Sunday, August 31, 2014

Karena Liburan Itu Lifestyle

Ketika saya masih kanak-kanak dulu, bepergian ke pulau lain adalah konsep mewah yang jarang bisa dialami oleh keluarga saya. Penyebabnya apalagi kalau bukan harga tiket pesawat terbang yang masih cukup mahal. Dengan maskapai penerbangan yang jumlahnya hanya sedikit, praktis kami sering tidak punya pilihan untuk sering-sering liburan. Naik pesawat menjadi hal yang sangat mewah, bahkan melewati bandara dan memandangi pesawat-pesawat yang parkir di depan hanggar saja sudah bisa membuat saya iri. Batin saya waktu itu, alangkah senangnya bila bisa naik pesawat itu, pergi ke kota lain yang tidak pernah saya lihat kecuali hanya bisa saya baca dari majalah.

Air Asia mengubah itu semua, ketika maskapai asal Malaysia itu merambah pelayanannya ke Indonesia. Dengan memangkas biaya-biaya yang tidak terlalu perlu, seperti menyediakan makanan, biaya reservasi, dan lain sebagainya, membuat acara bepergian naik pesawat dengan tiket murah menjadi hal yang mungkin. Ketika terbang dengan maskapai lain bisa memakan biaya sampai jutaan rupiah, saya bisa melenggang liburan dengan hanya berbekal Rp 300-400 ribuan saja. Bahkan terbang dengan Air Asia pun bisa sama murahnya dengan naik kereta api. Asyik kan? Siapa bilang naik pesawat itu harus mahal?

Friday, August 15, 2014

Aborsi pada Korban Pemerkosaan

Akhir-akhir ini lagi marak pro kontra tentang Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2014 yang baru ditandatangani Presiden bulan lalu. Kebetulan salah satu inti dari PP ini adalah disahkannya aborsi untuk korban pemerkosaan.

Kita tentu sudah ngerti kan bahaya yang timbul dari kehamilan hasil perkosaan:

1) Karena pemerkosanya tidak jelas latarbelakangnya, maka sang cewek nggak bisa memperkirakan apakah kira-kira si laki-laki ini punya penyakit keturunan yang bisa membahayakan si bayi. Padahal kalau sampai si bayi ternyata mengidap penyakit berat karena turunan dari si bapak dan ternyata bayi ini malah hidup sampai dewasa bersama penyakitnya, sang cewek yang terpaksa jadi ibu akan harus menanggung pengobatan si anak ini sehingga malah mengganggu kualitas hidup si ibu.

Thursday, August 14, 2014

Wajib (Baju) Pramuka

Pada suatu hari ketika umur saya sembilan tahun, wali kelas saya ngumumin di kelas bahwa mulai Sabtu depan semua anak harus pakai baju Pramuka. Bajunya silakan beli sendiri-sendiri.

Saya ngomong begitu ke nyokap saya, terus nyokap saya langsung beli seragam Pramuka buat saya di pasar. Sabtu berikutnya saya pakai baju itu ke sekolah.

Ternyata saya malah dipersalahkan sama temen-temen. Alasannya, badge yang ada di bagian dada baju Pramuka saya itu warnanya cokelat. Itu mah buat Penggalang, kata temen-temen saya. Kita kan waktu itu masih kelas empat, cocoknya ya bukan Penggalang, tapi Siaga. Dan Siaga itu badge-nya warna ijo, bukan cokelat.

Sumpah, saya nggak tahu apa itu Siaga, apa itu Penggalang.

Tapi pokoknya saya adalah satu-satunya murid kelas empat yang badge Pramuka-nya warna cokelat. Dan itu bikin saya jadi nggak pede berat.

Ketika Bensin Naik

Suatu hari saya kebelet kepingin ke sebuah pusat pertokoan di kawasan Pengampon. Ada yang saya kepingin beli, dan saya merasa harga yang murah di Surabaya bisa saya dapatkan di area itu. My hunk mau nganter, tapi mobil lagi dipakai sama mertua saya. Saya, yang keinginannya nggak bisa dihambat oleh ketidakadaan mobil, milih naik bemo.

Dari rumah saya berjalan kaki sekitar 200 meter ke tempat bemo biasa lewat, pakai payung biar nggak panas. My hunk jalan di samping saya, nggak mau pakai payung. Bemo nongol dalam tempo lima menit setelah kami ngetem di pinggir jalan.

Kami terpaksa turun di kawasan Ambengan, karena bemo yang kami tumpangin nggak lewat Pengampon. Di Ambengan itu, kami oper ke bemo lainnya, dan dengan bemo kedua ini kami sampai di Pengampon.

Total perjalanan dengan bemo kira-kira 45 menit, jarak sekitar 10 km. Sebetulnya nggak perlu selama itu, karena itu termasuk 15 menit ngetem di Ambengan lantaran bemonya yang kedua itu lama datengnya.

Pulangnya, saya sempat rada kebingungan karena nggak tahu cara naik bemo dari Pengampon ke rumah. Seorang tukang becak akhirnya mengajari saya bahwa saya harus ngetem di sebuah pengkolan supaya saya dapet bemo yang sekali jalan langsung menuju rumah mertua saya.

Hari itu, saya nggak cuman senang coz saya dapet hampir semua item yang ada di dalam daftar things-to-buy saya. Tapi yang lebih penting lagi adalah saya tahu gimana cara naik angkutan umum dari rumah ke tempat belanja kesukaan saya. Duit yang semula saya alokasikan buat naik taksi, bisa saya pakai untuk senang-senang, misalnya buat beli Baskin Robbins.

Tapi pada saat yang sama, saya juga jadi agak sedih karena sadar ada orang yang nggak seberuntung saya. Saya punya tetangga-tetangga yang tinggal di blok lain, yang mana lebih jauh lagi posisi rumahnya dari tempat ngetem bemo. Kalau mereka maksakan diri naik bemo, mereka bisa jalan kaki sampek 500 meter, dan menurut saya itu terlalu jauh. Beginilah masalah perkotaan di Surabaya, jumlah kendaraan umumnya kurang memadai, trotoarnya kurang bagus buat pemakai high heels, dan jumlah pohon di pinggir jalan kurang banyak.

Tidak heran orang-orang di Surabaya punya ketergantungan tinggi terhadap taksi. Atau pada kendaraan pribadi.

Tuesday, August 12, 2014

Mengenang Mrs Doubtfire

Mrs Doubtfire mungkin salah satu film favorit saya di tahun 1993. Semula waktu saya nonton resensinya di Cinema Cinema (Ya Tuhan, berkatilah Noorca Massardi yang menciptakan acara ini pertama kali di RCTI. Gara-gara acara ini, bokap saya jadi manyun coz saya todong terus buat nonton bioskop), saya kirain ini cuman cerita tentang mantan suami (yang diperankan Robin Williams) yang berusaha merebut kembali mantan istrinya (Sally Fields) yang lagi pacaran sama pengusaha keren (Pierce Brosnan).

Dulu Pierce ini keren bingits lho, dan dia belom jadi James Bond. Salah satu om-om favorit saya. Iya, dulu saya memang pengidap father complex alias penyuka om-om senang, hihihi..

Waktu saya nonton filmnya sungguhan di laser disc (hayoo..kalau kalian nggak tahu apa itu laser disc, kalian pasti masih ingusan!), ternyata saya ketemu pelajaran-pelajaran lain yang lebih menarik. Antara lain, saya belajar tentang semangat "fight"-nya si Mrs Doubtfire yang sebetulnya laki-laki ini, untuk tetap bisa ketemu anak-anaknya padahal dilarang sama hakim negara bagian. Di sini saya belajar bahwa sejelek-jeleknya bokap, dos-q pasti tetap ingin mendidik anak-anaknya supaya jadi orang baik. Dan dos-q akan melakukan segala cara untuk itu, termasuk menyamar menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri.

Sunday, August 10, 2014

Masa Depan IPK Bontot

Beberapa hari yang lalu saya dikirimin kabar hasil IPK adek saya yang kuliah arsitek. Nilainya bagus, rata-rata 3. Kepadanya saya bilang nilainya bagus. Saya yakin dia akan gampang dapet pekerjaan kalau sudah lulus nanti.

Jujur aja, saya cuman berusaha terdengar menyenangkan.

Anak-anak yang lagi belajar S1 seringkali mendedikasikan waktunya untuk ngejar-ngejar IPK bagus. Sepertinya mereka bangga sekali kalau bisa lulus cum laude.

Yang saya penasaran, mereka mau mengejar kebanggaan IPK itu buat siapa? Buat orang tua mereka? Atau buat diri mereka sendiri? Atau buat orang lain?

Saturday, August 9, 2014

Khotib Kuta Gondok Dicuekin

Lebaran tahun ini berkesan banget buat saya, coz untuk pertama kalinya keluarga saya mutusin buat merayakan Lebaran di luar kampung halaman kami. Soalnya secara tradisional kami selalu berlebaran gantian di Tangerang atau di Kreyongan. Sehubungan Grandma dan Grandpa di Tangerang udah meninggal, dan tahun ini sebetulnya kita sudah ke Kreyongan, dan karena tahun ini kita belom ambil jatah liburan bersama, makanya kita mutusin buat ngerayain lebaran di Bali.

Lho, kenapa Bali, yang nggak ada sesepuhnya kami sama sekali di sana? Yah karena kami ngejar konteks liburan barengnya. Mumpung sempat. Siapa tahu besok umur nggak dapet, kan sayang kalau belom liburan. Mumpung keluarga kami masih berenam aja. Nanti kalau saya atau adek saya sudah hamil, pasti makin susah buat ngumpul bareng. Coz sekarang keluarga kami terpisah-pisah, bonyok saya di Bandung, saya di Surabaya, dan adek saya di Bogor.

Kami sholat Ied di Kuta. Ada mesjid kecil di sana yang kebetulan ngadain sholat Ied, tapi ternyata penuh juga sama jemaah yang rerata juga turis. Ngeliat jemaah sholat ini lucu juga. Karena bau-baunya turis, maka mukena yang dipake pun macem-macem, warna-warni. Sekarang mukena Bali lagi nge-booming ya, dengan warna dasar yang nggak melulu putih, dan dikasih aksen lukisan kembang segede-gede gaban. Jemaah yang bukan penduduk asli pun bisa dikenalin dari model mukena Bali-nya, warnanya ngejreng, dan kayaknya sih belom dicuci, hahaha..