Persoalannya, kita jarang banget lihat orang tua seperti itu sekarang. Tengok deh nenek-kakek kita, atau tetangga-tetangga kita yang seumuran nenek-kakek kita. Apa kira-kira isu mereka kalau lagi ngobrol sama kita? Selain mengeluh sakit-sakitan, kesepian, ternyata keluhan tersering adalah masalah ekonomi. Kita sering melihat rumah-rumah yang dihuni orang pensiunan umumnya gelap, kadang-kadang kotor berdebu, baju mereka lusuh. Sebenarnya ciri khas pensiunan itu, orangnya sering ngirit. Mulai dari ngirit listrik, ngirit pel, sampai ngirit deterjen.
Tuesday, September 30, 2014
Sejahtera Ketika Tua Nanti
Persoalannya, kita jarang banget lihat orang tua seperti itu sekarang. Tengok deh nenek-kakek kita, atau tetangga-tetangga kita yang seumuran nenek-kakek kita. Apa kira-kira isu mereka kalau lagi ngobrol sama kita? Selain mengeluh sakit-sakitan, kesepian, ternyata keluhan tersering adalah masalah ekonomi. Kita sering melihat rumah-rumah yang dihuni orang pensiunan umumnya gelap, kadang-kadang kotor berdebu, baju mereka lusuh. Sebenarnya ciri khas pensiunan itu, orangnya sering ngirit. Mulai dari ngirit listrik, ngirit pel, sampai ngirit deterjen.
Friday, September 26, 2014
#ICITY2ndAnniversary Klub Penggemar Indosat
![]() |
Kiri-kanan: Saya, Okky Listiani, Angki, Eddy Fahmi Meniup lilin di cupcake ulang tahun Foto oleh Fahmi |
![]() |
Fun fearless female! Saya dan Wiwik |
Thursday, September 25, 2014
Digondokin Test Pack
Sampai kemudian tiba saatnya saya telat mens. Mulailah saya masuk ke fase itu, fase galau antara bingung apakah saya hamil atau enggak. Saya nggak merasa siap jadi ibu, tapi saya menginginkannya. Sementara itu saya takut kalau alat test pack-nya kebetulan KW sehingga saya mengira saya hamil padahal sebetulnya enggak. Saya sudah kapok berulang-ulang liat muka pasien yang gondok setelah saya beri tahu mereka bahwa mereka sebenarnya mengidap blighted ova. Nggak ada satu pun cewek yang seneng diumumkan bahwa sebenarnya mereka bukan akan punya anak, karena alat test pack itu positif jika ada blighted ova-nya.
Wednesday, September 24, 2014
Sajian Makan yang Anggun
Perkara menghidangkan makanan ke tamu ini sebetulnya tidak jauh-jauh dari bagaimana kita memikirkan perasaan tamu yang diundang makan oleh kita. Contohnya, sering kita denger tamu diundang makan dalam jamuan makan-makan di hotel, contohnya dalam resepsi pernikahan. Terus pulang-pulang kita nggak sengaja menguping di lapangan parkir, tamunya menggerutu, "Huh, makanannya nggak enak."
Well, enak nggak enak sebetulnya urusan selera lidah masing-masing. Tapi bisa jadi makanan nggak enak karena alasan lain. Mungkin karena suasana makannya nggak enak. Harus berdiri karena standing party. Atau karena ngambil makanannya rebutan. Sebagian besar makanan terasa nggak enak justru karena kesalahan tamunya sendiri, karena dia mencampur makanan satu dengan makanan lain yang cita rasanya nggak cocok.
Coba bayangkan kalau kita jadi tuan rumah yang bikin pesta dan ternyata tamu kita merasa makanannya nggak enak, gimana perasaan kita?
*Kalau saya sih catet nama tamunya yang ngomel-ngomel, lalu mutusin bahwa lain kali kalau saya bikin acara makan-makan lagi, dia tidak akan diundang, hahahaa..*
Sebaiknya kita ingat tujuan kita dari awal bahwa kita bikin acara makan-makan untuk menjalin hubungan baik. Entah itu hubungan kekeluargaan atau hubungan bisnis. Kita kepingin tamu itu senang dengan kita, jadi implikasinya, baiknya kita bikin acara jamuan ini yang menyenangkan tamu dan meminimalisir keluhan.
Masakan itu ada macam-macam rasanya, ada yang manis, asin, asam, malah di kawasan Asia dan Karibia, makanan itu ada yang gurih dan ada yang pedas. Semua rasa sebetulnya enak, dan bisa diapresiasi asalkan rasanya jangan dicampur-campur. Diapresiasi artinya dihargai cita rasanya, dan tidak selalu harus disukai. Contohnya kalau kita menikmati sebuah hidangan misalnya gurame saos telor asin, kita akan tetap bilang bahwa rasa asinnya enak, meskipun mungkin lidah kita lebih suka yang manis.
Jamuan makan yang anggun, biasanya mengatur tamunya untuk makan sebanyak tiga sesi. Sesi pertama adalah makanan pembuka atau appetizer. Sesi kedua adalah makanan utama atau main course. Sesi terakhir adalah hidangan penutup atau dessert. Tamu yang tahu tata krama makan, umumnya menikmati sesi-sesi ini secara berurutan, bukan membolak-balik sesinya apalagi mencampur semua sesi secara tidak karuan.
Sesi pertama, appetizer, ditujukan untuk membuka selera makan. Oleh karena itu makanan yang disajikan di sesi appetizer ini umumnya bercita rasa asin atau asam. Di Barat, contoh hidangan yang disajikan misalnya roti yang diolesin mentega, atau sop asparagus. Di Indonesia, misalnya karedok, atau pempek, atau risoles. Pokoknya bukan yang manis, karena gula-gulaan dalam makanan yang manis cenderung bikin orang merasa kenyang dan nggak berminat menikmati sesi makanan utama apalagi sesi makanan penutup.
Sesi kedua, main course, adalah cerminan utama citra tuan rumah. Di sesi kedua ini, tuan rumah bebas kasih hidangan apapun yang diunggulkannya ke tamu. Boleh yang asam manis, yang gurih, atau yang pedas sekalian. Segala macam lauk bisa diekspresikan di sini.
Sesi ketiga, dessert, ditujukan untuk bikin tamu merasa puas dan kenyang. Oleh karenanya di sesi ini diharuskan makanan yang disajikan adalah yang bercitarasa manis. Contohnya es krim, cendol, cheese cake, puding, cokelat batangan, dan hidangan-hidangan manis lainnya. Pokoknya bukan makanan yang bercitarasa gurih apalagi asin, yang mengharapkan lidah minta air atau yang manis-manis untuk menetralkannya.
Umumnya kesalahan kita dalam jamuan makan sebetulnya simpel.
Kesalahan 1) Main course disajikan campur baur.
Ini jamak terjadi pada tuan rumah yang menghidangkan bermacam-macam main course sekaligus di satu meja. Sayangnya makanan yang satu tidak nyambung rasanya dengan makanan yang lain. Misalnya fettucini carbonara disajikan satu meja dengan kakap asam manis dan brokoli cah kailan. Akibatnya tamu nggak menikmati enaknya fettucini karena lidahnya kebingungan merasakan saos carbonara dan kakap dengan kuah kailan sekaligus.
Solusi: Pisahkan hidangan-hidangan yang rasanya nggak nyambung ini dengan meja-meja yang berbeda. Sediakan piring beda-beda untuk tiap hidangan. Menyediakan satu piring per orang untuk banyak hidangan sekaligus hanya akan merangsang tamu untuk mengambil semua hidangan sekaligus. Apalagi tamu orang Indonesia yang sering ngeri kehabisan makanan karena keduluan orang lain.
Kesalahan 2) Appetizer dicampur dengan hidangan utama.
Ini sering terjadi pada tuan rumah yang nggak punya ruangan cukup untuk menggelar meja, saking sempitnya ruangannya. Akibatnya appetizer-nya disajikan di sebelah main course pada meja yang sama. Efeknya, tamu mengira appetizer itu juga main course, sehingga tamu mencampur appetizer-nya dengan main course sungguhan.
Sering banget tuan rumah memaksa menyajikan appetizer berupa sop asparagus dengan mangkoknya sendiri, di meja yang sama dengan main course-nya. Main course-nya sendiri minimal tiga macam, ada piringnya yang lebar. Tamu Indonesia sering banget ambil piring lebar, lalu menumpuk mangkok sopnya di pinggir piringnya, lalu memenuhi sisa piringnya dengan segala macam main course yang dihidangkan. Saking penuhnya piringnya, sampai-sampai mangkok sopnya yang sudah di ujung piring itu miring dan sopnya siap tumpah ke gurame asam manisnya!
Solusi: Pisahkan appetizer dan main course pada meja yang berbeda. Kalau ruangan tidak cukup luas untuk memuat satu meja besar dan satu meja kecil, hidangkan appetizer dan main course di meja yang sama, tapi dandani meja supaya seolah-olah appetizer dan main course itu terpisah.
Sebaiknya tamu makan appetizer-nya dulu. Jangan ambil main course sebelum appetizer-nya habis.
Kesalahan 3) Tamu mengomel karena kehabisan makanan lantaran keduluan orang lain.
Sering banget tamu mengeluh karena begitu tiba di meja rendang, ternyata daging rendangnya habis dan tinggal lengkuasnya doang.
Kalau menurut saya, ini salah tuan rumahnya karena nggak bisa memperhitungkan jumlah makanan dengan jumlah tamu yang datang. :D
Kemungkinan lain adalah salah tuan rumahnya karena mengundang satu-dua tamu yang rakus.
Kesalahan 4) Menumpuk berbagai makanan sekaligus sampai piringnya penuh.
Beberapa teman saya milih numpuk salad buah dan mie cap cay dan bistik ayam sekaligus di satu piring. Alasannya, kalau ngambilnya satu-satu, malu dilihat orang, takut dibilang rakus.
Solusi: Coba dipikir, orang macam apa yang saking selonya sampai sibuk menghafal (baca: nge-judge) satu-dua orang lain di pesta yang mondar-mandir mengambil makanan di meja prasmanan dan menyangkanya rakus? Makan ya makan aja, nggak usah ngeliatin orang lain laah..
Lagian menumpuk-numpuk makanan yang nggak nyambung di piring yang sama itu justru tindakan yang rakus. Keliatan kalau nggak pernah diundang makan, hihihi..
Kesalahan 5) Menghidangkan kepiting dan paha ayam di acara jamuan prasmanan.
Tamunya disuruh standing party. Udangnya harus dikupas pakai tangan. Paha ayamnya harus dikrokotin dari tulangnya.
Solusi: Ini cuman cocok kalau jamuannya barbeque-an atau hura-hura, pokoknya bukan yang anggun. Tapi jika ini acara yang mengharuskan tamunya pakai baju rapi, tidak pantas menghidangkan makanan yang untuk menikmatinya harus makan pakai tangan.
Kesalahan 6) Ketika sedang makan, daging steak-nya mencolot keluar waktu diiris pakai sendok. Atau saking kerasnya dagingnya, tamu harus mengiris dagingnya pakai giginya!
Solusi: Daging steak yang betul, dimakan dengan cara diiris pakai pisau dan dimasukkan ke mulut pakai garpu. Memang di Indonesia bukan kebiasaan makan pakai pisau, melainkan pakai sendok dan garpu. Jadi tugas chef adalah memasak daging steaknya sampai empuk supaya bisa dipretelin hanya dengan satu kali saja pakai sendok.
Kalau di acara jamuan kita nemu daging steak yang saking alotnya sampai harus diiris berulang-ulang, taruh saja masakannya di tempat naruh piring bekas. Berarti daging itu memang bukan untuk dimakan. :-D
Selamat makan :)
Jadilah tetap keren biarpun lagi makan :)
http://georgetterox.blogspot.com
http://laurentina.wordpress.com
Tuesday, September 23, 2014
Password Wi-fi-nya Apa?
Jawabnya simpel, wi-fi-nya kenceng.
Orang masuk ke kedai kopi, mau itu kedainya mahal, atau kedainya murah, tetep yang ditanya bukan "di sini kopinya yang enak apa?"
Tapi tanyanya cuman, "Password wi-fi-nya apa?"
Saya sendiri malah kalau masuk ke sebuah kedai kopi, begitu sang waiter membagikan menu, saya cuman tanya, "Wi-fi-nya nyala?"
Kalo nggak nyala, saya langsung balikin menunya dan angkat kaki dari situ (dan kemungkinan besar nggak balik lagi).
Malah wi-fi nggak cuman ngetop di kedai kopi. Pergi ke bengkel, nungguin antrean dokter, di bandara, tetep yang jadi tolok ukur senang pada sebuah tempat adalah wi-fi-nya.
Saya malah kepikiran, kalau suatu hari nanti saya kepingin kuburan saya rame, saya mau pasang wi-fi di kuburan saya. Biarin deh orang mau nongkrong di kuburan saya cuman demi wi-fi-an, setidaknya kalau lagi nongkrong pun pasti mereka sempat baca nisan saya dan ngedoain saya. Ada yang mau nyobain ide ini duluan? :)
http://georgetterox.blogspot.com
http://laurentina.wordpress.com
Sunday, September 21, 2014
Homestay: Investasi Bernama Liburan
![]() |
Opera House adalah salah satu icon yang saya kunjungi ketika tinggal di Sydney. Berupa gedung yang terdiri atas beberapa hall untuk memutar pertunjukan opera dan pertunjukan musik. Sumber foto di sini. |
Friday, September 19, 2014
Susahnya Bikin Desa Jadi Keren
Baru-baru ini saya reunian sama seorang teman lama. Umurnya 32, kerja jadi supervisor di sebuah pabrik telekomunikasi di Jakarta. Tapi dos-q punya peternakan berisi 10 ekor sapi di Jogja.
Saya berhasil bikin dos-q cerita tentang bagaimana dos-q yang tadinya nggak pernah piara hewan malah jadi pemilik sapi. Dos-q ngoceh bahwa ini berawal dari dos-q menikah dengan seorang cewek Jogja. Si cewek ini berasal dari sebuah keluarga simpel di pinggiran Kotagede yang cuman punya usaha sederhana, bikin tempe.
Ketika Jogja dihantam gempa pada tahun 2006, usaha itu porak poranda tinggal puing-puing doang. Ketika semua bangunan di sana rusak, yang dimiliki keluarga itu hanya tinggal tanah yang luas dan nggak terpakai. Teman saya, sang mantu asal kota metropolitan, cuman punya sedikit uang, lalu mencoba bantu keluarga itu dengan beli tiga ekor sapi. Sisa kedelai dari usaha tempe dipakaikan buat pakan sapi itu.
Ternyata usahanya berkembang. Sapi-sapi yang semula kurus, berhasil jadi gendut dan dijual kembali dengan harga yang lebih mahal. Laba pun diputar kembali untuk beli sapi, dan sekarang peternakan itu punya sapi minimal 10 ekor.
Keluarga itu, yang semula ketiban apes karena jadi korban gempa, maka kini menjadi pengusaha terkemuka, setidaknya untuk ukuran desanya.