Friday, August 28, 2015

Sarung Tinju Bayi

Saya nggak bisa bedain kaos kaki dan sarung tangan bayi. Dua benda itu kelihatannya sama.

Orang yang pertama kali ngajarin saya tentang baby stuffs adalah pemilik toko Stars, sebuah baby shop di kawasan Dukuh Kupang di Surabaya. Di situ jugalah pertama kali saya belanja kebutuhan bayi (ya iyalah pemiliknya langsung ngajarin saya. Saya kan emak hamil newbie yang nggak ngerti apa yang harus dibeli). Di sana saya belajar kalau ternyata pabrik-pabrik baju bayi membuatkan kaos kaki yang satu stel dengan sarung tangannya juga biar matching.

Ketika Fidel pulang ke rumah dari rumah sakit, saya dan my hunk memasangkan sarung tangannya dan kaos kakinya dengan antusias. Maklum, anak pertama, dan kami baru pertama kali jadi orang tua.

Masalah baru timbul ketika kami mencuci baju-bajunya dan menyetrikanya. Saya kebingungan, ini yang mana sarung tangan, yang mana kaos kaki. My hunk, yang matanya informatik banget, langsung bisa membedakan bahwa sarung tangan lebih bulet, sedangkan kaos kaki lebih gepeng. Saya, yang otaknya sudah njelimet, melihat bahwa benda-benda itu bulet semua.



Fidel lahir dengan berat yang cukup kecil untuk bayi seumurannya, sehingga praktis banyak sarung tangan dan kaos kakinya yang kegedean. Sarung tangan itu begitu gede di tangannya yang kecil, sehingga saya malah melihat itu sebagai sarung tinju, bukan sarung tangan. Saya julukin sarung tinju, karena tangannya selalu melambai-lambai meninju udara kalau dos-q laper minta nyusu.

Semula saya bingung kenapa bayi sebaiknya dipakaikan sarung tinju, eh, sarung tangan. Saya sendiri selalu mencopot sarung itu terutama kalau Fidel mau nyusu. Perhitungan saya, coz umur-umur baru lahir gini, penglihatan bayi masih rabun, padahal dos-q butuh mencari kelenjar susu nyokapnya. Bayi belajar melihat dengan meraba, jadi ia mengidentifikasi kelenjar susu nyokapnya dengan merabanya, maka memakai sarung tangan adalah omong kosong.

Suatu hari Fidel rewel dan mencakar leher my hunk. Ya ampun, kuku jarinya sudah mulai panjang. Saya dan my hunk pingin motongin kukunya, tapi nggak berani, coz jari dos-q kecil banget dan kita takut ngelukain dos-q. (Waktu itu kita belom ngeh kalau ada salon-salon tertentu yang bisa manicure pedicure bayi).

Terpaksalah Fidel saya pakaikan sarung tinju. Cuman saya copot sarungnya kalau dos-q lagi nyusu. Tapi agak repot juga kalau dos-q ketiduran abis nyusu, coz begitu saya coba pakaikan lagi sarungnya ke tangannya sing mungil itu, dos-q bangun dan nangis lagi.

Fidel sekarang berumur tiga bulan dan dos-q mulai punya kebiasaan baru yang cukup merepotkan saya: masukin tangan ke mulut. Adeuh..itu kalau ada kuman masuk ke mulut, gimana? Buru-buru saya tarik tangannya. Tentu saja teknik ini nggak berhasil, coz dos-q terus-menerus menggerogoti jarinya sendiri. Mau dinasehatin jelas nggak mungkin. Saya pakaikan sarung tinjunya, malah sarungnya dos-q makan sekalian. Sarung-sarung tinjunya sampek basah semua. He seems enjoying it!

Nggak selalu, ding. Dos-q baru berhenti kalau jarinya sudah masuk terlalu dalem, saking dalemnya sampai dos-q sendiri nyaris muntah.

(Kalau sudah gini, saya selalu menatapnya tajam dan bilang, "Nah, kan? Sudah Mama bilang jangan masukin jari ke mulut, jadinya pingin muntah, kan?)

Atau dos-q berhenti saban kali dos-q nyusu. Tapi begitu dos-q kekenyangan ASI, dos-q masukin lagi jarinya, seolah-olah jari itu hidangan penutup

Dan yang masuk itu bukan satu-dua jari, tapi lima-limanya. Ke dalam mulut sekecil itu!

Pusing, pelan-pelan saya buka website-website parenting. Ya ampun. Kenapa saya lupa kuliah psikiatri waktu jaman sekolah dulu? Sepertinya bayi saya masuk fase oral-nya mental development-nya Freud. Dos-q menggerogoti jari-jarinya karena dos-q sedang ingin mengeksplorasi lingkungan. Dos-q sebenarnya sedang mempelajari lingkungan setelah sebelumnya dos-q selalu asyik sendiri di dalam lingkungan rahim ibunya. Dan itu menjelaskan kenapa gerakan-gerakan dos-q itu adalah menggerogoti jari-jarinya, bukan mengemut jempolnya.

(Jika fase oralnya Freud ini gagal terlewati, bayi akan tumbuh jadi anak/dewasa yang nggak puas terhadap dirinya sendiri. Dalam jangka pendek ia akan melampiaskan ketidakpuasannya dengan cara mengemut jempolnya ketika bangun maupun tidur. Dalam jangka panjang, ia menjadi dewasa yang untuk memuaskan diri sendiri itu harus bergantung dengan cara-cara jelek, misalnya ngomong jorok atau malah menghina orang).

Jadi sekarang saya biarin aja Fidel makan tangan. Kalau dos-q mau, saya susuin aja. Saya udah siapin mainan buat dos-q gigit juga, cuman sekarang belum dos-q mainin karena tangannya belom bisa megang barang. Makanya sarung-sarung tinjunya pun saya masukin ke laci. Supaya dos-q belajar menggenggam juga.

Orang-orang yang nengokin Fidel dan gemes lihat Fidel makan tangannya sendiri, saya larang buat menarik tangan Fidel. "Tolong biarkan dia belajar. Nanti umur dua tahun dia berhenti sendiri," kata saya.

Tentu saja saya nggak kunci semua sarung tinjunya. Sarungnya masih saya pakaikan kalau dos-q lagi saya bawa keluar rumah. Saya nggak kuatir dos-q menyentuh apa-apa yang berkuman. Toh selama ini dos-q cuman berada di dalam gendongan saya, di dalam pelukan my hunk, atau tidur di stroller-nya.

Oh ya, saya belom memikirkan skenario kalau nanti Fidel sudah mulai bisa merangkak dan tangannya meraba-raba lantai. Saya pikir aja itu belakangan. Kalau dipikirin sekarang, kepala saya malah jadi pusing.

Dan setiap saat saya masih sering menggumam dalam hati, "Jadi kamu pikir punya anak itu gampang? Masih jauh lebih gampang pakai blazer, pergi ke kantor dan jadi wanita karier."
*ngetik di HP sambil ngeliatin deretan blazer di lemari*
*mikir kenapa nggak ada toko yang jual blazer untuk ibu menyusui*
*Apa gw bikin sendiri aja gitu, blazer untuk ibu menyusui?*
*tapi blazer sepertinya kurang matching dengan gendongan sling atau baby-wrap yang gw punya*
*aaah..pusing!*
http://georgetterox.blogspot.com
http://laurentina.wordpress.com