Monday, June 4, 2012

Berhenti Berkata "Seandainya"

Setelah itu, kita cuma bisa bilang "Seandainya.."

Perempuan ini baru pertama kali mau punya anak dan dia tidak pernah periksa kehamilannya ke siapa-siapa. Tengah malam dia datang ke sebuah rumah sakit di kawasan Mojokerto karena mengeluh sesak. "Sesak yang aneh," kata keluarganya. "Saya tahu orang hamil pasti sesak karena keberatan membawa anak dalam perutnya, tapi dia keliatan kepayahan..macem orang mau semaput aja.."

Dokter di rumah sakit itu bergerak cepat, periksa sana periksa sini, lalu memutuskan bahwa perempuan ini menderita preeklampsia, suatu penyakit yang lebih dikenal orang awam sebagai keracunan karena kehamilan, dan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan penyakit ini adalah melahirkan bayinya saat itu juga. Persoalannya adalah si ibu sesak berat karena paru-parunya bengkak dan akan butuh berhari-hari untuk mengempeskan bengkaknya, sehingga dia akan susah sekali bernafas sesudah operasi selesai nanti. Akan perlu mesin alat bantu nafas untuk menolong si ibu, dan siyalnya, tempat itu tidak punya alatnya. Terpaksalah pasien malang itu dikirim ke Surabaya, karena konon Surabaya punya mesin itu.

Maka lahirlah bayi itu di Surabaya dengan susah-payah. Usai anak itu lahir, ibu itu mengalami perdarahan berat, darahnya ngocor gila-gilaan tanpa henti. Dokter-dokter di Surabaya terpaksa mengikat rahimnya supaya perdarahan berhenti, tapi si ibu sudah kadung drop, infeksi menyerang dan parunya kena radang.

Kemaren, ibu ini meninggal di ruang rawat intensif oleh karena pneumonia. Umurnya baru 26 tahun.

Preeklampsia masih jadi penyebab kematian utama di negara kita. Kejadiannya lebih banyak terjadi di perkotaan, rata-rata korbannya masih golongan berpendidikan, minimal tamat SMA, yang artinya mereka sebetulnya cukup tahu bahwa sebaiknya orang hamil periksa ke dokter kandungan. Ibu yang saya ceritakan ini, tidak pernah periksa kehamilannya sama sekali. Jangankan ke dokter kandungan, ke bidan saja tidak pernah.

Siyalnya, preeklampsia masih seperti hantu. Tidak tahu kenapa penyakit ini bisa terjadi, di mana kesalahan si ibu sehingga dia ketiban musibah. Dokter hanya tahu bahwa pada suatu hari si ibu datang ke tempat praktek untuk kontrol mingguan seperti biasa, dan ketika ditensi ternyata tensinya sudah tinggi. Ketika si ibu diperiksa kencingnya, ternyata kencingnya penuh dengan protein. Saat itulah baru diketahui bahwa perempuan itu mengalami preeklampsia, dan penyakit ini akan ganas merusak pembuluh-pembuluh darah ibunya, sehingga untuk menghentikannya adalah harus dengan mengeluarkan janinnya.

Beberapa ibu, yang akhirnya selamat dari penyakit ini, mengaku bahwa mereka mengeluh pusing kepala pada 1-2 hari sebelumnya. Mereka tidak tahu bahwa sebetulnya itu salah satu tanda preeklampsia, karena semula mereka mengira mereka hanya kecapekan karena kelelahan membawa anak di dalam perut mereka. Baru ketika kepala mereka semakin terasa sakit, dan mendadak mereka muntah, lalu dada terasa sesak, tergopoh-gopoh mereka merangkak ke rumah sakit, dan saat itulah tekanan darah mereka sudah melewati 160/90 dengan kencing keruh yang penuh protein.

Beberapa ibu lainnya, bernasib sedikit lebih baik. Mereka rajin periksa kehamilan, dan ketika kontrol mereka kedapatan tekanan darah sudah mencapai 140 saja, bidan memeriksakan kencing mereka dan kadang-kadang saat ini preeklampsia sudah bisa ketahuan. Saat ini dokter masih memperketat jadwal kontrol si ibu, supaya bisa dipantau kapan tekanan darahnya merangsek naik. Ketika tekanan darah sudah menyambar angka 160 dan kencing si ibu mengandung protein, inilah saatnya merencanakan untuk mengakhiri kehamilan alias mengeluarkan si jabang bayi.

Jadi, di mana peran serta si ibu yang hamil supaya ia sendiri selamat dan tidak sampai drop akibat preeklampsia? Tindakan berharga yang bisa dilakukan sang ibu adalah rajin kontrol periksa selama hamil. Awal-awal hamil, hendaknya periksa kehamilan minimal sekali setiap bulannya. Setelah kehamilan mencapai 28 minggu, ibu lebih rajin periksa, setidaknya dua minggu sekali. Lebih sering lagi ketika kehamilan ibu sudah 37 minggu, periksakan kehamilan seminggu sekali.

Banyak sekali hal-hal yang harus diketahui ibu selama hamil. Berapa tekanan darahnya? Dirinya merasa hamil berapa bulan? Apakah anaknya tumbuh semakin besar seperti janin normal? Bahaya preeklampsia selain mengancam ibu, adalah mengancam janin pula, mulai dari mematikan plasenta sehingga anak kekurangan gizi dan menjadi tumbuh kecil, dan pada akhirnya: janin meninggal dalam kandungan.

Ibu-ibu hamil bukan tidak waspada terhadap bahaya. Kadang-kadang mereka cuma alpa kontrol. Macam-macam alasannya: Mulai dari malas ngantre di tempat praktek dokter, terlalu sibuk bekerja sampai nggak sempat kontrol, atau memang merasa dirinya baik-baik saja. Nyatanya, ibu memang baik-baik saja, tapi anaknya belum tentu baik-baik pula.

Seandainya ibu mau kontrol teratur, tidak perlu ada perempuan semuda itu meninggal cuma gara-gara hamil. Kita memang sebaiknya bersikap rada lebih cerdas. Dan berhenti berkata "seandainya .." ketika maut sudah kadung mampir ke tempat tidur keluarga kita.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com