Saturday, January 30, 2010

Jual Diri

Ketika John Fitzgerald Kennedy mau ngapel ke rumah Jacqueline Lee Bouvier, dia mendapat kesulitan klasik yang dialami oleh setiap laki-laki yang mau melamar pacarnya: tidak disukai oleh calon mertua. Soalnya, JFK itu senator dari Partai Demokrat, sedangkan bokapnya Jackie penggemar Republikan tulen. Tukas Mr Bouvier waktu itu, “Ketimbang gw beramah tamah sama Yankee Demokrat itu, mendingan gw nontonin tinju di tipi!” Jackie kecil hati karena merasa hubungannya dengan JFK tidak akan direstui.

Malam itu, JFK datang sungguhan ke rumah Jackie dengan baju rapi. Bisa ditebak, Mr Bouvier cuek bebek. Apa yang dilakukan JFK? Dia bergabung ke ruang tengah, lalu melonggarkan dasi, dan minta ijin, “Boleh nggak saya numpang nonton tinju?”

Kita tahu bahwa JFK akhirnya menikahi Jackie, dan beberapa tahun kemudian JFK menjadi presiden Amrik.

Cerita itu cuman dramatisir dari sebuah film lama yang pernah gw tonton sekitar 15 tahun yang lalu, judulnya lupa, tapi ceritanya tentang biografi Jackie Kennedy, dan Jackie-nya sendiri dimainin oleh Jaclyn Smith. Tapi gw menarik pelajaran dari sana tentang sebuah konsep bernama jual diri.

JFK tahu diri, dia tidak memenuhi kriteria yang diharapkan oleh Mr Bouvier untuk menjadi menantunya, tapi dia tetap bersikukuh memberikan alternatif kriteria yang bisa memuaskan bokap pacarnya itu. Misalnya Mr Bouvier memberlakukan syarat bahwa untuk menjadi suaminya Jackie, orang itu harus pendukung Republik, yang mungkin tidak bisa dipenuhi JFK. Maka JFK men-“jual” dirinya sendiri dengan nyodorin kriteria lain yang kira-kira disenangi Mr Bouvier, yaitu dirinya adalah penyuka pertandingan tinju. Cara ini ternyata berhasil, sehingga proposalnya untuk menikahi Jackie pun gol.

Gw menulis ini setelah semalam gw nonton siaran tivi tentang Ayu Azhari yang mencalonkan diri jadi wakil bupati Sukabumi. Kita semua tahu bahwa Ayu beken lantaran dia sendiri seorang bintang film dan sinetron, jadi tahu apa sih dia tentang mengatur kabupaten? Tapi Ayu bilang di siaran itu bahwa meskipun dirinya nggak pernah terjun di kehidupan politik, tetapi dia punya kemampuan untuk mengajak rakyat Sukabumi menjadi mandiri. Buktinya, meskipun sudah berulang kali ganti suami, tapi dia nggak pernah sampai kepayahan menjadi single parent buat membesarkan anak-anaknya yang jumlahnya balapan sama anaknya Titi DJ itu. Katanya, kalau dia bisa membesarkan semua anaknya sendirian, kenapa dia harus diragukan untuk mengawal rakyat Sukabumi untuk membangun wilayah itu secara mandiri. Dan perkara reputasi keluarga Azhari yang doyan terseret skandal, Ayu menepis dengan mengajak kru tivi buat nyiarin dirinya dari pesantren miliknya yang terpencil di Sukabumi dan merawat sekitar 16.000 anak.

Agak sulit buat gw untuk yakin bahwa Ayu Azhari bisa menang menjadi wakil bupati Sukabumi. Tapi gw harus mengapresiasi upaya Ayu untuk menjual dirinya menjadi calon pejabat. Rakyat awam mungkin menginginkan seorang bupati atau wakil bupati itu lazimnya mulai dari tingkat bawah dulu, misalnya menjadi sekretaris daerah atau jadi pentolan pengurus partai politik cabang daerah, bukan yang berangkat dari karier sebagai bintang film. Tetapi Ayu berusaha menyodorkan alternatif-alternatif lain yang bisa dijual dari dirinya, kualitas yang mungkin layak diharapkan untuk menjadi seorang pemimpin daerah: sifat mandiri dan tidak tergantung kepada kucuran anggaran dari pemerintah, hati yang agamis, dan komitmen untuk membangun Sukabumi dengan sungguh-sungguh (dia sudah berencana vakum syuting film kalau sampai sungguhan jadi wakil bupati).

Kita semua, mungkin pernah berada dalam situasi di mana kita harus jual diri kepada calon pembeli. Misalnya melamar jadi suami, atau mengajukan diri jadi wakil bupati, atau melamar kerja, atau mungkin menawarkan sewa kamar di sebuah hotel. Siyalnya, kadang-kadang calon pembeli itu sudah punya standar sendiri tentang apa yang mau dia beli, dan dia tidak menemukan standar yang dia cari itu dalam diri kita. Misalnya, calon mertuanya kepingin calon mantunya bisa macul sumur. Wakil bupatinya harus dari kalangan pegawai negeri sipil. Pelamar kerja harus bisa bahasa Mandarin. Dan calon tamu hotel minta kamarnya menghadap air terjun. Kita sebagai penyedia tawaran nggak bisa mengakomodasi semua keinginan itu.

Tapi tentu saja kita bisa nawarin alternatif lain. Misalnya:

“Saya mungkin nggak bisa macul sumur, Om. Tapi saya tahu ke mana manggil tukang gali sumur yang kerjanya langsung sehari dan bayarnya murah.”

“Saya belum pernah jadi PNS. Tapi kalau kita mau membangun suatu daerah, saya tahu caranya meningkatkan potensi diri sendiri tanpa menunggu investor.”

“Saya tidak bisa bahasa Mandarin. Tapi saya bisa bahasa Jepang, Korea, dan saya pernah kerja magang di Vietnam selama dua tahun.”

“Di sini hotelnya tidak menghadap air terjun, Bu. Tapi semua kamar kami menghadap kolam renang yang letaknya di sebelah kolam lotus raksasa.”

Jadi, daripada orang melihat sisi negatif diri kita karena nggak nemu apa yang dia cari, lebih baik membantu dia melihat sisi positif diri kita yang bermanfaat baginya.

Bagaimana, Sodara-sodara?