Gw ngambil foto ini waktu nonton simposium dokter dua minggu lalu. Narasumbernya ngoceh di depan sambil presentasi pakai Power Point selama 20-30 menit, sementara penontonnya duduk berjejer menyimak. 5-10 menit, gw melirik-lirik penonton sekitar. Ada yang masih semangat ngeliatin orasi. Ada yang sedikit-sedikit menguap. Ada yang asyik fesbukan di HP-nya. Dan ada yang jelalatan sambil nulis blog (yang ini sih gw..)
Penonton di foto ini adalah seorang dokter senior yang tadinya gw kirain adalah fotografer yang menyamar. Tapi gw perhatiin nampaknya dos-q ini fotografer yang masih amatiran, soalnya tiap kali ngejepret, shutter sound kameranya nggak pernah dimatiin (padahal kan lagi simposium lho). Lalu ternyata dos-q ngejepret tiap kali narasumbernya ganti slide. Eyalaa..ternyata dos-q berusaha mereproduksi presentasinya si narasumber dengan cara memotret layar in focus.
Sang dokter senior lama-lama sadar gw ngeliatin dos-q, terus dos-q nyengir.
Seorang kolega gw yang lebih junior dari gw bilang, "Kan nanti ada CD-nya, Doc?” (maksudnya seluruh presentasi symposium itu udah dipak dalam bentuk CD yang dibagiin gratis ke semua peserta. Jadi peserta symposium nggak usah repot-repot nyatetin isi orasi.)
Lalu gw berbisik pada si junior fresh-graduated itu, “Kadang-kadang CD-nya suka nggak lengkap.”
Dan sang dokter senior fotografer itu menimpal, “Betul. CD-nya suka bo’ong.”
Maksudnya, kadang-kadang pada H-1 simposium, narasumber udah kasih presentasinya ke panitia dalam bentuk file, supaya pada hari H panitia bisa bagikan kopian file itu ke seluruh peserta. Tapi rupanya kadang-kadang narasumber menambahkan beberapa slide lagi untuk presentasinya, tanpa sepengetahuan panitianya. Akibatnya peserta tidak mendapatkan salinan presentasi itu secara utuh, kecuali jika mereka memperhatikan presentasi narasumbernya dengan benar.
Sayangnya tidak semua orang tahan untuk memperhatikan orang bicara terlalu lama, apalagi kalau isi orasi ilmiahnya membosankan. Untuk bertahan menyimak orasi tanpa godaan ngantuk, beberapa orang punya solusi sendiri-sendiri. Menyalinnya mentah-mentah ke buku tulis. Merekam pakai tape recorder. Atau seperti kolega senior gw ini: memotret setiap slide.
Gw bukan tipe pendengar orasi yang baik. Jadi kalau ada orang ngomong di depan gw, gw akan dengerin dia sambil nyatet poin-poin yang menarik di notes. Itu sebabnya di tas gw selalu ada bolpen. Paling gw protes ke panitia simposiumnya kalau pesertanya nggak dikasih notes buat corat-coret.
Tape recorder nggak berhasil buat gw. Jarak tape dengan mike-nya narasumber terlalu jauh buat nangkep suara.
Kamera juga nggak berhasil buat gw. Soalnya tiap kali gw pegang kamera, pasti gw lebih banyak motret diri sendiri ketimbang motret presentasinya, hehehe.
Anda gimana? Apa cara paling efektif buat merekam suatu kuliah?
Tuesday, April 27, 2010
Paparazzi Kuliah
Monday, April 26, 2010
Tangga, Musuh Orang Tua

Apapun alasannya, konsekuensi dari peletakan ruang tamu di lantai atas ini jelas. Harus ada tangga dari carport ke ruang tamu, supaya orang dari luar bisa masuk ke ruang tamu.
Kemaren, gw dan adek gw jalan-jalan ke kompleks real estate anyar di kawasan Bandung Utara. Area ini merupakan area yang ketinggiannya paling tinggi di Bandung, dengan kondisi lahan yang berbukit-bukit. Akibatnya banyak dibangun rumah-rumah dengan tangga di luar untuk menghubungkan carport ke ruang tamu. Adek gw sering bilang, “Wah, rumah itu bagus! Rumah yang itu juga bagus!”
Reaksi gw nggak sespontan itu. Gw cuman bilang, “Kalo kita tinggal di situ, Grandma nggak bisa masuk.”
Grandma gw udah 87 tahun, kalau jalan kudu pakai tongkat. Naik trap 2-3 aja udah jadi masalah besar buat Grandma gw, apalagi naik tangga. Maka gw pikir kalau buat masuk rumah aja kudu naikin tangga sampek segitu banyaknya, barangkali Grandma gw nggak akan bisa masuk ke sana.
Pentingkah nenek kita main ke rumah kita? Ya penting dong. Kalau orang tua sering bertandang ke rumah kita, maka akan ada banyak doa diucapin buat kita. Yah,bukan berarti kalau nggak dateng ke rumah kita lantas nggak ngedoain kita sih. Tetapi kan makin banyak doa yang diucapkan, berarti makin besar kontribusinya buat menjaga supaya kita selamat (misalnya dari bencana longsor, kebakaran, atau minimal kemalingan).
Gw jadi inget, orang-orang tua teman-teman gw banyak yang membangun rumah dengan dua lantai, di mana kamar tidur utama (yang rencananya ditempatin orangtuanya) dibikin sebagus mungkin di lantai atas. Hidup pun berjalan, lalu suatu ketika si orang tua sudah menua, kaki kena encok, nafas mulai ngep-ngepan kalau dipakai naik tangga, lama-lama orang tua ogah tinggal di kamarnya sendiri lantaran males naik-naik. Maka dia terpaksa pindah tidur ke lantai bawah, sehingga dosq nggak bisa lagi menikmati indahnya kamar tidur utama yang udah dos-q bangun dengan susah-payah.
Ini pelajaran buat kaum muda-mudi kayak gw yang udah mulai belajar cara-caranya merencanakan rumah sendiri. Hendaknya rumah yang kita tinggalin itu, nyaman buat nanti didatengin orang tua kita. Dan hendaknya kalau mbangun kamar tuh, kita seneng tinggal di kamar itu sampek kita tua renta nanti, bukan pas selama kita masih muda-belia doang.
“Sudahlah, Vic. Jangan kayak orang susah. Bikin aja katrol dalam rumah buat naik-turunin manusia, supaya nanti nggak usah naik-turun tangga segala. Betul, tidak?”
Gambar rumah di atas diambil dari sini
Saturday, April 24, 2010
Kapan Nyusul?

Iklan tivi yang pernah jadi favorit gw belum lama ini adalah iklan KB. Bukan karena gw punya passion yang tinggi terhadap upaya perencanaan kehamilan, tetapi lantaran di iklan itu sedikitnya tiga kali diumbar kata "kapan".
Masih inget kan kalimat yang diucapin emak-emak bawel itu?
"Kapan kalian nikah?"
"Kapan kalian punya anak?"
"Kapan ya kamu punya adik?"
Harus gw garisbawahi bahwa orang yang senang bertanya kapan adalah jenis orang yang nggak tahu sopan-santun.
:D
Alasan kuat kenapa gw akhir-akhir ini males kongkow-kongkow kalau bukan buat urusan profesional adalah lantaran gw benci mendapat pertanyaan "kapan". Apalagi kalau yang nanya itu orangnya sudah kawin. Nggak yang umurnya sepantaran gw atau yang sepantaran bonyok gw, sama menyebalkannya.
"Kapan nikah, Vic?"
Gw selalu jawab, "Nggak tau."
Biasanya nanti ada pertanyaan susulan, "Lho, cepetan dong. Tuh si A bulan depan mau nikah di Hotel X dan si B malah udah hamil. Kamu kapan nyusul?"
Gw selalu mendelik tajam. "Ya nggak tau!"
Soalnya, gw juga nggak tahu kapan persisnya mau nikah. Gw masih menikmati enaknya punya pacar, tapi gw belum merasa sanggup bertanggungjawab terhadap keluarga. Jadi langkah besar itu belum siap buat gw ambil. Tapi di sekitar kita selalu ada aja orang-orang sotoy yang bolak-balik nanyain kapan kita mau nikah.
Lucunya, kalau gw jawab, "Gw nikah besok! Puas??" mereka pasti panik.
"What?!" jeritnya. "Perut gw lagi berlemak gini, kebayanya nggak cukup!"
Soalnya, kalau ada orang nikah, tamu yang perempuan pasti ribut cari kostum. Kebayanya harus pas, jadi perempuan pasti diet setengah mati beberapa minggu sebelum ke kondangan, supaya kebayanya cukup. Ngerti kan sekarang kenapa orang selalu ribut nanya "kapan"?
Itu sebabnya gw kepingin pernikahan pakai baju renang aja. Supaya tamunya nggak usah ribut diet demi pakai kebaya. Pakai baju renang aja, semua beres!
*pentung-pentung*
Gw sendiri kesiyan sama para teman yang udah nikah tapi belum dapet anak juga. Kadang-kadang dunia begitu kejam; orang udah disuruh kawin cepet-cepet, masih disuruh hamil cepet-cepet pula. Hidup ini seperti olimpiade atletik, siapa yang cepet maka dia yang nampak keren.
Bukankah punya anak itu terserah Tuhan? Kalau belum diijinin ya mau nikah sembilan tahun pun nggak akan hamil juga. Makanya janganlah para istri yang belum hamil itu ditanyain, "Kapan mau punya bayi?"
Itu omongan nggak etis. Memangnya kalau nggak lagi bikin bayi, suami-istri itu ngapain sih di kamar setiap malem? Latihan topeng monyet?
Demikian sebabnya gw lebih suka ngumpul sama teman-teman yang lajang ketimbang sama yang udah punya suami. Teman-teman lajang nggak akan pernah nanya, "Kapan mau kawin, Vic?" coz pasti gw akan jawab, "Nunggu elu kawin duluan." Dan mereka akan balik nimpal, "Justru gw nungguin lu kasih contoh, Vic!" Begitu terus, nggak selesai-selesai.
Akhirnya dalam sebuah pernikahan, gw pun mutusin buat nggak deket-deket sama gerombolan "istri-istri baru kemaren sore" yang gemar bertanya "Kapan nyusul?". Gw ngantre salaman di belakang segerombolan suami-istri lansia yang kira-kira sepantaran budhe gw. Ternyata obrolan orang-orang beruban dan botak ini jauh lebih menarik.
"Eh, si A kemaren masuk Harapan Kita kena serangan jantung."
"Oh iya ya, si B juga minggu lalu masuk ICU gara-gara stroke."
"Wah, sampeyan ketinggalan berita. Si B udah pindah ke Tanah Kusir. Dimakaminnya langsung sesudah solat Jumat tadi."
"Oh yah? Kesiyan!"
Gw masang kuping dengan teliti. Kok nggak ada sih yang nanya, "Kapan nyusul??"
Maka tips penting buat para lajang yang kayak gw, yang empet ditanya-tanyain sama geng kaset rusak berbunyi "kapan nyusul", coba sesekali nongkrong sama orang-orang tua yang gemar ngomongin orang penyakitan. Lebih bagus lagi kalau yang diomongin itu sakitnya udah parah dan terancam mau meninggal. Mari kita nunggu siapa yang berani duluan bertanya, "Kapan nyusul?"
Friday, April 23, 2010
Putih yang Manjur
*dikeplak teman-teman gw yang bernama Santi*
Gw pernah iseng mengobservasi, bener nggak sih produk-produk pemutih yang ada di pasaran dan iklannya wara-wiri di tivi itu bisa bikin kulit jadi putih? Soalnya kalau dipikir-pikir, secara logis nggak mungkin kulit jadi putih hanya dalam tujuh hari, seperti yang diisyaratkan iklan kosmetik Thailand itu. Karena banyak sekali faktor penghambat, antara lain:
1) Dasar genetiknya orang Indonesia, kulit para leluhurnya memang bukan putih. Tapi berkulit mirip sawo dengan rentang sawo mateng sampek sawo busuk. Yah, kecuali kalau turunan Tionghoa. Lainnya sih, enggak.
2) Orang Indonesia males banget disuruh nanem pohon. Makanya kalau jalan di pinggir jalan raya pasti kepanasan. Bahkan mang-mang yang sehari-harinya jualan cireng di bawah pohon tuh tetep aja kulitnya item.
3) Matahari menyinari Indonesia sepanjang tahun. Jadi sulit sekali membayangkan kulit kita putih mirip Alice Cullen pada novel Breaking Dawn. Alice itu tinggalnya di Forks, di mana matahari cuman bersinar tiga bulan dalam setahun. Lagian, Alice itu vampir.

Tapi kenapa produk-produk pemutih itu bukan dibredel karena iklannya seolah menyesatkan? Jawabnya, coz mereka memang manjur. Produk itu memang bikin kulit jadi LEBIH PUTIH. Bukan jadi PUTIH. Itu dua istilah yang beda sama sekali.
Suatu ketika gw ketemu dengan seorang teman yang ngakunya rajin banget pakai produk pemutih. Gw kenal dia waktu masih kecil tuh dia item sekali, coz memang dasarnya bokapnya item. Tetapi waktu dewasa, ternyata dia memang nampak lebih putih waktu dia masih kecil. Lalu dos-q membeberkan tipsnya, kenapa produk pemutihnya manjur:
1) Gunakan produk itu secara terus-menerus. Bukan cuman dalam tujuh hari, atau dua minggu, atau bahkan enam minggu. Tapi gunakan selama bertahun-tahun. Kalau Anda nggak percaya, fotolah tampang Anda tiap enam bulan, dengan spesifikasi kamera yang sama, tingkat brightness yang sama, tingkat kontras yang sama, dan posisi model yang sama. Anda akan terkejut bahwa ternyata Anda memang lebih putih ketimbang enam bulan sebelumnya.
2) Pakailah sunblock setiap kali mau beraktivitas di luar. Meskipun Anda cuman jogging dari jam lima sampai jam enam pagi.
3) Bawa payung. Kalau pergi ke mall dan terpaksa parkir di luar bangunan, pakai payung waktu mau jalan dari mobil ke mall.
4) Pakai baju lengan panjang dan celana panjang. Singkirkan tanktop, rok mini, apalagi hot pants. Kalau perlu pakai sarung tangan a la Michael Jackson sekalian. Jangan biarkan matahari menyinari kulit Anda.
5) Luluran setiap tiga hari sekali. Kalau satu hari besoknya mau beraktivitas outdoor, jangan luluran dulu coz itu malah bikin kulit jadi item. Luluran itu menghapus sel-sel kulit mati yang melapisi sel kulit muda, sehingga kalau besoknya setelah luluran langsung dipakai outdoor, maka sinar matahari akan langsung masuk ke sel kulit muda karena sel kulit mati belum tumbuh.
6) Pakai produk pemutih langsung sesudah mandi. Soalnya saat itu kulit masih lembab, dan pelembab jenis apapun langsung menyerap masuk.
Sederhana dan murah kan? Tapi kemudian gw tercengang setelah dos-q menjawab bahwa ternyata menjadi putih itu tidak lagi bikin dos-q puas.
“Gw nih ya, Vic, waktu kecil memang kepingin banget jadi putih. Tapi sekarang setelah gw dewasa, gw ternyata punya problem baru: Usia gw udah masuk kategori yang kudu pakai anti-aging. Lihat aja sekarang ada kerut-kerutan di muka gw. Sekarang gw kalau cari kosmetik nggak mikirin lagi apakah tuh bisa bikin kulit putih apa enggak. Gw maunya yang bisa ngilangin kerut-kerutan di bawah mata gw ini..”
Ternyata isu kulit putih cuman ngetrend di kalangan usia remaja. Menginjak dewasa muda dan pikiran mulai bingung soal caranya bikin anak dan mengasuh anak, perempuan lebih concern tentang cara bikin kulit tetep muda, bukan tentang cara bikin kulit jadi putih. Dan banyak banget role model yang kulitnya item tapi tetep sexy dan energik. Lihat aja Halle Berry, Beyonce Knowles, atau Lola Amaria dan Nayla Ali.
Malah, fakta yang lebih mencengangkan, para ibu-ibu tuh, makin tua memang kulitnya makin terang. Padahal aktivitasnya juga masih sama beratnya dengan remaja, suka panas-panasan di jalan, coz mereka kan lebih rajin belanja ke pasar buat cari bahan makanan yang lebih murah. Makanya iklan produk pemutih kulit nggak pernah laku di kalangan ibu-ibu coz mereka memang nggak pernah merasa butuh.
Jadi gimana, apakah Anda percaya dengan produk pemutih? Apakah Anda terobsesi juga bikin kulit nampak jadi putih?
Thursday, April 22, 2010
Kok Nggak Negor Sih?
Nah, di antara dokter-dokter yang gw nggak kenal itu, ada seseorang yang menarik perhatian gw. Cewek, mungkin umurnya hampir sepantaran sama gw, gw nggak merasa pernah kenal tapi kok rasanya gw sering lihat di manaa gitu. Siapa ya? Radar gw kayaknya terganggu banget gitu lantaran penasaran. Apakah gw pernah ketemu sama dia? Tapi kayaknya kalau gw ampek lupa ya mustahil. Tampang cewek itu jutek sekali, coz gw pasti inget kalau gw pernah punya teman yang lebih jutek ketimbang gw, hahaha..
Pas jam makan siang, gw makan bareng dua orang kolega senior laki-laki. Lagi asyik nyeruput soto betawi, eh..tahu-tahu dokter cewek itu menghampiri meja kami. Dia membicarakan sesuatu ke kolega laki-laki gw, kolega gw manggut-manggut, lalu sang dokter cewek minggat. Gw melirik sang cewek, berusaha keras mengingat tampangnya, tapi gw tetep lupa. Gw mau nanya ke kolega cowok gw, tadi si cewek itu namanya siapa, tapi gw sungkan. Takut dikira mau nyinyir aja gitu.
Nah, baru menjelang simposium kelar, mendadak seorang dokter manggil, "Ursula!"
Dan..eh, si dokter cewek tadi noleh.
Sontak gw terperangah. Ursula?
Astaga..tentu aja gw pernah lihat dokter cewek ini. Gw kan sering lihat dia di.. di Facebook!
Ceritanya, sekitar dua tahun lalu, ada cewek yang nge-add gw di Facebook, namanya Ursula. Gw tadinya males ng-approve gitu, soalnya gw males kalo daftar news feed Facebook gw penuh dengan orang-orang yang gw nggak kenal. Tapi setelah gw cek ke daftar mutual friend-nya, tahulah gw kalau Ursula ini adalah seorang dokter juga, kebetulan satu angkatan bareng beberapa kolega gw. Ya udahlah, gw approve.
Anehnya, pas kemaren di simposium itu, gw nggak mengenali Ursula sama sekali. Soalnya gw kan tahu muka Ursula cuman dari foto di Facebook doang. Lha mukanya Ursula yang di foto beda banget sama mukanya Ursula yang ketemu gw di simposium! Di foto dia nampak ketawa, kalau yang pas ketemu dia nampak kena PMS. Di foto anaknya nampak kuning langsat, kalau yang ketemu orangnya rada keling. Di foto anaknya polos, lha Ursula yang ketemu gw pakai kacamata. Beda kan?
Tapi yang bikin gw rada nggak rela, kok pas di meja makan siang itu Ursula nggak nyapa gw sih? Padahal dia nyapa temen-temen gw di meja itu. Apa dia nggak tahu kalau gw ini orang yang dia add di Facebook? Kalau gitu, sebenarnya waktu dia nge-add gw, dia nggak tahu gw siapa dong? Kalau dia nggak kenal gw, lha ngapain kalau gitu dia nge-add gw segala?
Gw suka aneh gitu kalau orang mau ngajak kenalan di Facebook tapi nggak tegor-tegoran di dunia nyata. Kok rasanya kayak punya temen bohong-bohongan?
Padahal, dari Facebook juga, gw dengar kalau Ursula ini baru kawin. Dan, sebelum kawin, tunangannya Ursula malah nge-add gw segala dan si tukang insinyur itu nge-add gw duluan karena dikiranya "gw ini temannya Ursula".
Setelah simposium itu, gw jadi ragu-ragu, kira-kira Ursula ini masih "temen" gw apa enggak ya? Perasaan udah beberapa kali gw towel dia di Facebook tapi dianya nggak pernah negor balik. Lha ketemu sungguhan aja dia nggak ngeh sama gw. Apa ini namanya "friend"? Ini mau temenan sungguhan, nggak sih?
Tapi ntar kalau gw remove si Ursula, gw nggak enak nih sama suaminya. Jujur aja, gw paling nggak enak nge-remove orang dari daftar gw, terlebih kalau tuh orang yang nge-add gw duluan. Malah sebenarnya, gw hampir nggak pernah nge-add orang duluan di Facebook. Dari ratusan orang di daftar friend gw, mungkin cuman 5-6 orang aja yang gw add duluan.

:-p
Carilah teman yang berniat sungguhan mau berteman sama kita. Jangan bikin pertemanan yang palsu hanya karena ingin dibilang eksis. Sudah cukup Anda membohongin diri sendiri di dunia maya, mosok Anda mau bohongin diri sendiri di dunia nyata juga?
P.S. Ursula ini nama samaran.
Wednesday, April 21, 2010
Nomer Liar
SMS itu dikirimkan oleh sebuah nama, yang nggak bisa gw reply coz nggak ada nomernya. Nampaknya dari suatu maskapai yang lagi semangat promoin penerbangan ke Makau. Padahal su-er, gw nggak pernah minta siapa-siapa buat nawarin gw tiket ke Makau. Dari mana orang-orang maskapai itu tahu nomer HP gw?
Memang sebenarnya ini etika yang nggak diketahui banyak orang: Jangan pernah ngasih nomer telepon seseorang kepada orang lain tanpa minta ijin sama yang punya nomer itu dulu. Bisa jadi nanti yang punya HP ini akan mendapat telepon atau SMS dari orang-orang yang nggak diinginkan. Contohnya ya gw ini, sudah kebanjiran SMS dari tukang jual tiket pesawat ke Makau padahal gw sama sekali nggak pernah kepingin ke Makau. Ganggu banget, tahu nggak sih?
Seorang teman gw malah pernah bilang ke gw, di luar negeri (entah negeri mana tuh) etikanya, kalau kita mau kasih nomer telepon si A ke si B, kita mesti minta ijin sama si A dulu. Kalau si A nggak kasih ijin, ya kita jangan kasih tuh nomer meskipun si B minta.

Telfon seluler di Indonesia ternyata nggak canggih-canggih amat.
Pernah sekali waktu, pas gw lagi serius nungguin kue brownies panggangan gw jadi bantet, tahu-tahu HP gw bunyi. Ternyata ada yang nelfon gw dari bank, nawarin kartu kredit. Padahal gw nggak pernah berurusan sama bank itu. Heran, tuh bankir tahu nomer telepon gw dari mana yak? Hampir aja gw bungkam telfonnya, kalau gw nggak inget kalau yang nelfon gw itu hanya seorang salesgirl malang yang disuruh-suruh juragannya. Akhirnya gw biarkan dia membacakan orasinya, lalu gw jawab, “Maaf, siapa nama Anda, Dek?... Oke, Dek Sari. Saya tidak bisa bikin kartu kredit baru sekarang. Saya lagi ada di Filipina dan saya baru pulang ke Indonesia tahun depan.”
Dan si salesgirl pun minta maaf, mengucapkan terima kasih dan nggak pernah nelfon gw lagi.
(Kenapa gw asal njeplak aja kalo gw ada di Filipina? Yah, tadinya gw mau bilang kalau gw lagi ada di Rwanda, tapi itu kedengarannya kurang masuk akal.)
Tapi ya itu. Ternyata nomer telepon masih belum jadi hal yang privat. Minggu lalu gw baca sebuah iklan di koran yang nampilin nama-nama pemenang sebuah kuis lengkap dengan nomer HP-nya. Mereka menulis nomer HP itu seperti “08123456789.” Bukan “0812345XXXX.” Hebat, bisa-bisa tuh nomer dikirimin SMS yang enggak-enggak oleh orang-orang yang nggak bertanggungjawab gara-gara nomernya jadi liar lantaran ditampilkan di muka umum.
Udah ya, tolong jangan kasih-kasih nomer telepon gw ke orang lain kalau nggak ada ACC dari gw. Gw nggak mau ditawar-tawarin tiket pesawat ke Makau. Di Makau nggak ada yang jual cireng atau klepon, kan? Makanya gw males ke sana..
Gambarnya ngambil dari sini
Tuesday, April 20, 2010
Kartini Tidak Pernah Cuti Haid
Waktu jaman gw masih sekolah dulu, hari Kartini barangkali adalah hari paling males buat gw dateng ke sekolah. Soalnya guru-guru pasti nyuruh kita pakai kebaya dan kondean, lalu nanti kita dipasang-pasangin antara murid laki-laki dan murid perempuan, terus disuruh jalan a la fashion show di teras sekolah. Gw nggak merasa matching dengan acara itu, soalnya: 1) Gw merasa tampang gw konyol banget kalau gw pakai kebaya dan muka gw dilipstikin pakai lipstiknya nyokap, 2) Gw nggak mau dipasangin sama anak cowok yang mukanya jelek, sedangkan kita kan nggak bisa minta request gitu sama Bu Guru kalau gw kepinginnya dipasangin sama temen yang cakep, hihihi.. Di lain pihak, gw merasa lomba fashion show baju daerah itu buang-buang duit aja, toh nggak dapet hadiah. Mbok juaranya dapet hadiah apa gitu kek,
Gw nggak ngerti kenapa sekolah-sekolah pada ribut ngedandanin murid-muridnya pakai baju daerah. Emangnya kalau nggak pakai baju daerah, kepala sekolahnya nanti ditegor sama kepala Dinas Pendidikan ya? Atau jangan-jangan ini akal-akalannya asosiasi salon se-Indonesia supaya ibu-ibu membawa anak-anak mereka ke salon buat dipakein konde?
Oke, lupain dulu. Kali ini gw mau cerita tentang kerjaan gw. Jadi pada awal-awal gw kerja jadi dokter di klinik perusahaan tuh, gw belajar bahwa ternyata kerjaan gw nggak cuman meriksa orang sakit terus nulis resep. Tapi juga ternyata salah satu tugas gw adalah menulis
Dan itu bikin gw terheran-heran. Menstruasi perlu cuti? Kenapa?
Karena klinik yang jadi tempat kerja gw waktu itu klinik milik sebuah perusahaan tekstil, maka mau nggak mau gw belajar juga tentang sistem kerja perburuhan. Ternyata, salah satu peraturan perburuhan itu mewajibkan bahwa seorang pekerja wanita berhak mendapatkan cuti haid selama satu hari. Dan untuk menguatkan bukti bahwa dia itu haid, harus ada
Well, maafkan gw, tapi ide itu bikin gw mual. Bukan ide lihat pembalut darahnya. Tapi ide cuti haidnya.
Haid itu kodrat cewek
Orang-orang perburuhan itu bilang, cuti haid buat seorang buruh wanita adalah manifestasi dari hak seorang wanita bahwa dia berhak beristirahat jika sedang haid. Yang gw pikirkan, itu maksudnya beristirahat dari apa? Memangnya beban kerjanya akan semakin berat kalau dia haid? Ya udah, kalau gitu nggak usah kerja aja sekalian toh, biar nggak capek?
Kalau kita melihat jaman dulu, pas Kartini masih hidup, tugas perempuan itu cuman tiga: sumur, dapur, kasur. Artinya, tugas perempuan itu cuman ngurus rumah, masak, dan melayani keperluan seks suami. Gw bertanya-tanya, apakah kalau lagi haid maka tugas sumur-dapur-kasur itu juga ikutan libur? Apa ada sejarahnya Kartini mengajukan ke Adipati Rembang, minta cuti haid?
Menurut gw, cuti haid itu nggak perlu. Karena haid nggak menghalangi pekerjaan perempuan sama sekali, kecuali kalau profesi dia adalah guru renang (atau mungkin profesi dia adalah WTS. Iya, WTS itu adalah profesi!). Masalah apa sih yang dihadapin seorang perempuan kalau lagi haid? Paling-paling takut darahnya nembus ke baju.
Kartini berjuang bukan supaya perempuan bisa minta libur dari kewajibannya cuman gara-gara lagi dapet. Bukan berjuang juga hanya supaya ulangtahunnya dirayain dengan pawai karnaval yang nyuruh-nyuruh anak sekolah pakai konde dan beskap dan di-make-up menor. Tapi ada hal lain yang diamanatkan dari hari Kartini, yaitu supaya perempuan bisa mendapatkan hak yang setara dengan pria, karena perempuan juga punya kewajiban yang sama seperti pria.
Gambarnya nyabet dari sini
Catetan: Tolong, jangan kasih gw ucapan selamat hari Kartini. Gw nggak ngerayain kok. Gw terlalu sibuk ngitung omzet pendapatan salon pada tanggal 21 April di pagi hari.
Monday, April 19, 2010
Gadis, Berkondelah!
Kali ini gw mau cerita tentang adek gw yang baru wisuda. Gw udah cerita kan, adek gw baru dilantik jadi dokter. Upacara tahap pertamanya kan tiga minggu lalu udah gw tulis di sini, bikin gw dan bonyok waswas setengah mati sepanjang acara. Soalnya adek gw itu nggak biasa pakai kebaya, jadinya sepanjang acara tuh kain batik adek gw kayak yang mau melorot gitu dari ikatannya. Pas adek gw maju nerima surat penahbisan sumpah dokter dari dekannya, gw lihat tuh ujung batiknya adek gw udah mau nyapu lantai, pertanda ikatannya longgar. Makanya sepanjang dia jalan di panggung tuh gw sibuk berdoa, "Please jangan melorot.. Please jangan melorot!"
Nah, kalau wisuda mahasiswa kedokteran kan upacaranya tiga kali. Upacara pertama adalah wisuda sarjana kedokteran untuk yang S1-nya. Upacara kedua adalah pengambilan sumpah dokter oleh rohaniawan. Baru upacara ketiga adalah pemberian ijazah gelar profesi dokter dari universitas. Biasanya upacara yang kedua ini disepelekan oleh mahasiswanya, maksudnya nggak dianggap butuh persiapan istimewa gitu. Soalnya menurut rundown acara, wisudawan cuman dateng pakai toga, dipanggil namanya, salaman sama dekan, terima map kosong, terus duduk manis sampek acara selesai. Gitu doang. Garing kan?
Nah, lantaran upacara wisuda ketiga ini nggak istimewa amat, adek gw pun nggak terlalu minat nyiapinnya. Dos-q masih trauma gara-gara kainnya nyaris melorot waktu itu, sehingga mutusin kalau kali ini dos-q wisuda nggak akan pakai kain kebaya. Percuma, katanya. Ngapain ribet dandan pakai kebaya, toh nanti pas difoto salaman sama dekan kan kebayanya ketutupan oleh jubah wisudanya.

Tapi yang lebih ekstrem lagi, dos-q ogah kondean lagi pas wisuda. Soalnya pas mau sumpah dokter lalu, dos-q kudu ngantre di salon dari jam empat pagi buat kondean. Ya oloh, cewek tuh, mau wisuda aja kok ribet bener ya?
Terus dos-q minta nasehat gw. Ini akan jadi langkah besar. Soalnya tradisi di kampus manapun juga sama: cewek kalau mau wisuda pasti pakai kebaya dan kondean. Mosok adek gw mau wisuda pakai celana panjang dengan rambut shaggy diurai-urai?
Memang nggak ada ketentuan yang mewajibkan wisudawati pakai kebaya. Kan peraturannya, wisudawati memakai baju nasional. Terus kalau nggak pakai kebaya, emangnya dikasih sanksi? Apa ada orang udah capek-capek dateng pakai toga dan jubah ke wisuda, terus dekannya bilang gini, "Ijazah Anda tidak jadi diberikan karena Anda tidak pakai kebaya."
Gw nggak masalah kalau adek gw nggak mau pakai kain, tapi gw nggak suka idenya ngegerai rambut pas wisuda. Gw bilang, "Nanti kamu difoto salaman sama Dekan, mosok kamu rambutnya digerai awut-awutan gitu? Nanti fotonya jelek!"
Jawab dos-q, sebagai mahasiswa profesi dokter, dos-q udah menjalani upacara dua kali, yaitu pas upacara wisuda S1 dan upacara sumpah dokter. Besok akan jadi ketiga kalinya upacara, untuk pengukuhan gelar dokternya, artinya akan jadi tiga kali dos-q difoto sembari salaman sama dekan. Apa foto salaman sama dekan itu mau dipajang di ruang tamu tiga-tiganya?
:-p
Tapi sebagai veteran mahasiswa kedokteran dan kakak yang cerewet, gw tetep menitah, "Gelung!"
Terserah adek gw mau kondean di salon, atau rambut kondean pakai jaring a la pramugari.
Memang, wisuda mahasiswa jaman sekarang nggak kayak jaman dulu. Dulu, wisuda dianggap sakral coz hidup seseorang disebut berhasil jika orang itu tamat kuliah. Tapi sekarang, orang lulus kuliah dan punya gelar apapun, belum ada apa-apanya kalau dia cuman jadi pengangguran.
Paradigma baru itu ternyata berpengaruh besar. Wisudawan nggak mau lagi bawa mbahnya berikut budhe-nya ke upacara, tapi cukup bawa bonyoknya aja. Wisudawan nggak mau dandan habis-habisan pas hari wisuda, tapi cukup pakai kemeja di balik jubah. Yang cewek malah nggak mau kondean, tapi cukup rambut diuwel-uwel ke pucuk kepala pakai jepit, terus umpetin cepolannya di dalam toga. Praktis!
Tapi, seberapapun praktisnya sekarang mahasiswa nyiapin wisudanya, gw tetap minta ke adek gw, "Nanti kalau kamu difoto pas salaman sama orang yang meluluskan kamu, kamu harus nampak seperti lulusan terhormat. Karena kamu sekolah dengan susah-payah, dan proses itu yang akan dikenang untuk seumur hidup kamu, bukan mengenang perkara kamu pake konde apa enggak."
Jadi, pas hari H, adek gw nurutin gw. Dos-q bangun pagi-pagi, jam 4, lalu pergi ke salon dan membayar seorang penata rambut buat bikinin cepol ber-hairspray di tengkuknya.
Ketika dos-q keluar dari kamar dengan toga dan jubah menutupi kebaya dan celana panjangnya, Grandma kami yang duduk di ruang tamu menatapnya dan terharu. "Mau wisuda ya?"
"Iya," jawab adek gw dengan suara kekanakan.
Dan gw lihat sinar bangga di mata orang tua itu. Dos-q sudah berhasil punya cucu sarjana, satu orang lagi.
Fotonya diambil dari sini
Sunday, April 18, 2010
Artis Sendirian

Jujur aja, gw pingin duduk di depan. Tapi orang-orang lebih senang duduk belakang. Mereka akan mengisi bangku belakang sampek penuh, sementara bangku depan kosong-melompong.
Berada di simposium kadang-kadang rasanya mirip bermain sepakbola dengan format tim 1-5-4-1. Satu kiper, lima pemain bertahan, empat pemain tengah, dan satu orang penyerang. Gw benci banget sama formasi ginian, coz ini biasa dipake buat tim yang setengah mati takut gawangnya kebobolan.
Dianalogikan dengan peserta simposium, kenapa pesertanya jarang banget mau duduk depan buat ngejar kesempatan dapet ilmu? Apakah takut ditodong pertanyaan dari narasumbernya? Padahal kalo di simposium, narasumber itu kan nggak pernah tanya; dos-q berdiri aja di podium sembari orasi ngalor-ngidul.
Gw suka duduk di depan. Soalnya bodi gw nggak jangkung-jangkung amat. Jadi suka kehalang sama orang yang duduk di depan gw.
Siyalnya, nggak semua orang senang duduk di depan. Akibatnya gw merasa sering duduk sendirian di depan, sedangkan orang-orang lain nggerombol di belakang gw. Gw-nya jadi merasa aneh gitu, serasa artis nanggung.
Kenapa orang nonton simposium nggak bisa kayak orang nonton misbar? Kalo orang nonton misbar, mereka rebutan duduk depan. Lha gw? Gw nggak suka duduk depan. Nggak suka duduk belakang juga. Gw nggak suka duduk di tempat misbar. Soalnya kalo gerimis, filmnya bubar!
*Curhat ini ditulis kemaren, waktu gw nonton sebuah simposium di Cihampelas. Gw gatel kepingin pindah duduk ke depan, tapi nggak ada orang lain yang mau duduk di baris depan. Duh, sungguhan deh, kalo gw jadi panitianya, gw mau olesin semua bangku belakang pake sambel terasi, supaya pesertanya pada pindah ke bangku depan semua..!
Friday, April 16, 2010
Kamu Loncat, Saya Ongkang-ongkang
Kerusuhan di Koja, Tanjung Priok,
Tiga orang sudah meninggal gara-gara kerusuhan itu, dan tiga-tiganya adalah anggota Satpol PP. Semuanya laki-laki. Terus terang aja, buat gw pribadi, gw lebih kesiyan kalau lihat laki-laki yang meninggal ketimbang perempuan yang meninggal. Apalagi kalau yang tewas ini orangnya masih muda. Konsekuensi dari laki-laki yang meninggal, akan ada istri yang jadi janda, dan akan ada anak yang jadi yatim. Itu jauh lebih berat ketimbang duda ditinggal mati istrinya.
Gw bertanya-tanya, apakah orang-orang Satpol PP itu nggak mikir dulu sebelum mereka menyerbu kompleks pemakaman itu, bahwa tindakan itu bisa bikin marah banyak orang? Semua orang di mana-mana juga tahu prinsip dasarnya, “Kalau kuburan diganggu, pasti akan ada yang ngamuk!” Entah yang ngamuk itu adalah yang masih hidup, atau yang ngamuk itu adalah yang sudah mati. Hasilnya ya tetap sama aja, akan ada korban.
Tapi kalau kita memikirkan secara personal, pasti tiap anggota Satpol PP itu akan kasih jawaban yang seragam seperti kaset rusak, “Kami hanya menjalankan perintah atasan.”
Apakah perintah atasan itu juga termasuk mengganggu tempat tinggal orang?
Lalu sebagai warga sipil yang awam, gw pun bertanya-tanya, kalau atasan itu nyuruh anak buahnya masuk jurang, apakah para anak buah juga akan masuk jurang sungguhan?
Makanya gw benci banget sama kata “anak buah”. Kesannya anak buah itu bisa disuruh-suruh apa aja gitu. Coba diganti dengan kalimat “pegawai Satpol PP diperintahkan untuk menertibkan bangunan liar”, pasti eksekusi di lapangannya akan dilaksanakan lebih sopan. Tidak perlu ada yang marah-marah, tidak perlu ada yang sampai lempar-lemparan bom molotov, tidak perlu ada anggota Satpol PP yang tewas gara-gara dihajar warga. Warga mana ngerti kalau sang anggota Satpol PP itu sebenarnya adalah jemaah mingguan mesjidnya Mbah Priok? Warga cuman tahu Satpol PP itu orang-orang bertameng yang mau ngobrak-abrik kompleks mesjidnya Mbah Priok, jadi ya harus dilawan.
Kalau gw jadi janda dari salah satu anggota Satpol PP yang tewas itu, gw akan bertanya-tanya, siapa bosnya suami gw? Siapa orang yang udah nyuruh suami gw ngebongkar kuburan orang? Siapa orang yang udah memerintahkan suami gw buat maju menindas bangunannya warga sipil? Siapa orang yang udah menitah suami gw buat bikin orang lain ngamuk dan sebagai balasannya malah melawan dan mengeroyok suami gw sampek tewas? Siapa yang bertanggungjawab bikin gw jadi janda, sanggup nggak sekarang tuh orang nyekolahin anak-anak gw setelah bokapnya anak gw terbunuh gara-gara katanya “menjalankan perintah atasan”?
Atasan tuh, kalau mau kasih perintah berbahaya ke bawahannya, dirinya sendiri ya mesti ikutan melaksanakan. Jangan cuman ongkang-ongkang kaki doang sembari ngebul ji-sam-su di pos. Tirulah kata Leonardo DiCaprio di Titanic, “You jump, I jump.” Sampeyan masuk jurang, saya ya ikutan masuk jurang. Karena saya yang nyuruh sampeyan masuk jurang.
Makanya gw bilang juga, sebelum direkrut jadi Satpol PP, mbok anggota-anggotanya itu disuruh nonton Titanic dulu. Supaya semua orang, baik bawahan maupun atasan, tahu artinya setia kawan, dan bukan cuman satu orang yang duduk enak-enak sementara yang lainnya menyabung nyawa. Ngomong-ngomong, apakah konsekuensi dari Satpol PP di Indonesia itu memang menyabung nyawa?
Salut, buat para wanita yang bersedia jadi istrinya anggota Satpol PP. Siapa mau nyusul?
Yang di atas itu foto Aida Afriyanti, pacar dari Ahmad Tajudin, salah satu korban Satpol PP yang meninggal, diambil dari sini