Thursday, May 31, 2012

Ironi Iklan Seksi

Perempuan itu selalu ada di mana-mana. Saat dia ada di acara lelang untuk melelang barang, perempuan itu datang dengan pakaian bagus dan make up anggun dan duduk di sela-sela kursi tamu eksekutif. Di acara pengadilan, saat dia hendak mengumumkan putusan, perempuan itu juga ada di antara bangku penonton sambil duduk manis. Dan ketika dia menghadiri acara pertunjukan orkes, perempuan itu ada di antara barisan orkestra dengan main biola, sementara mata tajam femininnya menatap dirinya sepanjang lagu. Sepulang segala acara, dia sendiri pulang ke kamarnya yang elegan dan minimalis, si perempuan sudah ada di sana, menyambutnya dengan gaun kamar apa adanya, dan mereka akan melalui malam yang panjang sembari mengitik-ngitik satu sama lain, seperti malam-malam sebelumnya.

Itu iklan (yang sayangnya sebetulnya) rokok, suka wara-wiri di tivi pada sekitar 10 tahun dulu, durasi sekitar 60 detik, dimainkan jam 11 malam supaya nggak ditonton anak-anak di bawah umur yang belum tidur.

Kenapa saya bisa hapal iklan itu di luar kepala? Karena saya suka musik ilustrasinya. Dan kedua, iklan itu seksi. Percaya atau tidak, biasanya kalau saya nonton tivi, waktunya iklan, saya langsung pencet remote dan pindah ke channel lain, tapi khusus iklan yang ini, saya nggak pernah pindah channel dan saya selalu nonton iklannya dari awal sampek selesai.

Iklan, bagi saya adalah suatu pertunjukan seni dan saya sangat menghargai iklan yang digarap dengan sangat artistik, contohnya ya iklan rokok ini. Dan saya sangat menyayangkan, iklan-iklan paling bagus yang pernah saya tonton di tivi, justru paling banyak adalah iklan rokok. Ironisnya, saya anti rokok.

Ini salah satu sebab kenapa kita sulit membasmi rokok dari bumi negara kita. Karena pencitraan rokok sebagai simbol kekerenan, kemewahan, dan segala citra yang bagus-bagus lainnya membuat orang sulit percaya bahwa merokok itu sama sekali nggak keren. Padahal kita semua tahu, di semua iklan rokok yang bagus-bagus itu, tidak satu pun iklan itu menggambarkan orang merokok. Inilah liciknya iklan rokok. Dia menipu kita, termasuk menipu saya.

Pagi ini, di Hari Tanpa Tembakau Sedunia, teman saya bertanya di statusnya, berapa banyak tagline iklan rokok yang Anda ingat?
Saya sendiri nggak pernah ngapalin tagline rokok.
Tapi jika saya disuruh menunjuk iklan yang paling bagus yang pernah saya tonton, saya pasti akan jawab iklan rokok. Dan saya sangat iri. Saya sungguh berharap, saya bisa bikin iklan berbau obstetri-ginekologi yang seseksi iklan rokok itu..
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Tuesday, May 29, 2012

Semlohay 30 Tahun

Ulang tahun tuh pada hakekatnya cuman satu hari, tapi entah kenapa di tangan saya yang namanya ulang tahun itu bisa curi start awal, malah bisa extend sampek berhari-hari, hihihi..

Dimulai dari H-1, saya mulai perayaan dengan pergi creambath! Yaiyy..rasanya saya udah lupa kapan terakhir kali creambath. Feels like many months ago, di mana salon yang saya kunjungin pas creambath itu berakhir dengan mati lampu! Untungnya salon tempat saya creambath kali ini nggak mati lampu, hahaha.. Nih salon direkomendasikan sama kakaknya my hunk, posisinya di kawasan Darmo sana, saya sengaja ambil paket yang biasa-biasa aja, cukup hair spa bonus masker tangan n kaki. Eh eh, taunya terapisnya ternyata pinter banget, saya aja pas dipijitin langsung ketiduran! Plus lagi bau krimnya bertahan cukup lama, wanginya sampek besoknya nggak ilang-ilang..

Malemnya, saya dan my hunk nekat menceburkan diri ke Surabaya Urban Festival di bilangan Tunjungan. Suatu keputusan sinting karena bodi saya yang udah wangi creambath jadi campur baur sama lautan manusia di festival yang lebih mirip pasar kaget itu, hahaha.. Sebetulnya kami kepingin makan di salah satu warung tenda sana, tapi entah kenapa, mungkin lantaran tempat itu saking kebanyakan dibanjirin pengunjung, jadinya kita susah banget nemuin tempat kosong. Alhasil kita berdua cukup menikmati aja kelilingin tuh festival sampek habis sembari makan es puter Singapore sambil suap-suapan sepanjang jalan..

Saya begitu capeknya malam itu sampek pulang-pulang langsung ketiduran. Malem-malem jam 12 my hunk nowel di semua socmed bilang selamat ulang tahun, dan saya bangun subuh-subuh mendapati belasan notification di HP saya, semuanya berisi ucapan happy birthday. Whoaa..saya nggak bisa bales semuanya, saya kudu visite pasien!
The birthday girl

Untungnya hari tanggal 28 Mei ini saya bisa bereskan semua kerjaan saya di rumah sakit tepat waktu, jadi saya tinggal pulang ke apartemen buat mandi dan dandan yang cantik. Menjelang sore, concierge saya naik ke apartemen saya dan berteriak, "Mbak Vicky, ada paket!" Ternyata bonyok dan adek saya di Bandung kirimin saya kado segepok dalam satu dus. Kadonya dibungkus satu-satu, jadinya kesannya banyak, hahahaa.. Lantas karena saya nggak sempet buka semuanya, maka kadonya pun nggak saya buka semua. Sore kemaren saya cuman buka satu-dua, terus tadi pagi saya buka kado ketiga, tadi sore saya buka kado keempat dan kelima, malam ini saya baru cengar-cengir lihat kado keenam, hahahaha..

Semalam kita berdua pun dugem di restoran Italia di kawasan Darmo (lagi). (Iya lagi, soalnya hampir semua restoran enak di kawasan Surabaya Timur sudah dijabanin semua..) Ternyata bener yang namanya all you can eat itu bikin semua cara makan jadi keliatan sesat. Saya nggak bisa berhenti mengambil semua pasta dan daging yang ada di situ, bahkan my hunk sampek nambah sayap ayamnya seporsi lagi. (Padahal sepiring itu ada banyak banget sayap ayam). 
Yang lucu adalah waktu my hunk bilang: "Kita nggak bisa pulang.."
Saya melongo. "Lho, kenapa?"
My hunk: "Aku nggak bisa berdiri.."
Saya langsung panik. "Tidak, tidak, kamu tidak boleh kekenyangan. Kamu harus menolong aku, aku nggak bisa menghabiskan daging iga ini sendirian..!"
I'm 30 and greedy!

Intinya adalah kami berdua semalam pulang dengan perut limbung dan jalan miring. Bener-bener tipikal ulang tahun yang saya sukai: Mabuk dan kekenyangan..

Tadi pagi saya bangun, pasca hari ulang tahun yang sepertinya belum berakhir, dan perut ini masih aja kekenyangan. Ajaib, kutukan penganan Italia itu masih bertahan.. Padahal hari ini saya masih kudu syuting operasi laparoskopi..

Dan..saya pun nggak lupa manfaatin kartu anggota saya di klub Tokobadan. Malam ini saya bela-belain ke sana cuman buat ambil hadiah ulang tahun saya, soalnya tahu sendiri kan kalo jadi anggota klubnya Tokobadan bisa dapet hadiah gratis kalau ulang tahun. Pramuniaganya bilang kalau tahun ini saya dapet hadiah sabun batangan yang bisa saya pilih sendiri aromanya, atau boleh juga saya milih, saya nggak dapet sabun batangan tapi saya dapet sabun muka buat pria. Ya jelas saya pilih sabun muka aja dong..soalnya saya kan memang nggak pernah mandi pakai sabun batangan. Sabun mukanya saya kasih ke my hunk, dan dia sumringah sekali. Coba bayangin, saya yang ulang tahun, tapi malah dia yang dapet kadonya, wkwkwkwk..

Foto di samping itu salah satu kado saya, sepatu desainnya Risdania Syafdini dari Luirre. Ris, makasih ya, nih sepatu cakep banget dan yang gw suka, nggak bikin kaki lecet biarpun gw baru pertama kali make! Eh ya, tadi gw jalan-jalan ke Galaxy Mall pake sepatu ini, n nggak sengaja gw nangkep ada cewek ngelirik sepatu bikinan lu ini lho..wkwkwkwkwk..

Makasih ya buat teman-teman yang udah kirimin saya selamat ulang tahun via e-mail, Twitter, Facebook, Foursquare, dan SMS. Sebentar, saya masih berupaya balas satu per satu. Semoga doa kalian semua di umur saya yang akhirnya masuk club 30's ini berbalik semua ke kalian. Amien, amien, amien..

Sunday, May 27, 2012

Kuteks Itu Urusan #2

Dalam setiap operasi, hampir semua pasien sebetulnya menghadapi risiko mati di atas meja, oleh karena obat-obatan anestesi yang harusnya digunakan.

Untuk mencegah kematian itu, sebetulnya kita bisa mengenali tanda-tanda yang menuju ke arah sana tanpa harus menunggu jantung berhenti berdetak.
Cukup dengan memeriksa kuku jari pasien. Pencet kukunya, maka kuku akan tampak pucat sebentar, lalu kembali berwarna pink hanya dalam kurun dua detik.
Tetapi jika lebih dari dua detik kuku tidak kembali berwarna pink, maka itu pertanda pasiennya telah kehabisan oksigen dan sebentar lagi bisa meninggal. Dokter akan perlu bergerak cepat dalam hitungan detik untuk memberikan obat-obatan penahan nyawa.

Siyalnya, pasien kadang-kadang suka sok modis.
Bukan, bukan monyet disko.

Seringkali pasien mengecat kukunya dengan beragam warna. Mulai dari warna ungu, warna biru, dan yang di foto saya ini, warna item. Sepanjang operasi yang sedang saya kawal ini, saya berdoa semoga si pasien nggak sampek kenapa-napa di atas meja operasi. Kalau dia kehabisan oksigen, dokter anestesinya nggak akan cepat tahu karena kukunya si pasien ketutupan kuteks!

Mosok rumah sakit harus memberlakukan ketentuan dilarang operasi kalau pasiennya masih pakai kuteks? Nanti pasiennya ngambek karena merasa nggak diobati dan kita disangka mempersulit..

Mbok ya sadar dirilah. Rumah sakit yang terpaksa menyediakan aseton hanya demi membersihkan kuku pasien yang mau dioperasi, cuman nambah-nambah kerjaan yang nggak efisien aja.

Yang penting pasien itu selamat nyawanya. Bukan cantik kukunya.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Thursday, May 24, 2012

Kami Juga Butuh Tidur

Dua orang mahasiswa kedokteran asal Groningen yang lagi pertukaran pelajar sempat magang sebentar di rumah sakit tempat saya bersekolah beberapa bulan yang lalu. Mereka terheran-heran kenapa saya sering datang ke kantor dalam keadaan mata merah, kepala setengah mabok, dan emosi yang tidak karuan, padahal saya nggak pernah ajeb-ajeb sembari nenggak pil seperti yang biasa ditelen si Afriyani yang nyetir Xenia sambil nabrak ibu hamil itu.

Lalu saya jawab ke mahasiswa-mahasiswa pirang itu, keadaan saya nggak fit soalnya kemaren malemnya saya habis jaga rumah sakit. Dan saya jaga itu, nyambung langsung dari dinas paginya. Kalau diitung bahwa saya mulai dinas pagi secara sah itu jam 7 sampek jam 3 sore, lalu saya jaga jam 3 sore sampek jam 7 pagi besoknya, lalu saya sambung dinas lagi besoknya dari jam 7 pagi sampek jam 3 sore, bisa diitung bahwa total durasi saya dinas itu 32 jam.

Terus, karena namanya kan dinas, berarti kan nggak tidur. Jadi total nggak tidur itu 32 jam.

Si mahasiswa Groningen itu terbengong-bengong kenapa kita nggak tidur selama itu. Di negara asalnya, nggak cuman dokter, setiap pegawai dilarang bekerja lebih dari durasi tertentu. Saya lupa durasinya berapa, yang pasti nggak ada ceritanya pegawai bekerja sampek 24 jam. Apalagi yang kerja nggak tidur sampek 32 jam seperti dokter di Indonesia.

Yang seperti ini bukan hanya terjadi pada saya, tapi sudah terjadi turun-temurun selama berpuluh-puluh tahun. Saya sering ditanya profesor saya, "Kamu jaga berapa kali seminggu?" Saya jawab 1-2 kali seminggu.
Lalu profesor saya mengerutkan kening. "Di level kamu dulu, saya dulu jaga lima hari seminggu.."

Jadi, saya nggak pernah ngeluh kurang tidur pada guru saya. Soalnya saya tahu mereka sudah begadang lebih banyak dari saya.

Dalam diskusi saya dengan seorang teman yang biasa bekerja untuk perusahaan multinasional, teman saya bertanya-tanya kenapa dokter di rumah sakit segede-gede gaban kudu bekerja nonstop seperti itu, padahal jumlah sumber daya manusia kan banyak. Memangnya dokternya cuman dikit yah sampek harus kerja bakti gitu?

Saya jawab, jumlah orang yang bisa jadi dokter itu banyak. Tapi rumah sakit pemerintah tidak sanggup mempekerjakan dokter sebanyak itu. Kalau mereka cuman punya anggaran sejumlah X untuk mempekerjakan dokter sejumlah Y padahal yang seharusnya jumlah dokter yang mereka pekerjakan menurut standar internasional adalah 2Y, maka mereka akan tetap pekerjakan dokter sejumlah Y saja. Sebodo amat dengan standar internasional.

Saya tidak pernah mikirin urusan gaji, tentu saja. Tapi saya lebih peduli tentang kesejahteraan dokter, karena kesejahteraan dokter sangat berbanding lurus dengan kesejahteraan pasien. Bisa dibayangkan kalau dokternya capek karena nggak tidur 32 jam, kemampuannya menangani pasien dengan aman dan tepat bisa diragukan. Siapa yang bisa mikir enak kalau sel otaknya kelelahan?

Dan saya juga nggak tertarik dengan pameo bahwa "pendahulumu bekerja lebih keras daripadamu, padahal beban mereka jaman dulu jauh lebih berat daripada bebanmu jaman sekarang". Menurut saya, selalu ada harga yang harus dibayar. Kerja yang tidak seimbang membuatmu stress, stress itu mempengaruhi kualitas hidupmu sebagai manusia. Pernahkah kamu tanya pada istri/suamimu, apakah mereka bahagia melihatmu pulang larut malam setiap hari? Pernahkah kamu datang ke sekolah anakmu untuk mengambil raport tanpa pikiranmu bercabang ke pasien di kantor yang mungkin menungguimu untuk dioperasi? Pernahkah kamu bercita-cita jadi pembuat kebijakan, yang kira-kira bisa mengatur supaya setiap dokter bisa membagi beban pasiennya ke dokter lain secara rasional, supaya dirinya sendiri punya waktu luang untuk beristirahat, mengabdi kepada keluarga, dan menjadi manusia yang seimbang antara sebagai individu dan sebagai makhluk sosial?

Di Indonesia, semua dokter yang sedang bersekolah tidak diatur untuk mendapat jatah libur setiap kali mereka telah menunaikan tugas jaga mereka malam sebelumnya. Karena, bagi dokter yang bersekolah, setiap hari adalah kesempatan untuk mendapatkan kasus pasien untuk dipelajari, dan kasus yang sama belum tentu akan meraka dapatkan lain kali. Jadi, jika mengambil libur, mungkin dokter itu kehilangan kesempatan menghadapi kasus yang langka.

Pada kesempatan lain, kita juga sering menemukan dokter-dokter spesialis tertentu mengalami kekacauan emosional lantaran kesulitan berbagi pekerjaan. Di sebuah ibukota kabupaten di Jawa, jumlah spesialis anestesinya hanya dua orang karena bupati setempat hanya mampu menggaji spesialis anestesi dua orang saja. Dampaknya, operasi yang bisa dilaksanakan dengan optimal pada waktu bersamaan di kota itu hanya dua operasi saja. Bisa dibayangkan jika ada lima orang sakit parah dan harus dioperasi pada waktu yang sama, tiga orang pasien terpaksa mengalah untuk dua orang lainnya karena ahli anestesinya memang cuman dua. Jika salah satu dokter ingin libur, entah itu karena ingin beristirahat atau karena mau ikut seminar, maka dokter satunya harus kerja bakti meladeni semua beban tugas. Keinginan untuk punya tambahan dokter ahli anestesi ketiga untuk berbagi pekerjaan belum tentu terwujudkan, apalagi kalau pemerintah lokalnya cuma sibuk memikirkan kekuasaan dan tidak mau repot-repot memikirkan apakah bawahannya cukup tidur atau tidak.

Dokter juga perlu dibela hak asasinya. Dan salah satu hak asasi dokter itu, adalah menjaga kesehatan. Dan upaya menjaga kesehatan itu dimulai dengan tidur yang cukup.

Ada banyak kontradiksi yang harus dihadapi dokter. Mendapatkan ilmu, tapi kehilangan waktu pribadi. Mendapatkan kehormatan, tapi terasingkan. Mendapatkan prestise, tapi terpaksa berkorban perasaan.

Dan ini saya, berkisah tentang hidup yang saya jalani sekarang.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Wednesday, May 23, 2012

Tahanan Bensin

Sewaktu santer diberitakan harga BBM mau naik bulan lalu (dan ternyata nggak jadi, karena si partai kuning itu ternyata memang pengkhianat buat si biru), saya tidak terpengaruh. Soalnya saya kan mahasiswa yang tinggal di seberang sekolah, yang mana untuk pergi ke sana saya cukup nyeberang jalan doang dan nggak butuh kendaraan, maka saya nggak peduli BBM mau naik apa enggak. Tapi sekarang, perlahan-lahan saya mengerti bahwa BBM itu seperti hantu yang akan mencekik kita, cepat atau lambat.

Kini, ada hal-hal lain yang jadi topik favorit saya dan my hunk selain makan dan jalan-jalan. Salah satunya adalah: properti tempat tinggal. Karena kami berencana menikah tahun depan, dan my hunk nggak kepingin kami menumpang rumah orang tua lama-lama, maka kami mulai melirak-lirik iklan properti. Sayangnya menemukan rumah yang pas nggak semudah mencari restoran bebek goreng, karena ternyata harga rumah yang kami sukai nggak sepadan dengan isi kantong kami yang memang kempes.

Lalu, tersebutlah kami nemu properti yang nampaknya enak buat ditongkrongin di kawasan Surabaya Timur. Lahannya nggak terlalu luas, tapi cocoklah buat kami berdua yang tipe "pekerja yang kerja kayak orang gila, pulang ke rumah cuman buat tidur". My hunk suka harganya, tapi saya enggak, soalnya masalah sepele: Tempatnya nggak dilaluin bemo, dan saya belum nemu pangkalan becak atau ojek sekitar situ.

Sebagai bandingan, saya nemu properti lain di deket situ, yang nggak terlalu jauh dari jalan raya yang dilewatin bemo. Dibandingin proposalnya my hunk, yang saya sukain ini selisihnya lebih mahal Rp 40 jutaan. My hunk nggak suka lantaran cost-nya lebih mahal, belum lagi selisih service charge bulanannya yang juga cukup signifikan sekitar 1,5 kali lipat. Jadi jelas, ini masalah khas antara (calon) suami dan istri, saat yang cowok lebih pusing oleh biaya, sementara yang cewek lebih mentingin fungsi.

Saya yakin yang pusing kayak gini nggak cuman kami. Ada banyak orang di kota ini yang dipusingin urusan tempat tinggal cuman gara-gara nggak mau dibikin susah oleh jarak. Contoh simpel aja, saya masih bingung kenapa ada orang mau tinggal di Bogor padahal sehari-harinya kerja di Kuningan-Jakarta. Kakak saya aja ngalah, masang investasi dengan beli apartemen di Kuningan supaya nggak kejebak macet ke kantornya di sana. Saya mufakat dengan cara mikirnya, mendingan berkorban mahal beli tempat tinggal deket kantor daripada duitnya habis cuman demi bensin dari rumah ke kantor hanya lantaran rumah di ujung dunia.

Saya sendiri nggak bercita-cita akan menghabiskan hidup dengan pakai mobil pribadi sehari-hari. Saya nggak keberatan ngantor pakai bemo. Tapi saya puyeng kalau untuk ke jalan yang dilaluin bemo kudu jalan kaki jauh. Kolega saya bilang, kalo kayak gitu cara mikirnya, mestinya saya jangan pacaran sama fotografer, tapi pacaran aja sama sopir taksi.

Nggak adil, jika jalan keluarnya adalah kita harus punya mobil pribadi hanya supaya kita bisa mobile dengan tempat tinggal yang jauh dari keramaian kendaraan umum. Itu tidak mendidik kita dari kemandirian, itu hanya akan membuat kita bergantung pada bensin.

Kenapa Pemerintah nggak bikin aja kendaraan umum yang nyaman, yang berjalan tertib dan rutenya bisa dijangkau semua orang? Saya rasa itu tindakan yang jauh lebih bermanfaat ketimbang sibuk memberantas konser Lady Gaga.

Lalu saya bertanya-tanya dalam hati, apakah berkorban duit transpor dengan taksi setiap hari pada tempat tinggal yang jauh itu, setimpal dengan mengirit service charge bulanan plus selisih harga beli yang mungkin jatuhnya akan lebih mahal jika kami beli properti yang lebih deket dengan jalan raya?

Saya berdoa, kalau memang jodoh tempat tinggal kami di sana, semoga ada wiraswasta yang mau berinvestasi bikin grup tukang ojek atau becak. Sesungguhnya para transporter kawakan itu akan sangat berjasa buat menghemat tenaga dan pikiran saya nanti.

Seandainya saya punya anak nanti, saya ingin dia bisa belajar naik motor sendiri. Saya tidak mau dia jadi tahanan bensin yang ngomel saban kali harga BBM naik, seperti orangtuanya.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Sunday, May 20, 2012

Tetangga Ikut-Ikutan

Kadang-kadang saya bertanya-tanya, apakah kesulitan macam gini juga akan terjadi kalau saya sudah punya rumah sendiri nanti. Saya bahkan nggak tahu apakah ini layak disebut kesulitan.

Kemaren kan sempat libur, jadi saya bikin pesta piyama di rumah kakak saya di Malang. Sebenarnya ini bukan pesta piyama, tapi lebih layak disebut pesta daster, hahaha.. Maka my hunk pun pergi bermobil dari Surabaya sore-sore buat nganterin saya ke rumah kakak.
Salah satu bagian paling menyenangkan dari pulang ke rumah kakak adalah saya bisa main piano di rumahnya sampek puas. Maklum semenjak saya pindah ke Surabaya, saya kan nggak pernah main piano lagi lantaran sampek hari ini saya belum diijinkan ngegotong piano ke dalam apartemen saya (dasar nggak tahu diri, sudah tahu tangga buat naik ke apartemen saya itu sempit banget..)

Memang tuh piano sebetulnya lebih layak disebut keyboard, karena kan dia dibikin dari entah mika atau entah plastik, beda sama piano dari bilah kayu yang biasa saya mainkan, jadi suaranya pun nggak seindah piano sungguhan. Tapi lumayan kan buat melepas stres. Lagian saya nggak peduli, pokoknya jari-jari saya bisa main dengan lincah.

Kakak saya agaknya lupa memperingatkan saya, tapi saya sudah kadung buka tuh piano dan main tingtang-tingtung. Baru main dua lagu, saya berhenti sebentar lantaran saya mau pipis. Keluar dari kamar mandi, saya dengar ada suara piano lain. Nampaknya dari rumah tetangga kakak saya.

Lalu kakak saya bilang, "Dia selalu begitu."
Siapa? Maksudnya, tetangganya.
Katanya, dulu ceritanya, kakak saya baru pindah ke rumah itu. Yang namanya rumah baru mau diisi, pasti kosong blong, termasuk halaman depannya. Tuh halaman nggak ada rumputnya sama sekali. Lalu suatu pagi kakak saya lihat tetangga sebelah rumahnya punya tukang kebun panggilan, lagi berkebun di sana. Kakak saya panggil tuh tukang kebun, minta dipasangin rumput buat rumahnya sendiri, nanti kakak saya mau bayar.
Maka besoknya datanglah tuh tukang kebun bawa rumput bergepok-gepok, lalu dipasang di halaman depan rumah kakak saya. Entah gimana, besoknya lagi, si tetangga ribut kepingin pasang rumput juga buat halamannya. Padahal sebelum kakak saya pindah, tuh rumah si tetangga nggak ada rumputnya sama sekali..

Tadinya kakak saya nggak perhatiin. Maklum deh, kan masih banyak hal lain buat jadi prioritas pikiran. Lalu kakak saya kepikiran kepingin punya piano, karena keluarga kami kan memang musisi dan seneng main piano. Mau beli piano kok kayaknya malah bikin rumah kesempitan, jadilah kakak saya beli keyboard dulu. Singkat kata tuh keyboard masuk rumah dan kakak saya suka main seenak udelnya sendiri. Suaranya si keyboard disetel jadi mirip suara piano, beres deh.
Eh eh, besoknya, dari rumah tetangga terdengar suara piano, nggak tahu itu suara keyboard atau suara piano sungguhan. Di sinilah si tetangga mulai terasa ganjil. Kok tetangga ikut-ikutan beli juga sih?

Lalu tetangga-tetangga lainnya mulai towel-towel kakak saya. "Iya lho, Jeng, dulu sebelum sampeyan pindah ke sini, tuh orang ndak pernah punya piano. Saking aja liat sampeyan punya piano, dia jadi ikut-ikutan kepingin.." :p
Kakak saya bengong. Nggak kepikiran juga bakalan bikin tetangga jadi ngirian kayak gitu. Sebetulnya kakak saya nggak kebingungan. Tapi kakak saya kasihan sama tetangga-tetangga yang lain. Soalnya kalau pas kakak saya lagi main keyboard dan si tetangga jadi ikutan main piano juga, pasti lagunya beda dan nggak nyambung. Mana si tetangga selalu membuka pintu rumahnya lebar-lebar kalau dia lagi main piano, seolah "maksa" sekompleks pada dengerin dia. Kasihan tetangga-tetangga yang lain, jadi bingung mau ngedengerin yang mana..

Kalo katanya ibu-ibu yang lain sih, nggak cuman dalam aspek rumput dan piano keyboard aja si tetangga bersikap kayak gitu. Inget ibu-ibu suka pamer punya panci berharga jutaan? Nah, si tetangga juga keblinger beli panci cuman gara-gara orang sebelah punya panci!

"Idih! Apa-apaan tuh si tetangga baru kedatengan adeknya yang centil nggak ketulungan?
Besok-besok aku juga mau panggil dulurku si Sri ah ke rumahku,
 ta' suruh dia dandan a la Marilyn Monroe pula kayak cewek itu.."
Balik lagi ke cerita saya yang main keyboard bersuara piano di rumah kakak. Saya denger aja suara si tetangga main piano dentang-denting gara-gara denger saya main. Lalu saya bilang, "Jangan kuatir, Mbak! Lihat saja, aku akan provokasi dia!"
Saya narik kursi, lalu duduk di depan keyboard dan terbang ke genre asli saya: jingkrak-jingkrak! Saya main lagu-lagu susah bertempo ngebut, mulai dari Wonderland-nya Maksim sampek Pelangi Cita-nya Gita Gutawa. Setelah setengah jam saya main, saya diam sebentar. Haa..si tetangga nggak ikut-ikutan main lagi. Hah! Saya menang!

"Aku bahkan heran kenapa dia harus merasa tersaingi," kata kakak saya.

Lalu saya bilang ke dos-q, untung semalam saya bawa my hunk ke rumah kakak itu malem-malem, jadi nggak keliatan tetangga. Coba kalo my hunk datengnya pagi-pagi dan keliatan tetangga, bisa-bisa besok-besoknya tetangga ngeyel juga kepingin ikut-ikutan mendatangkan my hunk ke rumahnya.. Ih! Mosok saya mau pinjemin pacar saya buat dipamer-pamer punya oleh si tetangga, males banget deh!

Tuesday, May 15, 2012

Mengajari Si Cupet

Seorang perempuan dateng ke tempat saya magang lantaran keguguran. Kami harus menguretnya supaya perdarahannya berhenti. Sebelum tindakan pertolongan dimulai, bidannya nanya ke si pasien, mau bayar biaya tindakannya pakai cara apa. Lalu si pasien jawab pakai asuransi pemerintah.

Berikutnya si bidan tanya, nanti setelah dikuret, si pasien mau pakai KB apa.
Lalu jawab si pasien, dia nggak mau KB.
Bidannya terheran-heran dan bertanya, kenapa nggak mau KB?
Pasiennya jawab, kan KB dilarang agama.

Setelah itu, hening.

Kolega saya, dokter muda yang belum lulus dokter, tanya, "Siapa yang bilang begitu, Bu?"
Jawab si pasien sambil mbetulin jilbabnya, "Agama yang bilang."
Kolega muda saya, sama-sama pakai jilbab juga, ngeyel, "Agamanya bilang di mana? Surat mana? Ayat berapa?"
Nah, si pasiennya nggak bisa jawab.

"KB kan membunuh anak (di dalam kandungan)," kilahnya.
Kolega muda saya: "Lho, kata siapa, Bu? KB itu mencegah kehamilan, bukan membunuh anak."

Lalu, tiba-tiba di ruangan itu, seorang pasien lain menyela, "Iya, Bu. KB itu nggak membunuh anak. Malah dianjurkan agama supaya ibu tetap sehat. Kalo anaknya banyak kan ibunya jadi sakit-sakitan."

Kata si pasien anti KB, "Lho, punya anak banyak itu kan banyak rejeki?"
Bidannya sekarang mencela, "Huh? Kata siapa banyak rejeki, Bu? Sekarang biaya sekolah susah, Bu. Saya mau nyekolahin anak saya sampek kuliah aja empot-empotan.."
Pasiennya terus bilang, "Ah, nyekolahin anak itu sampek SMP aja. Lagian kan sekolahnya gratis, kan sekarang semua sekolah dibiayain pemerintah.."

Saya, waktu itu lagi nulis laporan di kamar bersalin, langsung ngumpetin muka saya di balik meja dan tepok jidat.
Saya satu-satunya di ruangan itu yang nggak pakai jilbab, males berdebat tentang agama. Saya cuman tahu satu hadis yang saya pegang sampek sekarang: janganlah kamu bertengkar dengan orang bodoh. Dan saya ogah berargumen melawan kepala cupet.

Demi Tuhan, ini pasti gara-gara bupati setempat yang menggratiskan semua fasilitas, bikin semua penduduk jadi punya watak cepat puas dan mental gratisan. Nggak heran kalau selama kerja di sana saya sering lihat ibu-ibu bersalin dengan komplikasi yang jelek-jelek.

Tapi, kolega muda saya, namanya Inung, nggak semalas saya. Dos-q ngoceh menceramahi si pasien anti KB itu selama 20 menit tentang dalil agama yang bilang bagaimana Tuhan minta manusia supaya memelihara ibu-ibu supaya tetap sehat, supaya bisa nyusuin anaknya sampek lengkap, dan KB menolong semua upaya itu. Dia beri tahu si pasien tentang bagaimana punya anak banyak malah bikin ibu jadi sakit-sakitan dan banyak yang meninggal.

Si pasien bergeming. Dia tetep nggak mau KB. Lalu bidan pun berkata, kalo nggak mau pakai KB, maka mau berobat di rumah sakit itu harus bayar.
"Berapa sih bayarnya?" Sekarang si pasien nantang.
"Dua juta tiga juta, Bu," jawab saya sekenanya. Saya pikir itu biaya pasti kemahalan, coz suami si pasien adalah pedagang bakso.
Ternyata saya salah.
Si pasien malah jawab, "Ya udah, nanti saya suruh suami saya bayar aja."
Oh sh*t.

Malam-malam, saya kuret tuh pasien. Bidannya sudah mulai nulis daftar tagihan yang mau dos-q tagihkan ke suaminya.
Selesai kuret, saya lepas tuh pasien dan kami kirim dos-q ke kamar opname. Rencananya, setelah opname satu hari, si pasien akan pulang.

Eh eh, besok siangnya, si pasien balik lagi ke kamar bersalin tempat saya magang. Lho, saya kirain saya nggak akan lihat pasien ini lagi.
"Wonten nopo, Bu?" (Ada apa, Bu?) tanya saya ke bidan.
Pasiennya ngeliatin saya, nunjukin IUD.
Bidannya jawab, "Njaluk spiral, Dok." (Minta dipasang spiral, Dok.)
Saya terheran-heran, "Lho, jarene gak gelem KB?" (Katanya nggak mau ikut KB?)
"Bojone gak gelem mbayar!" (Suaminya nggak mau bayar biaya rumah sakit) tukas si bidan.

Saya malingin muka, dan berusaha keras nggak ketawa ngakak.

Pasien itu, yang entah kesambet pengajian aliran mana sehingga kemaren nolak nggak mau KB, ternyata sekarang memutuskan untuk ikut KB hanya supaya asuransi Jampersal-nya nggak putus.

Dari dulu juga saya sudah tahu bahwa Jampersal itu hanya akan disalahgunakan oleh penduduk pemalas yang nggak mau menjaga kesehatan tapi ngotot maksa berobat gratis.

Lalu saya melambaikan tangan ke si pasien, memintanya berbaring di kursi litotomi.
"Bu Dokter," si pasien bertanya takut-takut. "Sakit nggak KB itu?"
"Enggak, Bu," jawab saya sambil masukin sonde.
"Bu, setelah pake KB ini, apa saya masih bisa punya anak lagi?"
Saya menengadah kepadanya dan tersenyum. "Kalo ada rejeki, insya Allah bisa, Bu."
"Saya kirain, kalo pake KB berarti saya mandul.."
Saya ketawa. "Ah, Ibu, nggak semua KB bikin mandul.."

Selesai pasang IUD, saya beri tahu pasiennya.
IUD ini mencegah sperma ketemu telur, jadi kalau ibu dan bapak campur, nggak akan jadi anak. Sehingga tidak perlu kuatir hamil.
IUD ini bisa sampek 8 tahun nggak hamil-hamil. Enak kalo kepingin jangka lama.
Tapi kalo si pasien kepingin hamil lagi, boleh pergi ke bidan deket rumah, lalu minta IUD-nya dicopot.
Setelah keguguran sebaiknya jangan hamil dulu, soalnya rahimnya harus istirahat. Tunggu sekitar enam bulan, maka rahimnya sudah aman buat hamil lagi.

Dan barulah pasien lugu binti cupet itu mengerti. Dan pulang dengan kepala plong.

Seharian itu saya merenung. Masalah dokter sebetulnya bukanlah kesulitan mengobati, kadang-kadang masalah kita adalah membuat pasien mau paham. Dan tingkat kesulitan semakin tinggi jika dipengaruhi tingkat pendidikan dan kultur (bukan agama lho ya) yang dianut si pasien. Butuh kemauan untuk menjelaskan panjang lebar, dan Inung, kolega muda saya itu, telah membuktikan bagaimana kesediaan dokter buat ngoceh bisa mengubah cara berpikir orang-orang yang nggak pinter-pinter amat.

Kita bukan cuman pengobat, tapi kita juga pendidik.

Meskipun seperempat kepala saya masih percaya bahwa sesungguhnya si pasien mau ikut KB bukan lantaran sudah dengar ceramahnya Inung, tapi hanya karena nggak mau mbayar rumah sakit.

Mungkin, di negeri kita, orang masih harus dipakaikan cara-cara pemaksaan supaya mau hidup sehat.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Tuesday, May 8, 2012

Bando Nggak Niat

Tolong ya Jemaah, karena saya sudah kelamaan nggak nonton tivi, dan kelamaan melototin vulva melulu, akibatnya saya nggak tahu lagi sekarang lagi ngetrend ikat kepala apaan selain ikat abdomen.

Beberapa sore yang lalu, saya lagi nonton acaranya Pak Bondan, lalu ada guest star cewek pakai ikat kepala ini. Saya terheran-heran ngeliatnya, dan kepikiran, apakah ini gara-gara Taylor Swift suka pakai ikat kepala beginian, atau memang bando a la hippies ini sekarang ngetrend kah?

Saya tadinya mikir nih bando kok kesannya nggak niat ya. Tuh bando kan nggak dipancang di atas puncak kepala, tapi cukup di puncak jidat. Yeah, di puncak jidat! Lha dengan posisi kayak gitu, apakah kira-kira nggak akan melorot? Kan nggak lucu kalau saya pakai bando ini pas lagi kerja di rumah sakit, terus saya nolong persalinan, di tengah-tengahnya saya lagi membimbing si pasien mengejan, tahu-tahu bandonya melorot dan nutupin mata saya? *langsung digetok*


Lalu setelah saya browsing sana-sini dan menemukan gambar ini, saya pun menarik kesan bahwa bando ini mungkin nampak keren, tapi salah memakainya akan membuat orang mengira bahwa dirimu sedang sakit kepala..


Sunday, May 6, 2012

Dadah Dulu, Dodol

Setelah ini, saya jadi tertampar karena saya nggak pernah basa-basi.

Saya baru masuk kantor kemaren. (Iya, saya ketiban giliran jaga di hari weekend! Nggak usah ngetawain saya!) Lagi duduk-duduk sembari nunggu sarapan dateng. Terus, saya denger bidan yang seruangan sama saya, kebetulan dos-q dapet giliran jaga malam, jadi dos-q lagi siap-siap mau pulang karena bidan yang giliran jaga pagi sudah dateng buat gantiin dos-q. Oh ya, di sini juga ada mahasiswa kebidanan yang lagi kerja praktek di sini.

Bidan: Mbak, perasaan tadi malem, yang mahasiswanya duduk di sini bukan sampeyan.
Mahasiswa: Oh iya, Bu. Giliran saya sekarang mulai jam 7.00.
Bidan: Lho, yang tadi malem itu sekarang ke mana?
Mahasiswa: Sudah pulang, Bu. Kan sudah ada saya yang gantiin.
Bidan: Lho, gimana sih, kok pulang duluan nggak minta ijin dulu sama saya?
#hening#

Saya dengernya agak terhenyak. Ya know, di antara lingkungan saya sendiri, ada aturan bahwa dokter junior nggak boleh pulang lebih duluan kecuali dokter seniornya udah pulang. Kecuali kalau seniornya ngijinin. Saya nggak ngira para bidan itu juga punya aturan serupa.

Tadinya saya nganggap itu suatu jenis ritual senioritas yang lain lagi. Well, gimana kalo yang senior itu masih arisan ngerumpi dulu sambil makan belut goreng padahal yang junior sudah kemecer mau pulang buat main bowling? Mosok mahasiswanya harus menunda main bowling hanya demi nungguin seniornya makan belut?

Tapi belakangan saya tahu bahwa ada esensi yang lebih penting ketimbang sekedar upacara tunggu-tungguan. Ini urusan setia kawan.

Kolega yang belum selesai kerja adalah kolega yang sedang kesulitan karena tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu. Sebaiknya kolega lainnya ikut menemani, bukan meninggalkannya mampus sendirian. Kadang-kadang menemani bukan ikut bantu mengerjakan, tapi menemani itu mengandung makna psikologis. Tidak ada orang normal di dunia ini yang senang berada di kantor pada hari weekend.

Bidan itu, saya denger dos-q terus-menerus ngoceh ke mahasiswanya, "Kami sesama teman sendiri aja kalo mau pulang pamit dulu kok. Apalagi kalian yang cuma tamu? Kalo nggak pamit itu namanya kan menyepelekan?"

Uh. Iya, saya juga ngerasain begitu. Sama temen saya sendiri, kalau ditinggalin dia pulang duluan, rasanya sebaaal..banget. Saya suka ngomel, "Berani-beraninya lu minggat, padahal gw masih kebanyakan proyek di sini?"
Terus si teman jawab, "Kamu sih, nulis aja lelet. Udah, kerjain aja di rumah, daripada di (kantor) sini lama-lama."

Padahal intinya bukan saya nggak suka ditinggalin di kantor sendirian dengan banyak pekerjaan. Saya nggak suka teman saya MINGGAT, alias pergi tanpa bilang-bilang. Itu aja. Dia kan levelnya sama saya, mbok mau pergi tuh dadah-dadah dulu gitu kek. Toh saya juga nggak nahan-nahan. Paling-paling bilang, "Bawa tuh kerjaan segepok ke rumah lu." Kan berbagi kerjaan? Itu namanya team work kan?

Dan sekarang-sekarang, saya juga merasakan bahwa memang kalo kita pamit dulu sama kolega sebelum pulang, itu berarti kita nganggep dos-q eksis di mata kita dan kita juga bikin diri kita eksis di mata dos-q. Dan aksi yang dilakukan orang lain terhadap kita, itu sebetulnya merupakan reaksi dari yang kita lakukan. Saya merasa lebih sering dirangkul, lebih sering diajakin ikut proyek, dan juga lebih sering diringankan pekerjaan. Nggak terhitung saya denger ada kalimat, "Vic, sudahlah jangan kamu kerjain sampek sepanjang itu. Cukup bagian X dan bagian Y aja. Biar kamu cepat pulang." Atau, "Vic, ayo kita pergi nonton! Ini masih ada sisa jatah tiket gratis sisa proyek kemaren! Kerjaanmu bisa aku kerjain sebagian, supaya kamu ndak kelimpahan banyak!"

Baik-baiklah pada temanmu sekantor, maka mereka akan baik juga kepadamu. Sesungguhnya mereka yang nggak baik kepadamu jumlahnya hanya 10 persen, dan itu tidak akan mengganggumu secara signifikan.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Tuesday, May 1, 2012

Pegel, Cepat Kau Lari!

Sewaktu Pak Guru nyuruh saya ke Jombang untuk magang, saya oke-oke aja mengepak baju-baju saya ke sana. Tetapi yang nggak pernah saya - dan Pak Guru saya - duga adalah, ternyata seminggu kemudian di Jombang berjangkit wabah difteri.

Korbannya dokter pula, yang kebetulan dinas di rumah sakit lokal. Itu satu keluarga di rumahnya kena, ya dokternya, lalu anaknya si dokter, berikut asisten pribadinya si dokter. Semula nggak ada yang percaya kalau itu difteri. Difteri di tahun 2012? Please deh, penyakit itu cuman saya baca di buku-buku sejarah medis dan sudah bertahun-tahun nggak pernah muncul di Jawa. Tapi nyatanya si dokter kena, positif difteri, dan Dinas Kesehatan lokal menyebutnya Kejadian Luar Biasa (KLB). Itu istilah medis politis untuk menyebut suatu penyakit yang muncul mendadak di suatu area dan penyakit itu sudah lama sekali tidak pernah muncul.

Tapi saya tahu bahwa istilah KLB itu cuman istilah basa-basi. Ini wabah, jelas. Saking aja Dinkes nggak enak bilang ke Bu Menteri dan wartawan kalau ini wabah, takut bikin heboh. Yang pasti, entah itu KLB, entah itu wabah, pokoknya konsekuensinya sama. Penderitanya kudu diisolasi semua. Dan semua penduduk disuntikin vaksin tanpa pandang bulu.

Maka di Jombang pun, semua penduduknya diserukan buat berduyun-duyun ke Puskesmas untuk disuntikin imunisasi difteri. Termasuk di rumah sakit tempat saya magang, semua pegawainya langsung disensus satu per satu buat diwajibkan imunisasi difteri. Nggak cuman pegawai tetap, tapi juga tenaga honorer cleaning service, apalagi para koass dan dokter tamu kayak saya.

Saya malah ketawa ngakak. Ini lucu sekali! Nggak pernah sebelumnya saya pelesir ke suatu daerah dan sesampainya di sana saya malah disuruh imunisasi supaya nggak kena penyakit. Macam pergi ke Zimbabwe aja?

Tapi beneran, saya disuruh imunisasi juga. Vaksinnya gratis, spednya gratis. Saya cuman tinggal kasih tau saya sudi disuntik sebelah mana.
Jadilah saya nyodorin lengan kiri saya buat disuntik. Yang nyuntik ya masih kolega saya sendiri. Kenapa lengan kiri? Soalnya antisipasi pegal-pegal. Karena saya lebih banyak kerja pakai tangan kanan, bisa-bisa tangan kanan saya nggak enak kerja kalau disuntik.

Suster-suster itu malah minta disuntik di bokong. Biar nggak sakit pas disuntiknya, katanya. Halah. *nggak percaya*

Koass-koass nanya ke saya pas saya baru disuntik, "Pegel nggak, Dok, abis disuntik?"
"Nggak," jawab saya.
Koass-koass itu mencibir. "Hmh! Lihat saja besok!"
Eh, beneran, saya nggak merasa sakit pas disuntik. Malah saya tetep aktif banget. Malam itu saya masih sempet ngelahirin bayi lagi, banyak.

Baru kerasa besoknya, pas saya bangun tidur. Badan saya terasa demam, dan lengan kiri saya mulai pegel. Ah, ini pasti reaksi vaksinnya, batin saya. Nggak pa-pa ah.
Lalu saya keluar kamar, masuk ke ruang bersalin, lihat salah satu pasien saya sudah kangkang dengan kepala bayi membuka vulva.
Spontan saya langsung tolong, dan si bayi keluar sambil nangis-nangis. Masalah baru muncul pas saya mau mijet rahim pasiennya untuk ngeluarin plasenta. Adooh..tangan kiriku pegell..

"Berapa hari sih efek pegel vaksinnya?" sergah saya jengkel.
"Tiga hari, Dok," kata koass-nya dengan ekspresi flat.
"Bah!" Saya membanting badan saya ke kursi, memandangi bidan yang gantiin saya ngeluarin plasenta. Si bidan sendiri sudah nggak pegel-pegel. Dia sudah disuntik duluan lima hari sebelumnya.

Oh oh, saya memang ndeso, hampir-hampir nggak pernah disuntik. Terakhir kali saya disuntik ya imunisasi hepatitis B bertahun-tahun lalu, selanjutnya ya saya lupa lagi. Kalau saya sakit ya obatnya pakai pil, bukan suntik. Pil kan lebih gampang, nggak ribet kayak suntik yang harus nyediain kapas alkohol dulu. Makanya saya hampir-hampir nggak pernah tahu sakitnya disuntik.

Hari ini hari ketiga setelah saya diimunisasi difteri, dan lengan saya masih pegel juga. Demamnya sudah turun sih. Tapi bodi saya masih belum enak. Saya baru pulang dari Jombang semalam, rasanya masih kelelahan mengingat saya sudah nggak tidur nyenyak selama dua minggu..

Pegel, cepatlah kau lari!
Aku mau bisepsku nyaman kembali!
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com