Monday, October 15, 2012

Robohnya Pemandu Sorak

My hunk nunjukin saya seorang pengendara sepeda lagi naikin sepeda yang katanya disebut sepeda fixie, sekitar dua tahun yang lalu. "Itu sepeda nggak ada remnya lho," kata my hunk. Saya langsung mengerutkan kening. Sepeda kok nggak ada remnya gimana sih, kalau nurunin jalan curam bergunung-gunung kayak di kawasan Darmo gitu gimana?

Saya bukan penggemar kendaraan beroda dua apapun, jadi saya nggak terlalu memperhatikan. Tapi sore kemaren, saya baru ngerti dampaknya sepeda sinting yang nampaknya keren tapi sebenarnya nggak keren itu.

Kemaren sore, saya lagi enak-enak duduk di ruang gawat darurat yang baru saja saya bersihkan dari pasien-pasien tumor kandungan yang harus dioperasi dan kanker leher rahim yang berdarah melulu, berjalan masuklah seorang ibu yang nampak pucat membawa anak gadisnya yang nampak sama pucatnya. Katanya, gadis kecil yang konon baru berumur 15 tahun itu lagi naik sepeda fixie siangnya, dan entah gimana dia selip lalu terjatuh dan menghantam setang atau entah bagian apa dari sepedanya itu. Setelah menghantam entah apa itu, si gadis menjerit kesakitan karena keluar darah dari sela-sela selangkangannya..

(Oke, Anda takut darah? Silakan pencet icon silang di sebelah kanan atas layar.)

Saya suruh si nonik tiduran di tempat tidur, lalu saya buka sela-sela kakinya. Darahnya tidak terlalu banyak, tapi ya ngalir pelan-pelan. Saya rasa yang membuat si nonik itu ketakutan adalah karena kebetulan dos-q lagi mens, jadi darah mensnya campur dengan darah lukanya yang nggak seberapa itu.

"Gimana, Dok?" Ibunya menggigil ketakutan.
"Kemarilah, Bu," saya ajak ibunya melihat lukanya, coz si ibu nampaknya ketakutan lihat vagina anaknya sendiri. Saya tunjukin luka anaknya, "Ini luka. Darahnya keluar. Kami harus jahit supaya darahnya berhenti keluar. Kalau tidak dijahit, lukanya tidak akan nutup dan darahnya tidak akan berhenti. Kami bisa jahit sekarang, setelah selesai, anak Ibu bisa pulang hari ini juga, nggak usah nginep."
Si ibu terdiam, "Tadi ada yang keluar, seperti daging kenyal kecil? Hitam-hitam, saya kirain.." Bicaranya terputus, seolah tidak berani mengucapkan apa yang terlintas di benaknya.
"Maksud Ibu ini?" Saya nyodorin stolsel di baskom.
"Iya.." Si ibu gemetaran.
"Bu, ini bekuan darah."
"Bukan..bukan 'itu'..?"
Saya menatap matanya, menebak jalan pikirannya. "Bu, selaput daranya masih utuh."
Si ibu langsung menghela nafas lega. "Saya kirain.. Ya Allah.."
Saya menepuk bahunya, lalu mengajaknya ke meja konsultasi untuk tanda tangan persetujuan jahit kemaluan.

Si nonik masih kuatir. "Dok, dibius kan?"
Saya tersenyum. "Nanti saya kasih anti nyeri."

Lalu saya sodorkan surat tanda persetujuan ke ibunya untuk ditandatangani. Ibunya membaca surat itu, lalu perlahan-lahan dos-q nangis. Air matanya bercucuran makin deras, dan semakin diusapnya dengan ujung kerudungnya, semakin keras nangisnya sampek terkulai kepalanya di meja.
Saya tunggu dos-q sampek nangisnya selesai. Begitu reda, saya bertanya dengan nada khas orang awam, "Sepeda fixie itu sepeda yang nggak ada sadelnya ya?"

"Sepeda fixie itu yang nggak ada remnya, Dok.." kata si ibu.
"Oo.." Saya manggut-manggut, pasang tampang seolah-olah terkagum-kagum "wow keren".

"Sepedanya itu baru beli satu bulan, Dok. Dia minta dibelikan sepeda fixie, sedangkan adeknya minta sepeda yang biasa. Kami belikan. Saya nggak ngira, ternyata sepeda itu bikin celaka.. Huhuhuhu.." Lalu ibunya menangis lagi.
"Hm.." Saya ngelus-ngelus dagu saya yang tidak berjenggot. "Mungkin besok-besok dia akan naik sepeda fixie itu lagi ya?"
Si ibu nangis makin kenceng, dengan suara yang campur antara nangis dan ketawa miris.
"Ya habis gimana ya, Bu, ya? Kalau sepedanya dijual, kayaknya sayang.. Tapi kalau didiemin di rumah, siapa yang mau naik..?"

***

Sepanjang saya nyiapin alat jahit, mahasiswa koass ngajak ngobrol si nonik. Si nonik sudah mulai tenang coz ternyata dos-q masih perawan, tapi masih ada sesuatu yang mengganjalnya.
"Nanti aku bisa pipis nggak?" tanya si nonik.
"Bisa," jawab si koass.
"Aku nggak boleh loncat-loncat?"
"Jalan biasa aja dulu ya."
Si nonik terdiam. "Boleh jongkok?"
"Boleh.."
"Boleh split?"
Si koass mengerutkan kening. "Hm..tunggu dululah.."

Saya datang, dan mulai nyiapin perban di dekat si pasien.
"Dok, nanti aku boleh masuk sekolah?"
"Besok masuk sekolah seperti biasa," jawab saya kalem.
"Soalnya besok aku ada latihan."
"Oh ya? Latihan apa?" Terlintas di benak saya, mungkin gadis ini anak Paskibra atau atlet basket atau atlet tenis meja atau atlet apalah.
"Aku harus latihan cheers.."
"Hah?" Saya menoleh terkejut. "Ngg.."
Si koass langsung ketawa. "Pantesan tadi nanya boleh split apa enggak.."

***

Sepedaan sekarang memang tren. Modelnya macam-macam, cara naikinnya ternyata juga macam-macam. Sayang nggak semua pengendara tahu aturan naik sepeda yang aman. Kita masih susah menyuruh pengendara sepeda buat pake helm di kepala. Sekarang PR-nya nambah satu lagi, kalau naik sepeda fixie, jangan lupa pake helm di vagina..
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com