Friday, January 28, 2011

Tutup pada Siang Bolong?

Saya sibuk, tau nggak. Waktu saya nggak banyak. Jadi kalau saya sampek bisa menyempatkan diri buat dateng ke sini, itu sudah untung. Tapi kenapa sampeyan tutup pada jam 12 siang? Kan sampeyan ini tempat pelayanan umum, ya mesti buka jam kerja dong. Iya, saya tahu sampeyan kepingin ma'em siang, tapi ya mosok satu kantor pegawainya ma'em siang semua pada jam yang sama? Kan bisa 2-3 orang ma'em, sisa yang lain-lainnya jaga gawang. Nanti ma'emnya kan bisa gantian? Itu namanya efisiensi waktu.

Kalau kayak gini, gimana nasib orang-orang yang waktunya sedikit kayak saya? Yang cuman punya waktu luang jam 12 dan jam 1 siang harus sudah kerja lagi? Saya jadi nggak bisa terlayani dong? Memangnya jadwal saya hari ini cuman nyamperin sampeyan thok? Saya hari ini banyak banget kerjaan, tauk.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Tuesday, January 18, 2011

Ada Apa dengan Menyilangkan Kaki?

Suatu hari kolega saya ujian lisan dengan dosennya. Mereka duduk berhadapan, dan di antara mereka ada meja tulisnya si dosen.
Sebelum ujian lisan mulai, dosennya tiba-tiba bilang, "Tolong turunkan kakimu. Tidak sopan."

Kolega saya kaget, lalu buru-buru nurunin kakinya. (Dia memang tadinya duduk dengan sebelah kaki disilang di atas kaki satunya.) Dia kaget, soalnya kan di antara mereka tuh ada meja tulis yang cukup tinggi, tapi kok dosennya tahu ya dia duduk nyilangin kaki?

Tapi saya yang diceritain itu, lebih heran lagi. Lho, memangnya duduk nyilangin sebelah kaki itu nggak sopan ya?

Hari ini, saya dapet kuliah berjudul Perilaku Sakit. Dosen saya menerangkan di mimbar hari ini, bahwa sebaiknya kalau dokter lagi menghadapi pasien di klinik, ada beberapa sikap tubuh yang harus dihindari:
1. Jangan duduk sambil nyender ke kursi, apalagi sambil kaki selonjoran.
2. Jangan ngomong sama pasien, sementara tangan kita malah sibuk mbetulin kancing baju kita.
3. Jangan melipat tangan di depan dada.

Semua sikap di atas seolah nunjukin kita nggak memperhatikan orang (pasien) yang lagi kita ajak ngomong. Saya ngerti itu. Tapi ada butir berikutnya lagi yang saya bingung.

4. Jangan mengangkat sebelah kaki. Kesannya meremehkan.

Eh, iya gitu?

Gimana, Sodara-sodara Jemaah? Apakah menurut Anda, duduk sambil menyilangkan sebelah kaki itu nggak sopan?
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Saturday, January 1, 2011

Membagi Bahagia

Ada dua hal yang paling hype pada waktu Tahun Baru, yaitu kembang api dan terompet. Dan saya nggak suka dua-duanya. Kembang api memang bagus, tapi suara ledakannya bisa bikin telinga rusak. Terompet juga nggak saya sukai, dan alasan kenapa saya nggak seneng terompet pernah saya tulis di sini.

Jadi beberapa hari lalu, saya dimintain tolong kolega yang mau bikin acara tahun baru. Mereka minta bala bantuan saya buat nyediain kipas angin dan terompet.

Saya bisa minjemin kipas angin, tapi saya nggak ngerti gimana mereka mau minta disediain terompet. Kok sudah umur gede gini masih mau niup terompet, bukankah terompet itu mainan anak-anak?

Tapi kolega itu minta tolong saya dan saya akhirnya mau bantuin. Persoalannya sekarang, saya mau beli terompetnya gimana? Saya dimintain buat beli terompet 10 biji, tapi anggarannya terbatas.

Sambil bingung, saya pun jalan-jalan di pasar deket apartemen saya. Eyalaa..di tengah pasar saya lihat ada bapak-bapak jualan terompet. Bentuknya lurus, warnanya emas mencrang bin gonjreng. Setelah tawar-menawar, akhirnya saya mutusin beli terompetnya bapak-bapak itu, 10 biji.

Saya bukannya nggak malu bawa pulang terompet-terompet itu. 10 biji, bo! Dan saya pun bawa terompet-terompet itu sambil jalan kaki ke apartemen saya. Dasar yang saya lewatin kan pasar, sepanjang saya jalan, ada aja orang neriak-neriakin saya dalam bahasa Jawa.
"Owalah, Mbaak, ndak kurang banyak tho Mbak, terompetnyaa?"
"Haa..Mbaknya ayu-ayu mau tahun baruan di manaa?"
"Terompet, terompet, terompeeet!"

Ya ampun, untung pembawaan saya rada gaya dikit. Kalau enggak, saya serasa dikira pedagang terompet deeh.. :p

Kemaren, saya sodorin ke kolega saya, kipas angin dan terompet-terompet itu. Kolega saya pesen, nanti kalau pestanya udah selesai, saya boleh ambil barang-barang yang saya pinjemin.

Maka, semalem, saya merayakan tahun baruan bareng geng sambil lihat kembang api di Surabaya. Nggak ada yang istimewa sih, buat saya Tahun Baru itu ya biasa-biasa aja, tapi saya cuman seneng jalan-jalan sama temen aja.

Lalu datenglah pesen dari kolega saya. Katanya, pestanya sudah selesai. Maka saya dan teman pun cabut ke rumah sakit tempat pesta tahun baru itu kelar digelar.

Ketika saya masuk ke rumah sakit, saya menjumpai pemandangan yang jarang banget saya lihat di siang hari. Koridor-koridor rumah sakit penuh dengan keluarga-keluarga penunggu pasien yang diopname di situ. Keluarga-keluarga itu tidur di koridor, dengan beralaskan tikar, lengkap dengan berbekal selimut dan termos air panas. Perawat kan nggak ngijinin pasien opname ditungguin keluarganya banyak-banyak di kamarnya, jadi sisa keluarga yang rumahnya terlalu jauh pun berkemah di koridor rumah sakit.

Nampaknya saya berjalan di koridor itu bikin mereka terbangun, coz saya merasa beberapa pasang mata melirik saya ketika saya jalan ke blok rumah sakit tempat kolega saya menunggu saya.

Ternyata kolega saya nggak cuman balikin kipas angin saya. Tapi terompetnya juga ikutan dibalikin! Nggak ke-10-nya sih, cuman tinggal empat biji, tapi saya nyaris ketawa dalam hati. Halah, siapa juga sih yang mau pakai lagi tuh terompet, toh saya dan teman nggak seneng niup terompet kan?

Saya ngambil kipas angin, sedangkan teman saya ngambil terompet-terompetnya. Teman saya buru-buru jalan duluan via koridor itu, sementara saya jalan di belakangnya. Lalu saya dengar ada keluarga pasien yang lagi tiduran di koridor itu sembari ngeliatin kami jalan, tahu-tahu ngomong, "Whoaa..terompetnya!" Memang dasar tuh terompet warnanya gonjreng abis, jadi menarik perhatian.

Tapi mendadak saya terpikir sesuatu. Saya berhenti, dan menoleh ke bapak yang barusan berkomentar itu. "Pak? Bapak mau terompet?"

Si Bapak terhenyak. "Ada, Mbak?" Saya mendengar nada terkejut di suaranya, sekaligus pengharapan.

Saya mengernyit. "Bapak mau terompet?" Saya nanya lagi.

Si Bapak: "Ada?"

"Tunggu sebentar," kata saya. Lalu saya lari dan nyusul teman saya.

Beberapa saat kemudian, saya balik ke koridor itu sambil bawa keempat terompet itu. Ternyata si bapak (dan istrinya!) sudah bangun dari tikarnya menyusul saya..

"Ini, Pak, buat Bapak aja semuanya!" kata saya menyodorkan terompet-terompet dari kertas emas itu.

Saya nggak menduga, suami-istri penunggu pasien itu nampak berseri-seri. "Terima kasih, Mbak! Suwun!"

"Selamat tahun baru, Pak! Selamat tahun baru, Bu!" saya melambaikan tangan, dan buru-buru minggat menyusul teman saya.

"Selamat tahun baru, Mbak!" saya dengar mereka teriak di belakang punggung saya.

***

Kadang-kadang saya lupa, betapa hal-hal kecil bisa bikin orang lain senang. Buat saya, terompet kertas mungkin nggak ada artinya. Tapi mungkin buat orang lain, barangkali terompet itu hiburan yang sangat membahagiakan, apalagi buat orang yang cuman bisa menunggui keluarganya yang lagi diopname dengan cara tidur di koridor rumah sakit. Entah mau diapakan terompet-terompet itu oleh suami-istri itu, mungkin mau mereka kasih sebagai hadiah kejutan buat anak mereka yang bangun besok paginya. Atau mungkin mau mereka tiup-tiup sebagai tanda eforia menyambut tahun baru. Terompet yang selama ini saya sepelekan, ternyata adalah benda sederhana yang bisa bikin orang lain senang setengah mati.

Ya Tuhan, mudah-mudahan meniup terompet itu nggak bikin mereka ditangkep satpam rumah sakit. Kalau sampek suara terompet itu mengganggu pasien yang lagi dirawat, bisa repot mereka nanti..

Gambarnya diambil dari http://koranbaran.wordpress.com

http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com