Sunday, December 15, 2013

Berapa Harga Nyawamu?

Sekitar tiga tahun yang lalu saya datang ke sebuah puskesmas di tengah kota Bandung. Saya dateng bukan buat berobat lho, tapi saya dateng ke situ karena semata-mata mau minta "surat keterangan berbadan sehat". Ketika itu, saya perlu surat itu buat mendaftar masuk sekolah.
(Saya ini dokter, tapi saya nggak boleh membuat "surat keterangan berbadan sehat" atas diri saya sendiri. Kenapa? Saya juga nggak ngerti, lha birokrasinya ya begitu, hahaa..)

Seumur-umur saya nggak pernah bikin surat gituan, jadi saya terpaksa pergi ke Puskesmas. Saya dateng ke sana dengan norak, nggak tau caranya ngantre, nggak tau loket sebelah mana. Saya cuman melihat segerombolan orang berteriak-teriak nggak jelas di depan sebuah lobang jendela selebar 10 cm. Waktu saya mendekat, saya baru ngeh kalo lobang 10 cm itulah loket.

Ketika itu saya jatuh kasihan. Mereka yang berteriak-teriak di depan lobang jendela itu ternyata mau berobat. Ada yang sudah tua, ada yang ngomongnya nggak jelas, ada yang batuk-batuk melulu. Insting saya menebak-nebak, saya rasa yang di depan saya ini punya sakit jantung. Yang sebelahnya itu punya asma. Dan mereka membentak-bentak petugas loket menuduhnya lelet. Ini jam sebelas siang.

Setelah sabar menunggu dan sabar disikut orang-orang yang pengen nyerobot antrean, akhirnya saya berhasil ngomong di depan lobang kecil itu. "Saya cuman mau minta surat keterangan sehat," kata saya.
"Lima ribu, Teh," jawab petugas loketnya kalem.
Saya menatapnya nanar. "Eh, saya nggak sakit. Cuman mau surat sehat."
"Sama aja, Teh. Berobat nggak berobat tetep bayarnya lima ribu."

Saya mendengus. Maka saya bayar juga itu goceng. Sambil memaki-maki dalam hati, kenapa birokrasi maksa surat keterangan sehat dari rumah sakit pemerintah atau Puskesmas. Padahal kalo minta sama bokap yang praktek di rumah, kan gratis!

Terus saya ke ruang tunggu. Yang ternyata bukan ruang duduk, melainkan teras. Dan terasnya penuh dengan orang yang berjubel duduk dan berdiri. Setiap orang yang berdiri nampak mengawasi ketat bangku yang penuh, siapa tahu ada pasien yang mau berdiri dan tempat duduknya bisa langsung diambil. Pokoknya siapa cepat dia dapat. Nggak peduli harus balapan sama orang tua atau ibu-ibu gendong bayi. Sebodo amat dengan tata krama. Orang sakit nggak pernah mikirin tata krama.

Saya nggak berhenti ngawasin mbah-mbah berumur 50-an yang bolak-balik sesak dan jalannya kayak semut itu. Mendadak inget pakde saya yang meninggal beberapa tahun lalu karena sakit jantung. Perasaan waktu meninggal itu usianya baru 55. Membuat kepala saya pening karena bokap saya di rumah sudah 60 tahun lebih. Haduh, semoga Pops di rumah dikaruniai umur panjang. Saya masih ngutang banyak dan belom bikin prestasi apa-apa kecuali membuat kegaduhan di dunia maya.

Akhirnya saya dipanggil ke ruang dokter. Saya kirain ruangannya kayak bilik kecil tempat saya kerja di rumah sakit dahulu, ternyata ini lebih parah. Satu ruang hall diisi dua meja yang saling membelakangi. Dokternya duduk di balik meja, nggak mesem sama sekali.

Saya duduk di meja kedua. Saya ngawasin meja pertama. Pasiennya si mbah-mbah 50-an itu. Nggak jelas dia ngomong apa, pokoknya dia ngomong pake bahasa Sunda yang saya nggak ngerti. Dokternya ngomong dengan nada habis kesabaran, "Saya kan udah bilang, Pak. Bapak ini harus dirujuk ke rumah sakit. Sakit jantung nggak bisa berobat di sini terus.."

Lalu si mbah menggumam entah apa lagi.
Dokternya tetep ngeyel pake bahsa Sunda. "Bapak ini mau diobatin yang bagus apa enggak? Di sini cuman kasih obat biasa aja. Memang bikin kencing terus. Kalau mau sakit jantungnya sembuh ya harus berobat ke rumah sakit, Paak.."
Si mbah mengucapkan sesuatu seperti, "Di rumah sakit Hasan Sadikin ngantrenya lama.."

Orang seperti ini nggak bisa diharapkan mengantre di rumah sakit yang lebih sepi dan lebih mahal.

"Mau daftar sekolah apa?" Tiba-tiba seorang dokter sudah duduk di meja saya, menyelidik tajam.
Saya menatap matanya. "PPDS."
Si dokter kaget. "Owalah, Mbak ini dokter??"
Saya tersenyum. Ada apa? Muka gw kayak mystery shopper ya? "Mereka bilang saya harus pake surat keterangan sehat," dengan nada mirip birokrasi-nyebelin-you-know-lah.
Sang sejawat itu mengangguk-ngangguk setuju. "Saya nggak nensi ya? Biasanya tensinya berapa?"
Saya menyeringai. Situ memang percaya sama saya, atau tensimeternya belom dialkoholin dan situ sedang melindungi saya sebagai sejawat?

"Enak betul sekolah. Pasti banyak duitnya," si sejawat mulai terdengar nyinyir.
Doh, saya nggak suka ini.
"Saya dulu mau daftar masuk Anak, tapi nggak keterima. Nggak sanggup bayar," lho, kok mendadak si sejawat jadi curhat colongan. "Sekarang dokter yang muda-muda baru lulus langsung sekolah lagi, nggak pake PNS dulu. Banyak duitnya siih.."
Saya menatapnya pura-pura simpati. Susah simpati pada orang nyinyir.

"Mbak-nya nggak PTT dulu, Mbak?" tanyanya.
Saya ketawa tergelak. Memang dasar muka saya kayak bayi. "Saya udah pulang PTT."
"Di mana?"
"Kalimantan," jawab saya kalem.
"Wuaah..berani yaa?"
Saya malah jadi bingung. Lho, memangnya pergi ke Kalimantan identik dengan pemberani ya?

Saya mulai nyari-nyari pembicaraan lain. Topik ini bikin saya nggak enak.
Sementara dokter sebelah masih bertikai karena si dokter mau merujuk, sedang si pasien nggak mau dirujuk karena ogah ngantre di rumah sakit.
Dokter depan saya nampaknya baca pikiran saya, dan berkata, "Susah pasien kayak gitu. Kita mau kasih jalan keluar yang terbaik, tapi pasiennya keras kepala kepingin tetap di Puskesmas. Padahal paling-paling obatnya ya gitu-gitu aja."
Saya mengernyit. "Eh, Mbak, maaf, di sini ada furosemid?" tanya saya hati-hati. Saya nggak hapal stok standar obat Puskesmas.
Sang sejawat ketawa tergelak. "Haduh, Mbak! Sini mah paling-paling adanya ya HCT! Pasiennya beser wae terus!"

Saya pulang dari Puskesmas, dengan hati yang patah separuh.
Tentang pasien yang udah disuruh naik ke tempat yang lebih tinggi, tapi orangnya nggak mau.
Tentang dokter pegawai negeri Puskesmas yang ngurusin pasien berjubel, dan nampaknya dia akan ada di sana terus sampek dia pensiun. Stagnan. Lama-lama ya jenuh. Dan jadi nyinyir.
Tentang Puskesmas yang narik duit Rp 5k per pengunjung. Orang cuman minta surat keterangan sehat, suruh bayar Rp 5k. Orang sakit paru-paru, suruh bayar Rp 5k. Orang sakit jantung, suruh bayar Rp 5k. Padahal sakit jantung kan mengancam nyawa?
Negara kok cuman menghargai nyawa orang seharga lima ribu perak?? Lebih murah daripada ayam goreng KFC?

Anda kalau berobat ke dokter bayar berapa? Kalau Anda ditagihin Rp 100 ribu untuk dokter yang udah meriksain bodi Anda, Anda ngamuk nggak? Lha Anda maunya dihargain nyawa berapa? Rp 5 ribu aja?
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Saturday, December 14, 2013

Gotong Semuanya!

Semua baju udah siap dan tinggal dimasukin ke koper. My hunk tidur-tiduran di sofa lagi nabung energi buat besok. Besok pagi kita berdua akan nyetir ke arah selatan dan lari ninggalin Surabaya. Kita akan minggat ke rumah kakak saya di Malang dan selama 24 jam kita akan melepaskan diri dari urusan sekolah dan kantor yang melelahkan. Cukup satu hari aja coz hari Minggunya saya udah kudu di Surabaya lagi sebab dipanggil kuliah Pak Guru. Yap, Pak Guru yang udah punya istri dan cucu mau bikin sekolah di hari Minggu. Macem gereja aja punya sekolah Minggu.

Saya lagi nyetrika baju yang mau dipake buat jalan-jalan besok, ketika HP saya bunyi. Ternyata pesan singkat dari boss. Feeling saya langsung nggak enak. Macam apa boss ngontak saya malem-malem begini kalo bukan urusan penting?

Begitu saya baca isinya, perut saya langsung mules. Dengan sedih saya nyabut setrikaan dan bangunin my hunk. "Mas.. Mas.. Besok nggak jadi ke Malang. Aku disuruh masuk sekolah.."

My hunk nampak tenang dengan berita ini, tapi saya jelas jauh lebih sedih. Saya yang udah merencanakan liburan ini jauh-jauh hari dan terpaksa saya juga yang batalin. Dengan males-malesan saya kirim pesan ke Kakak, bilang saya nggak jadi ke rumahnya. Padahal Kakak udah bela-belain nata kasur tambahan buat saya nginep.

***

Kamar bersalin di rumah sakit tempat saya bersekolah mau direnovasi habis-habisan besok. Akibat renovasi itu seluruh perabotan di dalem kamar bersalin kudu dievakuasi ke kamar bersalin darurat di sayap gedung. Kalo cuman mindahin meja kursi sih cemen, tapi yang repot itu mindahin tempat tidur ginekologi yang seberat-berat anak gajah. Belum lagi lemari yang isinya peralatan medis pecah-belah plus cairan-cairan kimiawi mengandung zat potensial menular. Kalo nyewa kuli jelas berat di ongkos, tapi yang serem adalah karena orang-orang awam bisa megang perabotan dan alat-alat itu sembarangan dan potensial merusak barang.

Mau nggak mau dokter harus angkat perabot-perabotan itu sendiri. Crew dokter kamar bersalin sehari-harinya cuman dikit, sedangkan mereka sudah dipatok buat tetap melayanin pasien yang mau melahirkan. Mau nggak mau butuh memobilisasi sejumlah crew dokter tambahan untuk acara boyongan perabotan itu. Persoalannya untuk acara boyongan ini ya tetap harus ada dokter yang mengomando semua crew, dan terpaksa saya yang ditodong jadi kordinator karena saya yang paling available dan sedikit lebih senior. Bahh..

Jadi saya, yang udah kadung batalin acara liburan, mutusin malem-malem itu nelfon dokter yang paling muda untuk memobilisasi kawan-kawannya buat pura-pura jadi kuli untuk besok. "Kita kosongkan kamar bersalin. Semua tempat tidur pasien, lemari obat, kulkas isi darah, harus diungsikan. Panggil semua temanmu. Pake kostum yang style buat angkat-angkat barang. Kalo semua orang bisa bekerja mulai pagi besok, kita bisa selesai pada waktu adzan Dzuhur dan bisa pulang untuk ber-weekend."

Maka hari ini, saya dan kolega-kolega yang lebih muda kerja bakti gotong-gotong perabot. Pasien-pasien yang masih di dalem dievakuasi ke sayap gedung, bikin kamar darurat di sana. Satu tempat tidur ginekologi harus diangkat oleh kurang lebih lima orang. Ada kesulitan tempat tidur itu untuk melewati pintu karena beberapa komponen tempat tidur sulit dicopot lantaran udah berkarat. Kulkas harus hati-hati untuk dievakuasi, coz isinya kantong-kantong isi darah, dan kalo listriknya dilepas terlalu lama, darahnya bisa rusak karena berada di suhu ruangan yang panas. Lemari sebetulnya lebih aman karena nggak berisi barang rapuh yang gampang pecah, tapi material lemari berupa kayu yang cukup berat bikin kita keringetan juga.

Kolega-kolega muda saya bekerja dengan riang dan ketawa sepanjang kerja. Yang laki-laki saya konsentrasikan buat angkat-angkat barang. Yang cewek saya alokasikan buat kerja organisasi file-file dokumen dan nata meja kantor darurat. Saya merasa bersalah karena merampok hari weekend mereka. Satu orang dari mereka nggak dateng, kirim SMS minta maaf, alasannya nggak enak badan. Saya bales SMS-nya, bilang bahwa saya mau dia tetep datang. Kalau dia nggak bisa ikut kerja bakti di rumah sakit, saya janji mau memobilisasi teman-teman saya buat nginfus dia. Bocah ini nampaknya nggak ngerti artinya kata "setia kawan" dan "alasan-nggak-enak-badan-adalah-alasan-ala-orang-amatiran".

Acara gotong-gotong perabot ini ternyata bisa bikin ricuh juga. Di bagian bawah laci meja saya nemu fosil-fosil purba berupa laporan-laporan kerja yang ditulis tiga-empat tahun lalu dan udah layak masuk mesin penghancur kertas. Katalog barang diskonan. Sepatu. Padahal dokter yang sekolah di sini tiga-empat lalu udah lulus dan udah melanglang buana.

Dan perkiraan saya pun tepat. Karena yang kerja itu banyak, persis pas adzan Dzuhur pun kerjaan itu selesai. Kamar bersalin pun kosong blong sekarang. Sayap gedung telah berubah menjadi kamar bersalin darurat a la pengungsian Palestina. Bidan-bidan berterima kasih, mereka nggak ngira dokternya bakalan turun gotong-royong dan bala tentaranya akan turun dalam jumlah segini banyak. Sebagai apresiasi pun mereka masakin kita nasi goreng dan beliin teh kotak dingin, hahahahah.. Kami makan dengan lahap, dan seusai adzan Dzuhur, saya suruh kolega-kolega muda saya pulang dan berhari libur bersama anak dan pacar masing-masing.

Saya pulang dan hari masih terang. My hunk menunggu di rumah dan kami menikmati sisa hari libur sambil hang out dan nge-date seperti suami-istri normal.

Sekolah dokter spesialis nggak cuman belajar tentang cara ngobatin orang sakit. Kami belajar tentang manajemen kantor, gotong-royong dengan kaum non-dokter, dan kerja sama dengan rekan sejawat. Beberapa hal harus dikorbankan, seperti uang untuk acara makan bareng-bareng, tenaga untuk kerja bakti, dan kadang-kadang waktu untuk ekstra lembur ngerjain hal non-medis. Tapi itu semua adalah investasi untuk bahagia di masa depan bersama cita-cita yang sudah dirintis sejak sekarang.

Mereka yang tidak pernah bersekolah dokter, tidak akan pernah membayangkan hal ini.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Thursday, December 12, 2013

Dihadang Nyamuk Pers

Wartawan kepingin ngomong sama saya hari ini. Tadinya saya kirain mereka salah orang, mungkin mereka mestinya bicara sama Kim Kardashian atau Joko Widodo atau siapalah, tapi ternyata mereka memang beneran kepingin ngomong sama saya. Atau lebih tepatnya, karena saya dokter yang bertugas hari ini di kamar bersalin.

Saya lagi alergi sama wartawan. Atau tepatnya, kami dokter-dokter ini lagi alergi sama wartawan, gara-gara mereka jelek-jelekin Ayu di Manado. Bidannya yang jaga pintu gerbang, males ngomong sama wartawan karena dos-q takut salah bicara. Bidannya kasih wartawannya ke saya, soalnya saya pandai ngomong singkat-singkat tanpa menimbulkan benih-benih permusuhan, haha.

Saya sendiri lagi capek. Hari ini pasiennya susah-susah. Satu orang gagal melahirkan normal lantaran darah tinggi. Satu orang lagi terpaksa lahir operasi lantaran kegemukan. Satu orang lagi terpaksa dioperasi karena anaknya kegedean buat jalan lahir emaknya. Dua orang berhasil lahir normal tapi ibunya menjerit-jerit kesakitan waktu ngeluarin anaknya dan memukul semua mahasiswa perawat yang megang tangannya..

"Selamat malam, Dokter, saya wartawan dari Tempo," katanya memperkenalkan diri.
Owalah, ada juga ternyata wartawan sopan. "Oh ya. Ada apa?"
"Saya ingin tanya tentang ibu yang tadi pagi melahirkan dan bayinya meninggal.."

Doooh.. Belom apa-apa kok udah ditanyain tentang pasien susah.
"Kenapa bayinya meninggal, Dokter?"
"Wah, saya tidak tahu, Mbak. Bayinya sudah meninggal semenjak masih di dalam kandungan."
"Itu bisa lahir normal ya, Dok?"
"Ya bisa dong.." kata saya sambil tersenyum. Saya mikir apakah wartawan ini mengira bayi mati nggak bisa lahir sendiri?
"Err..apakah sejak sebelum lahir sudah diketahui bahwa bayinya sudah meninggal, Dok?"
Nah, itu yang repot.
Saya mikir-mikir sebentar, mencari jawaban yang paling hati-hati. "Gini, Mbak, waktu ibunya baru datang ke sini, kami melakukan pemeriksaan, dan kami tidak bisa menemukan denyut jantung janinnya. Kebetulan dia sendiri dirujuk kemari oleh seorang paramedis dekat rumahnya, karena paramedis tersebut juga tidak bisa menemukan denyut jantung janinnya."
Sang wartawan manggut-manggut.
"Bagaimana cara mencari penyebab kematiannya, Dokter?"
"Dengan otopsi, Mbak," saya tersenyum manis.
Wah, si wartawan nampak kecewa. Di Indonesia mana ada orang mau anaknya diotopsi?
"Ibu yang melahirkannya di mana, Dok?"
"Sudah nggak di ruangan sini, Mbak."
"Tapi belum pulang kan, Dok?"
Saya tersenyum lagi. "Belum."

Sang wartawan nampak kebingungan mau nanya apa lagi. Saya sendiri ketir-ketir menebak-nebak pertanyaan selanjutnya.

"Err..tadi ada yang melahirkan kembar ya, Dok?" tanyanya lagi.
"Oh iya, betul," jawab saya parau. Itu juga pasien susah, sebetulnya.
"Bayinya masih di inkubator?"
"Hm..mungkin, bisa jadi."
"Kenapa ya Dok harus di inkubator?"
"Bayinya kan kecil-kecil tadi, Mbak. Itu lahir saja belum ada delapan bulan di kandungannya, jadi perlu ditolong inkubator.."
"Berapa lama ya Dok harus di inkubator?"
"Waduh, Mbak, saya tidak tahu. Bayi itu dirawat oleh dokter anak. Kalau saya ini bukan dokter anak, saya hanya berwenang merawat ibunya.."
"Ooh.." Sang wartawan nyoret-nyoret notesnya lagi. Beberapa kali ia nampak berhenti menulis, mikir, tapi semakin lama ia mewawancarai, pertanyaannya semakin nggak terarah.

"Sampeyan ini sebenarnya mau nyariin apa sih?" Lama-lama saya jadi penasaran.
"Saya nyari bayi-bayi yang lahir tanggal 11-12-13.." kata wartawannya ketawa.

Ya ampuuun! Saya tepok jidat. Kirain mau nyariin kesulitan menyelesaikan persalinan pada kehamilan yang sulit. Kirain mau nyariin kenapa ibu yang hamil dengan preeklampsia bisa mengakibatkan anaknya meninggal. Kirain mau nyariin kenapa ibu hamil kembar bisa melahirkan prematur. Kiraiiiinn..!

Ternyata wartawan ini cuman nyari kasus infotainment dalam medis.

"Sampeyan ini mau nyari ibu-ibu yang berbahagia melahirkan pada tanggal 11-12-13?"
"Iya, Dook.." Sang wartawan nyengir.
"Itu barusan ada dua orang yang melahirkan normal tuh.."
"Katanya ibunya nggak boleh ditemui, Dok.."

Saya memutar bola mata. Ya iyalah, kan masih dua jam pasca melahirkan, ya masih dalam pemulihan. Pasti masih dikarantina bidannya.
"Mereka masih dalam pemulihan."

"Saya sudah di sini semenjak tadi pagi. Hari ini bayi yang lahir ada lima kan, Dok?"
Wow, jagoan. Saya aja nggak ngitung hari ini menangani berapa pasien. Pasti hari ini dia tahu berapa yang lahir itu pakai operasi, berapa yang lahir sendiri.
"Tapi kira-kira hari ini pulang, Dok?"
"Mbak, kami nggak pernah pulangkan ibu-ibu yang belum 24 jam dari melahirkan."
Sang wartawan nampak lega. Nampaknya dia masih punya subjek menarik untuk diwawancarai.

Sang wartawan akhirnya nyatet nama-nama yang melahirkan hari ini. Saya tahu dia hanya akan dapet dua orang pasien untuk diwawancarai, karena tiga orang lainnya masih teler kena obat bius akibat operasi. Untung dua orang itu lahir normal, jadi kira-kira mereka masih bisa nampak bahagia waktu diinterogasi wartawan nanti.

Sang wartawan pamit ke saya dan bilang terima kasih. Ia sempat nanyain nama lengkap saya dan saya menolak dengan sopan. Dalam hati saya bersyukur dia nggak mengenali tampang saya. Situ ndak punya blog ya, Mbak?
*sok beken*

Kita ini memang lucu. Wartawan nanya kayak orang yang awam banget. Lha mereka kan memang nggak tahu. Dan dokter njawab kayak ngomong sama orang yang ngerti aja. Lha dikiranya orang-orang itu sudah tahu. Pantesan wartawan dan dokter sering nggak nyambung..
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Wednesday, December 11, 2013

Ogah Periksa Dalam.jpg

"Saya ndak mau ke dokter kandungan, Dok. Soalnya saya takut diperiksa dalem."
Pasien itu menunduk malu sekaligus ngeri. "Saya takut kalo tangan dokternya masuk ke dalem bawahnya saya," katanya ngaku.

Saya nggaruk-nggaruk kepala. Saya bisa ngerti sih, apa yang dia takutkan. Siyalnya yang kayak gini nggak cuman dia doang. Bahkan teman-teman cewek saya yang pemberani dan udah sekolah tinggi pun masih banyak yang takut diperiksa dalem.

"Langsung USG aja. Saya bayar," kilah mereka pasti begitu.
Oh yeah, seolah-olah dengan USG maka semua penyakit bisa keliatan.

Makanya banyak pasien nggak mau diperiksa dalem. Lalu karena dokter kandungannya takut prakteknya jadi sepi karena pasiennya takut diperiksa dalem, maka mereka pun ogah maksa pasiennya periksa dalem. Sekarang kan jamannya dokter males berantem sama pasien. Daripada pasiennya nuntut karena merasa dipaksa, mending pasiennya disuruh tanda tangan di surat pernyataan menolak periksa dalem. Bahwa ternyata di dalem vaginanya ada tumor yang ganas? Itu risiko pasiennya. Lha kan nggak mau diperiksa dalem?

Saya jadi inget pasien yang saya periksa beberapa hari yang lalu. Di perutnya ada bekas jahitan operasi. Ternyata enam bulan yang lalu, pasiennya baru operasi angkat tumor di luar kota, karena di dalem rahimnya ada tumornya. Sekarang pasiennya dateng ke sini, soalnya mensnya nggak karuan dan pinggangnya sakit di sana sini. Dia nggak mau balik ke dokter kandungan yang ngoperasi dia dulu, soalnya dianggepnya nggak manjur. Lha sudah dioperasi kok masih mens nggak karuan?

Setelah kami membujuk-bujuk pasiennya setengah mati, akhirnya pasiennya mau diperiksa dalem. Dengan syarat yang meriksa dokternya cewek. Baiklah, kata saya. Sini saya lihat. Saat saya masukkan jari saya ke dalem vaginanya dan dia mulet-mulet kegelian, saya tertegun. Demit. Kanker serviks.

"Bu? Dulu dokter yang ngoperasi Ibu, sebelumnya meriksanya kayak saya gini, nggak?" tanya saya.
"Nggak, Dok.." jawabnya getir.
"Maksudnya nggak, gimana?"
"Tangannya nggak masuk kayak gini, Dok.." jawabnya lemah. "Dok, udah dong, Dok, jangan lama-lama tangannya.."

Saya menarik tangan saya keluar dan cuci tangan. Si pasien yang jengah, kembali pakai celana dalamnya dan memandang saya dengan cemas.
"Dok? Penyakit saya nggak bahaya kan?"
Saya menatapnya, bingung harus ngomong apa.

Kanker serviks tidak muncul mendadak. Apalagi yang sudah sampek ke stadium parah gini. Sekarang jalan untuk menolong dia hanya dengan terapi sinar. Itu juga kalau dia punya cukup duit untuk bayar terapi.

Coba kalau ketahuan kankernya masih stadium dua dulu. Pengobatannya masih gampang. Tinggal angkat kandungan, maka masalahnya akan selesai. Nggak perlu punya kanker sampek nyebar ke saluran kencingnya gini. Dan dia pernah punya kesempatan untuk itu. Ya pada saat dokternya mau ngoperasi angkat tumor rahim yang dulu itu.

Sayang kalau penyakit bisa nggak ketahuan cuman gara-gara pasiennya nggak mau periksa dalem..
Padahal periksa dalem itu sangat sederhana. Dua jari masuk dan muter aja di dalem terowongan itu. Ini sebenarnya sama dengan masukin penis ke dalem vagina, seperti yang biasa terjadi pada hubungan suami-istri. Gerakan penis kan ya gitu-gitu doang, muter-muter, nyundul-nyundul. Gerakan periksa dalem ya samalah.

Kenapa kok kanker sampek nggak ketahuan? Karena dokternya nggak periksa dalem..
Kenapa dokternya nggak periksa dalem? Ya karena pasiennya memang nggak mau diperiksa dalem..
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sunday, December 8, 2013

Akurasi Review Tempat Dugem

Sekitar tiga tahun lalu, sewaktu masih jaya-jayanya Foursquare, saya masih rajin banget make aplikasi yang satu ini untuk mengecek apakah suatu tempat dugem itu makanannya enak atau enggak. Saya menilai dengan cara simpel aja, kalau suatu tempat itu banyak tipsnya, dan yang ngasih tips itu orang-orang yang berbeda-beda, bisa dipastikan tempat itu rame dan jadi favorit orang banyak. Soalnya saya mikir gini, kalau orang nggak seneng sama tempat itu, dia nggak akan mau repot-repot ninggalin tips atau komentar yang bagus atas tempat itu, iya kan? Iya lah, kalau kalian benci atas suatu tempat dugem yang menurut kalian nggak oke, kalian pasti nggak akan kepingin tempat itu laku kan? ;)

Tapi seiring dengan berjalannya waktu, saya mulai melihat kalo 4sq makin sulit dipercaya jadi paramater akurat tentang kekerenan suatu tempat. Sebab-sebabnya antara lain:
1) Meskipun tips-tips yang ditulis dalam 4sq itu sangat informatif buat jadi marker kekerenan tempat dugem, tapi nyatanya jarang pengikut 4sq sendiri yang rajin nulis tips di dalem 4sq itu
2) Tips itu sendiri kadang nggak valid sebagai tips. Masih banyak pengguna 4sq yang nulis di kolom tips dengan kalimat-kalimat seperti "Lagi makan di sini.." Atau "Tempatnya keren euy.." Atau lebih parah lagi "Mau jual pulsa? Silakan hubungi 081xxxx.." Itu bukan tips, itu namanya ngupdate status, dodol..

Saya sendiri nggak percaya bahwa trend nulis tips telah berakhir. Mereka pasti nggak berhenti di nulis cuman gegara 4sq telah berkurang pamornya, jadi saya mencari reviewer-reviewer tempat dugem lain. Hasilnya, saya menemukan tips-tips yang bermutu di Trip Advisor dan Open Rice.

Di http://tripadvisor.com dan http://openrice.co.id, saya merasa orang bisa bebas menulis panjang-panjang dan spesifik tentang suatu tempat dugem. Mereka mengoceh banyak tentang "suasana di tempat ini penuh dengan barang-barang vintage jaman dulu seperti blek aluminium dan..", atau "nasi lemaknya lembut, dan pasta carbonaranya autentik banget kayak pasta Italia sungguhan..", sampek review sarkastik seperti "pelayannya ndeso banget, mosok di sini nggak boleh motret buku menu makanannya.." Sekali review bisa mencapai satu halaman tersendiri, semuanya terdetail secara spesifik, bikin pembacanya jadi tertarik atau justru ogah dateng ke tempat itu. Ini yang nggak didapet dari 4sq.

Trip Advisor malah bikin wawasan kita jadi kaya karena yang nulis nggak cuman orang Indonesia, tapi turis-turis dari luar negeri pun bebas bikin review tentang tempat-tempat dugem di sini. Kita bisa menilai gimana orang-orang nagri menilai kita, keramahan bangsa Indonesia, lidah mereka yang gelagapan mencicipi sambel, sampek tikus lewat di depan pintu restoran pun mereka tulis. Ssst..sejak dulu saya percaya, kalau mau tahu suatu tempat itu bersih atau enggak, baca aja review-nya yang ditulis oleh orang luar negeri. Kalau ada satu aja tulisan dari bangsa Kaukasus yang nulis bahwa suatu resto di Indo itu jorok, pasti resto itu beneran jorok, karena di Eropa atau Amrik sono bersih banget. Tapi kalau ada orang India komentar bahwa sambel di suatu restoran itu pedes banget, berarti sambel di sana memang sambel sungguhan! ^^

Open Rice punya kelebihan yang cukup asyik sebagai suatu situs, review di situ nyebutin perkiraan harga menu dari tempat dugem itu di baris atasnya. Sehingga pembaca yang berkantong cekak nggak perlu buang-buang waktu untuk baca enaknya sop buntut bakar di restoran X karena di baris atasnya udah ditandain bahwa rentang harga makanan di tempat itu adalah Rp 50 s/d Rp 100 ribu rupiah.

Dan sayangnya Open Rice masih padat dengan tempat-tempat dugem di kota besar. Kota-kota kecil sekelas ibukota kabupaten belum banyak disebut dalam Open Rice, padahal mereka pasti punya tempat-tempat dugem tradisional yang nggak kalah enak rasa masakannya dengan tempat-tempat dugem di kota besar.

Bagian yang sama-sama menyenangkan: semua review di situ bisa dipertanggungjawabkan karena profile reviewer-nya jelas, siapa nama orangnya, sudah berapa kali dia nulis review, dan restoran-restoran mana aja yang udah dia review. Sehingga kadar subjektivitas review-nya pun bisa kita ukur sendiri. Apakah Anda bisa percaya bila si X bilang restoran pizza di Bekasi itu nggak enak padahal selama ini dia cuman nge-review 50 warung pecel di kota Magetan?

Tapi membandingkan 4sq dengan Open Rice dan Trip Advisor, rasanya masih layak. Satu hal yang nggak bisa dipungkirin ialah 4sq punya aplikasi mobile yang melibatkan Google Maps. 4sq juga punya feature List-to-Do yang bikin penggunanya bisa nandain tempat-tempat dugem mana aja yang berencana dia kunjungin setelah baca tips. Feature List-to-Do yang digabung dengan Google Maps ini bisa diakses via ponsel, sehingga penggunanya bisa terbantu untuk wisata kuliner kapan aja. Sebagai ilustrasi, misalnya seorang pengguna yang merupakan penggila makanan dalam perjalanan darat dari Surabaya ke Bandung, singgah di Jogja. Di Jogja ia bisa buka 4sq di HP, melihat tempat-tempat mana aja yang lagi happening di sana melalui feature Browse Search dan pilih menu Trending. Dia tinggal nandain bahwa di sebelah selatan ada warung gudeg yang ramai di malam hari, di pusat kota ada pabrik bakpia, dan di sebelah timur kota deket Prambanan ada restoran bebek goreng. Dia tandain tempat-tempat mana aja yang dia incar, lalu dia lihat posisinya dalam Maps yang udah disediain di dalam 4sq. Seterusnya dia tinggal menentukan rute, lalu cabut ke tempat yang bersangkutan.

Trip Advisor belum se-mobile ini. Open Rice mungkin sudah menerbitkan aplikasi mobile-nya, tapi situs ini masih "terlalu eksklusif".

4sq sebaiknya berbenah kalau nggak mau punah. Karena orang-orang pecinta wisata kuliner macam saya cukup serakah kalau nuntut kegamblangan review atas pedagang makanan. Plus, mengetahui lebih banyak lagi tempat dugem alias dunia gembul alias tempat makan-makan yang enak-enak adalah hobi yang nggak akan pernah habis. Dan saya juga berharap banget, review yang bagus tentang tempat makan di Indonesia nggak cuman ada untuk kota-kota besar, tapi juga kota-kota kecil di seluruh pelosok Indonesia.

Because I love travelling, photography and culinary. And I love to travel around for taking photo of gourmets beautifully.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Friday, November 29, 2013

Mari Dihujat Bersama

Sepanjang hari kemaren, saya dan kolega-kolega duduk-duduk di kantor sambil buka internet, baca koran, dan nonton berita. Kami mencari reaksi rakyat setelah ulah kami yang nutup poliklinik dua hari lalu. Hampir semua berita nadanya sama: mengkritik, mengecam, menghujat dokter-dokter karena nekat mogok. Mengata-ngatai dokter mirip buruh saja (dan saya heran kenapa harus demikian, lha memangnya dokter dan buruh itu beda ya?), mencibir seolah-olah kami tidak berperikemanusiaan, dan lain sebagainya yang kira-kira sejenis.

Saya scroll HP saya membaca grup diskusi kawan-kawan alumni se-SMA, dan bisa ditebak, mereka yang bukan dokter sangat menyayangkan kenapa kami harus "mogok". Kawan saya yang kebetulan juga dokter angkat bicara mencoba membela (profesi) dirinya, tapi saya milih diam dan membiarkan anjing mengonggong dan burung berkicau (bukaan..saya bukan bilang teman-teman saya itu anjing atau burung). Para sepupu, bude, berkomentar lebih hati-hati, mungkin ngeri menyinggung perasaan saya dan bokap dan adek dan pakde dan kakak saya yang sudah jelas mendukung demo.

Kawan saya berseru bilang di sebuah koran lokal di Surabaya, salah satu kolega kami yang kemaren ikutan aksi tutup klinik, kedapatan wajah cakepnya menghiasi seperempat halaman koran bak selebritis. Di caption foto itu, tertulis "dokter mogok". Kami tertawa berderai-derai. Wah, wah, ini namanya pencemaran nama baik.

Korps kami sudah mengatur sedemikian rupa, supaya yang tutup hanya klinik saja. Pasien-pasien yang sudah kadung diopname, tidak akan disuruh pulang. Unit gawat darurat tetap buka. Kamar operasi darurat juga tetap buka. Beberapa dokter didistribusikan untuk tetap di dalam rumah sakit, meladeni pasien-pasien yang sudah kadung diopname sebelum terjadi demo. Saya sendiri termasuk yang sudah diplot untuk jaga di gawat darurat sejak sebelum demo sampek tiga minggu ke depan, jadi ada-nggak-ada demo pasti saya tetap masuk kerja. Dokter-dokter yang nggak ada di unit rawat inap dan unit gawat darurat ditugaskan di (parkiran) poliklinik, saya lebih suka menyebut tugas mereka itu sebagai "penghalau massa". Mereka melakukan screening singkat pada pengunjung poliklinik, yang nampak gawat darurat akan disuruh ke unit gawat darurat, sedangkan yang nggak nampak gawat dipersilakan datang besok harinya.

Di poliklinik, sudah jelas banyak orang kecewa karena sudah kadung datang ternyata dokternya nggak nulis resep, melainkan dokternya senyum-senyum di tempat parkir, membagi-bagikan kembang, dan berkata "Besok silakan kembali." Ada keluarga pasien yang geger, dan langsung dihalau polisi supaya tidak sampek timbul kerusuhan.

Kami terus-menerus memantau berita mencari-cari kerusuhan di Indonesia akibat ada Puskesmas/rumah sakit yang menutup pelayanan, tapi tidak ada yang sampek bakar-bakar ban segala cuman gara-gara dokternya nggak masuk kerja. Kolega saya di Pulau Seram malah ngomong di grup diskusi, "Di beberapa kecamatan sini sih, ada nggak ada dokter, nggak ngaruh. Ada dokter, alhamdulillah. Nggak ada dokter, ya udah nasib.."

Dokter mogok baru terjadi kali ini di Indonesia. Di Korea, pernah dokter mogok di seluruh negeri sampek empat bulan. Bandingkan dengan Indonesia yang baru "berani" mogok 24 jam. Itu pun dokternya masih bersedia buka unit gawat darurat. Masih bersedia ditelepon di rumah. Masih sudi jawab konsulan via Twitter..

"Kita dimusuhin, Bro," desah kolega saya waktu duduk-duduk di kantor. "Kita dimusuhin rakyat se-Indonesia."
Saya cuman nyengir. "Nggak pa-pa. Yang dimusuhin juga dokter se-Indonesia kok."
"Setelah kegilaan kasus ini, kira-kira orang masih mau berobat ke dokter nggak ya?" desah kolega saya.
Saya dan dos-q berpandang-pandangan, dan mendadak kami tertawa terbahak-bahak.

Biarin aja kami dihujat di seluruh Indonesia. Nggak urung negara kita sekarang diketawain di luar negeri, karena cuman Indonesia di dunia ini yang nekat memenjarakan dokter gara-gara salah tuduh dikira mbunuh orang. Tambah diketawain karena mereka-mereka yang pernah sekolah dokter dan sekarang jadi anggota DPR, jadi anggota YLKI, dengan sembrono mencemooh sejawat-sejawatnya yang mogok dan demo. Mungkin mereka lupa kalau dulu mereka pernah banting tulang jadi koass sampek punggung rasanya mau putus karena nungguin pasien ngantre ventilator. Atau jangan-jangan mereka mbolos pas stase itu.

Giliran kita ngadu ke pemerintah karena merasa pekerjaan kita dirongrong jaksa brengsek, dengan sembrono pejabat tinggi pemerintah bilang, "Saya tembak kalian pelan-pelan."
Najis. Kerahkan saja semua tentara, memangnya berapa peluru yang kalian punya buat nembak dokter se-Indonesia?

"Kita nggak bisa cengeng, Bro," kata saya kepada kolega saya. "Kita nggak punya waktu buat mengeluh. Kita menghabiskan waktu terlalu banyak buat pasien-pasien kita, sampek-sampek menangis pun tak sempat. Suamiku di rumah selalu ketiduran kalau nungguin aku pulang, saking malemnya."
Mereka yang bukan dokter tidak akan pernah mengerti kita, tidak akan. Karena mereka tidak pernah mengalami shitty days yang kita alami. Dan mereka tidak akan pernah mengerti kenapa kita masih tetap bertahan di profesi ini. Mereka cuman menyangka bahwa kita tetap jadi dokter karena dikiranya banyak duit.. Holifag. Bahkan saya pulang ke rumah pun masih naik bemo.

Pemberitaan di tivi berat sebelah. Dengan licik para anchor menampilkan kaum anti-demo-sok-jadi-korban lebih lama daripada dokternya sendiri. Saya iseng menghitung bahwa dalam wawancara yang menampilkan IDI versus keluarga Matakey, kelihatan bahwa keluarga Matakey dikasih waktu berbicara selama 10 menit, sedangkan dokternya cuman dikasih waktu selama 3 menit.
Orang-orang sok pinter berkomentar di Twitter "daripada demo, mending dokter bikin aksi simpatik dengan pengobatan gratis". Saya ketawa ngakak. Emoh. Ntar kalo obat gratis dari saya bikin syok anafilaktik dan situ mati, ntar saya dimasukin penjara pula..

Biarin aja rakyat ngambek. Nggak urung jumlah pasien yang hari ini dateng berobat ke sekolah saya juga sama aja jumlahnya tuh dengan yang kemaren-kemaren. Lagian saya masih percaya Tuhan Mahaadil. Orang akan lihat Ayu SpOG cuman jadi korban pemerasan, dan keluarga Matakey disetir diam-diam di belakang oleh makhluk-makhluk pemancing air keruh. Kami pasti akan tetap hidup. Dan orang akhirnya akan terpaksa percaya sama kami. Karena kami ngobatin orang pakai logika dan masih pakai rupiah. Sedangkan orang lain ngobatin cuman pakai taneman-taneman berkedok tahayul, atau lebih parah lagi ngobatin pake air ludahnya dukun.

Kapan ya dokter demo lagi? Yang lamaan dikit dong, biar timbul kepanikan skala nasional. Saya mau kok jaga UGD lagi pas demo itu.. Hahahahah.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Thursday, November 28, 2013

Selamat Datang, Paranoid

Pak Guru: "Anda kalau mau melahirkan pasien secara normal, Anda informed consent nggak?"

Mahasiswa: "Nggak, Dok."

Pak Guru: "Anda kalau mau menggunting dinding vaginanya waktu mau mengeluarkan anaknya, Anda informed consent nggak?"

Mahasiswa (terhenyak): "Nggak, Dok."

Pak Guru: "Menurut Anda, bersalin normal bisa emboli air ketuban nggak?"

Mahasiswa (mengangguk kuat-kuat); "Bisa, Dok."

Pak Guru: "Anda bilang ke pasiennya kalau dengan bersalin normal maka dia bisa meninggal?"

Mahasiswa mengkeret.

Pak Guru: "Nah, mulai sekarang Anda harus bilang, kalau pasiennya mau melahirkan, bahwa dia bisa meninggal. Meskipun hanya dengan bersalin normal. Dan kalau dia mau dioperasi pun, Anda harus bilang ke pasiennya kalau setelah operasi itu pun dia bisa meninggal.."

Saya sikut-sikutan sama kolega di sebelah saya. Gimana ini?

Lalu setelahnya kita ngoceh ke perawat. Susternya mengerang keras. "Dok, kalo kayak gitu caranya pasiennya jadi galau sendiri. Lha mau ditolong pun bisa mati, nggak ditolong pun bisa mati. Lantas dia mau milih jalan penyelesaiannya gimana, kalau semua-semuanya bisa bikin mati?"

Saya cuman cetek-cetek HP, nyari berita tentang reaksi dunia mengenai ulah kami yang menutup poliklinik kemaren. "Ya biar pasiennya milih sendiri, Bu.." kata saya kalem.

"Tapi kan pasien harus dibimbing untuk jalan yang penyelesaian terbaik, Dok? Bukan ditakut-takuti bahwa dia bisa mati!" sergah perawatnya.

Mata saya scroll layar HP dari atas ke bawah. Semua media menghujat kami. Haha. Katanya acara "mogok" kami berakibat pasien terlantar. Haha. Dan itu terjadi di seluruh Indonesia. Haha!

Saya menoleh ke perawatnya. "Bu. Kawan saya itu bertindak Cesar coz dia mau selamatkan janinnya si pasien itu. Tapi dia dipenjara cuman gara-gara nggak bilang sama pasiennya kalau risiko dari Cesar itu pasiennya bisa meninggal."

Maka adegan pun berganti. Pak Guru saya bilang, "Ini namanya defensive medicine. Semua tindakan sekecil apapun harus diberitahukan risikonya kepada pasien. Supaya keluarga pasiennya nggak nuntut kalau terjadi komplikasi tindakan pada pasien itu."

Dalam perjalanan di selasar, saya ngobrol sama kolega saya, "Jadi, kalo ada pasien belum waktunya lahir, tapi pasiennya kesakitan karena kontraksi palsu, terus gw nggak nginfus dia karena ketubannya belum pecah, gw harus bilang gitu ya kalau setiap saat ketubannya pecah dan bila kebetulan Izrail lewat maka air ketubannya nyelonong ke pembuluh jantungnya dan dia bisa tewas?"

"Kalo kayak gitu caranya, nggak ada pasien mau diobatin," seloroh kolega saya. "Karena mereka jadi takut semua. Lahir normal aja bisa meninggal. Lahir operasi pun bisa meninggal. Maju kena mundur kena."

Saya angkat tangan. Suara Mahkamah Agung yang menghukum Ayu itu suara rakyat. Kalau memang tidak-bilang-bahwa-risiko-tindakan-itu-bisa-meninggal menurut hukum adalah salah, berarti ya rakyat memang kepingin dikasih tahu bahwa semua jalan keluar adalah risiko meninggal.

Tuntutan mereka kepada kami ialah jujur. Tapi selengkap apa kejujuran kami yang mereka harapkan itu?

Selamat datang, dunia paranoid. Penyakitmu tetap ada bersamamu, kamu bisa meninggal. Kami mencoba menolongmu pun, kamu akan tetap bisa meninggal. Kalian akan ketakutan karena risiko. Dan kalian akan menuntut kalau kalian tidak diberi tahu risiko. Jadi, menjadi ketakutan adalah pilihan.

Terima kasih, Mahkamah Agung. Mendadak, menolong orang menjadi terdengar seperti kegiatan yang menakutkan.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Saturday, November 23, 2013

Satu Foto Sehari

Saya punya proyek yang rajin saya lakonin semenjak tiga bulan terakhir, yaitu motret. Yang saya potret bukan sembarangan hal, tapi saya motret orang bergerak. Misalnya orang nyapu. Atau orang lagi masak. Atau orang lagi ngayuh becak. Pokoknya bukan orang yang lagi diam berpose, apalagi selfie.

Saya mematok bahwa setiap hari saya harus dapet satu jepretan. Fotonya saya ambil pake HP aja. Alasan pake HP karena selain handy, juga karena bisa langsung di-upload. Dan upload-nya kudu ke Instagram.

Kenapa pakai Instagram, soalnya secara ajaib saya mengakui bahwa foto sejelek apapun bila tampil di Instagram maka tetap akan keliatan keren, hahahah. Mungkin karena di Instagram ada filter-filter yang bisa meminimalisir cacat setiap foto. Plus Instagram memang untuk mengapresiasi foto, bukan untuk fokus terhadap caption atau komentar.

Proyek ini memang saya fokuskan buat moto orang yang lagi berkegiatan. Nggak boleh foto selfie, coz itu bukan kegiatan (tapi narsis). Nggak boleh foto pemandangan, kecuali kalo di foto itu ada orang yang berkegiatan. Nggak boleh foto benda mati, karena syaratnya memang harus moto orang.

Kenapa kok saya ngeyel moto orang bergerak? Ini sebenarnya terkait dengan masalah pribadi saya juga. Sudah sekitar hampir setahun ini saya didaulat untuk latihan empati terhadap orang lain. Karena saya merasa selama ini saya lebih banyak mendengar diri saya sendiri bicara ketimbang mendengarkan orang lain bicara. Jadi saya mulai pelan-pelan dengan lebih banyak diam dan belajar mengamati dan mendengarkan orang lain.

Semisal kalau saya lagi pesan sushi, saya lihat pelayannya lelet, saya menahan diri untuk nggak minggat, dan saya belajar sabar menungguinya bekerja. Ternyata untuk bikin sushi, dos-q kudu ngambil segepok nasi ketan sepanjang setengah meter yang dalemnya sudah disumpal potongan ikan mentah. Lalu membungkusnya dengan nori seperti membungkus dengan kertas kado licin. Dan memotong-motongnya dengan presisi ketat karena kalau dia motong rada lebihan dikit, dia bisa dipelototin bossnya dan gajinya akan dipotong. Dan menghidangkannya di baki secara cantik supaya pembelinya jatuh cinta dan mau makan di situ lagi.

Saya belajar menghargai proses. Bukan sekedar mendapatkan hasil. Makanya saya mengamati orang memasak, bukan cuman motretin makanannya doang. Saya ngawasin orang nyapu taman, bukan cuman motretin taman yang asri doang. Bahkan saya motretin orang lagi nunggu giliran naik kereta api pun, saya harus dapet ekspresi muka menunggunya. Ada yang resah gelisah, ada yang senewen. Tapi itu semua proses.

Dan itu tidak mudah. Karena bersabar memotretin orang berkegiatan ternyata lebih sulit daripada moto makanan di piring. Karena mereka bergerak, sedang saya maksa pakai kamera HP yang resolusinya pelit, maka fotonya sering kali kabur. Tidak mungkin saya suruh mereka diam sebentar demi menghasilkan foto yang jernih. Alhasil saya terpaksa belajar fotografi juga sedikit-sedikit. My hunk ngajarin saya untuk motret di cahaya terang supaya mengurangi blur. Foto di siang hari lebih ciamik daripada foto di pagi hari. Maka saya pun berkorban, kudu rela iteman dikit demi dapet foto yang terang.

Satu jepretan sehari kadang-kadang tidak mudah. Saya bersekolah di rumah sakit yang kegiatannya ya itu-itu aja. Mosok saya motret cleaning service lagi, atau motret UGD yang nelangsa lagi. Plus saya pake baju jas putih, dan dokter motretin orang sakit dengan kamera HP hanya untuk ng-upload ke Instagram adalah tindakan tidak etis. Praktis saya sering kehabisan ide buat difoto.

Makanya kalau lagi hari libur gitu, saya belain rekreasi ke tempat rame demi dapet foto-foto beragam. Saya senang pergi ke pasar, ke taman ria. Di sana banyak orang lalu-lalang yang menarik untuk difoto, dan pedagang balon tidak pernah marah kalau saya potret meskipun saya nggak beli dagangannya. Beda dengan motretin tukang gei-n-jai di mall sementara saya bukan penggemar gei-n-jai.. :p

Lha ngeblog-nya gimana? Kalau proyek ini cuman sekedar pelatihan-empati, kenapa fotonya cuman diunggah ke Instagram, kenapa nggak ke blog sekalian? Alasan saya adalah, di blog saya ingin tetap nampak banyak bicara melalui tulisan. Sedangkan proyek foto saya bertujuan "foto ini harus lebih banyak bicara daripada seribu kata". Kalau saya maksa ngunggah ke blog, nanti blog saya jadi blog pameran fotografi, bukan blog orang cerewet.. :D

Oh ya, username Instagram saya "vickylaurentina". Tolong dikomentarin ya, foto saya bagusnya di sebelah mana, kurangnya di sebelah mana.. :)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Monday, November 11, 2013

Lagu Wajib Supir Bis

Malam ini ketika saya pulang dari Madiun menuju Surabaya seusai menjalankan tugas sekolah, saya akhirnya milih naik bis. Ini bukan milih sebenarnya, tapi terpaksa, hihihi.. Soalnya karena situasi kerja, maka saya baru bisa pulang malam hari, sedangkan travel yang available kira-kira baru bisa take off jam 12 malam. Kereta baru ada jam 3 subuh. Saya harus mulai sekolah lagi di Surabaya besok pagi, jadi saya nggak mau berlarut-larut nunggu lama-lama di Madiun.

Maka saya naik bis malam. Sendirian. Sambil berdoa di dalam hati, semoga saya nggak dihipnotis orang asing lalu dirampok. Bukan apa-apa, saya bawa berkotak-kotak bluder sebagai oleh-oleh dari Madiun. Jadi kalau sampek bluder saya ikutan dirampok, berarti malingnya keterlaluan..!

Saya ini norak coz saya nggak pernah naik bis. Selain alasan benci macet dan takut rampok, juga karena saban kali saya baca berita, angkutan umum yang paling sering dikabarin kecelakaan adalah bis malam. Makanya saya waswas. Tapi karena saya tahu kita nggak mungkin terkungkung dalam paranoia nggak jelas, jadi demi kewajiban-harus-masuk-sekolah-jam-7-pagi membuat saya menahan ngeri dan naik bis dengan ucapan bismillah. Semoga saya selamat sampek tujuan, dan semoga bluder saya tetap utuh nggak dirampok orang.

Maka saya pun naik bis dari terminal di Madiun. Baru naik bis, feeling saya sudah nggak enak coz bisnya muter lagu dangdut. Jadi di bis itu ada tivinya, dan tivinya muter VCD berisi show pertunjukan dangdut di panggung hiburan manaa gitu. Volume musiknya kenceng banget, sampek saya puyeng. Ingin saya tegor supir bisnya, mbok dia ganti gitu kek musiknya, pake lagunya Bruno Mars atau Katy Perry gitu..

Tapi kemudian saya mikir, mungkin lagu dangdut yang diputer keras-keras itu adalah senjata si supir bis untuk melawan kantuk. Bayangin kalau yang dia putar adalah Norah Jones. Atau Al Jarreau..
www.laurentginekologi.wordpress.com
www.laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Sunday, November 10, 2013

Berbagi, Pamer, dan Komentar

Bagian yang mencuri perhatian dari setiap profil account social media itu adalah avatar dan cover photo-nya. Baik avatar dan cover photo sama-sama mewakili jatidiri si empunya account, maka wajar kalau di dunia ini ada orang yang bisa mikir sehari semalam cuman demi merancang cover photo profilnya sendiri.

Saya melihat bahwa kalau ada orang baru ganti cover photo atau ganti avatar, pasti ada aja orang lain yang komentar. Mungkin komentar itu datang dari orang lain secara spontan. Tapi ada juga orang-orang yang tertentu yang sengaja ganti cover photo atau ganti avatar hanya karena kepingin dikomentarin. Nah, orang-orang yang "kepingin dikomentarin" ini sebenarnya nggak jauh dari sifat pamer.

Sebetulnya saya nggak pernah merasa terganggu dengan orang-orang yang kepingin pamer ini, meskipun mereka bisa ganti avatar BBM sampek tiga kali sehari. Terganggu sih enggak, tapi kadang-kadang saya kepingin bertanya aja, sebenarnya apa sih modus kalian ganti avatar sampek tiga kali sehari itu? Pesan apa yang ingin kalian sampaikan? Dan yang lebih penting lagi, sebenarnya siapa yang kalian harapkan untuk melihat pergantian avatar itu? Soalnya saya nggak pernah concern sama avatar orang lain, jadi boro-boro ngerasa dipamerin profile picture, ngeliatin avatar orang aja nggak pernah..

Tapi saya lebih geli sama orang yang peduli. Pernah lagi duduk-duduk sama teman di sekolah, sebut aja namanya Morgan, sambil ngawasin pasien mau melahirkan, terus Morgan lagi main HP. Dia celoteh gini, "Si Alexis ini lagi nongkrong di Cafe X ya, kok DP-nya gambar ini?"
Saya ngintipin avatarnya Alexis, terus mengenali interiornya cafe yang cukup happening di Surabaya itu. "Hm.. ya." Lalu saya mbalik lagi mantengin pasien saya yang lagi cemberut di depan saya. Mungkin obat induksinya sudah mulai jalan dan dia mulai kesakitan.
Satu jam kemudian, Morgan celoteh lagi, "Wah, si Alexis sekarang lagi ada di mall Y. Sama dokter Anu."
Saya, karena saya adalah pemberi feedback yang baik, hanya mengangguk. "Hm, iya." Lalu saya balik lagi ke pasien. Bingung kenapa kok obat induksi sudah jalan tapi bukaan si pasien nggak nambah.
Eh eh, satu jam kemudian, si Morgan komentar, "Haiah..si Alexis sudah di Cafe Z! DP-nya udah ganti lagi!"
Dan bukaan si pasien pun masih tetep. Siyalan. Bayinya macet.
Saya noleh ke Morgan itu. Menatapnya heran. Bukan heran sama Alexis yang demen gonta-ganti DP. Tapi heran kenapa Morgan mantengin recent update di BBM melulu. Situ nggak kerja tah, kok HP-an terus?

(Waktu itu saya lupa, dia kan sudah senior. Saya masih junior. Makanya saya yang kerja, dia cuman mikir manajemen resiko kalau kerjaan saya dodol. Oke sip.)

Jadi, mungkin di dunia ini, ada orang-orang seperti Alexis, seperti Morgan, seperti saya.
Barangkali Alexis memang centil suka gonta-ganti avatar. Karena dia ingin berbagi.
Atau sebenarnya Alexis memang kepingin pamer ke orang-orang seperti Morgan.

Barangkali Morgan memang tukang komentar. Karena dia dilahirkan dengan jiwa yang seperti itu.
Atau sebenernya Morgan risih liat orang lain ganti-ganti DP sedangkan dia sendiri nggak bisa gonta-ganti DP. Karena gimana mau ganti DP, tiap kali buka satu aplikasi aja, juwet Kanada-nya langsung kasih gambar jam pasir. (Emangnya HP-mu, Viic?)

Yang siyal itu kalo Alexis kepingin pamer ke orang seperti saya. Because I never give a damn care about other people's over-existency in cyber world.
Morgan juga siyal. Soalnya saya nggak pernah nyambung kalo diajakin ngegosipin orang lain..
Teman macam apa aku ini..

Profile picture/avatar/cover photo adalah perwakilan jati diri kita yang diliat orang dalam satu detik pertama.
Anggap saja orang lain tidak kenal kau apa adanya, lalu dia melihat gambarmu berupa menu ayam panggang, tidakkah dia akan menilai bahwa dirimu adalah seekor ayam..?
www.laurentginekologi.wordpress.com
www.laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com