi ke hotelnya. Waktu dia ng-SMS dan bilang dia lagi nonton Fariz RM di tivi, itu sebenarnya dia nonton di tivi kamar hotelnya, bukan di tivi rumahnya. Dan hotel tempat dia nginep itu, sebenarnya jaraknya cuman tiga kilo dari rumah saya. Dan sore itu saya malah ngomel dalam hati, kenapa dia nggak kirimin saya kado..?

“Makasih ya, Mas, udah dateng buat ulang tahun aku,” gumam saya bahagia.
Dia tersenyum dan manggut. “Iya.”
“Tapi, Mas,” saya nelan ludah. “Kok Mas nggak pake pita..?”

***

Jadi..terima kasih ya temen-temen semua yang udah nyelametin ulang tahun saya di Twitter dan Facebook, dan maaf belum sempet saya bales. Soalnya dari kemaren saya nggak sempet on-line, lantaran saya ngedate dua hari penuh sama my hunk. Saya bawa dia keluyuran, berburu cari tempat buat manjain hobi dia motret-motret sambil wisata kuliner. Baru saya lepas dia tadi, coz dia mesti cabut naik pesawat pulang ke rumahnya. Sewaktu saya nulis blog ini, saya masih kepingin nyakar punggungnya gara-gara dia dateng nggak bilang-bilang dulu. Padahal, kalau dia dateng, saya kepingin masak buat dia..

Ternyata cinta memang indah. Saya nggak ngira cinta bakalan bikin my hunk nggandol pesawat jauh-jauh dan menyesatkan dirinya di Bandung sendirian cuman buat survey nyari jalan ke rumah saya. Dan saya pikir, saya udah dapet kado terindah yang saya inginkan tahun ini. Kemaren, umur saya genap 28 tahun dan saya gadis paling beruntung di muka bumi ini.

Thursday, May 27, 2010

Keanehan Wanita


Kemaren kau terlambat datang bulan, dan kau uring-uringan.

Sekarang bulannya sudah datang, kau lebih uring-uringan.


Mau kau bawa ke manaa.. rahim kitaa..?

Wednesday, May 26, 2010

Kenapa Kita Mau Balik Lagi?

Seorang cewek dateng ke sebuah salon dalam keadaan suntuk berat. Matanya nampak sembab dan mukanya cuman berpulas bedak. Dia bilang ke petugas kasir di salon bahwa dia kepingin creambath, lalu dilulur kaki.

Si mbak-mbak kasir itu nganterin dia ke ruang creambath dan menyilakan si cewek ini cuci rambut dulu. Karena suntuk dan kepingin yang seger, dia bilang ke kapster yang nyuci rambutnya, tolong cuciin pakai air dingin aja.

Setelah itu creambath pun dimulai. Si cewek bilang pijetannya kurang keras, maka si kapster pun pijet kepala si cewek lebih keras lagi. Bahkan si cewek bisa melihat di kaca, urat-uratnya si kapster itu sampek nonjol semua, padahal si kapster itu ceking.

Selesai creambath, si kapster mau bilas rambut si cewek. Tahu-tahu si cewek merasakan guyuran hangat nyiram ke kepalanya. “Air dingin aja, Mbak,” katanya.
Tapi si kapster malah nyela, “Bersihin pake air anget dulu ya, Teh. Supaya lemak bekas rambutnya ilang semua..”
Si cewek melongo. Dibiarinnya aja si kapster bilas rambutnya pakai air anget, tapi setelah itu baru diguyur air dingin.

Selesai creambath, si kapster nganterin si cewek ke bilik refleksiologi buat luluran kaki. Yang meladeni si cewek buat luluran kaki ternyata kapsternya beda lagi. Jadi si cewek pun duduk tenang sementara kakinya dipijet pakai lulur oleh kapster yang kedua.

Sembari dipijet, si cewek noleh keluar bilik itu via partisi, dan ngeliatin seruangan salon yang lagi rame. Ada yang lagi diroll, ada yang lagi blow, ada yang lagi dikeriting. Tahu-tahu si cewek denger si kapster ngomong sesuatu ke dia sayup-sayup.
“Apa?” tanya si cewek.
“Mau baca majalah, nggak, Teh?” tanya si kapster.
“Oh enggak, enggak, makasih,” jawab si cewek.

Akhirnya selesailah acara luluran kaki itu. Sebelum si cewek mbayar di kasir, dia ke toilet dan nyiapin beberapa lembar fulus. Lalu keluar dari toilet, si cewek balik ke ruang creambath dan nyariin mbak-mbak yang mijetin kepalanya tadi. “Mbak, makasih ya,” katanya sambil nyelipin fulus ke si kapster.
Si kapster seneng, sementara si cewek minggat dan nyariin kapster yang tadinya mijetin kakinya. Ternyata si kapster itu lagi fesbukan di HP. “Mas, makasih ya,” tiba-tiba dia menghampiri si kapster itu.
Si tukang pijet kaki itu nampak terkejut, tapi berseri-seri waktu nerima tip yang menurut gw nggak seberapa itu.

“Tumben lu ngasih tip, biasanya lu saban creambath di situ nggak pernah ngasih tip,” kata gw waktu si cewek cerita itu ke gw.
Lalu si cewek cerita ke gw. “Gw udah creambath di situ berkali-kali dengan kapster yang beda-beda, dan mereka selalu iya-iya aja apapun yang gw minta. Tapi sekali ini gilirannya gw minta dibilas pake air dingin, si neng itu malah ngeguyur pake air anget dulu coz dia peduli perkara lemak di rambut gw. Coba kalo dia nggak kasih tahu gw bahwa bekas creambath itu kudu diguyur air anget dulu, barangkali hasil creambath gw nggak akan seoptimal yang gw inginkan.”
Dan perkara tukang pijet refleksi itu, dia melanjutkan, “Gw masuk ke salon itu dalam keadaan be-te berat gara-gara gw berantem sama adek gw dan nyokap gw. Nampaknya si kapster ngerti hati gw lagi susah, jadi dia mencoba nyenengin hati gw dengan nawarin majalah.”
Dia menelan ludah dan bilang, “Orang-orang ini nggak cuman menjalankan pekerjaan mereka, Vic. Tapi mereka juga peduli sama konsumennya. Makanya gw kasih tip. Coz gw suka hasil kerjaan mereka. Mereka bekerja itu pake hati.”

***

Kita kadang-kadang melayani klien cuman seperlunya aja, tapi kadang-kadang kita lupa menarik hati konsumen supaya mereka seneng sama layanan kita. Sebagai contoh kecil aja, minggu lalu bokap gw pergi ke Banceuy beli kopi di toko langganan kami. Adek gw bertanya-tanya kenapa bokap gw harus pergi sejauh itu, padahal kopi yang sama banyak dijual di toko-toko yang lebih dekat dengan rumah kami.

Lalu nyokap gw menjelaskan, bahwa waktu bokap gw pergi ke toko itu, si penjualnya nanya, bokap gw mau nyimpen kopi itu sampek kapan. Jawab bokap gw, paling-paling sebulan juga udah abis. E-eh, si penjual kopi malah bilang, bokap gw nggak usah beli banyak-banyak, tapi sedikit-sedikit aja. Soalnya kalo disimpennya sampek lama a la penyimpanan rumah tangga kami, bisa-bisa kualitas kopinya berkurang.

Padahal kalau penjualnya cuman ngejar keuntungan, dia bisa aja membiarkan bokap gw beli kopi sebanyak-banyaknya, kan? *wink*

Pernah juga beberapa minggu lalu gw ma’em pizza di Dago. Gw baru pertama kali ke sana, dan gw nanya pizzanya segede apa. Si pelayan malah nganjurin gw buat pesen satu dulu, nanti kalau kurang boleh pesen lagi. Betul-betul tidak serakah.

Nyatanya, gw malah nambah pizza lagi sampek dua kali. Ukuran besar. :-)

Dan memotretnya dengan spontan.

Teman gw akan creambath di salon itu lagi. Dan bokap gw akan beli kopi di tempat itu lagi. Dan gw akan makan pizza di sana lagi, sambil bawa orang lain.

Jadi, sudahkah kita melayani klien kita dengan hati?

Monday, May 24, 2010

Tas Cewek Kecil Amat..


Lihat isi tas Anda dan mari kita inventarisir. Ada apa aja di dalamnya? Mungkin dompet atau HP. Di tas nyokap gw selain ada parfum, kadang-kadang bisa aja ada terasi. Eits, jangan ngenyek ya, nyokap gw suka bagi-bagi terasi ke temen-temen arisannya. Dan jangan ditanya betapa sumringahnya ibu-ibu wangi itu kalau dikasih terasi. Langsung tuh terasi dijejalin ke dalam tas mereka yang merknya bisa Louis Vuitton atau Birkin itu.

Lha tas gw sendiri sebenarnya nggak berat-berat amat kalau gw nggak punya ide sinting bawa sendal teplek di dalem tas gw. Hahaha..iya, kadang-kadang gw bawa sendal teplek! Soalnya gini lho, Sodara-sodara.. Gw kan hobi pakai sepatu hak tinggi ke mana-mana. Tapi kadang-kadang situasi dugem tuh suka nggak cocok sama sepatu hak tinggi. Bayangin, gw udah cakep-cakep dateng ke restoran keren, nggak tahunya sampek di sana tempat parkirnya kepenuhan. Mau parkir di pinggir jalan, ternyata ujan bin becek pula. Mana tahan sepatu hak tinggi gw dipakai basah-basahan di trotoar yang nggak jelas mana semen mana tanah? Akibatnya sering gw turun dari mobil dan masuk ke restorannya pakai sendal teplek, terus begitu udah dapet tempat duduk baru ganti pakai sepatu hak tinggi, hihihi!
(Aneh ya, padahal kan makan pakai mulut, bukan pakai sepatu..)

Nah, kemaren adek gw mau pergi ke simposium dan seperti biasa dos-q fitting kostum dulu sebelum pergi. Kemaren rencananya dos-q mau pakai gaun casual, dan tas yang matching warnanya sama gaunnya ternyata kecil. Tasnya mungkin cuman sekecil ubin kamar mandi gitu deh, jadi cuman muat bawa dompet dan HP. Padahal adek gw mau bawa dompet kosmetik dan mukena.

"Sudah, ganti tas aja sama yang lebih gede," kata gw.
Adek gw manyun. "Tas yang gede nggak cocok warnanya sama bajunya.."

Gw ketawa terbahak-bahak.

Iya ya, kalau dipikir-pikir, nggak penting meskipun gw punya tas sampek selemari, tetep aja gw paling nyaman pakai tas yang itu-itu aja. Gw maunya pakai tas yang gede, yang nggak cuman muatin dompet dan HP aja, tapi gw juga kepingin bawa payung dan sendal coz cuaca di Indonesia makin lama makin nggak bisa ditebak. Sebelah diri gw bilang bahwa gw ini orangnya parnoan, nggak pe-de kalau nggak bawa "peralatan perang" gw, tapi sebelah diri gw yang satu lagi bilang bahwa..yah, gw memang nggak mau batal makan-makan cuman gara-gara ujan.

Paling repot tuh kalau acara kondangan. Heran gw, kenapa sih tas wanita kalau ke pesta, yang model clutch itu, pada mungil-mungil semua? Clutch gw tuh kecil banget, cuman buat muat lipstik dan HP doang. Makanya kalau ke kondangan tuh gw selalu berdoa komat-kamit, "Duh, Gusti..mudah-mudahan nanti di tengahnya pesta nggak ada razia polisi dadakan. Soalnya saya nggak bawa KTP.."

Foto oleh Hadi Cahyono, gw edit dari Cosmopolitan.

Sunday, May 23, 2010

Telah Terkonfirmasi Si X Itu Modar

RIP: Telah meninggal dunia: keakuratan retweet di Indonesia.

Gw lupa persisnya siapa yang menulis itu di Twitter, tapi yang jelas status itu sampek bikin gw ngakak terbahak-bahak. Sekaligus miris. Jangan-jangan Anda, seperti gw juga, sering menyiarkan ulang berita dari orang lain tanpa cek apakah berita itu beneran atau enggak.

Kok mendadak gw jadi inget peristiwa tujuh tahun lalu. Gw masih di bangku kuliah, entah itu semester enam atau tujuh, ketika suatu malam pas jam setengah tujuh gw nerima SMS dari seorang teman kuliah yang bunyinya kurang lebih begini, “Fw: Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Telah meninggal dr Pablo di RS X pada jam 4 sore. Mohon doakan agar beliau beristirahat dengan tenang di sisi Allah SWT.”

Dalam agama gw ada ajaran bahwa menyebarkan berita kematian seseorang itu ada pahalanya, jadi gw forward tuh SMS ke sekitar lima orang teman. E-eh, semenit kemudian dateng balasan SMS dari teman yang gw kirimin forward-an itu, “Salah, tau! Dr Pablo masih sesak jam 6 sore. Slang oksigen belon dicopot, monitor masih bunyi. Senior barusan nengokin ke ICU.”

Dalam hati gw maki-maki tuh orang yang tadi ngirim SMS. Kok bisa-bisanya sih orang belum meninggal tapi sudah di-SMS-in ke mana-mana kalau orangnya sudah nggak ada?

Gimana kalau gw udah dateng capek-capek ke sana pakai baju item-item, dan siap ngasih amplop ke keluarganya sambil bilang, “Sabar ya, Jeng..” Tiba-tiba keluarganya malah menyangkal, “Lho, Bapak masih ada kok. Tuh lagi disuapin bubur ayam..”

Yang repot, kalau sudah disiarin ke mana-mana bahwa seseorang baru saja meninggal, dan semenit kemudian langsung ada yang berinisiatif mendirikan tenda, pesen kursi, pesen katering nasi dus. Di Jogja malah ada tradisi di mana kalau ada orang meninggal, keluarganya sibuk nyiapin souvenir buat yang melayat.

Balik lagi ke cerita dosen gw. Ternyata dr Pablo menderita pada akhir hayatnya. Beliau koma di ICU itu sampek dua hari kemudian, sehingga ketika akhirnya pada suatu pagi di kampus tersiar kabar bahwa beliau betul-betul finis, kami para mahasiswa cuman berkomentar, “Kalo yang ini (meninggal) beneran?”
Kami baru percaya sungguhan dr Pablo meninggal, ketika hari itu salah satu kuliah terpaksa batal gara-gara dosennya melayat dr Pablo.

Pada waktu gw naik pangkat jadi koass, gw baru ngeh bahwa definisi mati untuk tiap orang itu beda-beda. Kami para dokter diajarin bahwa seseorang sudah betul-betul mati ketika batang otaknya sudah nggak kerja. Kadang-kadang seseorang bisa aja nampak di monitor bahwa garis denyut jantungnya sudah lurus (di sinetron-sinetron, biasanya langsung ada adegan keluarga menangis histeris dan menyerbu si pasien yang ceritanya sudah mati), tapi sebenarnya kalau pasiennya dipasangi alat bantu nafas, mungkin saja batang otaknya belum mati. Jadi gw pikir, barangkali yang waktu itu nyiarin pertama kali via SMS bahwa dr Pablo meninggal, mungkin itu baru mati jantung tapi belum mati otak. Jadi sebenarnya malaikat maut belum betul-betul datang menagih utang.

Nanti dulu, masalahnya bukan itu. Jangan sekali-kali bilang bahwa seseorang sudah meninggal, kalau belum ada yang konfirmasi ke keluarga sang mayat. Siyalnya, kita suka sungkan nanya ke keluarganya, “Eh, permisi ya, Jeng. Mau nanya, jadi bapaknya sampeyan ini sudah meninggal apa belum?”

Makanya gw cuman geleng-geleng kepala waktu beberapa hari lalu tersiar cepat di Twitter bahwa Gesang meninggal. E-eh, nggak tahunya orangnya bangun paginya sambil nyanyi Jembatan Merah di ICU. Memang Gesang meninggal malemnya.
Kemaren juga gitu. Sore-sore gw baca lagi di Twitter bahwa Bu Ainun Habibie meninggal di Munich. Persis satu jam kemudian, tersiar tweet dari si tweepsy bersangkutan yang minta maaf karena menyebarkan berita yang salah. Bu Ainun masih kritis, belum meninggal. Tepatnya, Bu Ainun meninggal tadi malem.

Padahal kita semua yakin, kalau memang seseorang meninggal, cepat atau lambat keluarganya akan bikin pengumuman kepada khalayak ramai. Entah itu via Twitter, via Facebook, atau bahkan mungkin konferensi pers. Memang buat kita, pengumuman itu terasa lambat munculnya, apalagi kalau kita merasa “berkewajiban” melayat. Bayangkan, untuk melayat seseorang, barangkali seratus jadwal hari ini harus dibatalkan. Tunda rapat penting. Tunda operasi. Tunda syuting. Apalagi ibu-ibu pejabat mesti ke salon dulu. Kalau kita mau melayat pejabat, kan rambut kudu disasak? :-p

Tetapi, daripada kita sotoy, sok-sok merasa bagian dari keluarga padahal nggak ditunjuk, menyebarkan berita tentang kematian yang nggak kita lihat sendiri dengan jelas, bisakah kita menahan diri untuk menutup mulut? Keluarganya sudah direnggut orang yang mereka cintai, biarkan mereka sendiri yang mengonfirmasi. Karena, cara yang baik untuk menerima kedukaan, adalah mengumumkannya sendiri kepada publik, bahwa: Ya, ayah/ibu/anak/kakak/adik yang kami sayangi itu, memang sudah meninggal.

Gambarnya dari http://saysomethingfunny.wordpress.com

Saturday, May 22, 2010

Bahasa Leluhur Njelimet

Sebenarnya gw mau nulis ini dari beberapa minggu lalu, tapi gw lupa dan baru teringat setelah gw baca blog ini. Nasib deh kalo kebanyakan ide buat ditulis, hihihi.

Suatu hari gw dan teman jalan-jalan keliling Bandung. Pas lewat Jalan Cikapundung, dia terperangah lihat papan nama jalannya, terus motret foto di atas ini. Anda lihat bahwa di papan ini, nama jalan ditulis dalam aksara Latin dan aksara Sunda. Ini memang disengaja oleh Pemerintah Kota sebagai salah satu upaya untuk menjaga kelestarian bahasa Sunda. Biarpun sebenarnya banyak banget orang Sunda yang nggak tahu cara baca aksara ini.

Sebagai seorang turunan Jawa yang gede di Bandung, gw cukup beruntung coz gw mengerti bahasa Jawa dan bahasa Sunda sekaligus. Harap diingat, mengerti bukan berarti bisa ngomong pakai bahasa itu. Maksudnya, gw nyerah kalau disuruh ngoceh pakai bahasa itu, tapi gw ngerti kalau ada yang ngegosipin gw pakai bahasa itu. Mungkin kalau dalam terminologi bahasa Inggris, gw berbahasa dengan pasif, bukan aktif.

Teman gw itu sempat nanya, apakah gw bisa baca aksara Sunda itu. Tentu saja gw nggak bisa. Alasan (1), coz gw memang nggak pernah diajarin waktu sekolah dulu. Alasan (2), coz gw nggak merasa butuh bisa baca itu. Buat gw, melek huruf Latin dan huruf Arab sudah cukup, nggak usah ditambah-tambah lagi. Huruf Latin, coz buat nulis resep ke pasien. Huruf Arab untuk investasi dunia akhirat. Menguasai huruf Sunda (atau bahkan Jawa sekalipun) nggak kasih nilai tambah buat gw. Barangkali, pemikiran-pemikiran kayak gw sini yang bikin aksara daerah pelan-pelan punah.

Pembicaraan tentang bahasa daerah selalu aja bikin mood suram. Banyak kaum sesepuh mengeluh bahwa generasi muda sekarang ogah banget berbicara bahasa daerah. Saking suramnya, sebuah kabupaten di Jawa Barat yang gw lupa namanya, sampek mencanangkan hari Jumat sebagai hari berbahasa Sunda di sekolah. Jadi, kalau hari Jumat, setiap murid dan guru diharuskan ngomong apa-apa pakai bahasa Sunda (di luar jam pelajaran), tanpa pandang bulu biarpun muridnya bukan etnis Sunda sekalipun. Gw langsung bersyukur, untung gw udah lulus.

Orang tua gw sendiri juga nggak pernah ngajarin bahasa Jawa di rumah. Gw bisa ngerti bahasa Jawa hanya karena sering menguping obrolan mereka. Akibatnya, bahasa Jawa gw belepotan coz gw sulit nemu kata yang tepat.

Kadang-kadang, untuk keperluan bergaul, gw mencoba ngomong Sunda ke teman-teman gw yang orang Sunda. Hasilnya, mereka malah mandang gw dengan tatapan ganjil. “Vic, lu ngomong Indonesia aja deh, jangan pakai bahasa Sunda.”

Sekalinya ketemu teman-teman dari Surabaya yang sekolah di ITB dan mereka memanggil satu sama lain dengan “jancuk”. Gw merasa ketemu sodara seetnis dan berusaha ngikut ngomong Jawa, tapi mereka menyebut gw “Jawa murtad” (orang Jawa yang nggak bisa ngomong Jawa).

Gw merasa seperti Yahudi. Ditolak di negeri orang, ditolak di negerinya sendiri. Makanya pandangan politik gw nggak pernah musuhin Israel coz gw ngerti apa yang mereka resahkan.

Yang lucu pernah suatu hari gw mau sowan pertama kalinya ke bonyoknya pacar gw yang Jawa tulen. Sebelum gw pergi, nyokap gw mewanti-wanti, “Don’t speak Javanese to his mother. Koen kalo ngomong itu (unggah-ungguh-nya) kasar.”

Kakak gw yang di Malang ngomel panjang-pendek gara-gara anaknya ulang ke rumah dengan pe-er suruh nulis pakai aksara Jawa. Ponakan gw itu nggak bisa ngerjain, sedangkan kakak gw juga nggak bisa. Tukas Kakak, “Buat apa sih belajar hanacaraka? Memangnya nanti kalo dia anwar barang di pasar ya harus pake nulis hanacaraka?"

Oleh sebab itu, hendaknya kaum sesepuh nggak usah ngomel menuduh generasi muda nggak mau melestarikan bahasa daerah, coz budaya sendiri yang mempersulit bahasa itu untuk berkembang. Sebenarnya solusinya ada aja:

1. Jika anak muda ingin ngomong bahasa daerah ke orangtuanya, ngomong aja sesukanya. Jangan dipaksa harus pakai unggah-ungguh atau undak-usuk basa.

2. Ajari murid bahwa bahasa daerah bisa dipakai untuk keperluan terhormat, misalnya melobi pejabat atau sekedar minta ijin sama dosen supaya boleh nge-date sama anaknya dosen. (:-p) Jadi bukan cuman berfungsi buat nawar tukang becak, atau maki-maki orang yang bikin baret mobil kita.

3. Dewasa ini banyak orang nulis namanya pakai huruf Arab atau huruf Cina buat gaya-gayaan, kenapa nggak ajari murid menulis namanya sendiri pakai huruf bahasa daerah?

4. Bikin lomba nge-rap pakai bahasa daerah buat anak muda, seperti yang sudah dilakukan Ebieth Beat A dengan rap bahasa Sunda-nya. Murid yang bikin lagu paling bagus, diijinkan dapet nilai 9 di rapor tanpa harus ikut ulangan umum.

Pendek kata, kalau bahasa itu bisa dipakai di segala kondisi tanpa harus pakai syarat-syarat yang rese, tentu pemakaian bahasa itu akan berumur panjang.

Friday, May 21, 2010

Telat Keracunan

Coba bayangkan, malam ini mendadak Anda kepingin makan bakso. Tapi bosen makan di restoran bakso yang itu-itu aja, dan sekali-kali Anda kepingin nyoba restoran bakso yang lain, tapi Anda nggak tahu restoran mana yang masak baksonya lebih enak daripada langganan Anda selama ini. Apa yang akan Anda lakukan? Tanya sama sodara atau teman, kayaknya nggak mungkin coz bisa jadi jawaban mereka ya sama-sama aja kayak pilihan Anda. Bongkar internet? Ketiklah kata “bakso” search engine, dan akan muncul jutaan link yang rata-rata berasal dari para blogger nggak jelas dari seluruh dunia yang mengoceh tentang tempat bakso favorit mereka. Apa tidak ada yang lebih ringkas?

Saat itulah Anda perlu Foursquare.

Gw sebenarnya rada-rada lelet kalau mau ngikutin trend di dunia maya, termasuk yang satu ini. Gw ikutan Foursquare gara-gara alasan yang maha cemen: diajakin my hunk, biarpun waktu gw tanya sama dos-q, ini situs gunanya buat apa sih? Dos-q malah jawab nggak tahu. Lha alasan dos-q sendiri daftar masuk Foursquare juga nggak kalah anehnya: buru-buru daftar sebelum username favoritnya diambil orang. Dia sudah cukup jengkel gara-gara ada orang yang punya nama hampir sama dengannya di Facebook dan akibatnya ngambil username favoritnya duluan. Padahal dia sudah daftar ke situs jejaring mana-mana dengan username itu, wkwkwkwk.. :D

Semula gw mengira Foursquare itu hanya “satu lagi Facebook yang lain” yang akan cepat tenggelam secepat Tagged dan Hi5, sampek kemudian gw baca-baca di Twitter bagaimana Foursquare mulai jadi demam di kota-kota besar di Indonesia. Bahkan di luar negeri sudah mulai jadi wabah.

Sewaktu seorang kolega gw ngirim permintaan buat jadi “friend” gw di Foursquare, gw buka dululah profilnya. Maka gw pun tercengang. Dia nulis di “daftar tip”-nya bahwa dia sudah ke Pasar Baru Bandung dan dia suka ayam bakakak baker yang dijual Gudang Rasa di food court lantai enam. Malah ada link ke Pasar Baru Bandung segala dan di situ nampak sudah ada 30-an orang mendatangi tempat itu dan membagikan tips-nya masing-masing supaya enak kalau main-main ke Pasar Baru. Baru gw ngeh Foursquare itu apa.

Foursquare bukan jejaring sosial biasa yang tujuan utamanya adalah cari “friend” sebanyak-banyaknya. Foursquare lebih fokus menjadi city guide buat para anggotanya. Misalnya ya kayak contoh gw tadi. Gw kepingin bakso, dan gw mau tahu restoran mana aja di kota tempat tinggal gw yang jualan unggulannya adalah bakso. Jadi gw tinggal masuk Foursquare, set lokasi gw saat ini ada di Bandung, Indonesia. Di search engine, ketik “bakso”. Maka akan muncullah daftar restoran yang jualan bakso, lengkap sama alamatnya.

Apa bedanya sama buku telepon? Nah, kita tinggal buka link-nya restoran itu satu per satu. Ambil contoh misalnya gw buka link Bakso Goyang Lidah di Jalan Gajah Mada, maka akan muncul profil Bakso Goyang Lidah itu, yang menampilkan Google Map dari lokasinya, plus berapa orang anggota Foursquare yang sudah pernah ke sana, dan ini yang paling seru: Tips yang ditulis oleh orang-orang yang makan di situ. Tips itu misalnya berbunyi gini, “Coba menu Bakso Urat Keju Asin, uenaak banget! Jangan lupa minta saos ekstra, diminum bareng es kelapa muda, hmmm..yummy!”
Lha bayangin kalau kita dateng ke Bakso Goyang Lidah tanpa petunjuk testimoni dari siapa-siapa, mana kita tahu kalau bakso kejunya di tempat itu enak?

Serunya, kita nggak cuman bisa manut sama tempat-tempat yang udah ada di daftar Foursquare itu. Kalau ada tempat favorit kita yang belum tercantum di sana, kita bisa ikut merekomendasikan nama tempat kesukaan kita itu. Asal yang penting kita tahu nama tempatnya restoran apa, dan lokasinya di jalan apa, beres!

Dan, ternyata Foursquare nggak cuman ngomongin wisata kuliner melulu. Ada banyak kategori lain, misalnya toko buku, toko musik, bahkan salon, supermarket, bank, atau ATM. Gw iseng ngetik kata “creambath” di search engine Foursquare, langsung keluar empat salon di Bandung yang udah didaftarin di Foursquare dengan tips “creambath”. Salah satunya berada di Jalan Ranggamalela, seseorang telah menulisnya begini, “Creambath Eci okeeeeyyyy..!”
Batin gw, si salon itu mesti kasih reward ke si pengunjung ini karena telah mempromosikan creambath pegawai bernama Eci itu dengan gratis.

Anda pengusaha? Coba ketik nama usaha Anda di Foursquare dan lihat apakah nama usaha Anda itu sudah masuk di sana. Kalau nama usaha Anda belum ada, berarti usaha Anda belum eksis.
Kalau nama usaha Anda sudah ada, lihat berapa pengunjung yang sudah kasih tips atas usaha Anda. Inilah caranya mengetahui kesan-kesan pengunjung terhadap usaha Anda yang mungkin nggak pernah mereka ucapkan di depan batang idung Anda.

Dan, kenapa tulisan ini gw sebut Telat Keracunan? Yah, soalnya demam Foursquare di Indonesia ini sudah agak lama, sedangkan gw nulisnya baru sekarang jadi rada telat. Plus, rasanya Foursquare ini bikin gw keracunan coz sudah beberapa hari terakhir ini kepala gw isinya Foursquare melulu..

*blame it on my hunk*

(Timpuk..!)

Thursday, May 20, 2010

Orang Kaya Tak Berdaya

Sudah beberapa bulan terakhir ini lampu jalan di Kompleks X mati semua. Padahal di situ berdiri rumah-rumah megah nan cantik. Rasanya aneh aja gitu kalau lihat deretan rumah yang bagus tapi jalanannya gelap-gulita.

Karena resah, akhirnya Pak P yang tinggal di kompleks itu bertanya kepada tangan kanannya Pak RT yang kebetulan adalah satpam kompleks. (Ngomong-ngomong, kenapa tangan kanannya Pak RT selalu satpam? Kayaknya dalam pemilihan tuh nggak usahlah butuh Wakil Ketua RT, yang lebih penting adalah pemilihan satpam..)
Kenapa dulu-dulu lampu jalan selalu nyala, tapi sekarang mati semua? Apakah karena musim hujan, lampu jalan jadi rusak, dan tukang listrik nggak utak-atik lantaran takut kesetrum? Tapi musim hujan sekarang sudah mulai berlalu, nyamuk-nyamuk kemarau yang kering sudah mulai berdatangan, jadi kayaknya nggak logis kalau tukang listrik masih takut kesetrum juga.

Maka satpam menjawab, nggak cuman Kompleks X yang lampu jalannya mati. Tapi juga Kompleks Y, bahkan Kompleks Z yang letaknya beberapa kilo dari situ juga ikutan mati. Dan semuanya adalah real estate, yang mana penghuninya rata-rata tajir-tajir.

Bukannya PLN sentimen sama kompleks-kompleks itu. Masalahnya gini, kan baik Kompleks X, Y, maupun Z dulu sama-sama bagian dari Kabupaten K. Tetapi sudah beberapa waktu terakhir Kabupaten K pecah lantaran beberapa kecamatan memisahkan diri dan bikin kabupaten sendiri bernama Kabupaten L, di mana kompleks-kompleks yang lampu jalannya mati itu termasuk dalam Kabupaten L itu. Nah, Pemda Kabupaten L-nya nggak mau urusin listrik lampu jalannya di kompleks-kompleks itu untuk sementara, soalnya mengenai lampu jalan itu masih ada “urusan yang belum selesai” oleh Kabupaten K.

“Maksudnya gimana sih?” tanya gw waktu Pak P cerita kisah itu ke gw. “Tagihan listrik lampu jalan yang dulu-dulu belum dibayar oleh Kabupaten K?”
“Nampaknya semacam itu,” kata Pak P.

Gw jadi kesiyan ke para penghuni di kompleks-kompleks itu. Mosok cuman gara-gara bupati (atau Pemda-nya? Terserah.) yang dulu belum mbayar lampu jalan, sehingga sekarang penghuninya mesti gelap-gelapan di jalan? Lha kalau ada mobil mau melintas terus ada kucing lagi tidur di jalan, gimana? Nggak kesiyan kalau kucingnya kelindes?

Rakyat biasanya nggak mau tahu mereka mau masuk kabupaten K atau L, atau mau jadi kota sekalipun. Urusan rebut-rebutan wilayah antar kabupaten cuman jadi pertikaian antara pejabat daerah. Rakyat cuman mau peduli bahwa mereka bisa hidup enak, ada listrik. Kok ya malu-maluin banget “induk” yang sekarang nggak mau bayar listrik cuman gara-gara tagihan “induk” yang dulu belum dibayar?

Menjelimetnya masalah otonomi daerah ternyata nggak cuman terjadi di daerah-daerah luar Jawa, tapi juga terjadi di daerah Jawa sendiri, bahkan di daerah urban macam Kabupaten K dan L. Gw jadi inget pas tahun lalu gw pernah ngobrol sama seorang pegawai Pemda di Cali.
Gw: “Paman, kenapa sih kok di daerah F ini susah banget mau pasang lampu jalan aja? Memangnya APBD-nya nggak cukup ya buat mbayar listrik?”
Si paman ketawa: “Gini lho. Dulu kan Kabupaten F ini bagian dari Kabupaten G, di mana listrik ke F itu dipasok dari kantor listrik di G. Tetapi terus ada otonomi daerah, di mana akhirnya F mutusin buat bikin kabupaten sendiri supaya bisa ngurusin sumber dayanya sendiri. Nah, pasokan listrik dari G ke F tuh dibatasin, coz G merasa F juga udah bagian dari dirinya lagi.”
Gw: “Itu bukan masalah dong, Paman. Kan kalau F kepingin berdiri sebagai daerah mandiri, ya mestinya udah mikirin konsekuensi bahwa F harus bisa bikin listrik sendiri dong.”
Si paman ketawa lagi: "Beberapa pejabat tidak memikirkan dampak itu dengan matang, Mbak Vicky..”

Lalu gw tanya lebih lanjut, sebenarnya kenapa sih orang pada rame-rame minta otonomi daerah. Kan lebih enak jadi bagian dari daerah yang dulu, hidup sudah terjamin.

Terus si paman nerangin bahwa, orang tuh kepingin bikin kabupaten sendiri (atau bahkan provinsi sendiri), soalnya merasa pemda yang menaunginya nggak melindunginya dengan baik. Di daerah F itu, dulu waktu masih jadi bagian dari Kabupaten G, sumber-sumber daya ekonomis diangkut semua ke ibukota G sedangkan daerah F selalu saja tertinggal. Nggak heran F memutuskan untuk separatis dan menjadi kabupaten sendiri.

Maka gw pun balik lagi ke kasus mati lampu jalan di Kabupaten L. Kenapa ya Kabupaten K masih belum beresin urusan listrik yang dulu-dulu itu? Apakah sebenarnya Kabupaten K sudah ikhlas melepas L jadi kabupaten sendiri? Lha kalau dilihat-lihat, kompleks X, Y, dan Z yang mewah-mewah itu memang sumber potensial buat narik pajak daerah, jadi sayang juga kalau dilepas, kan?

Otonomi seharusnya mensejahterakan rakyat, kan? Bukan bikin rakyat dipaksa gelap-gelapan.

*Maaf ya, semua nama di sini gw singkat pakai variabel aljabar. Soalnya gw belum tanya ke bupati-bupati yang bersangkutan, “Bapak-bapak, sampeyan semua ini sebenarnya ikhlas nggak sih melepas ‘anak’ yang kepingin berdiri sendiri itu, atau memang cuman kepingin bikin kucing yang tidur di jalan jadi kelindes?"

Foto diambil dari sini

Wednesday, May 19, 2010

Cukup Sudah!

Cukup sudah.

Kau datang bulan September.

Aku panik setengah mati.


Kau datang lagi seminggu kemudian.

Aku panik lagi.

Aku tak siap menyambutmu.


Tadi malam kau datang lagi.

Tidak bilang-bilang.

Aku marah. Marah!


Tahukah kau, jika kau datang, aku buru-buru berlari keluar rumah.

Aku takut rumah runtuh menimpaku.

Aku takut aku tak selamat.

Aku takut kota akan hancur,

dan wartawan televisi berbondong-bondong mewawancaraiku

mereka akan menyuting mukaku, karena aku jadi korban

dan mukaku akan tersiar ke seluruh dunia

padahal..padahal.. aku lagi pakai daster!


Kau sungguh tak sopan, Gempa!

Kenapa kalau kau mau datang kau tak bilang-bilang dulu?

Setidaknya aku kan bisa ganti baju dulu!

Supaya kalau aku jadi korban dan masuk tivi,

Aku bisa nampak lebih representatif

Siapa tahu, setelah masuk tivi aku ditawari jadi bintang sinetron

Coba pikir..

..mana ada bintang sinetron direkrut kalau sedang pakai daster??


Sudah!

Mulai sekarang, aku tak mau pakai daster lagi.

Aku mau pakai gaun casual di rumah

Lengkap dengan sepatu hak tinggi

Supaya kalau kau datang, aku tidak akan panik

Dan siap menghadapi ratusan wartawan yang ingin menyuting mukaku

Siapa tahu, dengan melihat korban gempa pakai gaun dan high-heels,

akan ada yang tertarik menawarinya jadi bintang sinetron..


P.S. Ditulis buat kontes lomba puisi kocak oleh blog Mbak Fanny. Gw nulis ini coz gw kepingin dapet buku Lolita-nya Vladimir Nabokov dari Toko Buku Online Vixxio. Duuh..semoga nggak ada puisi yang lebih lucu dari puisi gw, supaya gw bisa menangin hadiahnya.. :-p

Monday, May 17, 2010

Ngeblog tanpa Menulis

Adalah tahayul besar kalau ada yang bilang bahwa buat ngeblog itu harus punya kemampuan menulis yang bagus. Nyata-nyatanya nggak selalu ngeblog itu harus menulis panjang-panjang, coz ada juga jenis blog yang materi utamanya bukan berarti tulisan, tetapi berupa foto. Yupz, ini yang disebut photoblog. Konsepnya sebenarnya tidak melanggar prinsip blog itu sendiri: Kita membagi karya di internet dalam sebuah halaman milik kita sendiri, terus nunggu komentar dari orang-orang yang melihatnya. Karyanya mungkin bukan tulisan, tetapi berupa foto. Tapi kalau udah membuka kotak komentar, berarti itu namanya ngeblog kan?

*wink*

Kemaren, lagi tengah-tengahnya jenuh, gw browsing daftar update-an blog di dashboard Blogspot gw dan melihat posting yang baru-baru. Adakah yang penasaran dengan caranya gw blogwalking? Yupz, kalo gw blogwalking tuh biasanya gw buka dashboard dan melihat daftar blog yang gw follow. Siapa yang update paling terakhir, dia yang pertama kali gw liatin. Jadi kalau Anda protes lantaran blog Anda belum gw komentarin, barangkali penyebabnya yang paling masuk akal selain bahwa gw nggak tahu mau komentar apa di post Anda, adalah karena Anda bukan di giliran teratas buat di-blogwalk oleh gw, hehehe..

Nah, mendaratlah gw di blog seorang blogger. Pendaratan gw sama sekali tidak mulus, coz gw kan blogwalking-nya pakai HP, sedangkan tuh blog loading-nya luamaa banget. Padahal gw udah pakai Opera Mini lho. Pas tuh browser akhirnya berhasil menyelesaikan loading-nya, barulah gw ngeh apa yang bikin tuh blog susah banget dibuka. Ternyata, isinya sebagian besar berupa foto-foto.

Gw dari dulu selalu kagum sama para photoblogger coz mereka nggak pernah mesti cuap-cuap yang buanyak untuk ngeblog. Cukup upload satu foto aja, jadilah sebuah posting. Tentu saja ada tantangannya yang menarik supaya tuh posting dikomentarin. Syaratnya tentu fotonya harus menarik. Fotonya harus bisa “bicara”, biarpun nggak ada gombalan caption-nya sama sekali di bawahnya. Jadi meskipun yang dipotret seekor kucing lagi tidur di bawah pohon cabe misalnya, orang nggak perlu caption untuk mengetahui bahwa foto itu sedang menceritakan kucing yang lagi ngorok di bawah pohon cabe.

Tetapi gw juga merasa kadang-kadang para photoblogger ini terlalu sok eksklusif. Kebanyakan photoblogger mengira bahwa blog mereka tuh cuman diliat oleh makhluk yang “sebangsa” mereka alias sama-sama fotografer juga. Akibatnya foto-foto mereka di blog cuman bisa dinikmatin oleh kaum fotografer yang ngeliatnya pakai kompie sungguhan, bukan diliatin di HP kayak gw yang cuman tukang self-capturing amatir. Sebagian besar photoblogger menaruh foto mereka dalam resolusi yang super besar, mungkin maksudnya supaya bisa keliatan detail keindahan fotonya oleh para fotografer yang lain. Konsekuensinya, begitu tuh photoblog dibuka pakai HP, loading jadi berat banget.

Padahal, gw yang awam ini juga kepingin menikmati photoblog dengan nyaman. Meskipun gw sendiri bukan seorang photoblogger. Dan gw sendiri nggak minat buat bikin blog ketiga berupa photoblog (please dong ah, ngurusin dua blog di sini dan di sana aja udah cukup bikin gw repot). Gw juga kepingin ngeliat foto jepretan orang, memahami dan mengapresiasi, tanpa harus nanya ke host-nya, “Ini gambar apaan sih?”

Saran-saran buat para photoblogger:
1. Pasang foto dengan resolusi yang nggak terlalu besar. Minimal cukup bersahabat buat dibuka dari HP. Kuno ah kalau jaman sekarang suatu halaman nggak bisa mobile friendly. Memangnya buka internet tuh harus selalu dari kompie ya?
2. Desain template jangan terlalu rumit, supaya loading-nya nggak berat. Jangankan photoblog, suatu blog aja bisa langsung gw cuekin cuman gara-gara loading-nya terlalu berat dari Opera Mini gw dengan kecepatan GPRS tanpa 3G. Suatu halaman hendaknya harus bisa diakses dari HP apa aja, biarpun pemakai HP-nya lagi di hutan sekalipun.
3. Selalu pasang caption di bawah foto, biarpun gombalannya cuman sebaris doang. Tidak memungkiri sebuah foto bisa langsung “bicara” tanpa caption, tetapi sebuah caption akan membimbing penonton untuk memahami foto sesuai yang dimaksud oleh si fotografer. Jangan berharap bahwa setiap penonton akan selalu punya kecerdasan untuk memahami apa yang dipotret si fotografer. Nasehat kecil yang pernah gw dapat dari seorang wartawan senior, “Saat kita meng-upload suatu tulisan/gambar ke media cetak/on-line, selalu anggaplah bahwa pembacanya baru berumur 14 tahun.”

Ngomong-ngomong, saat ini gw lagi ngikutin para photoblogger berikut ini (screenshot-nya udah gw taruh satu per satu ya..). Kalau Anda ada waktu senggang, mampir aja ke tempat mereka yuk! *nyengir*
1. Eddy Fahmi
2. Christin Rina
3. Risdania
4. Widyarin Kusumaningtyas

Anda punya photoblog juga? Boleh deh dipromo di sini. Photoblog Anda udah sebulan lebih nggak di-update? Jangan dipromo di sini.. :-p

Sunday, May 16, 2010

Proyek Superstar

Anda jeli nggak, bahwa penyanyi-penyanyi yang berserakan di tivi dan radio-radio itu-itu aja? Beberapa talent bertahan terus-menerus ngeluarin album baru, tapi sebagian besar lainnya datang dan pergi. Itu sebabnya diperlukan ajang perekrutan penyanyi, yang kira-kira puncak keemasannya bisa bertahan lama, dan nggak akan ngetop semusim alias jadi one hit number doang.


Minggu ini, Indonesian Idol babak spektakuler kembali digelar, untuk keenam kalinya setelah tahun lalu vakum. Gw lihat bahwa pengadaan Indonesian Idol kali ini beda dengan tahun-tahun lalu. Dulu, jurinya yang nggak pernah absen adalah Indra Lesmana dan Titi DJ. Dulu, penyanyi di panggung diiringi oleh Magenta Lights yang dimotorin Andi Riyanto, makanya aransemen musiknya selalu “nendang” banget. Tahun ini Indra, Titi, dan Magenta Lights nggak main lagi.


Gw sendiri baru serius ngikutin Indonesian Idol semenjak musim keempat. Sebenarnya dari musim pertama nonton juga sih, tapi pas penyanyi yang diadunya tinggal tiga-empat besar doang. Gw suka ngikutin acara ini coz gw lihat peserta-pesertanya di sini selalu didandanin pakai baju yang bagus-bagus. Well, di kontes cari penyanyi lainnya juga sama sih didandaninnya, tapi kalau feeling gw sih, di Idol nampak gayanya lebih mewah layaknya superstar sungguhan.


Alasan yang jauh lebih penting lagi adalah karena aransemen di Idol biasanya keren-keren. Sehubungan para penyanyi pasti membawakan lagu yang udah pernah ngetop, maka di sini musiknya selalu diaransir ulang biar nggak jadi cover version doang. Dan kebetulan aja hasil aransemennya hampir selalu lebih bagus daripada aransemen aselinya.


Tetapi, yang gw lihat, dari semenjak musim pertama sampai musim kelima, hampir nggak ada juaranya yang jadi superstar tahan lama. Maksud gw ya yang digemari semua kalangan, dan nggak terbatas pada tahun-tahun pertama aja. Rata-rata gejala juaranya Indonesian Idol itu sama: mereka cuman ngetop pas baru menang. Tapi makin ke sini, gaungnya makin nggak kedengeran aja.
Coba dites aja, apakah Anda kenal sama semua nama ini: Joy, Delon, Mike, Ihsan, Rini, Aris? Kalau ada salah satu yang Anda nggak kenal (kecuali Anda memang tinggal di luar negeri), dan Anda malah lebih ngeh sama Afgan dan Gita Gutawa, berarti tuh juara yang gagal.


Dengan naif, mari kita bandingin sama juara-juaranya American Idol. Kelly Clarkson, juara tahun 2003 ternyata sampek sekarang masih ngehit, malah bulan lalu baru sukses berkonser di Jakarta. Ruben Studdard, Clay Aiken, Carrie Underwood, dan David Cook, malah wara-wiri di Top 40, tanpa harus kasih tahu para pendengar radio bahwa mereka adalah juara American Idol.


Barangkali, kalau mau juara-juaranya Indonesian Idol itu jadi superstar sungguhan, manajemen Indonesian Idol yang kudu dibenahin.


Mbok dibikinlah supaya jawaranya itu manggung di acara-acara yang gengsinya tinggi, jangan mau penyanyinya nyanyi di acara ecek-ecek yang segmennya nggak ngerti musik.


Usahakan supaya masyarakat mengenal setiap penyanyi dengan nama mereka sendiri, misalnya, “Ini penyanyi X, yang lagunya Bla-bla-bla.” Jangan dibikin publik cuman inget bahwa, “Penyanyi X yang mana ya? Oh si X itu yang dulunya juara Indonesian Idol?” Ini malah cuman jadi acaranya yang ngetop, bukan juaranya.


Attitude penyanyinya mesti digembleng, mesti kayak superstar sungguhan yang jadi panutan masyarakat, jangan ada yang terlibat kekerasan dalam rumah tangga, atau pacaran sama cowok yang ngehamilin anak orang lain, atau pergi ke warung cuman pakai sandal jepit.


Dan, mestinya penyanyinya bisa nyanyi genre musik apa aja. Jangan cuman lagu pop melulu, atau lagu mellow melulu. Inget dulu Kelly Clarkson yang ngepop dipaksa nyanyi lagu swing dan David Cook yang ngerock dipaksa nyanyi lagu country? Kenapa nggak mencoba inovasi menyuruh Indonesian Idol nyanyi lagu keroncong?


Selain itu juga, karena yang menentukan juaranya Indonesian Idol adalah SMS penonton, maka penontonnya juga mesti ikutan dididik supaya ikutan menyaring penyanyi yang bener.


Coba tonjolin kegiatan para penyanyi yang sehari-harinya latihan pitch control melulu. Bukan malah meleset bikin para penyanyi jadi model dadakan buat iklan sampo. Supaya penonton tahu mana yang penyanyinya beneran bagus sehari-hari, bukan cakep doang.


Dan stop nyebutin asal daerah masing-masing orang. Apa gunanya nyebut, “Ini penyanyi X asal kota Padang.” Nanti dia malah susah dapet SMS dari orang-orang Balikpapan atau Manado. Padahal kan ini ajang Indonesian Idol, bukan ajang Melayu Idol?


Dan terakhir, coba cari juri-juri yang bermutu, bukan cuman demen bikin drama. Singkirkan juri yang cuman bisa bilang, “Kamu jelek.”, padahal dirinya sendiri belum bisa bikin penyanyi yang sama bagusnya. Kalau nggak bisa niru kualitasnya Simon Cowell, nggak usah maksa deh. Dan diva harus bisa dinilai oleh diva lagi. Diva sungguhan lho ya, bukan yang cuman emosional.


Duh, ternyata susah banget ya bikin penyanyi yang diidolakan seluruh Indonesia? Bikin acaranya susah, bahkan bikin jurinya pun juga ikutan susah..

Saturday, May 15, 2010

Label-label Sesat

Ada sebuah cerita menarik dari rumah sakit tempat dulu gw kerja magang sebagai koass. Unit gawat darurat dari rumah sakit itu dulu dibagi jadi empat ruangan, yaitu UGD Bedah, UGD Anak, UGD Interne, dan UGD Kebidanan. Nah, pasien yang dateng sering kebingungan mereka mesti dateng ke UGD yang mana. Maka diberdayakanlah satpam buat bantu pasien supaya nggak kesasar ke UGD yang “salah”. Para dokter menatar satpam begini, “Pak, kalau pasiennya orang kecelakaan, pergi ke UGD Bedah. Kalau pasiennya masih bayi, perginya ke UGD Anak. Kalau pasiennya cuman sesak napas, anterin ke UGD Interne. Terus, kalau pasiennya ibu-ibu yang mau melahirkan, bawa ke UGD Kebidanan.”

Gituan sih, satpam gampang-gampang aja ngertinya. Sambil merem juga bisa kan? Sampek suatu hari datenglah ibu-ibu hamil yang ketubannya pecah. Dia naik becak menuju rumah sakit. Dalam perjalanan ke rumah sakit, ternyata becaknya ditabrak mobil. Akibatnya si ibu jatuh dan luka-luka. Terus karena kesakitan, ternyata penyakit bengeknya si ibu kumat. Tiba di pintu UGD, satpamnya kebingungan, ini ibu mau dibawa ke ruangan UGD yang mana??

Berdasar cerita itu, kolega senior gw yang dokter spesialis pun ngajarin gw bahwa mestinya UGD itu jangan dikotak-kotakin. Kalau orang sakit dateng dengan empat masalah sekaligus, ya harus ditangani secara komprehensif oleh satu dokter pemimpin yang sama, jangan malah dilempar-lempar ke empat ruangan UGD sekaligus. Maka sejak itu, kebijakan di rumah sakit itu pun ganti. Setiap pasien cuman boleh ditangani oleh satu orang dokter di pintu depan, sampek stabil. Nanti kalau sudah stabil, baru dilihat masalah apa yang paling memberatkannya, setelah itu baru dikirim ke UGD yang lebih spesialistik. Jadi pasiennya dan satpamnya nggak akan kebingungan.

Cara mikir komprehensif itulah yang gw bawa aja ketika menulis sebuah blog. Makanya blog gw ini terkenal sebagai blog gado-gado, alias masalah apa aja bisa ditulis di sini. Urusan kedokteran. Urusan dugem. Urusan makan-makan. Asal yang penting gw menguasai topiknya, ya gw tulis suka-suka gw.

Maka itu yang bikin seorang penonton suatu hari pada beberapa bulan lalu mengeluh kepada gw. Katanya dia suka cara nulis gw, tapi dia “kesasar” lantaran nih blog nggak ada label-labelnya. (Kalau di Blogspot namanya “label”, sedangkan di Wordpress istilahnya “kategori”). Makanya penonton ini susah kalau mau baca tulisan-tulisan gw dengan fokus.

Terus terang aja, gw bingung gimana caranya ngelabelin tulisan-tulisan gw. Lha memang tulisan gw campur-aduk kan. Pada dasarnya gw memang nggak pernah fokus kalau gw ngomongin sesuatu. Misalnya beberapa hari lalu gw nulis “Boss yang Baik”, sepintas tulisan itu seperti mau ngutarain pendapat gw tentang masalah dunia karier, padahal sebenarnya tujuan gw mau bikin tulisan yang didedikasikan buat Sri Mulyani, cuman gw nggak mau kentara nuansa politiknya coz gw nggak mau dikira sebagai blogger politikus. Lalu waktu gw nulis “Kartu Liar di Ujian Nasional”, sebenarnya maksud gw tuh mau ngomentarin dunia pendidikan di Indonesia, cuman gw membungkusnya dengan informasi hiburan. Nah, nih tulisan mau dilabel-labelin ke mana, coba?

Plus, gw bukan tipe blogger yang mengkotak-kotakin tulisannya dalam rubrik a la koran, seperti politik, sosial-budaya, kesehatan, teknologi, dan sebagainya. Beuh..kesannya tuh jadi blog serius amat, dan itu bukan ciri khas gw. Prinsip gw, bungkuslah hal yang penting dengan gaya ngocol, supaya pemikiran-pemikiran gw yang “berat” bisa dipahami orang lain dengan ringan. Ada yang ngeh nggak seh, kalau kebanyakan tulisan di sini selalu diinspirasi oleh pengalaman gw (dan Anda) sehari-hari?

Gw tengok blogger-blogger lain, beberapa dari mereka ada yang melabeli tulisannya dengan orang-orang sekitar mereka. Ada label “me and him”, ini pasti maksudnya tentang dia dan pacarnya. Ada label “me and family”, ini pasti nyeritain suami/istrinya, anaknya, papi-maminya, dan sejenisnya. Ada label “me @ work”, ini pasti tentang cerita dia di kantor. Label-label gini juga nggak cocok kalau gw adopsi ke blog gw sendiri. Lha waktu gw nulis tentang Susno Duadji, itu bukan siapa-siapanya gw toh?

Ada juga blogger yang ciri khas tulisannya langsung bisa diklasifikasikan, yaitu tulisan serius dan tulisan becanda. Yang tulisan serius dia labelin “lagi bener”, yang tulisan becanda dia labelin “lagi ngaco”. Gw juga nggak bisa nyontek yang ini. Gw nggak pernah sungguh-sungguh serius tentang suatu hal, sama seperti gw nggak pernah main-main dengan hal itu. Gw juga nggak melabeli tulisan gw dengan nama-nama mood, misalnya “lagi sedih”, atau “lagi seneng”, atau “lagi be-te”. Gw adalah tipe orang yang berada di kedua kutub mood sekaligus.

Jadi, kali ini gw mau nanyain pendapat Anda. Apakah Anda melabeli tulisan-tulisan Anda? Kalau enggak, kenapa? Kalau iya, pakai label apa aja? Apa sih tujuan Anda melabeli tulisan itu?
Menurut Anda, blog gw ini perlu ada labelnya, nggak? Kalau iya, labelnya apa aja?

Satu lagi (biar pertanyaannya tambah susah, hihihi), menurut Anda, foto di atas tuh paling cocok dilabelin apa?
a. Lagi seneng
b. Lagi cantik
c. Lagi wisata kuliner
d. a, b, dan c benar

Friday, May 14, 2010

Cinta Bunda Seperti Penjara

Sewaktu kita jadi murid TK, kita dicekoki lagu “Kasih ibu kepada beta.. tak terhingga sepanjang masa.. bagai sang surya menyinari dunia..” dan kita semua percaya doktrinasi itu, mungkin sampai sekarang. Tapi sewaktu umur 15 tahun, gw dipaksa berhenti percaya itu, gara-gara gw baca berita di koran bahwa seorang ibu tega membunuh anak kandungnya sendiri yang berumur balita. Lepas dari kemungkinan bahwa si ibu itu sakit jiwa, berita itu cukup mengguncangkan gw karena gw terpaksa berpikir bahwa doktrin kasih ibu sepanjang jalan itu mungkin nggak absolut.

I was 15. Dan waktu itu tidak ada yang bisa gw ajak bicara tentang hal itu.

***

Sepupu gw mengeluh ke gw. Dos-q bilang ke gw bahwa dos-q ingin kembali ke “jalan yang benar”. Maksudnya dos-q kepingin kerja jadi insinyur di ladang, coz memang latar kuliahnya memang dari jurusan itu. Bukannya dos-q nggak suka kerjaannya yang sekarang (saat ini dos-q kerja di perusahaan pelapis ubin), hanya saja bidang itu bukan yang dos-q sukai.

Seorang temannya telah menawarinya pekerjaan di ladang minyak. Gaji oke, fasilitas oke. Posisinya di Cali. Tidak usah lama-lama di sana, toh setelah 2-3 tahun dos-q bisa dipromosikan buat pindah ke Jakarta untuk jenjang karier yang lebih tinggi. Sepupu gw suka lowongan itu, dan sebenarnya yang tinggal perlu dilakukannya hanyalah angkat koper. Tetapi dos-q nggak bisa pergi. Coz, nyokapnya nggak mengijinkannya pergi.

Bude gw itu sudah lansia, usianya sekitar 65-an. Sepupu gw itu disayang banget sama bude gw, soalnya sepupu gw itu anak laki-laki, bungsu pula. Masih ada ketiga anaknya yang lain yang tinggal di Jakarta itu juga, tapi sepupu gw yang paling sering dicariin bude gw. Malah yang suka bikin gw geli, bude gw itu suka nggak mau tidur kalau belum ngelonin sepupu gw. Demi Tuhan, batin gw. Sepupu gw itu umurnya sudah 30 tahun. Dan dos-q mulai bosen dikeloni.

Sebagai adek yang baik, maka gw pun berkata, “Pergi aja. Mas mau bahagia apa enggak? Kalo Mas lebih bahagia di ladang minyak itu, pergilah. 2-3 tahun apa bedanya? Aku dulu juga di Cali setahun, nggak ada rasanya (kelamaan) kok.”

Lalu kata sepupu gw, dos-q nggak bisa pergi kalau nggak ada restu bunda. Gw mendengus pasrah.

Gw kadang-kadang bingung kenapa anak begitu sulit menentukan jalan hidupnya sendiri. Padahal dia sudah mengajukan proposal yang tepat kepada orangtuanya, bahwa di tempat perantauan nanti, dia nggak akan kekurangan tempat tinggal dan akan sehat-sehat saja. Tapi orang tua begitu sulit mempercayai bahwa anaknya itu akan baik-baik saja tanpa pengawasan mereka. Padahal waktu usia 25 seharusnya anak sudah pantas keluar dari rumah orang tua mereka.

Memang ibunda boleh saja punya banyak alasan. Mungkin takut nanti anaknya sakit atau jadi buang-buang duit. Kata nyokap gw, laki-laki itu kalau nggak ada perempuannya (entah itu ibunya atau kekasihnya) pasti boros. Contoh kecil, kalau perempuan berhadapan dengan lombok, perempuan bisa mengulek lombok itu menjadi bumbu. Tapi kalau laki-laki, mereka akan buang lombok itu ke tempat sampah coz dianggapnya nggak berguna.

Dilihat dari sudut manapun, tinggal di Jakarta lebih enak daripada tinggal di Cali. Jakarta itu sumber uang dan sumber hiburan yang nggak pernah habis. Bandingkan dengan Cali yang isinya hutan dan teluk melulu. Sudah nyaman kan tinggal di Jakarta, kenapa harus pergi?

Tapi orang tua sering lupa, bahwa “zona nyaman” itu kadang-kadang bisa menghambat perkembangan anak-anak. Kita terpenjara di dalam kenyamanan, dan kita nggak tahu lagi rasanya kesulitan. Dampaknya, wawasan kita mengenai hidup jadi sempit. Gimana caranya kita tahu bahwa ada hidup yang lebih enak daripada hidup kita sekarang, kalau kita nggak pernah merasakan hidup yang lebih susah?

Lalu gw merenung. Apakah gw dan sepupu gw berpikir lebih baik pergi dari rumah bonyok karena kita masih anak-anak dan belum merasakan susahnya jadi orang tua? Mungkin kita yang belum merasakan kekuatiran mereka melepaskan anaknya pergi jauh? Ingat dulu bagaimana gw pergi dari Bandung buat merantau ke Cali selama setahun, dan gw berjingkrak-jingkrak di bandara sementara nyokap gw nangis karena takut gw kenapa-kenapa.

Tapi kalau kita nggak pernah jatuh, kita nggak akan pernah belajar. Dan mungkin, supaya anak rada pinteran dikit, orang tua yang harus rela melepaskan anak mereka.

Orang tua harus belajar memercayai kemampuan anak mereka. Coz, jika mereka nggak bisa memercayai darah daging didikan mereka sendiri, berarti akan susah buat para orang tua untuk memercayai diri mereka sendiri.

Gambar patungnya ngambil dari sini

Thursday, May 13, 2010

Boss yang Baik

Jika Anda jadi boss, lalu suatu ketika pegawai Anda bikin kesalahan yang cukup besar sampek bikin konsumennya ngamuk, apa yang akan Anda lakukan? Pasti rasanya stress berat, coz sebagai atasan kan Anda sudah banyak nyap-nyap kasih pengarahan ini-itu ke pegawai supaya jangan sampek bikin konsumen marah, tapi kok ya pegawai masih berbuat salah juga? Rasa-rasanya nggak ada yang lebih Anda kepinginin selain ngamukin pegawai lantaran kesalahannya sudah bikin perusahaan Anda merugi, entah itu rugi duit atau malah rugi kredibilitas. Gampang, turunin aja gaji pegawainya, kalau perlu pecat sekalian. Beres?

Itu kan masalah pengelolaan sumber daya manusianya. Bagaimana dengan pengelolaan konsumen, apakah itu akan menyelesaikan persoalan ngamuknya konsumen? Kita kan cemas karena kemarahan konsumen bisa bikin perusahaan merugi, lantas apakah menghukum pegawai yang bersalah bisa menjamin bahwa konsumen akan balik lagi buat memakai jasa perusahaan kita?

Gw sendiri nggak yakin. Anggap aja gw ngamuk sama sebuah salon gara-gara gw udah minta supaya gw di-creambath pakai krim stroberi tapi oleh si kapsternya malah di-creambath pakai krim lidah buaya, gw sama sekali nggak akan mau tahu apakah tuh kapster mau dipecat atau enggak. Jadi gimana sebaiknya usaha si salon supaya gw sudi buat creambath di tempat itu lagi?


Itu yang gw pikirin waktu gw baca koran kemaren, mengenai Sri Mulyani. Banyak orang yang merasa sayang Bu Ani harus pergi ke Washington dan nggak jadi menteri lagi. Lepas dari gonjang-ganjing Bank Century yang mojokin Bu Ani, banyak orang mengakui bahwa di bawah kepemimpinan Bu Ani, Kementerian Keuangan jauh lebih baik dari dulu-dulu. Bu Ani memang nggak segan-segan menindak bawahannya yang main kotor, tetapi Bu Ani juga nggak malu-malu buat minta maaf kepada publik atas ulah Gayus yang bikin malu se-Dirjen Pajak. Padahal kalau dipikir-pikir yah, yang salah kan bawahannya Den Gayus itu, tapi kenapa Bu Ani sebagai sang boss yang notabenenya nggak ikutan nilep pajak juga minta maaf?

Di sinilah kita mengerti bahwa tanggung jawab seorang atasan bukan cuman membimbing anak buahnya buat mencapai tujuan yang diharapkan dari organisasi itu, tetapi dia juga bertanggung jawab buat berupaya membalik reputasi organisasi yang sudah dijungkir habis oleh bawahan. Suatu perusahaan nggak bisa jatuh cuman gara-gara pegawainya bikin ulah jelek, tetapi perusahaan itu bisa jatuh kalau gagal meraih kembali kepercayaan konsumen. Dan minta maaf kepada konsumen yang merasa dirugikan, adalah usaha yang bisa dilakukan atasan untuk meminta kepercayaan konsumen kembali, lepas dari fakta bahwa atasan sama sekali tidak bersalah atas ulah pegawai tersebut.

Bahkan wakil pimpinan dari rumah sakit tempat gw bekerja dulu pernah bilang kepada kami para dokter bawahannya, “Saya selalu minta maaf kepada para pasien jika mereka tidak puas atas pelayanan kita. Minta maaf itu murah.” Membuat gw merasa malu atassifat low-profile-nya, coz gw tahu bahwa sebenarnya dos-q cuman duduk doang di kantornya, sementara kami yang berjibaku berhadapan dengan pasien-pasien ngamuk itu setiap hari dan kami suka lupa minta maaf sama pasien. Padahal, minta maaf itu bukan selalu berarti kita yang salah. Tetapi minta maaf adalah melihat ketidakpuasan orang lain dari sudut pandang yang berbeda. Dan dengan minta maaf, kita sudah jadi pemenang yang berada di atas angin atas kericuhan yang ada.

Gw nggak bisa komentar banyak mengenai peran Bu Ani dalam mengelola dana bail-out-nya Bank Century. Tapi gw memandang Bu Ani sebagai atasan dari Kementerian Keuangan, yang berani minta maaf kepada publik atas kesalahan bodoh yang dilakukan anak buah kecilnya. Itu yang bikin gw respek terhadap Bu Ani. Ma’am, you’re a good boss that they’ve ever had.



Gambarnya Ibu diambil dari sini

Wednesday, May 12, 2010

Jangan Sepelekan Tetangga!

Usahanya mungkin cuman kecil-kecilan, tapi ternyata bisa bikin geger tetangga kalau dari awal sudah nggak dikelola dengan benar. Itu yang terjadi ketika sebuah kafe di Bandung terpaksa ditutup gara-gara dianggap belum memiliki ijin usaha. Pasalnya dari awalnya pemilik tempat itu cuman ngajuin ijin galeri, bukan ijin kafe. Dan memang upayanya buat bikin kafe nggak terlalu besar, coz untuk mendirikan kafe itu dos-q cuman memanfaatkan teras dari bangunan yang berada di Jalan Banda itu.

Jika Anda bukan warga Bandung dan nggak tahu Jalan Banda, maka jangan bayangin teras bangunannya macam teras rumah tipe 56 atau tipe 112 BTN. Rumah-rumah di Jalan Banda rata-rata berdiri di tanah yang luas, dan penarikan pajak buminya tinggi banget lantaran daerah itu cocok banget buat aktivitas perdagangan. Jadi sebenarnya wajar aja kalau yang punya rumah di sana kepingin bikin kafe coz pengunjungnya biasanya bejibun. Tetapi akan jadi masalah besar kalau ternyata para tetangga sekitar rumah itu merasa bahwa keberadaan kafe itu “mengganggu lingkungan”. Dan sang pemilik kafe mengaku bahwa dos-q sudah berusaha membuka silaturahmi dengan warga sekitar, tapi belum sempat terlaksana.

Baca berita ini, gw jadi inget sama pengalaman di lingkungan tempat gw tinggal. Jadi gini ceritanya, gw tinggal di sebuah perumahan berupa jalan kecil yang terdiri atas sekitar 10-12 rumah aja. Perumahan itu tadinya tenang dan aman-damai aja, sampai suatu hari pada beberapa tahun yang lalu, tetangga gw yang janda tua meninggal. Anak dari ibu janda itu sudah menikah dan tinggal di luar kota, jadi karena rumah itu nggak ada yang ngejagain, maka separuh rumah itu diberdayakan jadi kost-kost-an mahasiswa, sedangkan separuhnya lagi disewain buat jadi kantor. Ternyata yang menyewa kantor-kantoran itu adalah seorang pengacara.

Konsekuensi dari pekerjaan pengacara tentu adalah akan banyak klien datang keluar-masuk ke kantor(-kantoran)-nya itu. Ternyata si pengacara menemukan bahwa kliennya butuh sambungan telepon. Tapi kan nggak mungkin minta sama Telkom buat bikin sambungan telepon anyar, padahal satu-satunya sambungan telepon yang sudah ada di rumah itu sudah dipakai buat telepon kost-kost-an. Maka sebagai solusi, dia pun memutuskan untuk membangun telepon umum berupa telepon koin, di pinggir jalan depan rumahnya. (Yupz, dia bisa bikin telepon umum. Dia kan pengacara.) Dan dia nggak konsul dulu sama para tetangga. (Ya iyalah, kan dia cuman penyewa separuh bangunan, bukan penghuni rumah itu.)

Ternyata, yang makai telepon koin umum itu nggak cuman klien-kliennya doang. Mulailah orang di luar kompleks superkecil itu tahu bahwa di jalan kami ada telepon umum, dan orang asing pun sering terpancing untuk ke kompleks kami cuman buat nelepon. Nampaknya orang lama-lama sering nongkrong nggak jelas di kompleks kami, dan mulai suka ngecengin rumah-rumah di situ. Lalu, satu per satu, rumah-rumah mulai kemalingan. Entah itu mobil digarong. Pintu rumah dicongkel. Pokoknya, nggak aman.

Waktu berlalu, dan rupa-rupanya sewa kantor oleh pengacara itu udah habis. Si pengacara pun pindah entah ke mana. Tapi telepon koinnya nggak ikutan dibawa pindah! Dan maling-maling makin merajalela. Gw yang sampek sekarang masih trauma, adalah pintu garasi rumah gw yang pernah dicongkel.

Untung para tetangga di perumahan kami kompak. Akhirnya seorang tetangga bikin petisi ke entah siapa, minta supaya tuh telepon umum nista dicabut aja. Jadi orang asing nggak punya alasan buat nongkrong nggak jelas di perumahan kami.

Kejadian itu bikin gw menarik pelajaran bahwa kita kalau mau bikin usaha tuh memang ijinnya harus dipikirin benar-benar. Sebetulnya esensi ijin usaha tuh bukan mau memeras-meras pajak, tapi karena dampak dari suatu usaha dipastikan akan mempengaruhi lingkungan sekitar. Misalnya kita buka praktek dokter, terus kalau kita didatengin pasien yang banyak, misalnya, nanti parkir mobil para pasien bisa menghalangi pagar rumah-rumah tetangga. Kalau kita buka kafe, musik yang kita pasang buat menghibur para konsumen, mungkin bisa bikin tetangga nggak bisa bobok siang. Kita buka motel-motelan, makin banyak tamu nginep, berarti makin banyak satpam yang mesti kita pekerjakan supaya tuh para tamu nggak sampek bikin bentrok sama tetangga. Memang kita maunya untung meraup penghasilan banyak, tapi kita nggak bisa mengatur-ngatur para konsumen pengunjung kita yang berbeda-beda adat, kelakuan, dan kadar kesopanan.

Oleh karena itu, penting sekali kita minta restu sama para tetangga, boleh nggak kita bikin usaha di rumah yang sudah jadi milik kita sendiri itu. Kalau tetangga nggak mufakat, ya jangan bikin. Karena sebaik-baiknya kita hidup bermasyarakat, janganlah kita jadi makhluk yang potensial gangguin orang lain.

Gambar tetangganya diambil dari sini

Tuesday, May 11, 2010

Kartu Liar di Ujian Nasional

Yuk kita main tebak-tebakan sebentar. Apa persamaannya Indonesian Idol dengan Ujian Nasional? Sama-sama bikin deg-degan. Sama-sama bikin begadang. Sama-sama instant. Dan..sama-sama ada wildcard.

Lho kok? UN kok ada wildcard-nya? Bukannya wildcard itu cuman ada di Indonesian Idol?


Ya sama aja menurut gw. Wildcard itu ada juga di UN. Cuman namanya bukan wildcard, tapi namanya..ujian ulangan.


Weekend lalu gw nonton siaran Indonesian Idol episode wildcard. Jadi begini nih, buat yang nggak ngerti cara mainnya Indonesian Idol. Dari audisi seluruh kota yang ada di Indonesia, kontestan-kontestannya diadu suruh nyanyi dan minta dukungan penonton via SMS. Siapa yang SMS-nya paling banyak, dia maju babak selanjutnya. Kalau tepat dapetnya SMS paling dikit, ya ditendang disuruh pulang.


Adapun orang-orang yang tadinya udah disuruh pulang, rupa-rupanya ditelaah ulang oleh juri. Delapan yang terbaik, dipanggil kembali buat masuk babak Wildcard. Nanti mereka disuruh nyanyi lagi, dan siapa yang paling banyak dapet SMS dari pemirsa, bolehlah dia masuk babak selanjutnya (biarpun tadinya sudah ditendang oleh penonton).


Gw mau komentar sedikit tentang babak Wildcard ini. Menurut gw, babak Wildcard ini nggak ada gunanya. Sudah berkali-kali Idol diadakan di banyak negara dan bikin juara baru, tapi gw nggak inget bahwa ada pemenang babak Wildcard yang berhasil menonjol di babak Spektakuler. (Mungkin pernah sih, yaitu Clay Aiken, yang akhirnya jadi juara 2 American Idol, tapi lainnya kayaknya enggak. Memang gw nggak menyangkal bahwa kadang-kadang ada aja kontestan yang bagus banget kualitasnya tapi kurang dapet SMS, tapi rata-rata penonton tuh nggak pernah bohong. Kalau penonton suka, mereka akan SMS. Tapi kalau penonton nggak suka, mereka nggak akan SMS biarpun mau pakai babak Wildcard sampek berkali-kali juga. Artinya, orang-orang Wildcard ini ya memang nggak bagus-bagus amat. Jadi menurut gw ya, babak Wildcard ini cuman buang-buang biaya aja, malah cenderung nggak adil buat para finalis non-wildcard.


Kenapa gw hubung-hubungkan ini dengan UN? Soalnya di UN ini ada ujian ulangan, di mana fungsinya adalah memberi kesempatan buat anak-anak yang punya nilai mata pelajaran di bawah standar kelulusan, untuk mengulang kembali ujiannya supaya boleh lulus dari sekolahnya. Sama aja kan dengan Wildcard? Malah nggak adil dong buat para murid yang udah lulus sungguhan tanpa ujian ulangan. Coba dipikir, lebih bagusan mana, lulus UN karena ujian satu kali, atau lulus UN karena sudah melewati ujian ulangan?


Kalau kelulusannya nggak bisa dibandingkan karena frekuensi kesempatannya berbeda, maka kualitasnya juga nggak bisa dipandang sama. Maaf ya buat para orang tua murid yang ujian ulangan, tapi gw juga pernah ujian akhir, dan gw pun jungkir balik belajar untuk itu. Dulu gw nggak ada ujian nasional, adanya Ebtanas, dan kalau gw nggak memenuhi standar kelulusan Ebtanas yang diharapkan oleh Depdiknas, maka gw harus mengulang satu tahun lagi di sekolah. Sama aja kan dampaknya? Dan dulu nggak ada tuh yang namanya ujian ulangan. Paling ada ujian susulan, itu hanya berlaku buat mereka yang sakit waktu hari H. Dan gw inget dulu gw dateng ke Ebtanas dalam keadaan flu berat.


Tentu saja gw nggak memungkiri bahwa pelaksanaan ujian nasional dan Indonesian Idol itu sendiri masih banyak cacat-celanya di banyak sisi. Sama-sama nggak adil. Nggak semua murid di Indonesia diajari silabus yang sama lengkapnya oleh gurunya. Nggak semua kontestan Idol dapet tukang make-up yang sama bagusnya. Nggak semua murid belajar di sekolah yang gedungnya megah dan atapnya nggak bocor. Nggak semua kontestan Idol disorot kamera banyak-banyak hanya karena kebetulan punya latar belakang korban kekerasan rumah tangga.


Jangan-jangan, mereka yang nggak lulus sungguhan dalam tiga hari ujian nasional itu sebenarnya rajin belajar, tapi gurunya ngajarinnya nggak lengkap? Jangan-jangan, orang-orang kontestan yang kekurangan SMS ini sebenarnya nyanyinya sebagus Kelly Clarkson, tapi dapet giliran tampilnya selalu nomer bontot sehingga kehilangan mood penonton yang udah bosan?


Biar saja wildcard cuman ada di kontes idol-idolan, dan ujian ulangan cuman ada di UN. Tapi ujian yang sesungguhnya datang setiap hari dalam hidup kita dalam bentuk masalah apapun, dan kita nggak bisa mengharapkan belas kasihan ataupun contekan kunci jawaban, atau pun bahkan minta wildcard atau ujian ulangan. Karena kalau kita nggak sanggup lulus dari ujian hari ini, maka kita nggak akan lulus untuk ujian besok. Tetapi kalau kita betulan bisa lulus dari ujian hari ini, maka berarti kita siap menanggung ujian yang lebih berat pada hari besok.


Gambar lembar jawabannya diambil dari sini