Wednesday, December 29, 2010

Bagasi Saya Hilang dan Ditemukan Lagi

Hari ini, saya naik Merpati Nusantara Airlines dari Bandung, dengan tujuan Surabaya. Penerbangan dimulai pada pukul 6.00 dari Bandara Husein Sastranegara di Bandung, dengan nomor penerbangan MZ 616, dan saya mendarat di Bandara Juanda Surabaya jam 7.00. Saya check in di counter bawa koper cokelat berukuran besar, seberat 16 kg, ukurannya sekitar 60 cm x 40 cm x 30 cm, dan koper saya dipasangi label bagasi.

Ketika saya mendarat di Juanda, saya menunggu di baggage claim di depan rel yang mengantarkan koper itu. Koper saya tidak ada.

Saat saya menulis blog ini, saya sedang mengklaim kehilangan koper saya di kantor Merpati di Juanda. Saya tidak bisa bergerak dari sini, coz saya tidak bisa melakukan pekerjaan saya di Surabaya selama koper saya belum ditemukan. Karena semua keperluan saya untuk bekerja ada di dalam situ. Koper saya berisi pakaian, bahan-bahan untuk mandi, kipas angin, dan buku-buku.

Mohon doa dari jemaah semua, supaya koper saya ditemukan.

Saya mempercayakan diri saya untuk terbang bersama koper saya di Merpati, karena saya menyangka mereka bisa menjaga koper yang saya titipkan dengan baik. Jadi sebaiknya mereka menemukan koper saya. Karena saya tahu, hanya mereka yang bisa membantu saya menemukan kembali koper yang sudah saya titipkan kepada mereka.

Sunday, December 26, 2010

Absen Doloo..

Sepanjang dua hari kemaren, saya ngiderin alamat e-mail orang-orang buat bilang selamat Natal. Ini kebiasaan saya semenjak kecil, bahkan sewaktu dulu belum ada e-mail dan saya masih ngirimin orang-orang kartu Natal dari Hallmark.

Nah, kemaren pas dateng ke fesbuk seorang temen buat bilang selamet Natal, tahu-tahu saya terhenyak. Ternyata wall-nya sudah penuh dengan berita-berita kematian teman saya. Saya kaget, owalah..pantesan akhir-akhir ini dia jarang nge-buzz saya di chatroom lagi. Temen saya itu, John Sinaga, staf kedutaan besar Amrik di Jakarta, sudah meninggal sebulan lalu, nampaknya karena sakit jantung.

Tahu nggak kenapa saya rajin ngiderin orang-orang buat bilang selamat Natal? Saya hanya mau ngabsen mereka, pastikan mereka masih hidup. Waktu dan jarak kadang-kadang sukses bikin kita putus hubungan sama teman, dan ketika kita akhirnya menemukan teman itu kembali, ternyata si teman itu sudah meninggal..

Jadi buat teman-teman yang Natalan tahun ini, saya mau bilang selamat Natal ya. Mudah-mudahan teman-teman sehat semua.

Oh ya, foto ini saya jepret dua hari lalu di @PvJBandung. Ceritanya di tengah mal ada patung Sinterklas. Lalu saya liat dua orang cewek pakai jilbab ini, mereka foto-fotoan di depan patung Sinterklas dengan riangnya. Buru-buru saya cabut HP saya dari tas, lalu saya jepret, klik! Ria Sugiarto benar kemaren dalam posting saya tiga hari yang lalu, Natal itu bukan cuman milik orang Nasrani. Orang-orang lainnya, bahkan yang pakai kerudung pun, ternyata juga menyukai Natal!

*Eh Vic, katanya lu kan kemaren turun ke mal untuk cari sepatu kets buat main badminton, kok malah jadi motretin orang gaya-gayaan di depan Sinterklas sih?*
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Friday, December 24, 2010

Ada Dufan di Malang

Tidak perlu jauh-jauh ke Jakarta kalau cuman kepingin liat taman ria. Itu komentar saya waktu dateng kemari. Batu Night Spectacular yang letaknya cuman 15 menit nyetir dari perbatasan kota Malang ke arah barat laut ini ternyata bisa jadi tempat pelesir yang ciamik buat masyarakat Jawa Timur. Nggak cuman tamannya yang penuh wahana-wahana asyik buat disatronin, tapi juga jadi tempat asyik buat sarana narsis alias foto-foto.

Batu Night Spectacular, atau yang penduduk lokalnya lebih demen menyingkatnya jadi BNS, umumnya masang wahana-wahana standar dari taman ria. Mulai dari roller coaster, rumah hantu, dan aneka kendaraan yang umumnya menantang adrenalin pengunjung. Saya tertarik dateng ke sini, coz saya kepingin liat potensi daerah Malang buat mendongkrak perekonomiannya. Dan ternyata BNS memang cukup keren buat jadi daya tarik Malang, khususnya buat Batu, kota kecil deket Malang yang jadi tempat berdirinya taman ria ini.

Namanya aja udah mengandung kata Night, maka BNS ini pantesnya ya didatengin malem-malem. Loketnya aja baru buka jam tiga sore. Lhoo..apa menariknya? Yaa..memang daya tariknya BNS ini dari lampu-lampu di tamannya yang kerlap-kerlip sentrong sana-sini. Salah satu site unggulannya adalah Taman Lampion, yaitu taman seluas sehektar yang penuh dengan macem-macem konstruksi dari lampion warna-warni. Ada konstruksi bentuk kurcacinya Putri Salju, ada konstruksi bentuk menara Eiffel, sampek konstruksi bentuk hati raksasa. Pendeknya, surga deh buat yang seneng foto-foto dengan pose alay bin centil.

Ada juga rumah hantu, yang cukup menarik buat orang yang seneng nembak-nembak boneka pakai lampu laser. Saya nggak cerita banyak-banyak ya perkara rumah hantu ini, kan udah saya beberin foto-fotonya di sini.

Bioskop tiga dimensi juga ada lho di sini. Filmnya ya seperti bioskop 3D umumnya, dibikin pake sudut pandang pelakunya, dengan kamera meliuk-liuk nggak keruan. Kursinya penonton ya goyang-goyang mengikuti filmnya, jadi nggak disarankan nonton buat emak-emak hamil yang bolak-balik kontraksi, atau buat anak kecil yang norak nggak mau pakai sabuk pengaman. Nanti jatuh, Sayaaang!

Sebenarnya saya kepingin nyoba wahana-wahana yang naik-turun banting-banting nggak keruan itu, tapi gara-gara saya ke sini dua bulan lalu bareng kakak saya yang rada fobia tempat tinggi, jadi dia nggak mau nemenin saya naik-naik itu. Pelajaran kecil, kalau mau ke taman ria, cobalah pergi dengan sesama penggemar roller coaster. Ada yang mau pergi sama saya? *wink wink*

Favorit saya dari BNS ini sih tempat ice-skating. Selain adem, juga mainnya asik. Sebenarnya lapangan esnya bukan pakai es seluruhnya lho, tapi pakai lilin, jadi nggak terlalu licin. Terakhir kali saya main ice skating adalah 14 tahun lalu waktu saya sekolah di Oz, jadi sekarang saya udah lupa caranya. Ternyata mbak-mbak yang jagain ice-skating di BNS ini sabar banget ngajarin saya, nggak sampek lima menit pun saya udah asik meluncur di sekeliling lapangan. Yang takut jatuh nggak usah ngeri kepeleset, coz kita dipasangin pelindung di lutut dan sikut. Eh ya, kalau ke sini jangan lupa bawa kaos kaki sendiri ya, soalnya kadang-kadang sepatu luncurnya bikin lecet.

Dan..mumpung saya lagi pakai kostum sipil dan nggak ada yang ngenalin saya, saya pun beraniin diri main rodeo. Caranya gini, kita naik ke patung banteng, terus patungnya goyang-goyang ngikutin irama musik tango. Kita disebut sukses kalau selama patung bantengnya goyang itu, kita nggak jatuh. Whoaa..saya nggak tahan lama-lama di atas banteng ngamuk itu, nggak butuh semenit buat saya terpelanting ke atas kasurnya yang empuk! Tapi entah kenapa, petugasnya membiarkan saya bayar satu kali tapi naik bantengnya tiga kali. Barangkali liat saya nggak becus naik banteng tapi semangat belajarnya tinggi, atau memang jarang-jarang ada pengunjung yang cantik sekaligus urat malunya udah putus kayak saya.. :p

Jadi kesimpulannya gimana ya? Lantaran saya tinggal di Bandung dan udah kenyang bolak-balik ke Dufan, maka mau nggak mau saya pun bandingin BNS dengan Dufan. Dufan kan sekarang tiketnya udah Rp 100k lebih, tapi itu sudah termasuk tiket terusan. Adapun di BNS nggak menganut sistem tiket terusan. Kalau ke BNS cukup bermodal minimal Rp 7k aja di hari Senen sampek Kamis, sudah bisa keliling-keliling seluruh taman, tapi tentu saja nggak naik apa-apa. Kalau mau naik wahana ya kudu bayar lagi, tarifnya antara Rp 7-20k per wahana, tergantung kadar kekerenan wahana yang bersangkutan.

Wahana ini sama sekali nggak cocok buat mereka yang jaim atau kepingin pacaran, tapi lebih cocok buat mereka yang seneng main gila-gilaan bareng temen-temen se-gank atau bareng keluarga. Syukur-syukur bawa anak kecil, coz menurut saya sebagian besar wahana lebih bernuansa kekanak-kanakan ketimbang mewah. Yang jelas, jangan pakai rok, apalagi sepatu hak tinggi keliling taman ria. Bisa mati pegel, tau..

Bagusan mana sama Dufan? Ah, pertanyaan sadis itu, hahaha.. Tapi cukuplah ini buat kalangan masyarakat Jawa Timur yang kepingin seneng-seneng tanpa harus perjalanan terlalu jauh. Yang jelas sih, saya kepingin ke sini lagi, apalagi karena developer-nya BNS udah janji bahwa setiap tahun akan ada empat wahana baru. Dan di seberang BNS ada Jatim Park yang belum sempat saya satronin juga. Ada yang kepingin ke Malang dan senang-senang di BNS? Ayuk, ayuk, ajak saya dong.. :)

Tuesday, December 21, 2010

Simbol Natal dan Protes Lebay

Sewaktu umur saya 15 tahun, guru fisika saya curhat di depan kelas saya. Dia bilang, kalau Lebaran, sekolah dikasih libur seminggu. Tapi kalau Natal, guru yang Nasrani cuman dikasih libur pas 25 Desember doang. Jadi guru saya, yang memang agamanya Protestan, merasa iri..

Guru saya ngomong gitu sambil ketawa, sehingga murid-murid sekelas ikutan ketawa juga. Tapi saya, saat itulah untuk pertama kalinya belajar, bahwa negara ini memang nggak bersikap adil terhadap golongan minoritas.

Oh ya, waktu itu saya sekolah di SMA negeri yang mayoritas murid dan gurunya muslim.

Saya sering mikir, kenapa Pemerintah kasih cuti Lebaran sampek seminggu, sedangkan cuti Natal aja nggak sampek tiga hari. Memangnya orang-orang yang Natalan nggak kepingin kumpul lama-lama sama keluarganya ya? Lalu kalau kayak gitu caranya, sekalian aja pas Nyepi dikasih cuti seminggu untuk orang-orang Hindu, dan ada cuti Waisak seminggu untuk orang-orang Budha. Adil toh? Jangan bilang itu nggak mungkin.

Saya bisa bayangin, penduduk Indonesia yang mayoritas muslim ini pasti ngamuk kalau cuti Lebaran cuman dikasih dua hari. Tapi dalam sejarah Indonesia, nggak ada ceritanya orang Kristen ngamuk kalau dikasih cuti Natal dua hari. Tanpa bermaksud kasar, memangnya didengerin ya?

Jadi, saya ketawa denger sebuah lembaga religius kemaren bilang bahwa simbol Natal dipasang berlebihan di tempat-tempat umum. Sayang berita itu nggak melansir definisi kata "berlebihan". Apanya yang lebay sih? Kalau nggak suka liat pohon Natal dipasang menjulang tinggi setinggi 30 meter di mal, ya nggak usah ke mal aja selama bulan Desember. Kalau pegawai toko yang pakai jilbab nggak mau disuruh pakai topi Sinterklas, ya nggak usah masuk kerja. Memangnya dengan mengagumi semarak Natal bisa merusak akidah ya? Kok kesannya mental religiusnya jadi nggak tahan godaan?

Saya suka ngeliat semarak warna merah, ijo, dan emas di mana-mana. Lagu Natal favorit saya adalah All I Want for Christmas is You-nya Mariah Carey. Dan saya juga seneng ciuman di bawah mistletoe. Tapi Natal tidak lantas mengubah saya menjadi seorang Kristen atau pun Katolik. Karena pandangan religius saya nggak bisa digeser cuman gara-gara simbol sebuah hari raya.

Jadi, sodara-sodara mayoritas yang nggak seneng liat simbol Natal, segel saja mulutmu dan berhentilah jadi orang lebay. Negara ini bukan cuman milik umat agama kalian sendiri, tahu. Biarkan orang lain merayakan hari rayanya dengan bersorak-sorai, toh mereka juga nggak pernah laporin anak-anak kalian yang main mercon saban kali habis taraweh. Kenapa kita nggak coba berkontribusi kreatif dengan bikin pohon Natal dari seribu ketupat? Selain buat dekorasi, toh bahannya bisa dimakan bersama-sama..

Terima Kasih buat Para Penolak

Apa yang kamu pikir adalah musibah, sesungguhnya itu adalah jalan Tuhan buat menggiring kamu ke keadaan yang lebih baik.

Semalam, saya nonton Asri Welas di talk show-nya Deddy Corbuzier. (Eh ya, ada yang bisa kasih tahu saya kenapa ilusionis bisa jadi pembawa acara bincang-bincang? Apakah ini pertanda ekspansi bakat entertainment si Deddy, atau memang dia sudah mulai nggak laku jadi tukang sulap?)

Jadi gini, semalam Asri cerita bahwa suatu ketika dos-q tuh udah pernah dikontrak buat jadi presenter suatu acara sebanyak 30 episode. Nah, di tengah jalan acara tahu-tahu Asri itu dikabarin kalau kontraknya dibatalkan oleh si produser. Menurut produsernya, suaranya Asri itu terlalu cempreng, nggak enak didenger. Dan kata produsernya, Asri nggak akan pernah jadi artis terkenal.

Asri sempat down waktu dikata-katain gitu. Tapi beberapa waktu kemudian, Asri diajak main di sinetron Suami-suami Takut Istri, dan seperti yang kita semua tahu, sinetron produksinya Anjasmara itu booming dan bikin Asri melesat jadi selebritis. Nggak cuman Asri akhirnya berhasil lepas dari image-nya sebagai emak-emak jawa yang bikin takut suaminya yang galak, tapi juga Asri sekarang punya acara sendiri yang bertemakan jalan-jalan. Sampek sekarang, pamor Asri kini bersinar terus biarpun sebenarnya tampangnya "biasa-biasa aja" dan suaranya memang cempreng.

Lalu dalam acaranya Deddy semalam, Asri berterima kasih kepada produser yang udah pernah mecat dos-q dengan semena-mena itu. Coz kalau dia tetap bertahan di acaranya yang lama, barangkali Asri nggak akan ganti produser dan mencapai kariernya yang cemerlang seperti sekarang.

Saya jadi terharu dengernya, coz saya rasa di sini kita bisa ambil pelajaran bahwa ditolak seseorang atau suatu perusahaan (katakanlah, misalnya rumah produksi) ternyata belum tentu musibah. Kalau Tuhan memang menggariskan kita masuk ke karier yang lebih baik, maka Dia akan mengeluarkan kita dari karier sebelumnya, meskipun dengan cara yang mungkin tidak kita inginkan (misalnya ditolak atau dipecat). Ingat akhir-akhir ini Irfan Bachdim lagi naik daun di tim nasional sepakbola kita, padahal siapa yang sangka kalau dia dulu pernah ditolak oleh Persija dan Persib hingga akhirnya Irfan mesti puas main di Persema. Nampaknya manajernya Persija dan manajernya Persib nggak melihat jeli bakatnya Irfan, sehingga butuh mata seorang pelatihnya Persema buat kasih tahu bahwa sebenarnya Irfan adalah asset sepakbola yang berharga. Tapi coba bayangkan kalau Irfan diterima di Persib, mungkin karier Irfan nggak akan sebagus sekarang dan dia akan terperangkap dalam manajemen morat-marit klub bola yang suporternya selalu bikin rusuh kota saya itu.

Kepada para tertolak, berterima kasihlah kepada para penolak. Coz jika para penolak itu dulu menerima kalian, barangkali kalian nggak akan berada pada kedudukan yang sebagus sekarang.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Friday, December 17, 2010

Jor-joran Peredaran Magnum

Korban iklan. Itu kesan saya saban kali denger orang bicara tentang Magnum. Dan ternyata saya juga korban iklan. Buktinya, saban kali saya masuk toko dan nemu lemari esnya Wall's, saya nggak bisa nahan diri buat nggak ngelirik ke dalamnya, nyari-nyari siapa tahu di dalamnya ada Magnum.

Kok bisa ya Magnum laris-manis, padahal kita semua tahu bahwa Magnum bukanlah barang baru? Saya sendiri udah ngincipin Magnum sekitar 10-15 tahun lalu, waktu saya masih nganggep Magnum sebagai barang mewah, coz saya cuman boleh malakin bokap saya Magnum kalau saya mau berkelakuan jadi anak baik (dan itu sangat jarang terjadi, hihihi.. :p). Temen saya, @ferrymalvinas, mencoba menganalisis ini di Twitter beberapa minggu lalu, dan dos-q mengijinkan saya mengutip hipotesa-hipotesa dummy-nya..

Pada dasarnya, ada dua macem konsumen untuk es krim. Yang pertama adalah konsumen yang cuman sudi beli barang murah, dan yang satu lagi adalah konsumen yang mau beli barang mahal. Lalu produsen es krim sendiri punya konsumen sasaran untuk itu, dan polanya gampang ditebak: Produk es krim yang cukup murah di pasaran adalah Campina, Diamond, dan hampir semua produk Wall's. Sedangkan es krim yang mahal antara lain Haagen Dazs dan Baskin Robbins.

Waktu itu, Wall's kepingin memperluas laba dengan bikin produk mahal juga. Maka dibikinlah Magnum. Cuman pada wangsa 10-15 tahun lalu itu, Magnum nggak terlalu ditonjolkan juga, setidaknya coz saat itu Wall's juga punya produk lain yang hampir sama mahalnya, yaitu Vienetta. Inget kan, jaman segitu jarang-jarang kita bisa nemu kue es krim?

Tahun ini, kita bisa membaca bahwa perekonomian memang lebih baik. Kendati penghasilan per kapita menurun, tapi nggak dipungkiri bahwa rasa seneng publik terhadap es krim nggak pernah berkurang. Malah, kini konsumen nggak cuman terdiri atas konsumen tajir dan konsumen yang cuman mau beli barang murah, tapi juga ada jenis konsumen lain, yaitu konsumen yang cukup berpenghasilan buat rela merogoh koceknya untuk beli es krim sekelas Haagen Dazs atau Baskin Robbins, tapi nggak mau sering-sering juga milih merk itu (karena mereka sadar, terus-terusan beli barang mahal ternyata nggak selalu bisa memuaskan batin). Nah, konsumen inilah yang dilirik Wall's dan dimanfaatin buat naikin profit. Ada dua produk Wall's yang kira-kira cocok buat konsumen ini: Vienneta dan Magnum. Masalah kecil: Vienneta mungkin punya kelemahan besar, coz kalau mau dimakan kudu dipotong pakai pisau, akibatnya nggak bisa dimakan sambil jalan-jalan. Alias, tidak praktis. Maka jadilah Magnum yang dipromosikan.

Gimana caranya supaya pemasarannya Magnum sukses? Pakai aja rumus sakti 4P: Product, Price, Promotion, Place.

Product: Magnum menggembar-gemborkan keunggulannya bahwa kandungan utama es krim ini adalah cokelat Belgia. Belum lagi Magnum konon punya macem-macem rasa, ada yang klasik, ada yang almond, dan rasa entah apa lagi.

Price: Dengan harga yang tetap di atas level "biasa-biasa aja", Magnum memberi kesan seolah-olah produknya itu "eksklusif". :p Dengan harga yang dibanderol ceban, praktis Magnum cuman punya satu saingan berat di level harga ini: Bazzoka-nya Campina.

Promotion: Ini gampang banget. Selain pasang iklan yang cukup berkelas juga, media jejaring sosial jadi sarana ampuh buat promosi gratis. Sebarkan via Facebook, dan kalau perlu bikin account Twitter khusus untuk "pemburu Magnum". Kenapa tidak?

Place: Magnum bisa menggaet konsumen-konsumen sok mahal yang disebut di atas, dan nggak perlu takut bersaing dengan Baskin Robbins dan Haagen Dazs. Kenapa? Coz Magnum dijual di counter-counter Wall's yang gampang banget ditemukan di mini market ecek-ecek deket rumah. Sedangkan Baskin dan Dazs? Kalau mau makan itu kan harus ke mal yang keren dulu..

Saya tergelak-gelak waktu baca ora-twit Ferry ini, dan langsung berniat nulisnya buat blog saya. Tapi saya nggak mau buru-buru waktu itu, coz saya baru mau nulisnya kalau saya udah ngincipin Magnum-nya sendiri. Dan ternyata nggak gampang mendapatkan Magnum.

Saya udah nyusurin super-supermarket yang ada di deket rumah saya di Bandung, tapi nggak pernah nemu Magnum. Pelayannya selalu jawab, Magnumnya abis. Dan ternyata nggak cuman saya yang selalu keabisan stok Magnum. Teman-teman di kota-kota lain di Indonesia ternyata juga mengeluh sering keabisan Magnum. Begitu seringnya Magnum diberitakan abis, sampek-sampek dibikin account Twitter sendiri bernama @MyMagnumID. Isi twit-nya? Membagi-bagi informasi di mana ditemukan toko yang jual Magnum. Hahaha..kurang kerjaan banget yah..

Sampek minggu ini, ketika saya udah mulai ngurusin sekolah baru saya di Surabaya. Nggak sengaja waktu saya mau beli pembalut di minimarket deket rumah paman saya, ternyata di sana saya malah nemu Magnum bertumpuk-tumpuk..

Dan setelah saya incipin sendiri es krim yang satu itu, entah karena mungkin saya nggak bisa bedain cokelat Belgia dengan cokelat Belanda, cokelat Swiss, cokelat Oz, atau cokelat entah mana lagi. Atau mungkin karena saya udah bisa bikin es krim sendiri. Atau karena saya udah bosen liat promosi yang jor-joran dan mulai curiga dengan stoknya yang cuman seuprit. Tapi menurut saya sih, rasanya Magnum itu..biasa ajah.

Mungkinkah, ini salah satu strategi Wall's supaya dagangannya melonjak laku? Sengaja bikin promosi yang terang-terangan di tivi sampek yang versi bawah tanah di internet, tetapi menahan stoknya sedikit-sedikit supaya kesannya Magnum itu cepet laris? Entahlah, saya cuman dokter, bukan ahli pemasaran. Mungkin Anda lebih ngerti ketimbang saya. Atau lebih enak lagi, mari kita tanyakan kepada Wall's yang bergoyang..
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Monday, December 13, 2010

Goyang Lidah dengan Tahu

Ini salah satu jajanan favorit turis kalau jalan-jalan ke Bandung. Yep, tahu! Saya juga nggak ngerti kenapa orang-orang mau antre ke Lembang sini demi beli tahu, tapi kenyataannya tempat ini nyaris selalu penuh di waktu weekend.

Ibu-ibu yang biasanya pakai tanktop dan celana capri biasa berjubel di depan kasir minta sekotak tahu yang dibanderol antara 5.000-an sampek 27.000-an, di mana mereka bisa dapet kotak berisi tahu sebanyak 10-50 biji. Servisnya cepet lho, dan pegawainya gesit semua ngambilin kotak-kotak tahu. Tapi kalo bapak-bapaknya biasanya nggak mau ngantre, mereka malah seneng nongkrong di warung pujasera buat jajan tahu yang langsung digoreng di tempat dan bisa dimakan panas-panas saat itu juga. Tahu diwadahin keranjang bambu, dan biasanya dikasih bonus cabe. Harganya tahu cukup Rp 800,-/buah.

Favorit saya akhir-akhir ini adalah tahu brintik, yang saat ini counter-nya bertebaran di mal-mal. Tahunya dipotong kecil-kecil seperti stik nugget, lalu digoreng, kemudian dicelupin bumbu dan digoreng lagi. Bumbunya macem-macem lho, bisa dipilih sesuai selera, ada rasa sapi, rasa tuna, rasa balado, dan entah apa lagi.

Saya sih senengnya tahu brintik keju disiram
mayonnaise, seperti yang saya pasang fotonya di sini. Haiyaa..makan beginian jadi mirip makan katsu yang suka dijual di kedai Jepang-Jepang-an yang suka ada di mal itu, malah jadi nggak inget kalau ini sebenarnya tahu, hehehe. Tapi pengemasan tahu ini masih terlalu sederhana, tahu cuman dijejer dalem kotak plastik, lalu disiram mayonnaise dan kotaknya tinggal dijepret di sekelilingnya. Jadi nggak cocok buat pembeli yang rada slebor dan bawa tahunya pulang, pasti mayonnaise dan saosnya mbleber ke mana-mana..

Wednesday, December 8, 2010

Karyaku Diakui Bukan Milikku

Ini curhat. Curhat yang sama sekali tidak menyenangkan.

Agustus tahun ini saya diajak kolega untuk membantu sebuah lembaga pendidikan di Bandung buat bikin textbook. Lembaga itu, yang terdiri atas beberapa dosen kaliber berat, kepingin nerbitin sebuah buku tentang hamil kembar. Cuman karena mereka dokter spesialis, tahu sendiri mereka sibuknya kayak apa, jadi mereka cari dokter-dokter umum untuk menulis buat mereka. Dan pilihan penulis rekrutan itu jatuh ke tangan saya.

Tugas saya gampang-gampang susah. Sebagai penulis, saya harus merangkum beberapa textbook bahasa linggis, ambil inti sari, lalu menulisnya kembali dalam bahasa Indonesia. Karena saya dokter umum yang pengetahuannya nggak spesialistik, maka tugas saya adalah memeriksakan tulisan saya tadi ke staf lembaga itu sebagai dokter spesialisnya, untuk mendapatkan koreksi. Sebagai penghargaan atas jerih payah saya, saya dibayar dengan tarif yang sudah disepakati.

Saya ngerjain buku itu mati-matian. Sampek-sampek kurang tidur segala. Termasuk blog saya terbengkalai (ingat semenjak bulan Agustus, Georgetterox jarang posting setiap hari?). Sebenarnya motivasi saya kerja bukan sekedar karena saya dibayar, tetapi karena yang saya kerjakan ini adalah textbook yang akan dipakai mahasiswa-mahasiswa kedokteran, sehingga reputasi saya sebagai penulis sangat dipertaruhkan. Saya mbayangkan kalau buku ini jelek tulisannya, pasti nama saya ikutan borok.

Buku itu ditargetkan selesai diedit bulan September, coz lembaga itu berniat me-launching buku itu bulan Oktober, dalam sebuah simposium nasional. Adalah susah ngerjain textbook setebal sekitar 100-an halaman hanya dalam enam minggu aja, tapi saya nggak pernah putus asa. Akhirnya buku itu selesai juga ditulis dan diedit, lalu saya dan teman-teman sesama penulis menyerahkan draft bukunya ke lembaga pendidikan yang menyewa kami, untuk diterbitkan. Buku itu, diberi judul Kehamilan Multifetus.

Saya sempat diberi tahu bahwa launching buku itu akan berlangsung dalam sebuah simposium di sebuah hotel di Bandung pada awal Oktober. Sayangnya saya nggak bisa dateng, coz selama Oktober saya tinggal di Surabaya untuk ujian masuk seleksi dokter spesialis.

Sebulan saya tinggal di Surabaya, saya nggak dengar kabar apapun tentang buku itu. Apakah buku itu dicari segmen pembaca yang diincar? Apakah hasil cetakannya sesuai dengan desain lay-out yang kami buat? Apakah pembaca senang dengan isinya? Saya ingin tahu, tapi tidak ada yang kasih tahu saya. Lembaga yang menyewa jasa saya tidak kasih komentar. Teman-teman saya yang sesama penulis buku itu juga nggak kasih kabar apa-apa.

Desember ini diawali minggu yang cerah. Ternyata saya lulus seleksi untuk masuk sekolah dokter kandungan di Surabaya. Dengan senang, saya memberi tahu staf lembaga yang menjadi supervisor kami ketika menulis buku itu. Sekalian saya mau ambil buku Kehamilan Multifetus yang telah digarap oleh saya dan teman-teman selama berminggu-minggu itu. Lha saya kan penulis buku itu, mosok saya nggak dapet eksemplar sih?

Saya pun menghubungi teman saya yang juga menulisi buku itu. Dia bilang dia belum mendapatkan bukunya juga coz buku itu ternyata baru di-launching weekend lalu. Rencana semula me-launching buku itu pada Oktober bergeser ke bulan Desember, coz simposiumnya sendiri juga ikut ditunda sampek awal Desember lalu.

Tadi siang, saya dateng ke lembaga itu buat ambil bukunya. Supervisor saya yang menyambut saya, langsung kasih saya eksemplarnya. Buku itu nampak menarik, praktis, ringan, padahal itu textbook lho. Dengan semangat saya membuka daftar nama penyusunnya. Dan mendadak saya merasa ada es meluncur dalam perut saya.

Nama saya, tidak ada di dalam daftar penyusun itu.

Daftar penyusun itu hanya terdiri atas nama-nama dosen yang tugasnya mengoreksi tulisan saya. Tapi nama saya, dan teman-teman sesama penulis, yang justru bekerja menyusun kalimat demi kalimat, alinea demi alinea, tidak disebut sama sekali dalam buku itu.

Saya pun bertanya ke supervisor saya, kenapa kok nama kami nggak ada. Supervisor itu nampak sangat kaget, coz menurut sepengetahuannya, sewaktu draft buku itu ditetapkan, nama saya dan teman-teman penulis masih ada.

Supervisor saya mencoba menyelidiki. Ternyata, setelah penetapan draft buku itu, ada lagi "penetapan" yang lain di mana supervisor saya nggak hadir. Dalam "penetapan" itu, seorang staf lembaga protes coz nama penulis non-lembaga itu dimasukkan ke daftar penyusun, padahal penulis tersebut (dalam hal ini saya dan teman-teman penulis) sudah dibayar dari awal untuk menulis naskahnya. Jika nama saya dan teman-teman penulis dimasukkan ke daftar penyusun, dikuatirkan kami akan kecipratan royalti, coz memang hukum mewajibkan royalti harus diberikan ke semua orang dalam daftar penyusun. Nama saya dan teman-teman dihapus, coz kami kan bukan staf lembaga, melainkan hanya penulis yang disewa untuk menulis "atas nama" lembaga itu. Adapun uang jasa nulis yang dulu diberikan ke saya dan teman-teman, dianggap sebagai uang untuk "membeli" hak cipta kami...

Saya nyaris ketawa dalam hati membayangkan ada orang berupaya menghalang-halangi saya dapet royalti. Padahal saya nggak ngurusin royaltinya, saya lebih peduli bahwa saya telah menulis naskah untuk separuh buku itu dan mereka serta-merta membuang nama saya begitu saja dari daftar penyusun. Tahu nggak, padahal kalau nama saya tetap ada di situ, saya bisa pakai buku itu sebagai portofolio karya ilmiah jika suatu hari nanti saya ingin dipromosikan jadi doktor atau profesor. Pengakuan nama saya lebih penting ketimbang segepok duit, kok tega-tega banget mereka ngaku buku itu karya mereka padahal saya yang nulisinnya?

Ya nggak salah sih, staf-staf lembaga itu juga memang ikutan ngedit. Tapi kan saya juga ikutan berkontribusi mengarang banyak sekali, kok enak banget nama saya dihapus pada saat-saat terakhir menjelang bukunya naik cetak?

Nggak cuman nama saya dan teman-teman penulis yang dihapus. Tapi juga nama beberapa orang lain seperti lay-outer, desainer cover, dan ilustrator. Tak ada pengakuan atas nama orang-orang itu, padahal karya mereka bertebaran di buku itu.

Sudah telanjur, buku Kehamilan Multifetus itu kadung di-launching. Sudah disebarkan ke banyak orang, dan takkan ada yang tahu bahwa ada orang-orang selain staf lembaga itu yang justru berperan banyak agar buku itu bisa tersusun cantik seperti itu. Di halaman dua buku itu hanya tertulis bahwa buku itu ditulis oleh staf-staf lembaga saja, sedangkan desain lay-out oleh penerbitnya. Bah, jelas-jelas saya tahu persis yang bikin lay-out-nya bukan mereka. Dan ini cuman gara-gara ketakutan akan risiko royalti yang mesti dibagi-bagi.

Saya bisa bilang ke orang-orang bahwa saya ikutan nulis buku itu, dan saya bisa bayangkan bahwa saya akan dikira membual. Tapi saya nggak berniat lupa bahwa saya pernah menulis textbook dan saya ingin merekam memori prestasi kecil itu baik-baik. Maka saya menulis curhat ini, untuk pelajaran buat saya dan buat orang-orang penulis seperti saya. Menulislah. Publikasikanlah. Dan jangan pernah biarkan lagi orang lain mengaku-ngaku karyamu sebagai hak miliknya.

Wednesday, December 1, 2010

Imaginary

Aku menatap langit-langit kamarku. “Apa Dia bercanda lagi?”

“Kapan terakhir kali Dia bercanda kepada kamu?”

“Aku ngga inget,” aku ketawa lirih. “Dia sering begitu. Berulang kali perasaanku membubung tinggi, sampek aku merasa sudah menang. Lalu tau-tau Dia hempaskan aku sampek ke paling bawah, dan ternyata aku gagal. Aku takut yang Dia kasih itu perasaan optimis palsu.”

“Jadi yang sekarang ini bukan optimis sungguhan?”

“Well..” aku berusaha cari-cari kata yang tepat. “Aku cuman berusaha tidak terlalu senang. Takutnya nanti kalau ternyata bukan kesenangan yang aku dapet, aku bisa sedih setengah mati.”

Ia tersenyum dan menepuk-nepuk bahuku. “Kalau yang sekarang ini senang sungguhan, kau mau terima, nggak?”

“Uh..” aku menelan ludah berulang-ulang. “Aku senang sih. Tapi aku takut juga.”

“Lho? Takut kenapa? Bukankah selama ini yang kau inginkan? Yang kauminta kepada-Nya setiap sepertiga malam seperti menyanyi Indonesia Raya? Doamu begitu terus setiap hari, jangan-jangan kau tidak punya doa yang lain.”

“Aku tidak punya doa yang lain coz aku memang tidak punya keinginan yang lain!”

“Ya sudah, sekarang Dia kabulkan keinginanmu itu. Kenapa kau harus takut?”

“Karena kalau aku terima berarti aku pergi selamanya.”

“Ah, jangan berlebihan. Kau cuman disuruh pergi ke timur.”

“Ya, tapi aku ninggalin rumah,” kataku bergidik ngeri. “Berarti aku resmi hidup sendirian. Bertahan hidup sendiri. Sebatang kara. Kalau aku kepingin jalan-jalan dan dugem gimana?”

“Makanya di timur kau mulai bikin jaringan teman baru. Buat makan-makan, buat spa, buat belanja textbook..”

“Gimana kalau Mom atau Pops sakit? Siapa yang nentuin obat buat mereka?”

“Tenang saja. Dia akan jaga mereka selama kau ngga ada.”

Mataku mulai berkaca-kaca. “Kenapa Dia suruh aku pergi? Kenapa tidak Dia biarkan aku sekolah di barat aja seperti Dia ijinkan teman-temanku yang lain menjaga orangtua mereka?”

“Vicky,” dia berusaha bijak. “Dia yang menciptakan kalian, jadi Dia yang tahu apa yang terbaik buat setiap makhluk-Nya. Sekarang siapa yang bilang sama kau bahwa sekolah di rumah sendiri itu sekolah yang terbaik buatmu? Apa kau bisa jamin budaya sekolah di situ compatible dengan semangatmu yang meluap-luap? Apakah kau pikir lulus dari situ kau tetap manusia, bukan robot? Yang lebih penting lagi, apakah sekolah di situ akan bikin kau bahagia?”

“Well, setidaknya kan aku tetap tinggal di rumah..” suaraku mengecil, menyadari aku meragukan ideku sendiri.

“Dan kau pikir tinggal di rumah itu adalah yang terbaik?”

Aku bergeming.

“Kadang-kadang, untuk mencapai apa yang selama ini kita impi-impikan, kita memang harus berani melangkah keluar dari halaman rumah kita.”

Aku menoleh. “Kenapa baru sekarang? Kenapa nggak Dia kasih dari dulu-dulu? Dia suruh aku muter-muter dulu, ke Cimohai, ke Cali.. Mandi textbook tiap hari. Menghadapi tiang gantungan berkali-kali, dan bolak-balik aku digantung sampek leherku nyaris putus, sampek aku kecapekan sendiri mengejar impianku. Aku capek menunggu, rasanya seperti nungguin bisul yang mau pecah..”

Ia tersenyum. “Aku juga ngga tahu. Mungkin Dia menyuruhmu belajar sesuatu sebelum kau boleh betul-betul mendapatkan hadiahmu.”

“Belajar menghadapi realitas bahwa dokter kadang-kadang dihambat oleh birokrasi busuk?” tanyaku sinis.

“Yeah, salah satunya itu.”

“Kenapa Dia kasih aku yang susah, sedangkan teman-temanku dikasih yang gampang?”

“Teman-temanmu dikasih gampang apanya? Kolusi dan nepotisme itu sama dengan gali lobang sendiri. Kau lihat sekarang, korban-korban sudah mulai berjatuhan. Tapi kau ngotot masuk pakai jalur jujur.”

“Karena hatiku tersiksa kalau tidak jujur,” kataku getir. “Aku tidak bohong. Kadang-kadang jujur itu malah mengucilkan aku. Dan tidak berarti aku ngga pernah meneteskan air mata hanya karena aku milih jalur yang jujur.”

“Dan sekarang Dia menunaikan janji-Nya kan? Dia kasih kau hadiah yang terbaik, di tempat terbaik, yang cocok buat prinsipmu itu. Meskipun kau harus menunggu lama buat dapet ini. Tapi kau sudah dapet lebih banyak dari yang kau inginkan dalam empat tahun ini.”

Aku nyengir. “Yeah. Aku lihat tempat-tempat eksotis. Aku lihat dunia lain. Dan aku dapet pacar yang cinta setengah mati padaku. Mungkin kalau aku sekolah di rumah sendiri tiga tahun lalu, aku nggak akan pernah dapet itu semua.”

“Well, rejeki Tuhan memang nggak pernah bisa kita sangka-sangka, kan?” Ia mengerling. “Coba kau jawab lagi, kenapa kau ingin sekolah dokter kandungan?”

“Karena,” kataku. “Ketika kita menolong perempuan, sesungguhnya kita tidak cuma menolong dirinya saja, tapi juga menolong anak-anaknya, dan bahkan mungkin menolong suaminya. Dengan demikian, jika aku diijinkan jadi ginekolog, aku akan punya kesempatan tidak hanya menolong satu orang pasien saja, tapi mungkin menolong satu keluarga, dan bahkan mungkin satu generasi.”

Ia mengangguk-ngangguk. “Yeah, dan sekarang Tuhan kasih kau kesempatan untuk belajar menjadi ginekolog. Kau sudah menang, Vic. Bisulnya sudah pecah.”

Aku tersenyum, menarik selimutku sampek ke bahu, lalu mencium bantal dan tertidur bahagia..