Thursday, May 24, 2012

Kami Juga Butuh Tidur

Dua orang mahasiswa kedokteran asal Groningen yang lagi pertukaran pelajar sempat magang sebentar di rumah sakit tempat saya bersekolah beberapa bulan yang lalu. Mereka terheran-heran kenapa saya sering datang ke kantor dalam keadaan mata merah, kepala setengah mabok, dan emosi yang tidak karuan, padahal saya nggak pernah ajeb-ajeb sembari nenggak pil seperti yang biasa ditelen si Afriyani yang nyetir Xenia sambil nabrak ibu hamil itu.

Lalu saya jawab ke mahasiswa-mahasiswa pirang itu, keadaan saya nggak fit soalnya kemaren malemnya saya habis jaga rumah sakit. Dan saya jaga itu, nyambung langsung dari dinas paginya. Kalau diitung bahwa saya mulai dinas pagi secara sah itu jam 7 sampek jam 3 sore, lalu saya jaga jam 3 sore sampek jam 7 pagi besoknya, lalu saya sambung dinas lagi besoknya dari jam 7 pagi sampek jam 3 sore, bisa diitung bahwa total durasi saya dinas itu 32 jam.

Terus, karena namanya kan dinas, berarti kan nggak tidur. Jadi total nggak tidur itu 32 jam.

Si mahasiswa Groningen itu terbengong-bengong kenapa kita nggak tidur selama itu. Di negara asalnya, nggak cuman dokter, setiap pegawai dilarang bekerja lebih dari durasi tertentu. Saya lupa durasinya berapa, yang pasti nggak ada ceritanya pegawai bekerja sampek 24 jam. Apalagi yang kerja nggak tidur sampek 32 jam seperti dokter di Indonesia.

Yang seperti ini bukan hanya terjadi pada saya, tapi sudah terjadi turun-temurun selama berpuluh-puluh tahun. Saya sering ditanya profesor saya, "Kamu jaga berapa kali seminggu?" Saya jawab 1-2 kali seminggu.
Lalu profesor saya mengerutkan kening. "Di level kamu dulu, saya dulu jaga lima hari seminggu.."

Jadi, saya nggak pernah ngeluh kurang tidur pada guru saya. Soalnya saya tahu mereka sudah begadang lebih banyak dari saya.

Dalam diskusi saya dengan seorang teman yang biasa bekerja untuk perusahaan multinasional, teman saya bertanya-tanya kenapa dokter di rumah sakit segede-gede gaban kudu bekerja nonstop seperti itu, padahal jumlah sumber daya manusia kan banyak. Memangnya dokternya cuman dikit yah sampek harus kerja bakti gitu?

Saya jawab, jumlah orang yang bisa jadi dokter itu banyak. Tapi rumah sakit pemerintah tidak sanggup mempekerjakan dokter sebanyak itu. Kalau mereka cuman punya anggaran sejumlah X untuk mempekerjakan dokter sejumlah Y padahal yang seharusnya jumlah dokter yang mereka pekerjakan menurut standar internasional adalah 2Y, maka mereka akan tetap pekerjakan dokter sejumlah Y saja. Sebodo amat dengan standar internasional.

Saya tidak pernah mikirin urusan gaji, tentu saja. Tapi saya lebih peduli tentang kesejahteraan dokter, karena kesejahteraan dokter sangat berbanding lurus dengan kesejahteraan pasien. Bisa dibayangkan kalau dokternya capek karena nggak tidur 32 jam, kemampuannya menangani pasien dengan aman dan tepat bisa diragukan. Siapa yang bisa mikir enak kalau sel otaknya kelelahan?

Dan saya juga nggak tertarik dengan pameo bahwa "pendahulumu bekerja lebih keras daripadamu, padahal beban mereka jaman dulu jauh lebih berat daripada bebanmu jaman sekarang". Menurut saya, selalu ada harga yang harus dibayar. Kerja yang tidak seimbang membuatmu stress, stress itu mempengaruhi kualitas hidupmu sebagai manusia. Pernahkah kamu tanya pada istri/suamimu, apakah mereka bahagia melihatmu pulang larut malam setiap hari? Pernahkah kamu datang ke sekolah anakmu untuk mengambil raport tanpa pikiranmu bercabang ke pasien di kantor yang mungkin menungguimu untuk dioperasi? Pernahkah kamu bercita-cita jadi pembuat kebijakan, yang kira-kira bisa mengatur supaya setiap dokter bisa membagi beban pasiennya ke dokter lain secara rasional, supaya dirinya sendiri punya waktu luang untuk beristirahat, mengabdi kepada keluarga, dan menjadi manusia yang seimbang antara sebagai individu dan sebagai makhluk sosial?

Di Indonesia, semua dokter yang sedang bersekolah tidak diatur untuk mendapat jatah libur setiap kali mereka telah menunaikan tugas jaga mereka malam sebelumnya. Karena, bagi dokter yang bersekolah, setiap hari adalah kesempatan untuk mendapatkan kasus pasien untuk dipelajari, dan kasus yang sama belum tentu akan meraka dapatkan lain kali. Jadi, jika mengambil libur, mungkin dokter itu kehilangan kesempatan menghadapi kasus yang langka.

Pada kesempatan lain, kita juga sering menemukan dokter-dokter spesialis tertentu mengalami kekacauan emosional lantaran kesulitan berbagi pekerjaan. Di sebuah ibukota kabupaten di Jawa, jumlah spesialis anestesinya hanya dua orang karena bupati setempat hanya mampu menggaji spesialis anestesi dua orang saja. Dampaknya, operasi yang bisa dilaksanakan dengan optimal pada waktu bersamaan di kota itu hanya dua operasi saja. Bisa dibayangkan jika ada lima orang sakit parah dan harus dioperasi pada waktu yang sama, tiga orang pasien terpaksa mengalah untuk dua orang lainnya karena ahli anestesinya memang cuman dua. Jika salah satu dokter ingin libur, entah itu karena ingin beristirahat atau karena mau ikut seminar, maka dokter satunya harus kerja bakti meladeni semua beban tugas. Keinginan untuk punya tambahan dokter ahli anestesi ketiga untuk berbagi pekerjaan belum tentu terwujudkan, apalagi kalau pemerintah lokalnya cuma sibuk memikirkan kekuasaan dan tidak mau repot-repot memikirkan apakah bawahannya cukup tidur atau tidak.

Dokter juga perlu dibela hak asasinya. Dan salah satu hak asasi dokter itu, adalah menjaga kesehatan. Dan upaya menjaga kesehatan itu dimulai dengan tidur yang cukup.

Ada banyak kontradiksi yang harus dihadapi dokter. Mendapatkan ilmu, tapi kehilangan waktu pribadi. Mendapatkan kehormatan, tapi terasingkan. Mendapatkan prestise, tapi terpaksa berkorban perasaan.

Dan ini saya, berkisah tentang hidup yang saya jalani sekarang.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com