Tuesday, January 13, 2009

Melawan, atau Benjol..!


Silakan sebut gw munafik lantaran ngga pro-Palestina, tapi setelah baca cerita ini, biarkan Tuhan tentukan siapa yang benar.

THE UNMEASURABLE PRICE OF WAR
Paul Martin

Sahabat saya Ashraf dan saya telah bekerja, makan, mengobrol..bahkan bertentangan pendapat, melalui begitu banyak tugas siaran - sebagian di bawah tekanan keras sebagai militan Palestina di Gaza melawan Israel, atau satu sama lain.

Pada hari ke-6 perang saat ini saya tak dapat menghubungi Ashraf di ponsel.

Kelak, dengan berlinangan air mata, dia memberi tahu saya kenapa. Adiknya yang paling kecil, Mahmoud, 12 tahun, dan sepupunya yang berumur 14 tahun, diberi tahu keadaan di luar sedang terlalu berbahaya. Rumah keluarga Ashraf berada di jalan yang sisinya merupakan gurun. Jadi anak-anak itu bermain dengan polos di atap datar rumah keluarga itu.

Lalu pesawat terbang Israel yang tak berawak menembakkan dua roket kecil.

Ashraf lari ke atas dan membawa anak-anak itu ke rumah sakit, tapi sia-sia. Keduanya dimakamkan hari itu juga.

Itulah yang terbaru dalam seri bencana bagi ayah Mahmoud dan Ashraf yang amat terpuji, seorang dokter. Dia telah berubah menjadi pengungsi sejak perang 1948.

Tahun lalu dia kehilangan satu putra, kameramen saya yang mengagumkan dan sulit tertahankan, Ahmed, dalam tabrakan mobil. Dan kini anaknya yang terkecil, Mahmoud.

PERISTIWA MENGERIKAN
Adakah alasan untuk serangan roket itu?

Mungkin saja. Kendaraan antena Israel tak berawak mungkin telah menyiarkan kembali gambar langsung yang tak menunjukkan anak-anak tapi sekedar figur tidak jelas yang bergerak di atas atap. Seberapa jelasnya gambaran pesawat terbang akan dak atap rumah Ashraf, akan menjadi subyek pemeriksaan, seperti yang dijanjikan Israel.

Juga, rumah Ashraf dekat dengan salah satu markas besar keamanan kota itu.

Pada Juni 2007 saya telah melihat - sedang berteduh di bawah papan daging yang berayun di dalam toko daging - ketika gedung itu ditangkap oleh pasukan Hamas.

Saya telah melihat rakyat sipil Israel tewas juga, hancur berkeping-keping dalam bom bunuh diri. Sebelas orang tewas - termasuk sekeluarga berenam di sisi jalan Jerusalem - kepingan badannya berhamburan di dinding.

Ada peristiwa mengerikan pada tahun 2001 di hotel pinggir pantai di Netanya. Pisau dan garpu tergantung menempel dalam langit-langit ruang makan, tempat 30 pria dan wanita lansia berkumpul untuk pesta makan-makan, semuanya kini sudah tewas.

Dan di kota Sderot, Israel, pada dua tahun lalu, saya bertemu supir ambulans yang telah ngebut ke peristiwa serangan roket yang meratakan rumah dekat jalur Gaza.

Ditemukannya cucuny sendiri, Osher, 1 tahun, terbaring dengan mata kirinya berayun keluar dan kepalanya pecah terbuka. Dokter menyelamatkan jiwanya.

Lalu di pinggir jalan Sderot, ada bangku kecil, terlukis dengan bebungaan merah dan biru pada titik tempat Ella, 17, seorang musisi yang berbakat, sedang jalan-jalan ketika sebuah roket menghantam dan membunuhnya.

PAKSAAN UNTUK MEMBUNUH
Saya juga telah bertemu para pembunuh - orang-orang yang telah merontokkan orang-orang tak berdosa macam Ella si Israel atau Mahmoud si Palestina. Mereka punya penjelasan sendiri. Beberapa bulan lalu, saya pergi dengan brigade penembak roket Palestina yang tekun mengirim persenjataan mereka ke jantung kota Israel (Sderot itu sendiri sebenarnya).

Mohammed, 24, (pada misi penembakan roket pertamanya) bilang bahwa pria, wanita, dan anak-anak Israel suatu hari nanti akan menghabisi para pejuang. "Jadi ayo bunuh mereka duluan," katanya.

Berbulan-bulan kemudian, saya ketemu dia di jalanan Gaza. Dia telah memutuskan pensiun dari penembakan roket dan kembali ke pemrograman komputer.

Perdana menteri Hamas punya penasehat didikan Amerika, yang pernah bilang kepada saya di kamera, "Roket kami belum cukup mematikan, tapi suatu hari nanti, dengan izin Tuhan, they will be."

Saya juga ketemu dua pilot Israel dari brigade Kobra, belitan ular menghias pada sisi helikopter satu-awak mereka, masing-masing dipasangi peluncur roket dan senapan mesin.

Salah satu pilot, Uri, menurunkan kacamata pilotnya, lalu mencabut keluar kliping koran Yahudi dengan foto seorang bocah pria dan kakeknya.

Mereka tewas, ceritanya, waktu pria ini sedang menjemput anak ini dari penitipan anak. Uri sedang terbang, bertujuan membunuh mereka yang disebutnya teroris. "Saya selalu bawa foto-foto ini kalau sedang bertugas," dia menjelaskan. "..untuk mengingatkan saya bahwa saat saya memburu teroris, saya sedang melindungi orang-orang macam ini."

Tidur nyenyakkah ia di malam hari? Saya bertanya kepadanya.

Terdiam sejenak. "Tidak," katanya. "Terkadang saya terbangun dan penasaran, ketika saya melihat target kami yang dekat dengan rakyat sipil, apakah benar jika tidak saya tembak. Mungkin saya biarkan dia hidup dan besok dia akan bunuh rakyat sipil kami."

Dari kaum pejuang Israel atau kaum Palestina, dapatlah saya rasakan empati yang besar terhadap mereka yang tidak bersalah.