Jangan heran, ruas jalan yang rusak bukan cuman jalan-jalan pinggiran kota. Tapi nggak tanggung-tanggung kebopengan jalan sudah bisa dirasakan di jalan-jalan besar macam Jalan Djundjunan dan Jalan Setiabudi. Padahal dua jalan itu fatal; Jalan Djundjunan adalah pintu masuk Bandung dari arah barat, coz pintu Tol Pasteur ada di sana. Adapun Jalan Setiabudi adalah satu-satunya jalan protokol buat keluar dari Bandung menuju utara.
Gambar di atas gw ambil di Jalan Setiabudi dan perempatan Setrasari Mall. Dua-duanya sama-sama daerah mahal di Bandung, perekonomian maju pesat di sana, setiap hari ribuan kendaraan berseliweran dan nggak terhitung berapa orang pengendara yang memaki ketika ban kendaraan mereka terperosok menginjak lobang.
Ada apa ini? Apakah penduduk Bandung terlalu melarat sampai-sampai nggak bisa bayar biaya perbaikan jalan? Ide itu malah bikin gw tersinggung. Jelas-jelas bokap gw selalu rajin bayar pajak.
Kakak gw pernah nasehatin gw, sekitar beberapa tahun lalu, waktu gw masih baru lulus dan semangat-semangatnya nyari lowongan kerjaan. Katanya, jangan pernah mengusik-usik gajimu berapa. Kalau dapet ya terima, jangan nanya kenapa kamu cuman dapet segitu. Dia bilang, gaji kita itu sebenarnya jumlahnya X, tapi lantaran dipotong pajak ini pajak itu, akibatnya yang kita terima masuk ke dompet cuman sejumlah X – pajak. Jadi kalau nerima slip gaji itu bawaannya pasti sakit hati.
Sewaktu beberapa hari yang lalu gw nonton siaran langsung dari Bandara Soekarno Hatta – Tangerang (bukan Jakarta lhoo..) mengenai liputan kepulangan Gayus Tambunan, gw nggak bisa nahan rasa kesal. Gw pribadi nggak bisa habis pikir kenapa seorang tukang pajak bisa nekat-nekatnya nilep duit rakyat yang udah dikumpulin rame-rame buat bayar pajak (yang katanya buat kesejahteraan rakyat).
Bokap gw udah bayar pajak daerah, tapi jalan di Bandung masih bolong-bolong. Gaji kakak gw udah dipotong pajak penghasilan, tapi buat berobat aja masih harus bergantung kepada asuransi. Untung dia punya adek yang dokter jadi bisa minta konsultasi gratis via telepon (Mbak, ini nggak gratis ya. Jangan lupa nanti traktir makan! :-p) Jadi kesimpulannya, pajak yang selama ini kita bayarin itu dipake buat apa aja, heh?
Maksudnya bukan gw mau jelek-jelekin tukang pajak. Paman gw tukang pajak. Dan teman-teman blogger gw juga tukang pajak. Termasuk sepupu gw juga lagi jadi freshman di kantor pajak. Kita semua tahu persis bahwa teorinya pajak itu adalah untuk bayarin fasilitas buat rakyat. Tetapi kalau tuh pajak malah ditilep oleh tukang pajaknya sendiri, bukannya dipakai buat betulin aspalnya Jalan Setiabudi, Jalan Djundjunan, dan perempatan Setrasari Mall, bahkan malah pajaknya dipakai buat kasih makan para narapidana yang dipenjara gara-gara korupsi pajak, gw malah pikir duit itu muter-muter sia-sia seperti lingkaran setan.
Dan yang patut harus digarisbawahin, nggak semua tukang pajak demen korupsi. Beberapa orang tukang pajak sudah bersedia jadi pegawai negeri yang mulia, nggak ngiler lihat duit orang meskipun kerjaannya tiap hari ngitung sampai milyaran. Tapi kalau ada satu-dua orang aja tukang pajak yang korup, tentu itu akan merusak nama baik kolega-kolega lainnya sesama tukang pajak toh?
Syukurlah Gayus Tambunan udah pulang. Gw udah empet baca halaman Twitternya Gayus Tambunan. Mbok sekalian dos-q disuruh nyanyi aja, berbuat penilepan itu nyontoh ke siapa. Siapa lagi orang-orang di kantor pajak yang suka nilepin pajak, biar orang-orang itu dicopot aja dan nggak usah dipakai buat ngumpul-ngumpulin pajaknya rakyat. Dan ntie kalau udah ketahuan nama-namanya, tangkep aja dan masukin ke penjara. Dan tolong deh, ntie kalau udah di penjara, makannya bayar sendiri-sendiri, jangan dibiayain dari duit pajaknya rakyat!