Tuesday, February 22, 2011

Istrinya Teman

"Vicky, gw mau kawin," ucap seorang teman pada saya tahun lalu, dalam sebuah pesan yang dia kirimkan di Facebook.

Saya balas, "Hm? Lu mau kawin? Siapa cewek yang sial dapet lu itu, Lin?"

Colin, 28, bukan nama sebenarnya, temen saya itu, ngegaplok saya di Facebook. (Eh, gimana ya caranya ngegaplok di Facebook ya? Yang pasti bukan pakai "poke" :p) "Siyalan lu, Vic! Udah ah, pokoke dateng ya! Ntar gw kirimin undangannya ke rumah elu! Rumah elu masih di tempat yang dulu kan?"

Singkat cerita, memang bener Colin kirim undangannya ke rumah saya. Undangan cetak lho, bukan undangan basa-basi pakai SMS apalagi undangan massal via Facebook. Saya ketawa geli. Jujur aja, kalau Colin nggak pasang fotonya di Facebook, mungkin saya udah lupa tampangnya Colin. Lha terakhir kali saya ketemu Colin adalah 10 tahun lalu, bo'..

Oiya, nyokapnya Colin sampek bela-belain nelfon nyokap saya demi minta nyokap saya dateng. Sudahkah saya ceritakan bahwa saya dan Colin sudah temenan semenjak SD? Nggak heran nyokap-nyokap kami sama-sama tahu kami berdua semenjak ingusan. (Eh, saya udah nggak ingusan lho waktu kecil..)

Jadi pergilah saya dan nyokap ke kondangannya itu, suatu malam di bulan Desember. Tamunya banyak sekali, dan pestanya super duper meriah. Tapi ketika saya dan nyokap naik ke podium buat nyalamin penganten, mempelai prianya kontan teriak, "VICKY!"

Saya nyengir, dan seketika saya ngulurin tangan, dan mendadak memeluk Colin lalu mencium kedua pipinya. Ya know, sungguh menyenangkan lihat teman kecil saya, yang terakhir kali ketemu saya 10 tahun lalu, dan sekarang mengundang saya ke pernikahannya, dan tetap mengenali saya biarpun tampang saya kan mestinya udah berubah dalam 10 tahun.

Lalu saya menyalami istrinya Colin yang baru itu. Sudah, saya turun dari pelaminan.

Baru seminggu kemudian, nyokap saya negor saya, "Koen waktu itu nyium Colin kan?"

"Uhh, yeah," mendadak saya agak malu. Sebentar lagi saya pasti akan ditegor karena nyium pria yang bukan sodara saya.

Tapi ternyata saya salah. "Mestinya kalo koen nyium Colin, koen juga mesti nyium istrinya sekalian."

Saya terkejut. "Eh..tapi kan aku nggak kenal bininya itu? Kenapa aku harus cium orang yang nggak pernah aku kenal?" Colin memang nggak pernah memperkenalkan pacarnya kepada saya.

"Ya," kata nyokap saya. "Tapi memang begitu sopan-santunnya. Kalau kita memang bersikap akrab sama suaminya, sebaiknya kita juga bersikap sama kepada istrinya."

Saya terdiam. Saya nggak ngerti apa yang dimaksud nyokap saya itu. Buat saya, urusan "teman" itu saklek. Saya bisa mendefinisikan persis mana itu teman, mana yang bukan teman. Dan itu membedakan kadar kesokakraban saya kepada orang. Contohnya ya urusan cium-mencium itu.

***

Sampek akhir-akhir ini, saya dengerin curhat seorang teman pria. Dia mengeluh, bagaimana istrinya protes lantaran temen saya jarang ada di rumah. Kami kan dokter, ya praktis waktu kami lebih banyak untuk urusan rumah sakit ketimbang urusan keluarga. Saya bilang, mungkin si Ibu mengeluh karena dia tidak bisa membayangkan sesibuk apa suaminya di rumah sakit. Mestinya si Ibu sekali-kali dibawa ke rumah sakit supaya dia tahu apa yang dikerjakan si Bapak.

Ternyata itu jadi kendala. Kata teman saya, istrinya belum bisa beradaptasi dengan urusan kantor kami. Penyebabnya, yah..mungkin, karena istrinya belum kenal dengan teman-teman suaminya.

Perlahan-lahan, saya mulai ngerti apa yang dibilang nyokap saya beberapa bulan lalu itu. Laki-laki kadang-kadang punya peran ganda, dia harus jadi kuli di kantor, dia harus jadi kekasih untuk istri (atau mungkin pacarnya). Kadang-kadang harus ada yang dikorbankan, dan seringkali yang dikorbankan adalah peran yang nomer dua. Nggak heran banyak para istri yang cemburu. Termasuk juga, mungkin benar tindakan saya yang kegirangan ketemu Colin yang sudah lama nggak ketemu saya itu sehingga mencium Colin, membuat istri Colin cemburu. Apalagi kan saya melakukannya di pelaminan mereka, hihihi..

Saya rasa, kita semua memang mesti belajar jaga perasaan para kekasih dari teman-teman kita, termasuk juga ngertiin kelakuan para teman dari kekasih kita. Hendaknya kalau teman kita punya istri atau pacar, ya kita mesti kenal sama para WAGs itu. Dan kalau kekasih kita punya teman, mestinya kita kenal teman-temannya juga supaya kita tahu kekasih kita itu gaulnya sama siapa aja. Dan akhirnya saya harap, kekasih saya mau bijaksana ngenalin saya ke teman-temannya.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Sunday, February 20, 2011

Seharusnya Gw..

Seharusnya gw..
1. Cari literatur Filsafat Ilmu.
2. Cari jurnal buat kuliah Evidence Based Medicine.
3. Perbaiki PR Garis-garis Bahan Pengajaran.
4. Bikin PR Perpustakaan.
5. Telaah buku Abbas Immunology.
6. Pelajari soal-soal UTS Metode Belajar Mengajar.
7. Coret-coret buku Imunologi-nya Subowo.
8. Pindahkan foto-foto jepretan bahan kuliah ke laptop.
9. Setrika baju.
10. Ambil cucian di binatu.
11. Merancang wadah besek buat naruh bawang.
12. Betulin korden yang mau copot.
13. Ngelap kipas angin.
14. Perbaikin lensanya Ixus yang rusak.
15. Browsing tempat servis tas buat jahit tas.
16. Jahit ritsleting wadah lotion.
17. Browsing tempat jualan Tupperware.
18. Cari tempat luluran yang ladies only dan tukang pijetnya sopan.

Apalagi ya?

Oh ya.. 19. UPDATE BLOG !

Dan sekarang gw kehilangan selera buat ngapa-ngapain. :((
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Tuesday, February 8, 2011

Plesternya Harus Dibayar..

Ini plester. Warnanya putih, bentuknya modis.

Kesambet apa saya kok sampek iseng nulis plester di sini? Yaa sebagai pengetahuan aja buat para jemaah blog semua. Teman-teman umumnya punya sediaan plester di rumah ya yang standar aja, warnanya cokelat, lebarnya kecil, semacem selotip gitulah. Sekarang banyak dijual plester-plester yang bergambar lucu-lucu, mulai dari gambar dinosaurus sampek gambar benderanya Kompeni. Biasa dipake orang buat nutupin luka setelah sebelumnya diobatin obat merah.

Plester kecil-kecil itu ternyata bisa bikin penderitanya mengeluh panjang pendek. Beberapa orang ternyata ada yang alergi terhadap bahan plester. Akibatnya banyak yang mengeluh lukanya terasa gatel-gatel setelah dibekap plester. Nggak heran, banyak pasien minta lukanya dibedaki dulu sebelum diplester.
Keluhan lainnya adalah terasa nyeri ketika plesternya dicopot. Bayangin plesternya dicabut..kraak! kulit yang terluka terasa perih bukan main seperti baru waxing.

Itulah kenapa saya nampilin gambar plester ini. Plester putih yang saya tampilin ini, nggak bikin alergi. Dan ngelepasinnya pun cukup dilumurin air atau alkohol dulu, dan dia akan copot sendiri. Malah nggak usah cairan atau pun langsung dicopot pun juga nggak akan seperih plester standar.
Plester ini banyak dipakai pada pasien-pasien yang baru mengalami operasi atau baru dijahit. Maka dijualnya terbatas, dan jarang banget dijual di supermarket pasaran.

Masalahnya sekarang, tidak semua orang bisa pakai plester modis ini. Contohnya, pasien miskin yang dirawat di rumah sakit dengan asuransi pemerintah. Asuransi pemerintah sudah menanggung hampir semua alat perawatan untuk pasien, tapi hanya dalam batas-batas tertentu. Item kecil seperti plester misalnya, ditanggung pemerintah hanya berupa plester cokelat yang kadang-kadang bikin gatel itu. Nggak heran, kadang-kadang pasien miskin mengeluh plesternya nggak nyaman, dan ujung-ujungnya bikin dos-q jadi stres sendiri.

Beberapa pasien yang merasa terganggu oleh plester ecek-ecek ini, menyerah dan minta plester putih. Konsekuensinya, mereka rela mbayar sendiri coz plester putih kan nggak ditanggung asuransi pemerintah. Ya nggak pa-pa sih, kalau mereka kepingin nyaman dan rela mbayar, kenapa tidak? Harganya sih relatif terjangkau, masih lebih mahal harga rokok lima bungkus. (Kenapa saya nyantumin rokok sebagai pembanding harga? Soalnya orang miskin itu, lebih stres kalau nggak bisa beli rokok daripada beli nasi).

Siyalnya, isu mengenai "hal-hal yang tidak ditanggung Pemerintah" ini seringkali nggak diketahui orang awam yang nggak ngerti masalah sesungguhnya. Coz sudah diplot dari sononya, orang-orang yang dirawat dengan asuransi Pemerintah, baik itu pakai kartu Gakin atau Jamkesmas, dijanjikan bahwa kalau dirawat di rumah sakit, nggak perlu bayar apapun. Akibatnya, ketika pasien miskin diketahui disuruh bayar karena minta plester putih yang tidak bikin gatel dan tidak perih ketika dicopot, hal ini dipolitisir dengan lebay, seolah-olah rumah sakit memalak kantongnya pasien itu.

Ini memang dilema. Di sisi pasien miskin, kalau dia pakai plester ecek-ecek, dia dapet gratis, tapi mungkin alergi. Tapi kalau dia pakai plester putih, dia memang lebih nyaman, tapi harus bayar.
Buat rumah sakit, kalau dia kasih plester putih, dia mungkin akan ditanyain LSM atau wartawan lebay kenapa dia "morotin" pasien miskin yang katanya mestinya nggak usah mbayar. Tapi kalau dia biarkan pasiennya pakai plester standar yang bikin alergi, mosok dia tega sih membiarkan pasiennya gatel-gatel?
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com