Saturday, March 24, 2012

Cerita Ruang Tunggu

Suatu hari datang seorang perempuan ke UGD rumah sakit di Ngawi di siang bolong mau periksa kehamilan. Konon mestinya kemaren sudah lahir tapi sampek hari ini si bayi masih belum menunjukkan tanda-tanda mau keluar dari perut emaknya. Si emak pun disuruh masuk ke kamar periksa, sedangkan suaminya dititah buat menunggu di ruang tunggu.

Kami periksa si ibu dan memutuskan sebaiknya si ibu di-Cesar aja supaya anaknya cepat keluar. Operasinya darurat dan harus dilakukan saat itu juga. Jadi kami siapkan si ibu dan si ibu pun setuju saja dioperasi.

Persoalannya..keluarganya mendadak ngilang. Di ruang tunggu nggak ada. Dicari di taman nggak ada. Suster di UGD sampek menjelajah seluruh rumah sakit menanyai setiap penunggu pasien yang nongkrong dengan pertanyaan yang sama, "Bu, panjenengan keluargane Bu Dewi Sekartaji?" Dan tentu saja tidak ada yang mengaku karena ternyata..keluarganya si pasien sudah pulang semua ke rumahnya!

Terus, kami suruh si pasien buat nelfon suaminya supaya balik lagi ke rumah sakit. Maka si emak pun ambil HP-nya lalu pencet nomer suaminya. Eh eh..tiba-tiba terdengarlah ringtone aneh dari tas si emak. Ternyata HP suaminya malah dititipin ke tas pasiennya..

Padahal untuk persyaratan hukum, operasi yang ini pakai operasi bikin mandul, jadi suami harus tanda tangan. Lha sekarang kalau suaminya pulang ke rumah, siapa yang bisa tanda tangan? Mosok kami merekrut satpam buat pura-pura jadi suaminya yang setuju bininya dibikin mandul, hihihi..

Akhirnya, setelah si pasien kalang kabut menelfon semua tetangganya, didapatkan informasi bahwa si suami sudah sampek rumah lalu oleh tetangganya disuruh balik lagi ke rumah sakit. Saat blog ini lagi saya ketik, suaminya sedang dalam perjalanan ke rumah sakit, tidak mengetahui bahwa di sini ada suster-suster yang siap ngamuk ke si suami gara-gara si suami kabur meninggalkan istrinya yang mau melahirkan sendirian..wkwkwkwk..

Orang kadang tidak tahu bagaimana aturannya kalau mengantar keluarganya berobat. Mereka kira dengan menaruh keluarga mereka di rumah sakit begitu saja lantas rumah sakit akan membereskan semua persoalan. Padahal rumah sakit tetap butuh keluarga pasiennya. Buat minta persetujuan atau bahkan pernyataan menolak jika akan melakukan tindakan medis yang berisiko. Buat menyuapi pasiennya kalau pasiennya ngeyel nggak mau makan sup bening yang disediakan suster. Buat dikasih tahu kalau mau plester yang mahal itu nggak ditanggung asuransi. Jadi si keluarga nanti nggak kaget kalau nanti tahu-tahu dikasih kabar buruk, entah itu pasiennya kenapa-kenapa atau sekedar ditagihin biaya segepok.

Saya sih lebih tertarik berpikir gimana seandainya saya berdiri di sepatu suaminya. (Eh eh, suami si pasien ternyata pake sendal ding, bukan sepatunya.. :p)
Saya iseng jalan-jalan ke ruang tunggu dan terhenyak. Hahaha..pantesan si keluarga kabur, lha mereka nggak betah nunggu di ruang tunggu. Ruang tunggunya jauh dari tempat tidur si pasien. Kursinya nggak empuk dan keras, mungkin sengaja didesain supaya nggak ada penunggu pasien yang tergoda buat tidur di situ. Tapi saya duga keras yang paling bikin bosen adalah di ruang tunggu nggak ada tukang jualan makanan..

Coba kalau di rumah sakit tuh ruang tunggunya dibikin menarik supaya penunggu pasien betah nungguin keluarganya yang lagi ditindak.
1. Disediain majalah, kalo bisa majalahnya yang ruwet-ruwet kayak Wall Street Weekly atau Reader's Digest. Dijamin pengunjungnya butuh waktu lama buat ngertiin isinya dan itu cukup buat membunuh waktu selama nungguin pasien.
Sekiranya Wall Street Weekly terlalu mahal dan bikin rumah sakit bangkrut, cukuplah disediakan Jawa Pos atau minimal buku teka-teki silang.
2. Disediain toilet, jadi pasiennya nggak perlu pulang ke rumah buat kebelet pipis.
Kalau perlu, toilet dibikin bisnis sekalian. Pengunjung yang mau pup atau pipis di-charge. Lebih mahal lagi kalau pengunjungnya mandi. Boleh juga jualan sabun bonus sikat gigi yang warnanya bisa milih sendiri. Rumah sakit bisa kaya lho hanya dengan menyewakan toilet. Anda pasti nggak bisa membayangkan berapa persen stok air rumah sakit terkuras gara-gara penunggu pasiennya suka numpang mandi di rumah sakit!
3. Dibikinin playground buat main anak-anak. Syukur-syukur ada odong-odong. Sekali naik satu lagu, di-charge Rp 5k. Bayangkan berapa omzet yang bisa ditarik dari pengunjung pasien yang bawa anak-anak. Charge-nya lebih mahal lagi kalau pakai lagunya Justin Bieber. Turunin dikit harganya kalau pakai lagunya CherryBelle. Sepuluh kali naik odong-odong bonus naik satu kali. Sip!
4. Di ruang tunggu dipasangin foto-foto berukuran poster bergambar artis-artis yang pernah berobat ke rumah sakit itu. Siapa tahu kalau dilihat pengunjung, pengunjungnya merasa dirinya artis karena sama-sama pernah berobat ke situ. Kalau kebetulan rumah sakitnya tipe rumah sakit kabupaten yang nggak pernah disamperin artis, bolehlah diganti dengan foto bupati, anggota DPR, atau minimal ya tokoh masyarakat yang berobat ke sana (sampek sekarang saya masih jijik dengan istilah "tokoh masyarakat". Apaan sih tuh? Kalau saya ngetop di kalangan blogger, boleh nggak saya dibilang tokoh masyarakat?)
5. Tapi yang paling signifikan, mbok dibikin kafe-kafean gitu di ruang tunggu. Bukan rahasia lagi kalau penunggu pasien itu lebih sengsara daripada pasiennya karena mereka kan nggak dikasih jatah makan dari rumah sakit. Kelaparan itu sumber kemarahan, dan kemarahan keluarga pasien adalah sumber masalah yang nggak perlu buat rumah sakit. Jadi supaya keluarga pasien seneng, keluarga harus dibikin kenyang. Makanya di ruang tunggu sebaiknya ada yang tukang jualan makanan. Bisa jualan panekuk atau esgrim. Lumayan kan membuka peluang lapangan pekerjaan? ;)

(Sutralah, Vic, ini mau bikin ruang tunggu rumah sakit atau mau bikin mall?)
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com