Wednesday, July 27, 2011

Eforia Ibu, Ancaman Hari Tua

Suka geli baca status ibu-ibu yang mamerin kegiatannya sehari-hari yang ngurusin balita-balitanya. Bagian yang menggelikan adalah mereka nggak pernah lupa nambahin, "Enakan gini ketimbang kerjaan kantoran! Anak dan suami adalah duniaku satu-satunya sekarang!"

Selamat bahagia, Mommies.
Tapi ingatlah, pilihan Anda bukan pilihan
yang bisa bikin paling bahagia di dunia ini.
Foto dari sini.
Saya selalu mikir, mereka masih dalam fase "eforia menjadi ibu". Dan semenjak dulu, saya sudah ngeh bahwa eforia yang terus-menerus itu berbahaya.

Bulan lalu saya pulang ke Bandung dan mendapati Grandma saya sudah makin parah depresinya. Kadang-kadang saya mergokin Grandma nangis sendirian, tapi setiap kali saya dan nyokap bertanya, Grandma nggak bisa ngomong apa yang jadi kesedihannya. Pokoknya sedih. Sedih, that's it, period.

Tahun lalu, ketika Grandma masih lancar berjalan, nyokap bawa Grandma keluar rumah buat jalan-jalan naik mobil. Tujuannya nggak jelas ke mana, entah itu cuman ke pasar beli beras, atau cuman sekedar nganterin bokap ke tempat praktek, tapi intinya supaya Grandma lihat pemandangan, nggak di rumah terus. Soalnya kalau di rumah terus, Grandma bosan dan kesepian.

Saya lihat mental Grandma drop dengan nyata semenjak Grandpa meninggal tujuh tahun lalu. Memang di kuliah psikiatri waktu saya sekolah S1 dulu, diterangkan bahwa ditinggalkan oleh suami/istri adalah penyebab kesedihan terbesar manusia. Jika saya melihat Grandma sekarang, mungkin saya percaya. Tetapi kalau saya melihat anak-anak perempuan Grandma, saya nggak percaya bahwa cuman ditinggal suami bisa bikin drop. Anak-anak perempuan Grandma, saya memanggil mereka Bu De X dan Bu De Y, sudah jadi janda juga, tapi mereka masih berkeliaran ke sana kemari dan saya menjuluki mereka nenek-nenek lincah lantaran mereka nggak mau diam. Tetapi ada anak perempuan lain, yang saya sebut aja Bu De Z, dan sepupu saya telah protes bahwa ibunya itu cuman mau tiduran aja di sofa sepanjang hari dan kesepian lantaran anaknya nggak cepat pulang dari kantor. Saya meramalkan Bu De Z akan kena depresi juga seperti Grandma, tetapi saya percaya Bu De X dan Bu De Y enggak akan kena.

Saya heran, kenapa mereka berempat punya genetik yang sama, tetapi sebagian bisa punya karakter penyedih dan yang lainnya cenderung periang. Padahal kan sama-sama janda lho. Saya juga mendapati Bu De Z lebih banyak jadi pengeluh daripada Bu De X atau Bu De Y, padahal suami Bu De Z masih hidup dan bugar. Nampaknya ini adalah pelajaran penting bahwa "punya suami belum tentu lebih bahagia ketimbang tidak punya suami".

Jadi saya nanya ke nyokap, kenapa Bu De X masih jadi orang gembira, tapi Grandma enggak? Padahal suami mereka meninggal hanya beda setahun.
Jawab nyokap saya begitu sederhana, Grandma tidak pernah sebahagia Bu De X.

Jangan menghabiskan masa tua
 dengan meratapi kebahagiaan masa muda
yang tidak akan pernah kembali lagi.
Foto diambil dari sini
Mungkin yang membedakannya, Grandma mengalami banyak hal sedih dalam hidupnya. Nyokapnya menikah lagi waktu ia masih kecil, karena ayah kandungnya meninggal. Salah satu dari anak perempuan Grandma pernah hilang waktu bayi, dan baru dikembalikan ke Grandma setelah anak itu dewasa. Anak perempuannya yang lain kena meningitis waktu bayi, dan jadi cacat sampek akhirnya meninggal di usia 20 tahun. Keluarga saya punya banyak cerita yang kalau dibikinkan film bisa lebih panjang daripada sinetron Tersanjung.

Tapi saya nggak setuju. Lepas dari urusan human error (kawin lagi, anak hilang, kekurangan fasilitas kesehatan), sebenarnya ditinggal mati oleh keluarga itu kan takdir Tuhan, jadi ya nggak boleh dikambinghitamkan sebagai biang kesedihan.
Lalu saya menyadari hal lain. Setelah Grandpa meninggal, Grandma diam aja di rumah dan menganggur tanpa kegiatan selain nyuruh bedinde bersih-bersih rumah.
Sedangkan Bu De X dan Bu De Y, setelah pakde-pakde saya meninggal, mereka milih bergabung dengan arisan manula. Bu De X main mini golf seminggu 1-2 kali. Bu De Y bahkan jadi ketua asosiasi bidan di kotanya dan tiap hari kerjaannya adalah tanda tangan surat izin praktek bidan.
Bu De Z, sebaliknya, adalah penganggur. Seumur hidupnya dihabiskan dengan jadi ibu rumah tangga mengurus anak-anak. Ketika kelima anaknya sekarang sudah besar-besar dan satu per satu ninggalin rumah, ia merasa ditinggalkan dan kesepian. Itu membuatnya merasa sedih dan lambat-laun dementia mulai menggerogotinya pelan-pelan.

Jadi, seharusnya kesedihan karena ditinggal mati suami, atau ditinggal pergi anak-anak, tidak mempengaruhimu terus-menerus. Libatkan dirimu dalam pekerjaan, jangan terus-menerus mengenang yang sudah meninggal atau yang pergi. Karena hidup harus terus berjalan.

Ibu, jangan terpaku pada anak.
Biarkan diri Ibu berkembang untuk kegiatan-kegiatan lain,
supaya Ibu tidak jenuh dan depresi di hari tua.
Foto dari sini.
Maka saya balikin lagi ke alinea pertama di atas. Saya belum pernah punya suami atau pun anak, jadi saya nggak tahu nikmatnya menikah dan jadi ibu. Betul, prioritas utama kita adalah mengurus suami dan anak-anak. Tetapi, harus diwaspadai bahwa suatu saat nanti suami dan anak akan pergi meninggalkan kita, karena itu mereka tidak boleh jadi satu-satunya pusat perhatian kita. Maka para ibu sebaiknya punya hobi rutin yang tidak menyangkut urusan suami dan anak. Hobi bisa berwujud macam-macam, entah menjahit jampel, les nari Tango, atau sekedar nyapu di kebun (nonton sinetron tidak termasuk!). Hobi ini yang nanti akan jadi investasi kita saat hari tua nanti, saat kita sudah kesepian lantaran suami sudah meninggal, dan kita cuman tinggal jadi penonton lantaran anak-anak kita sudah bermain dengan anak-anak mereka sendiri.

Oh iya, jangan lupa sembahyang, apapun agamamu. Percaya apa enggak, ada penelitian yang bilang, orang yang rajin ibadahnya sewaktu muda, ternyata tingkat kebahagiaannya di masa tua lebih tinggi daripada orang yang nggak rajin sembahyang.

Cegah depresi dari sekarang. Perempuan seharusnya menjadi nenek yang ceria, bukan nenek yang kerjaannya cuman mengeluh dan menangis saja.