Saturday, April 23, 2011

Investasi Anti Tulang Keropos

Keinginan kita buat nari tango atau sekedar bisa gendong cucu saat kita sudah uzur nanti bisa buyar kalau tulang kita keropos. Gejalanya biasanya nggak terlalu terasa, paling-paling sakit punggung atau terasa nyeri kalau lagi mulet-mulet. Lama-lama badan mulai bongkok sampek-sampek kalau jalan kayak orang menghormat terus.

Tulang keropos ini, atau kaum saya menyebutnya osteoporosis, adalah konsekuensi normal pada perempuan yang menua. Ketika perempuan berhenti mens di usia senja, hormon estrogen yang dimiliki perempuan pun menipis, padahal estrogen ini perlu buat bikin tulang. Akibatnya tulang perempuan tua jadi lembek, lama-lama keropos dimakan waktu, sehingga perempuan tua jadi sering sakit punggung dan bongkok.

Perempuan makin dekat dengan osteoporosis kalau mereka biasa pakai obat-obatan steroid sewaktu muda. Steroid ini biasa dipakai dalam berbagai bentuk, misalnya berupa obat penyakit lupus, atau obat rutin untuk penderita asma, atau yang paling sering, disisipkan secara diam-diam dalam jamu-jamu tradisional.

Osteoporosis nggak bikin tewas, coz penyakit ini cuman menyerang tulang, dan nggak ada sejarahnya orang bisa meninggal cuman gara-gara tulang keropos. Tapi nyeri punggung yang terjadi karena osteoporosis ini, sakitnya ampun-ampunan, bikin penderitanya bolak-balik ke dokter. Obat antinyeri paling manjur saat ini dibanderol dengan harga Rp 9k/kapsul, dengan catatan kapsulnya diminum sekali sehari. Taruhlah nyeri punggung osteoporosis itu terjadi setiap hari, maka sebulan harus minum 30 kapsul, jadi biaya yang dikeluarin ialah 30 x Rp 9k = Rp 270k. Bayangin, sudah pensiun masih harus bayar Rp 270k setiap bulan cuman buat ngilangin sakit punggung? Dan punggungnya tetap bongkok, jadi nggak bisa dipakai buat gendong cucu?

Sebenarnya osteoporosis ini bisa diantisipasi sekiranya kita mau nabung cadangan kalsium sebelum tua. Caranya simpel, cukup minum susu yang mengandung kalsium setiap hari. Saat ini susu kalsium jamak ditemui di mini-minimarket sebelah rumah, dengan beragam merk dan bahkan ditambahi perasa macem-macem, seperti rasa cokelat sampek rasa peach. Harganya memang terbilang mahal kalau dibandingin susu bubuk yang biasa kita minum waktu kita masih cilik dulu, coz dengan asumsi harga sekitar Rp 25k untuk 250 gram yang dihabiskan dalam dua minggu, berarti sebulan kita mesti merogoh kocek sebanyak Rp 50k untuk minum susu kalsium.

Keluhan paling sering tentang susu kalsium sebenarnya bukanlah tentang harganya, tetapi lebih karena keluhan eneg sampek mencret-mencret kalau minum susu apapun. Biasanya ini terjadi pada orang yang nggak biasa BELI susu, atau orang yang waktu bayinya memang jarang disusuin ibunya. ASI berkontribusi banyak untuk sistem kekebalan dalam perut bayi, sehingga bayi nggak gampang mencret bahkan hingga dewasa.

Memang saat kita muda begini, belanja susu kalsium sebanyak Rp 50k sebulan mungkin cukup nyekek leher. Tapi kalau membayangkan biaya Rp 270k untuk ngobatin sakit punggung di usia tua akibat kurang kalsium nanti, duit yang dikeluarin buat beli susu kalsium seolah-olah nggak ada apa-apanya. Setelah tua nanti badan kita pasti akan kekurangan kalsium, karena normalnya memang begitu. Tinggal masalah apakah kita mau nabung kalsium untuk masa depan atau tidak. Bayangin, kalau kepala kita nanti sudah beruban, tapi kita masih bisa jalan-jalan ke sana kemari dengan punggung tegak, bisa senam Taichi, bisa gendong cucu, tidakkah itu sangat menyenangkan?

Gizi di masa muda, adalah investasi yang sangat gampang untuk kesehatan di masa tua.

Saya memotret susu yang saya bikin pagi ini, dalam mug yang dikirim oleh pemilik blog Gerhana Coklat. (Yeaah..Julie, ini iklan gratis!) Gambar-gambar lainnya diambil dari sini dan sini.

Thursday, April 21, 2011

Siaran Sesat

Sebagai dokter, tentu saja saya sering banget dapet pertanyaan-pertanyaan sepele dari orang awam tentang mitos-mitos berbau kesehatan. Semisal, “Dok, apakah benar kalau ibu habis melahirkan itu nggak boleh keluar rumah dulu?” Atau, “Mbak Dokter, bener nggak sih makan nanas bisa bikin keguguran?” Atau ini yang repot, “Mbak Vic, emang bener ya, kalo kepingin punya anak yang kulit putih, bikinnya harus waktu subuh-subuh??”

Saya, yang orangnya terlalu realistis sampek-sampek nggak percaya mitos, kadang-kadang bingung sendiri, dari mana orang lain bisa dapet ide-ide nggak rasional kayak gitu. Lalu karena saya percaya bahwa segala fenomena itu sebenarnya bisa dijelaskan secara ilmiah, jadi saya selalu berusaha cari jawaban pertanyaan-pertanyaan orang awam itu pada sumber-sumber yang valid (misalnya buku teks atau jurnal ilmiah). Hasilnya, sebagian mitos itu benar, tapi sebagian lagi ternyata sesat.

Problemnya, kan nggak semua orang itu sekolah tinggi ya, jadi kalau dia dapet suatu mitos yang menarik, dia langsung percaya mentah-mentah. Tapi bagian susahnya, dia nggak cuman percaya, tapi dia langsung sebarkan mitos, yang belum tentu benar itu, ke mana-mana.

Dengan jaman 2.0 sekarang, gampang banget nyebarin mitos itu, bisa via Twitter, via Facebook, milis, Messenger, dan entah apa lagi. Siyalnya, supaya penyebar mitos itu terdengar meyakinkan, dia nyantumin nama siapaa gitu yang katanya sih ilmuwan, dan kalau bisa dipasangin namanya ilmuwan (fiktif) yang kedengarannya kompeten atas isu yang disebutkan.

Kasus yang akan saya ceritakan ini sudah agak basi, tapi masih berguna buat kita semua. Alkisah, beredar broadcast BBM yang bilang begini, menurut Prof Budi Iwan SpOG (ini bukan nama sebenarnya, saya karang-karang sendiri aja), “Jangan minum es kalo lagi haid, soalnya minum es pada waktu menstruasi bisa bikin kanker rahim”. Broadcast-an ini nyebar ke mana-mana, lalu salah satunya yang ketiban broadcast-an ini adalah seorang temen, yang kemudian nanyain kebenaran isu ini ke saya tadi siang. Karena saya selama ini sudah mengira diri saya adalah mahasiswa sekolah kandungan, jadi mau nggak mau saya harus cari dong kebenarannya secara ilmiah. Setelah saya tanya ke jurnal sana-sini, ternyata nggak ada tuh penelitian yang bilang bahwa minum es waktu lagi dapet itu bisa bikin kanker rahim. Jadi Prof Budi Iwan SpOG kesambit apaan kok bisa ngomong begitu?

Akhirnya saya lacaklah pesan atas nama Prof Budi Iwan SpOG itu. Hasilnya: Ya, di Indonesia ini memang ada yang dokter ahli kandungan yang bernama Budi Iwan, tapi dia belum jadi Profesor. Nah lhoo..mosok orang belum pernah jadi profesor ngaku-ngaku jadi Prof di BBM?

Berikutnya, saya mendapatkan bahwa broadcast-an ini ternyata sudah beredar semenjak dua bulan yang lalu, dan sudah dicaci habis-habisan di Twitter. Isi broadcast itu sama sekali bohong, itu hoax yang sangat menyesatkan. Jadi, Budi Iwan memang belum profesor. Dia nggak pernah menyebutkan bahwa minum es waktu haid bisa bikin kanker rahim. Bahkan, tidak ada bukti ilmiah bahwa minum es ketika lagi menstruasi bisa bikin kanker rahim. Masihkah kita percaya sama hoax ini?

Saya mikir lebih lanjut. Kenapa ada orang mau sebarkan pesan hoax atas nama (Prof) Budi Iwan SpOG tentang mitos yang keliru? Prasangka jelek saya, ada yang kepingin menjatuhkan nama kolega saya dengan menyebar kebohongan atas nama beliau. Skenarionya, lambat laun orang akan percaya ini hoax, lalu orang mempersalahkan (Prof) Budi Iwan karena nyebarin berita bohong. (Prof) Budi Iwan nggak akan dipercaya lagi, lama-lama rejeki beliau pun berkurang. (Karena saya sudah membaca, dr Budi Iwan, bukan Prof, populer karena sering menulis di website, berpraktek di Jakarta dan prakteknya sangat laris. Pasti ada aja orang yang iri kan?)

Prasangka alternatif saya yang lain, ada yang kepingin menjatuhkan omzet perusahaan minuman es. Bayangin, kalau jutaan cewek yang lagi mens nggak mau makan es krim karena takut kanker, berapa perusahaan es krim yang akan merugi?

Seperti kata iklan rokok, “nggak semua yang loe baca itu bener”. Nggak selalu broadcast yang kita terima itu bisa dipercaya. Cobalah kalau suatu nerima informasi, entah itu yang kedengarannya ilmiah atau cuman sekedar mitos, jangan ditelan bulet-bulet, tapi pastikan dulu kebenarannya langsung pada orang yang bisa dipercaya kompetensinya. Supaya kita nggak rugi karena mempercayai berita bohong. Supaya perusahaan es krim nggak rugi karena dijauhin cewek-cewek yang lagi dapet. Dan akhirnya, supaya kita tetep bisa nyeruput es krim dengan tenang biarpun kita lagi mens..

Saturday, April 16, 2011

Review Film "Tanda Tanya": Apa Itu Murtad?

Sebab, untuk menjadi orang baik itu, tidak harus selalu dengan menjadi orang Islam.

Pernahkah kamu hidup di lingkungan yang serba paradoks? Sewaktu kamu merasa berada di jalan yang baik, tetapi orang lain bilang kamu di jalan yang salah? Atau ketika kamu memilih sesuatu, tapi orang yang kamu sayangi nggak mendukung pilihan kamu? Atau kamu selama ini diajari sesuatu, tapi ajaran itu nggak sesuai dengan kata hati kamu?

Film “Tanda Tanya” alias “?” yang digarap Hanung Bramantyo ini bercerita tentang paradoksitas itu. Dengan setting daerah kumuh yang masyarakatnya keras, film ini bercerita tentang tokoh-tokohnya yang punya konflik dengan latar belakang agama berbeda-beda. Ada Menuk (Revalina Temat), muslimah yang sudah lama bekerja jadi pelayan di rumah makan Cina milik Tan Kat Sun (Hengky Solaiman). Kat Sun dan istrinya sangat sayang pada Menuk, tetapi Menuk dimusuhi oleh Ping Hen alias Hendra (Rio Dewanto), anak Kat Sun.

Menuk sendiri punya suami bernama Soleh (Reza Rahadian), aktivis mesjid yang pengangguran. Soleh merasa nggak punya harga diri, lantaran merasa nggak bisa memenuhi kewajiban sebagai laki-laki, dan semakin minder pula karena Menuk bisa memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari hanya dengan jadi pelayan di restoran yang menjual babi.

Kat Sun sendiri adalah penganut Kong Hu Cu yang sangat taat. Ia sedih karena Hendra nggak mau sembahyang, padahal Hendra adalah anaknya satu-satunya yang diharapkan mewarisi restorannya. Hendra sendiri pengangguran, yang dimusuhin masyarakat sekitar (terutama Soleh) karena dia keturunan Cina. Sebetulnya Hendra kepingin bikin restoran itu lebih maju, tapi dia nggak percaya dengan cara Kat Sun mengelola restoran. Kat Sun memaksa semua alat masak dipisahkan antara untuk daging babi dan non-babi. Padahal, biarpun sudah dipromosikan oleh Menuk yang sehari-harinya selalu pakai jilbab, restoran itu dijauhin masyarakat muslim lokal lantaran prasangka masyarakat bahwa setiap restoran Cina itu pasti jual babi semua.

Tetangganya adalah Rika (Endhita), janda beranak satu yang baru masuk Katolik. Rika
harus menghadapi anak laki-lakinya, Abi (Baim), yang malu digosipin karena Rika pindah agama, sedangkan Abi bocah muslim tulen. Padahal Rika masih rajin jemput Abi sepulang mengaji di mesjid, dan Rika masih demen ngajarin anaknya itu baca doa Arab sebelum makan.
Rika sendiri pacaran dengan Surya (Agus Kuncoro), aktor yang selama 10 tahun cuman jadi figuran dan terpaksa tinggal di mesjid gara-gara nggak bisa bayar sewa pada ibu kost yang berkerudung dan nyinyir.
Sewaktu paroki di gerejanya Rika mau bikin acara drama tentang penyaliban Yesus, Rika ngajak Surya ikutan casting, dan ternyata Surya yang berjenggot tebal itu malah lulus buat memerankan Yesus. Surya kebingungan karena takut dikira murtad gara-gara masuk gereja, tapi yang juga nggak kalah sedih, sebagian jemaah gereja nggak suka Surya memerankan Yesus karena Surya beragama Islam.

Saya dan my hunk nonton film ini kemaren, dan tidak bisa bilang apa-apa selain menyatakan bahwa film ini bagus banget.
Saya ketawa ngakak pada waktu adegan Surya latihan pura-pura jadi Yesus di tempat wudhunya mesjid, dan salah tingkah sewaktu ketangkap basah oleh ustadznya (David Chalik). Terharu lihat Kat Sun ngamuk pada Hendra gara-gara Hendra memaksakan restorannya buka pada H+2 Lebaran, dan berteriak, “Bisnis itu bukan cuman sekedar nyari untung! Tapi...” Adegan ngamuk itu terpaksa buyar gara-gara Soleh dan teman-temannya sesama aktivis mesjid menyerang dan menghancurkan restoran itu karena dianggap nggak menghormati karyawannya (maksudnya Menuk, istrinya Soleh) yang masih berlebaran. Dan kasihan sewaktu Rika mencoba nelfon nyokapnya untuk bilang bahwa dia sudah dibaptis dengan nama Theresia, dan nyokapnya langsung mutusin telepon..

Film ini juga menyiratkan banyak ironi. Pemuda-pemuda yang sehari-harinya berkumpul di mesjid, ternyata di pasar malah menjelma menjadi preman yang memaki-maki Tionghoa. Ketika ada acara perayaan malam Natal, Menuk dengan jilbabnya malah ngurusin pembagian konsumsi di gereja. Dan Rika ternyata merasa lebih damai dengan menjadi Katolik, padahal dulunya Rika pakai jilbab.

Biarpun ini film serius, tapi ending-nya nggak terlalu mengecewakan. Banyak paradoks yang terjawab di akhir film. Kenapa Kat Sun sayang pada orang-orang yang beda agama, meskipun orang-orang itu nggak balas menyayangi Kat Sun. Kenapa saat pendeta minta Rika menulis arti Tuhan, Rika malah menuliskan ke-99 nama Asmaul Husna.
Kenapa Soleh dan Hendra saling membenci, dan ternyata bukan sekedar karena permusuhan sengit antara para aktivis mesjid dan keturunan Tionghoa.

Dengan sinematografi yang ciamik dan pemain-pemain yang irit make-up, “Tanda Tanya” menjadi film yang layak banget buat ditonton. Bikin penontonnya jadi mikir ulang, bahwa ternyata murtad dan sesat itu jauh banget bedanya. Glenn Fredly juga ikutan tampil lho di sini, nggak cuman sekedar jadi cameo tapi ikutan bikin penonton geregetan sama karakternya. Dan pada akhirnya, setelah saya nonton ini, saya pun dapet satu kesimpulan: Ternyata, definisi baik itu sangat relatif. Dan, untuk menjadi orang baik itu, nggak selalu harus dengan jadi orang Islam..

Friday, April 8, 2011

Boss, Nggak Usah Tahulah!

“Apa yang terjadi di dalam ruang praktek, tetaplah di dalam ruang praktek.”

Tetangga saya mengeluh beberapa hari yang lalu ke saya. Waktu itu dia kena flu, jadi dia berobat ke dokter. Dokternya melayaninya, menagihkan sekian puluh ribu rupiah, dan kasih kwitansi. Tetangga saya, karena peraturan di kantornya menyebutkan bahwa karyawan yang berobat ke dokter bisa minta ganti pembiayaan berobat ke kantor, mengklaimkan kwitansi itu ke bosnya. Lalu datanglah jawaban itu. Kwitansi tetangga saya nggak bisa diganti, coz di kwitansi itu nggak ada diagnosa penyakitnya.

Saya mengernyit. Semenjak kapan dokter harus nulis diagnosa penyakit di kwitansi? Memangnya kami ini ember bocor?

Saya tahu bahwa peraturan ketenagakerjaan mewajibkan perusahaan memastikan semua pegawainya selalu dalam keadaan sehat wal afiat supaya kegiatan perusahaan berjalan lancar. Maka, kalau pegawainya sampek sakit, selayaknya perusahaan meringankan beban sakit pegawainya itu dengan membayari pegawainya berobat. Karena itu banyak perusahaan mewajibkan pegawainya ikutan asuransi kesehatan kerja (misalnya Jamsostek atau entah apa lagi), supaya beban sakitnya pegawai bisa ditanggung oleh asuransi. Protokol umumnya, pegawai pergi berobat ke dokter dengan membawa formulir asuransi. Nanti setelah berobat, dokter mengisi formulir itu dengan kasih tahu diagnosanya apa, dan apa aja obat yang dianjurkan. Jadi asuransi bisa tahu, mereka tuh bayarin asuransinya untuk beli obat apa aja.

Pada kasus yang menimpa tetangga saya, kantornya tetangga saya nggak ikutan asuransi kesehatan. Akibatnya dia nggak dikasih formulir asuransi, sehingga dokter nggak bisa nulis diagnosa apa dan terapi apa yang mesti ditanggung oleh kantor tetangga saya. Ujung-ujungnya, biaya berobat yang udah telanjur dikeluarin oleh tetangga saya nggak bisa diganti oleh kantornya.

Timbul pertanyaan, apakah bisa dokter nulis diagnosa di kwitansi dan resep pasiennya aja, supaya pasien alias pegawai bisa mengklaimkan kwitansi dan resep itu ke perusahaan?
Jawabannya, TIDAK.

Semua orang yang nggak pernah sekolah juga tahu, bahwa sakit adalah wilayah pribadi masing-masing orang. Dokter nggak boleh ngomong ke siapapun di luar ruang prakteknya, bahwa pasien si Siti sakit anu, atau pegawai si Polan sakit anu, termasuk ke bossnya si Siti atau si Polan. Jangankan ke bossnya, ke orang tuanya si pasien aja belum tentu boleh kecuali kalau si pasien dalam keadaan sekarat atau sakit jiwa. Itu sudah kode etik dokter yang berlaku di mana-mana. Dengan demikian, ngomong aja nggak boleh, apalagi menulis penyakitnya si pasien di resep atau kwitansi.

Kenapa dokter boleh nulis diagnosa di formulir asuransi? Simpelnya, asuransi kesehatan itu bagian dari kedokteran kerja. Kedokteran kerja sudah disahkan sebagai sistem kedokteran yang punya kode etik, sehingga dokter boleh nulis diagnosa si pasien di formulir asuransi.

Coba bayangin, seandainya pasien saya mengidap penyakit yang malu-maluin, misalnya cacar air. Pasien akan malu karena di mukanya ada bekas bopeng-bopeng. Karena itu saya sebagai dokter ya nggak boleh bilang-bilang ke orang lain bahwa dia sakit cacar air. Kalau sampek orang kantor pasiennya tahu, mungkin dia akan dijauhin karena dia dianggap berpenyakit menular, akibatnya akan mengganggu situasi psikologis di kantor itu sendiri. Ini baru contoh kecil. Gimana kalau pasien saya mengidap TBC? Atau panu? Atau epilepsi? Atau lebih jelek lagi, AIDS?

Jadi ya, jemaah Georgetterox yang pintar-pintar, kalau Sodara-sodara jadi boss, sebaiknya Sodara-sodara tahu bahwa Sodara-sodara nggak berhak menolak klaim pengobatan pegawai cuman gara-gara nggak tahu pegawai Sodara-sodara itu sakit apa. Sebaliknya, kalau Sodara-sodara dalam posisi karyawan, sebaiknya carilah pekerjaan yang memastikan bahwa asuransi kesehatan kerja Sodara-sodara itu ditanggung dengan protokol yang tegas. Biar semua sama-sama enak. Bossnya senang punya pegawai yang sehat, dan pegawai juga bisa bekerja dengan tenang dan nyaman..

Gambarnya diambil dari sini

Thursday, April 7, 2011

Apa yang Salah dengan Briptu Norman?

Semakin marak orang nyanyi-nyanyi lip sync di depan kamera dan hasilnya dioper ke YouTube. Setelah Sinta Jojo, sekarang ngetrend Briptu Norman, polisi Gorontalo (tidak, Udin dari Lombok! Kamu tidak termasuk lipsync!). Saya nonton videonya di Facebook seorang kolega tiga hari lalu. Video berdurasi nggak sampek 10 menit itu sukses bikin saya ketawa terbahak-bahak di tengahnya siang bolong.

Kemaren, saya dapet berita bahwa Briptu Norman Kamaru dihukum gara-gara ulahnya itu. Dos-q dihukum disuruh nyanyi sembari joget di hadapan satuannya. Alhasil polisi-polisi sepasukan itu ngakak berat dan applaus meriah.

Sementara itu, di Facebook beredar gerakan Satu Juta Mendukung Briptu Norman Kamaru agar Norman bebas dari hukuman. Pasalnya, ada gejala-gejala Norman dihukum karena dinilai nggak etis sebagai polisi mletot-mletot bibir di depan kamera niruin lagu India dan nguploadnya ke YouTube. Gerakan Satu Juta ini mengklaim bahwa ini adalah gerakan solidaritas terhadap anak bangsa yang punya kreativitas macam Briptu Norman asal Gorontalo.

Gimana yah? Menurut saya, tindakan menghukum Briptu Norman yang lipsync di You Tube itu cukup lebay. Memangnya apa salahnya sih dia joget-joget India sambil lipsync? Kesiyan bener para polisi ini, nggak boleh joget-joget di YouTube. Bahkan presiden aja boleh main gitar sembari nyanyiin lagu ciptaannya sendiri, kenapa polisi yang pangkatnya baru Briptu nggak boleh cuman sekedar joget-joget? Mudah-mudahan bukan karena lagu yang di-lipsync-nya lagu India. Saya punya ide, gimana kalau Pak Polisi ini lipsync pakai lagu campursari, apakah bakalan dihukum juga?

Saya berharap polisi Indonesia memprioritaskan waktunya lebih banyak untuk ngurusin penegakan hukum di Indonesia ketimbang mikirin caranya menghukum polisi yang senang joget-joget. Itu coba geng motor yang suka kebut-kebutan tengah malam di jalan sekitar rumah sakit Dr Soetomo tolong ditangkepi satu-satu, mereka tuh bikin anak-anak kost kayak saya ini nggak bisa tidur. Kolega saya yang cumak naik motor nyaris jadi korban perampokan di parkiran Delta Plaza dua minggu lalu, ke mana aja polisinya kok bisa nggak tahu kalau parkiran di sana rawan rampok? Coba sistem Teknologi Informasinya dipakai buat nangkepin orang-orang yang suka ngirimin spam iklan dalam bentuk SMS, bukan cuman dipakai buat mantengin YouTube ngeliatin berapa juta orang yang udah mengunduh videonya Norman. Dan demi Tuhan, itu orang yang suka ngebom-ngebom gereja dan kedutaan asing, sudah ditangkep apa belum?

Wednesday, April 6, 2011

Masalah Ndeso pada Dokter Ndeso

Berpuluh-puluh tahun lalu, tersebutlah sebuah sekolah kedokteran spesialis kulit dan kelamin di sebuah kota, di mana ada seorang murid sekolah itu yang nggak lulus-lulus. Semua stase sudah dia lewati, semua tugas sudah dikerjakan, tinggal satu problem yang belum teratasi: Ada seorang dosen penguji yang nggak mau ngelulusin dia. Betul-betul bikin stress, pokoknya kalau akhir tahun itu dia nggak lulus, universitas mengharuskan dia di-drop out coz batas waktu pelajarannya sudah habis, dan cita-citanya menjadi dokter kulit terancam buyar.

Akhirnya suatu hari, pelan-pelan, dengan takut setengah mati, si mahasiswa beringsut dateng ke dosennya itu. "Dok, maaf ya, saya cuman mau nanya, kenapa sih saya nggak boleh lulus juga sama Dokter?"

Dosen itu terdiam. Dia menarik napas, dan akhirnya berkata, "Tau nggak kamu kenapa saya nggak mau meluluskan kamu? Nanti kalau kamu lulus, kamu akan jadi dokter kulit. Dan kamu akan jadi dokter kulit satu-satunya di kota ini SELAIN SAYA."

Si mahasiswa melongo kaget. Ya ampun, jadi selama ini si dosen itu nggak ngelulusin mahasiswanya itu coz dosennya takut prakteknya dapet saingan.

Singkat cerita, akhirnya si mahasiswa bikin perjanjian sama dosen, bahwa kalau dia lulus, dia akan praktek di kota lain. Dan akhirnya si mahasiswa pun mendapatkan gelar dokter kulitnya, dan di tempat tugas barunya, prakteknya rame, bahkan lebih rame daripada praktek dosennya. Apa sebab? Yah kan dosennya itu makin lama makin menua, kemampuannya berkurang, dan secara almiah kepercayaan pasiennya juga makin menurun.

***

Saya sudah lama nggak dengar persoalan rebutan pasien yang cukup norak itu sampek kemaren saya ngobrol dengan kolega-kolega saya dari luar Jawa. Di luar Jawa itu, distribusi dokter spesialisnya begitu minim sampek-sampek jamak ditemukan bahwa di tiap ibukota kabupaten hanya ditemukan satu orang dokter saja untuk spesialistik tertentu. Efeknya ternyata lebih berat daripada yang saya kira; pasien-pasien begitu bergantung kepada satu-satunya dokter tersebut coz memang dia cuman satu-satunya yang ahli menangani problem penyakit tersebut di sana. Ketika ada dokter spesialis yang sama, yang baru lulus dan buka praktek di kota itu, pasien jadi seneng karena merasa mendapat lebih banyak pilihan berobat. Akibatnya, dokter yang lama jadi merasa cemburu lantaran dapet "saingan" dan mulailah timbul gontok-gontokan kecil antar dokter.

Seorang kolega saya cerita bahwa di kota asalnya, cukup sering terjadi tabrakan motor. Repotnya kalau korban kecelakaan itu cedera kepala, nggak ada dokter spesialis bedah saraf yang bisa ngoperasi. Yang ada cuman dokter saraf (bukan bedah saraf), dan dokter saraf nggak berwenang ngoperasi kepala. Lalu suatu hari di kota itu terjadi kecelakaan lalu lintas, yang untungnya kepalanya nggak cedera, sehingga dia masih bisa makan, bisa ngomong, dan masih bisa ketawa-ketiwi, hanya problemnya adalah dia patah kaki. Tetapi, dokter saraf memaksa pasien itu diopname berhari-hari di ruang perawatan saraf, dan melarang pasien itu diopname di ruang perawatan bedah untuk operasi penyambungan kakinya. Alasan dokter saraf itu, takut pasiennya mendadak pingsan, kan dia habis kecelakaan lalu lintas.. Akibatnya, dokter bedah tulang yang mau ngoperasi pasiennya terpaksa bolak-balik visite ke ruang perawatan saraf, padahal sarafnya nggak kenapa-napa..

Saya ngerti masyarakat Indonesia di daerah-daerah luar Jawa sering mengeluh karena kekurangan dokter spesialis. Pemerintah sudah baik hati, menggencarkan banyak beasiswa untuk sekolah dokter spesialis, supaya setelah lulus nanti mereka bisa dipekerjakan sebagai dokter spesialis yang menolong masyarakat di luar Jawa. Tetapi nggak bisa disangkal bahwa di kalangan dokter sendiri, adanya dokter lain di daerah yang sama malah bisa bikin dokter itu merasa tersaingi, takut kehabisan pasien.

Di mata saya sendiri, more merrier, more fun. Makin rame temennya, makin seneng. Kalau saya praktek nanti, dan ternyata ada dokter lain yang praktek sebelah saya, mungkin saya bakalan seneng coz berarti saya bisa bagi-bagi kerjaan. Kalau kerjaan pasien saya bisa dibagi, mungkin saya bisa meluangkan waktu lebih banyak buat ngeblog, bagi-bagi pengetahuan, dan jalan-jalan. Hidup saya akan lebih berwarna karena saya punya banyak kegiatan, jadi saya nggak akan stress..

Selama manusia masih ada, penyakit pasti masih tetap ada. Di dunia ini nggak ada sejarahnya suatu negara bisa bebas dari sakit. Bahkan Finlandia, yang konon negara yang paling sejahtera sekalipun, ternyata banyak penduduknya yang sakit, terutama sakit alergi cuaca di musim dingin. Negara kita? Kasus alergi cuaca kita masih sedikit, dan penduduk kita masih kebanyakan flu, mencret, dan panu. Mungkin akan ada suatu masa nanti di mana infeksi mulai berkurang, dan penyakit yang nge-trend adalah alergi debu dan diabetes lantaran kebanyakan makan bakmi goreng. Tapi yang pasti, penyakit tetap akan eksis, dan masyarakat tetap butuh dokter, jadi dokter nggak perlu takut kehabisan pasien.

Dokter boleh bertugas di kota kecil dan hidup ndeso. Tapi mental nggak perlu ikutan ndeso laah..

Monday, April 4, 2011

Toh Harus Milih, Vic..

Saya perempuan normal, karena itu saya tergila-gila kepada sepatu. Saya perempuan yang sangat normal, karena itu saya tergila-gila kepada high heels. Dan saya baru menyadari kemaren, bahwa saya nggak punya high heels.

Eh, ada ding, high heels di lemari saya. Tapi sepatu itu pakai tali-tali yang sangat ketat, dan saya cuman tahan pakai sepatu itu selama tiga jam. Seterusnya, yuk dadah yuk bye-bye.

Kalau saya kuliah, kadang-kadang saya lihat teman-teman kuliah saya pakai high heels dan saya ngiler kepingin pakai juga. Tapi saban kali saya inget bahwa kerjaan saya sangat banyak setiap hari dan kerjaan itu memaksa saya kudu mondar-mandir dari tempat satu ke tempat lain dalam waktu cepat, keinginan saya buat pakai high heels langsung urung. Kalau dipikir-pikir, teman-teman saya yang pakai high heels itu, kerjaannya nggak segila kerjaan saya. Mereka nggak berjalan secepat saya, frekuensi begadang mereka nggak sebanyak saya, praktis mereka nggak akan kelelahan kalaupun mereka senang pakai high heels setiap hari. Jadi kesimpulannya, orang yang kerjaannya super padat, sebaiknya jangan pakai high heels. Begitu?

Tapi bagaimana dengan para model itu? Mereka kadang-kadang cuman tidur empat jam sehari, tapi kerjaan mereka kan juga berat. Mereka kan disuruh berdiri dan berjalan berjam-jam dengan muka harus selalu tersenyum dan tetap pakai high heels. Lantas apa bedanya mereka dengan dokter? Dokter harus berdiri lama ngoperasi orang, berjalan dari ruangan satu ke ruangan lain visite pasien, dan catet: Dokter harus

tersenyum atau pasiennya akan lapor ke wartawan cuman gara-gara dokternya nggak tersenyum. Jadi, nggak pa-pa kan kalau saya kepingin high heels?

Lha waktu saya masih kerja dulu, saya pakai high heels tiap hari ke kantor. Dan sepanjang tahun itu, sudah dua pasang sepatu yang saya patahkan haknya waktu saya lagi visite pasien. Salah satu sepatunya, haknya patah sampek tiga kali. Saya sampek malu mondar-mandir ke toko sepatunya buat perbaikin hak itu, sepertinya ada yang nggak beres dengan kaki saya. Anehnya, mbak-mbak di toko sepatu itu nggak pernah ketawain saya saban kali saya mau reparasi hak itu, dan toko sepatunya juga nggak pernah narik biaya reparasi. Kayaknya mereka akan selalu menggratiskan reparasi sepatu saya sampek saya bosen.

Begitu saya masuk kuliah lagi, saya sudah pasang skenario bahwa saya harus siap mobile. Jadi saya selalu pakai sepatu ceper tiap hari, supaya gampang jalan dari ujung satu rumah sakit ke ujung satunya. Saya cuman pakai high heels kalau lagi kencan sama my hunk; 1) karena kepingin gaya, 2) karena my hunk kan jangkung, kesiyan dia kalau mau noleh ke saya kudu nunduk.. :p Eh, Eka Situmorang malah pernah bilang bahwa wedge itu nggak bisa dibilang high heels. Dan kalau saya nurutin mazhabnya Eka itu, berarti selama ini saya memang nggak pernah pakai high heels, tapi saya cuman pakai klompen..

Saya berangan-angan ya, mbok sekali-kali tampang (kaki) saya itu sama segernya seperti event organizer acara launching Lamborghini, yang bisa jalan ke sana kemari dengan pakai high heels. Sampek tadi pagi, nyokap saya bilang sama saya, pakai sepatu rendah pun sudah cantik, asal yang penting sepatunya dilap bersih dan nggak bocel-bocel. Lha orang mau secantik apapun kalaupun pakai sepatu high heels, tapi jika dia merasa nggak nyaman pakai sepatu itu, otomatis cantiknya langsung ilang. Dan mood-nya yang nggak nyaman itu keliatan langsung dari mukanya. (Makanya kalau kita liat orang yang mukanya jutek, sebaiknya kita bertanya-tanya, jangan-jangan di dalam sepatunya ada beling.)

Iya, hidup ini memang harus milih. Mau pakai high heels supaya cantik tapi merasa nggak nyaman, atau mau pakai sepatu ceper tapi punya mood senang sepanjang hari?

Sunday, April 3, 2011

Maju (Tidak) Seperti Dihukum

Kelas saya ketiban tugas menarik sekitar empat bulan lalu. Kami disuruh bikin menara dari sedotan plastik, lalu menara yang sudah jadi akan dipajang di depan kelas bersama menara dari mahasiswa-mahasiswa lain. Karena urusan desain menara ini adalah urusan kreativitas, maka hasil desainnya beda-beda. Ada yang menaranya tinggi tapi tampangnya jadi nggak artistik, sebaliknya ada yang menaranya “nyeni” banget tapi tingginya nggak melebihi dada saya. Setelah menara-menara itu jadi, menara-menara itu dijejer di lantai depan kelas dan hendak difoto. Sewaktu fotografernya mau motret, dosen saya menginterupsi, mengambil kursi, lalu memindahkan menara yang sangat pendek ke atas kursi itu. Tapi dosen saya yang lainnya nggak setuju, katanya lebih baik menara pendek itu tetap ditaruh di lantai, supaya nampak di foto bahwa memang ukuran desain mahasiswanya itu macam-macam. Padahal dosen saya yang pertama sengaja menaruh menara itu di atas kursi, soalnya supaya kelihatan semua di bingkai kamera fotografernya (karena kebetulan waktu itu, fotografernya nggak bisa ngambil gambar dari jarak jauh supaya seluruh menara-menara kelihatan bentuknya. Kalau nggak ada kursi itu, maka menara yang pendek nggak akan ketangkap kamera).

Kenapa saya angkat kisah ini? Coz di sini saya mau cerita tentang sesuatu yang disebut perbedaan sudut pandang.

Jadi ceritanya, di sekolah saya yang baru, kami para mahasiswanya hampir tiap minggu disuruh bikin makalah. Setiap minggu, dosennya minta ada mahasiswa yang mempresentasikan makalahnya di depan kelas. Ya yang namanya mahasiswa kan macem-macem; ada yang dengan senang hati mau maju presentasi karena berharap dapet nilai tambahan, dan ada juga yang juga nggak mau maju lantaran merasa karyanya nggak bagus-bagus amat. Saya akan cerita tentang golongan yang kedua.

Dosen saya kadang-kadang suka seenak mood-nya sendiri kalau nyuruh mahasiswa presentasi. Dos-q akan mengedarkan pandangannya keliling kelas, lalu tiba-tiba menunjuk seorang mahasiswa dan berkata, “Yak! Anda, silakan presentasikan makalah Anda di kelas.”

Yang ditunjuk, kalau dia nggak siap, kadang-kadang dia akan bertanya-tanya, “Why me? Why me? Kenapa gw yang disuruh maju?”

Kolega saya adalah salah satu golongan yang kayak gitu. Dos-q selalu sibuk bertanya-tanya kenapa si A yang ditembak dosen buat disuruh maju. Mungkin si A ketangkep basah ngantuk di kelas. Mungkin si A nampak lebih sibuk ngobrol sama temen sebelahnya. Mungkin si A ketahuan suka bolos kuliah, jadi si dosen berniat menegur supaya nggak bolos. Pokoknya intinya, kolega saya mengira, yang maju itu sebetulnya sedang dihukum oleh si dosen.

Saya malah punya macem-macem diagnosa mengenai mahasiswa yang ditembak itu. Menurut saya, si A disuruh maju coz tampangnya nampak siap nunjukin bahwa dia belajar. Mungkin juga si A itu cantik atau ganteng, jadi si dosen kepingin cari hiburan dengan liat yang seger-seger presentasi di depan. Mungkin dosen itu pernah nggak sengaja liat si A di perpustakaan, jadi si dosen mau tahu apakah hasil tongkrongan si A di perpus itu berguna atau cuman duduk-duduk doang. Atau yang paling simpel, si A nampak paling gonjreng di antara mahasiswa-mahasiswa lain coz dia pake baju kuning. (Riset psikologi menunjukkan, warna kuning adalah warna yang paling menarik perhatian di antara sekian banyak warna. Saya terkejut karena ternyata warna yang paling menonjol itu bukan merah). Yang jelas, pokoknya orang tuh maju disuruh presentasi bukan karena mau dihukum.

Inilah yang dimaksud dengan perbedaan sudut pandang. Orang yang optimis, saat dia ditembak, dia akan melihat tembakan itu sebagai momen buat nunjukin potensinya. Tapi orang yang penuh dengan pikiran negatif, saat dia ditembak, dia akan melihat tembakan itu sebagai hukuman.

Terus, apa hubungannya sama cerita menara sedotan? Ya sama aja, nampaknya sudut pandang dosen saya yang pertama dengan yang kedua juga berbeda. Dosen saya yang pertama memandang bahwa setiap menara kudu keliatan difoto, jadi dos-q berusaha supaya menara yang pendek ikut terjepret kamera dengan cara naikin menara itu ke kursi. Tapi dosen saya yang kedua lebih memilih membiarkan menara pendek itu tetap apa adanya alias nampak lebih pendek daripada menara-menara lainnya, coz dos-q nggak memedulikan pentingnya menara pendek itu untuk ikutan difoto.

Sudut pandang kita pasti beda dengan sudut pandang orang lain. Sekarang problemnya, mau nggak kita sekali-kali keluar dari sudut pandang kita dan belajar untuk melihat dari sudut pandang orang lain? Orang yang pesimis, mungkin kadang-kadang perlu belajar sudut pandang orang optimis, supaya jidatnya nggak tambah keriput lantaran kerjaannya mengeluh melulu. Dan mungkin orang yang optimis, perlu belajar juga memandang dari sudut pandang orang pesimis. Supaya bisa bersyukur bahwa selama ini sudah dikaruniai pribadi yang optimis. Karena, otak yang dijejali pikiran negatif itu, sama sekali nggak enak..