Wednesday, September 16, 2015

Melawan Kabut Asap demi Grand Prix



Oh ususku, judulnya berat banget. Oh my gut, it's a hard topic.

Selamat, tagar #MelawanAsap bertengger jadi puncak di trending topic.

Yang saya sendiri heran kenapa kok baru sekarang (sebagian dari) kita ribut soal kabut asap. Sudah 48 tahun kita hidup bareng kabut asap, presidennya sudah ganti lima kali, kok dulu-dulu nggak ada yang ribut? Apakah karena waktu tahun 1967 itu belum ada Twitter? Atau generasi waktu itu terlalu sibuk cari beras jadi nggak ada yang mempertanyakan kabut asap? :p

Apakah penduduk Riau perlu dievakuasi?
Foto oleh @ridhobono

Kabut asap ini baru jadi perhatian besar sebab tetangga kita Sinx teriak-teriak. Mereka ngedumel karena sekarang penduduknya ke mana-mana kudu pake masker. Saking betenya, sampai-sampai mereka bikin tagar #sghaze untuk mengomel soal kabut asap. Dan ujung-ujungnya mereka ngomelin Indonesia karena mereka pikir Indonesia yang nyulut kabut asap. Penduduk Sinx nggak lebay coz mereka lihat sendiri bahwa PSI-nya sudah di wilayah 100-an ke atas. (Pagi ini sudah 82, thanx to tentara-tentara Indonesia yang udah mulai nyiramin hutan). PSI-nya sendiri sampai dibikinin account di Twitter melalui @SingaporePSI dan @SGHazeAlert dan hasil PSI-nya di-twit, bahkan di-retweet setiap saat. Berisik?

Penganten prewed berlatar kabut.
Foto oleh @M2CTR

Jemaah mungkin roaming, what da heck is PSI?

Papan Pollutant Standard Index
PSI, alias Pollutant Standard Index, atau dalam bahasa ibu kita adalah indeks standar pencemar udara (ISPU), adalah ukuran yang nunjukin seberapa banyak polutan membikin polusi pada udara yang kita hirup. Angka normalnya < 100, artinya baik atau sedang. Angka PSI 101-200 disebut udaranya nggak sehat. 201-300 disebut sangat nggak sehat, dan angka di atasnya disebut udaranya berbahaya untuk dihirup. PSI ini dihitung pakai suatu alat, dan hasilnya dipampang pada papan elektronik yang ditaruh di tengah-tengah kota. Di kota Anda ada nggak papan PSI kayak gini?

Saya pernah lihat papan beginian di Surabaya, tepatnya di jalur MERR. Waktu itu ada tulisan "sedang", alias udara di Surabaya berada di indikator warna ijo.

Entah saya temenan sama orang bego, atau memang papannya error, pokoknya temen-temen saya nggak ada yang ngeh PSI di kota masing-masing berapa. Padahal temen saya tinggal di Jakarta, di Bandung, di Medan, di Semarang, yang polusinya amit-amit. Mungkin seandainya orang awam belajar untuk kenal PSI, mungkin akan ada kesadaran bahwa kotanya sudah tercemar banget. Kesadaran ini yang akan mendorong banyak orang buat berpikir dua-tiga kali untuk berurbanisasi ke kota itu, karena mereka akan mengira kota ini bukan tempat tinggal yang bersih. Bisa juga mereka bakalan mikir bahwa menerjang jalanan kota dengan sepeda motor sambil pakai masker jelas nggak akan nyaman, sehingga mereka bakalan lebih milih ongkang-ongkang kaki aja di dalam bemo/angkot. Atau setidaknya, kalau mereka mau perhatikan papan PSI ini setiap hari, mereka akan menyadari bahwa alat PSI ini udah rusak, dan mereka akan nyuruh DPRD buat sediain APBD untuk perbaikin alatnya. Gimana juga mereka udah bayar pajak kan?

Sementara saya masih penasaran apakah alat PSI di kota saya udah diperbaikin atau belom, saya mau ngutip Mark Clifford di Forbes yang baru ngoceh tentang kebakaran hutan di Indonesia yang dituding sebagai penyebab kabut asap di Sinx ini. Dalam artikelnya, Clifford menyiratkan bahwa kira-kira penyebab kebakaran hutan di Indo ini antara lain: 
1) Ada perusahaan-perusahaan tertentu (umumnya perusahaan minyak kelapa sawit) yang nggak sengaja barbeque-an di hutan dan tidak mengintervensi kebakaran dengan baik (Saya bingung. Barbeque-an kok banyak banget pohon yang terbakarnya?)
2) Pemilik hutannya sendiri yang memang membakar hutannya. (Saya setuju dengan Clifford karena saya pernah dikasih tahu bahwa setelah suatu wilayah hutan baru dibakar, biasanya harga tanahnya meningkat. Mohon koreksi jika saya salah).
3) Kelakuan para pekerja di perhutanan dan perkebunan yang jorok dan nggak sengaja menimbulkan api, contoh: habis merokok, rokoknya belom mati pun puntungnya sudah dibuang ke akar pohon

Kenapa pembakaran hutan ini susah banget dihentikan? Bisa jadi karena penegakan hukum di Indonesia memang susah banget. Dari sekian banyak kasus pembakaran hutan, paling mentok ya bandit pelaku pembakarnya aja yang berhasil ditangkep dan dimasukin ke sel. Tapi siapa yang memerintahkan bandit-bandit ini? Cukong-cukong yang membayari mereka buat menyulut api di hutan, apakah kena ciduk juga? Halah.

Pak Presiden juga ikut berusaha supaya kabut asapnya berhenti kok, Gaes.
Foto oleh @RapplerID

Susahnya lagi, banyak aparat hukum yang memang udah "temenan" sama cukong yang perintahkan pembakaran hutan ini. Sebatang pohon kelapa sawit bisa menciptakan komoditas yang mahal kalau dijual. Lahan yang dijadiin perkebunan kelapa sawit jauh lebih cepet balik modal daripada kalau dibiarin jadi hutan doang.

Plus, kebakaran hutan memang susah distop coz orang Indonesia memang nggak terlalu peduli. Di Indo, isu "go green" bukanlah isu yang seksi. Buktinya, PSI di kotanya sendiri aja nggak tahu.

Sisa hutan yang sudah dibakar.
Foto oleh @GPOrangutans

Mungkin, memang baiknya kita pakai cara-cara lain supaya orang kita berhenti sengaja barbeque-an di hutan:

1)  Rame-rame boikot hasil hutan
Simpelnya, nggak mau pake minyak goreng, nggak mau nulis pake tinta. Karena minyak goreng dan tinta berasal dari hutan yang dirombak jadi kebon. Hutan dirombak dengan cara dibakar.

Tapi saya ragu cara ini sukses. Mengingat ketergantungan kita yang sangat tinggi terhadap minyak goreng dan tinta, dan kita sulit hidup tanpa barang yang satu ini. Kita masih gemar makan krupuk, dan penjualan mesin cetak masih laris. Sampai hari ini, saya belom pernah liat ada orang bisa nggoreng krupuk pake minyak zaitun. Dan saya belom pernah denger ada dosen Indonesia yang bersedia meluluskan mahasiswa yang nggak mau ngeprint skripsinya.

Oh ya, nama-nama perusahaan yang punya kuasa terhadap hutan yang lagi kebakaran itu ada di sini 

2) Nunggu diboikot Sinx
Mungkin kita baru nyadar kalau Sinx udah bete sama Indonesia, terus nggak mau nerima turis dari Indonesia lagi. Nggak mau nerima tenaga kerja ahli dari Indonesia lagi. Nggak mau ngekspor barang premium ke Indonesia lagi.

3) Batalkan Grand Prix!
Seluruh dunia bakalan ngeliatin Sinx hari Jumat ini karena waktunya Grand Prix bakalan dihelat di sana. Dan tidak ada yang bisa menghentikan turnamen yang satu itu kecuali kabut asap!

"Tidak mungkin," tukas my hunk waktu saya mengusulkan saran ini. "Pembalap-pembalap itu sudah hapal tempat belok-belokannya. Bodo amat mau kabut asap jugak."

Tapi pejabat-pejabat Indonesia, yang jelas-jelas punya akses untuk bikin undang-undang untuk mencekek para pembalak hutan, dan yang duitnya cukup banyak untuk membawa dirinya (dan anak-anaknya) ke Sinx hanya demi nonton balapan, bisa mencak-mencak kalau sudah capek-capek beli tiket VIP + pesan hotel jika mendadak kompetisi balap itu batal hanya gara-gara kabut asap.

Atau, apakah Jemaah Georgetterox punya usul lain untuk #MelawanAsap ini?

Sembari mikirin cara kreatif buat menghalang kabut asap, Anda bisa kirim sedekah melalui rekening ini  untuk kawan-kawan kita di Riau yang sudah sebulan lebih ini harus tidur di rumah mereka yang kerasukan asap. Atau, kalau kepingin sedekah yang lebih nyata, Anda bisa sumbangin masker N95 (bukan masker sekali pakai warna hijau yang suka dipake dokter-dokter bedah itu) buat dipakai kawan-kawan kita di Riau, supaya mereka bisa bernapas dengan enak.

Contoh masker N95.
Masker ini berfungsi lebih baik untuk bernafas dalam lingkungan berkabut asap
daripada masker sekali pakai.
Foto oleh @Dito_Jan

Atau, jika Anda masih nggak ngerti juga kenapa Riau (dan provinsi-provinsi lainnya yang lagi dipaksa barbeque-an nggak enak) butuh dibebaskan dari kabut asap, Anda bisa lihat video ini.


Kadang-kadang, bisa keluar rumah tanpa harus keluar air mata saja sudah jadi rejeki yang sangat bernilai, bagi kita.