Belum apa-apa, Barack Obama sudah dicela. Vetonya mencabut undang-undang antiaborsi hasil warisan George Bush, diprotes keras oleh para pemuka agama yang empet berat terhadap aborsi. "Di mana moral kita kalau ibu-ibu boleh menggugurkan anaknya sembarangan?" tukas para aktivis agama itu marah.
Kemaren, di Brazil, masalah aborsi jadi ramai lagi. Uskup Brazil memutuskan untuk menjatuhkan sanksi berupa ekskomunikasi terhadap seorang perempuan asal Pernambuco yang menggugurkan kandungannya yang hamil kembar dua. Sanksi pengucilan itu juga ditibankan kepada para dokter yang membantu aborsi di rumah sakit itu.
Sebegitu alerginyakah kaum rohaniawan terhadap aborsi?
Obama punya alasan kenapa aborsi layak dibikin legal. Menurut hukum yang disahkan Obawa itu, aborsi diijinkan buat perempuan-perempuan hamil yang terlampau miskin untuk mengurus anak, tapi kebobolan sehingga malah hamil. Aborsi juga diperbolehkan untuk kehamilan-kehamilan yang dipicu pemerkosaan. Logikanya Obama, kalo rakyat itu melarat, penyakitan, atau baru diperkosa, sebaiknya ya jangan beranak. Karena kalau warga nggak sanggup mengurusi anak yang mereka lahirkan, anak itu hanya akan bikin penuh populasi nasional yang menguras biaya negara.
Kan kita sudah belajar waktu kita semua masih berseragam putih-merah dulu, pasal 34 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara. Jadi kalau nggak mau negeri kita defisit karena mesti membesarkan anak-anak telantar dan melarat yang dihasilkan dari kehamilan yang tidak diinginkan, ya anak-anak itu janganlah "diadakan". Makanya Obama meng-ACC aborsi.
Cerita di Brazil lain lagi. Kenapa dokter-dokter itu sampai mau mengaborsi, lha wong si perempuan yang hamil itu masih culun, baru umur 9 tahun! Si neng kecil ini hamil gara-gara diperkosa bokap tirinya, dan sang bokap sudah gemar menggagahi dirinya semenjak dia masih umur 6 tahun. Upaya senang-senang sepihak ini telah sukses bikin sang bocah malang hamil sampai kembar dua. Mana bisa rahim berumur 9 tahun yang masih lembek menanggung janin sebanyak itu? Makanya dokter menolong sang perempuan, dengan cara aborsi.
Kalangan Uskup di Brazil marah-marah. Menurut mereka, hukum Tuhan lebih tinggi derajatnya ketimbang hukum bikinan manusia. Kalau Tuhan sudah menciptakan bayi, biarkanlah manusia itu lahir, jangan digugurkan untuk alasan apapun. Menentang Tuhan itu dosa, iya kan?
Tapi kita selalu lupa, bahwa manusia berhak memilih untuk tidak hamil. Siapa yang sanggup merawat anak kalau ngasih makan dirinya sendiri aja nggak bisa? Ibu mana yang bisa tetap sehat merawat anaknya kalo proses hamil dan melahirkan malah bikin dirinya sakit-sakitan? Memang betul, mestinya perempuan-perempuan yang belum sanggup hamil sebaiknya pake alat KB untuk mencegah diri mereka hamil. Tapi kalau perempuan hamil karena diperkosa, apa mereka sempat nyuruh pelakunya pake kondom dulu sebelum memperkosa?
Barangkali para aktivis agama yang alergi aborsi ini layak dikuliahi tentang anatomi rahim dan sulitnya komplikasi melahirkan. Keputusan untuk begitu saja mengucilkan para dokter yang menggugurkan kandungan atas alasan medis, sungguh sangat kekanak-kanakan. Kita para dokter sangat menghargai para penderita, nggak cuman janin yang belum lahir, tapi juga ibu-ibu yang mengandung. Karena, upaya menyehatkan masyarakat untuk menghargai kehidupan manusia tidak semata-mata hanya dengan upaya mencegah kematian. Tapi juga termasuk menjaga supaya mereka sejahtera setelah melahirkan dan dilahirkan. Dan pengguguran kandungan atas alasan medis, layak dilegalkan untuk itu..
"Tidak perlu main dengan pelacur, supaya bisa ketularan HIV. Tidak perlu juga pesta narkoba pakai satu jarum suntik ramai-ramai, kalau hanya ingin ketularan HIV. Cukup datang ke klinik, minta dijahit oleh perawat yang nggak pakai sarung tangan. Gampang!"
Kedengerannya ekstrim mengerikan, tapi begitulah. Kasus HIV yang menyebabkan AIDS itu, di negeri kita terlalu sering disangka karena hubungan seks dengan orang yang sering gonta-ganti pasangan. Padahal, data menunjukkan bahwa HIV di negeri kita paling banyak ditularkan via jarum suntik narkoba. Tapi berapa banyak masyarakat yang menyadari bahwa HIV juga menular melalui alat-alat medis di tempat-tempat pelayanan kesehatan yang tidak steril?
Para penyedia layanan kesehatan seperti rumah sakit, Puskesmas, dan klinik, hendaknya menyadari, bahwa salah satu indikator untuk menilai layanan mereka adalah melalui angka infeksi nosokomial di tempat layanan tersebut. Secara awam, infeksi nosokomial adalah kejadian tertularnya kuman kepada seorang penderita setelah penderita tersebut berobat pada suatu tempat pelayanan kesehatan. Kuman ini dapat menular melalui alat-alat medis yang digunakan pada penderita tersebut, misalnya slang oksigen, jarum infus, bahkan jarum suntik. Alat-alat yang semestinya menolong penderita ini dapat berubah menjadi sumber bencana penularan jika tidak disterilkan sebelum dan sesudah digunakan. Tetapi yang lebih mencemaskan lagi, infeksi ini juga dapat terjadi tanpa alat, tetapi melalui tangan paramedis yang tidak dilindungi sarung tangan.
Sebagai contoh, misalnya seorang penderita datang berobat ke suatu klinik karena luka kecil di tangannya. Dokter memeriksa luka tersebut, dan memegangnya. Jika penderita luka tersebut kebetulan mengidap HIV tanpa diketahui sang dokter, maka virus HIV dapat menular melalui darah yang tercecer di lukanya. Dokter yang tidak mengenakan sarung tangan akan tertular HIV dengan mudah karena sudah memegang luka tersebut. Selanjutnya, jika dokter didatangi pasien lain yang terluka dan dokter memegang luka pasien itu tanpa mengenakan sarung tangan, maka dengan mudahnya HIV akan menular kepada pasien itu. Inilah yang disebut infeksi nosokomial.
Tentu saja dampaknya sangat mengerikan. Bagaimanapun orang datang ke tempat pelayanan kesehatan untuk berobat atas penyakit yang dideritanya, bukan untuk mendapatkan penyakit baru. Karena itu seyogyanya para penyedia layanan kesehatan selalu memastikan tempat dan alat-alat mereka dalam keadaan steril, minimal dengan selalu mengenakan sarung tangan jika menghadapi pasien yang terluka.
Dewasa ini, para dokter telah dididik ketat untuk selalu menyediakan sarung tangan demi menghindari penularan penyakit dari satu pasien ke tempat pasien lain. Sayangnya masih banyak rumah sakit atau klinik yang seringkali alpa menyediakan sarung tangan di ruang-ruang unit gawat daruratnya. Lebih parah lagi, paramedis seperti perawat yang merasa "telah berpengalaman" sering enggan menggunakan sarung tangan dalam menangani pasien, karena merasa tangannya kepanasan jika menggunakan sarung tangan. Tidak heran kasus HIV yang bukan dipicu perilaku seks bebas atau narkoba, malah meningkat akibat "tidak sengaja" tertular HIV ketika sedang berobat ke rumah sakit atau klinik.
Masyarakat dapat mencegah dirinya tertular HIV dengan cara demikian. Jika masyarakat mendapati suatu tempat penyedia layanan kesehatan yang paramedisnya malas menggunakan sarung tangan dalam menangani luka, hendaknya masyarakat mencari tempat lain saja yang sekiranya lebih steril untuk berobat.
Cara sederhana lainnya bisa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya kita mendapati suatu kecelakaan lalu-lintas, dan kita ingin menolong korban yang terluka, jangan pernah semata-mata langsung memegangi bagian badan korban yang terluka. Peganglah korban dengan kain, jaket, selimut, koran, atau apa saja; tapi jangan sampai langsung bersentuhan dengan luka atau darahnya, karena darahnya bisa saja mengandung HIV.
Kita tidak pernah tahu, orang yang kita tolong itu mengidap HIV atau tidak. Dan kita juga tidak pernah tahu, orang yang menolong kita itu pernah tertular HIV atau tidak. Selalu waspada adalah tindakan bijaksana, dan waspada dapat kita mulai dengan cara-cara sederhana seperti yang terurai di atas. Bagaimanapun, seperti kata pepatah lama, mencegah masih jauh lebih mudah daripada mengobati..
Salah satu adegan favorit gw di film Lion King adalah waktu si bayi Simba baru lahir, lalu dijampi-jampi sama dukun musang itu dengan cara diolesin getah di jidatnya. Waktu itu, gw ngga ngira suatu hari gw akan melakukan hal yang sama.
Keasyikannya tugas di negeri antah-berantah adalah kamu mesti terlibat dalam kebudayaan rakyat lokal. Asyik banget kalo kamu bisa pelajarin adat mereka yang beda banget sama adat aslimu itu.
Kayak kemaren tuh, ibu kost gw ngundang gw ikut perayaan Maulidan di rumahnya. Tadinya gw kirain cuman pengajian biasa gitu, ibu-ibu duduk lesehan di ruang tamu, baca Yasin bareng, lalu nyanyiin puja-puji Allah dan shalawat Nabi. Gw sebenarnya ogah-ogahan, rada nggak enak nolak soalnya kan apartemen gw persis di sebelah rumah ibu kost gw. Tapi karena kakak gw yang pernah tinggal di sini bilang orang Banjar sangat senang kalo kita dateng ke undangannya, ya udahlah gw seret kaki gw ke ruang tamu ibu kost gw.
Maka gw pun ikutan duduk lesehan, senyum basa-basi ke ibu-ibu pengajian yang ada di situ, baca Yasin yang kitabnya dipinjemin gratis, dan kalo mereka mulai nyanyi puja-puji itu, gw belagak komat-kamit ikutan nyanyi, biarpun su-er gw sama sekali nggak tau apa yang mereka nyanyiin. Semua orang nampak hafal lagunya, seolah-olah mereka udah diajarin lama, dan kayaknya gw doang yang nggak tau lagunya. Heran, perasaan kok dulu gw nggak pernah diajarin lagu-lagu ini deh, apa jangan-jangan guru agama gw beda aliran ya? Kok sekarang gw jadi serasa mualaf, hehehe..
Lalu tiba-tiba semua orang berdiri. Ibu kost gw keliling ke setiap jemaat, sambil ngegendong cucunya, Rafi, yang baru umur 1 tahun. Lalu dia nyodorin mangkok berisi daun-daun pandan kepada tiap jemaat yang lagi nyanyiin doa itu. Dan berikutnya, tiap jemaat ambil daun itu, lalu mercikin air daunnya ke muka dan badan Rafi. Hah? Apaan nih?
Dengan sigap gw ambil kamera yang selalu gw selipin di celana gw, terus gw shooting. Kayaknya sih, tiap jemaat mercikin air pandan itu sambil minta berkah buat si bayi. Cuman yang anehnya, arah percikannya itu. Dahi, lalu leher, lalu bahu kanan, lalu bahu kiri. Mirip gerakan apa, coba?
Mungkin ini adat Banjar setempat, dipaduin dengan doa-doa Islam. Gw syuting aja si ibu kost terus. Eh, nggak cuman Rafi aja yang diberkahin sambil keliling. Cucu ibu kost yang lain, Fira, yang hampir 1 tahun, dibawa keliling juga sambil digendong emaknya.
Dan tiba-tiba rombongan pandan itu tiba di depan gw. Alamak, gw disuruh ngeberkahin pula? Tangan kiri gw tetap megang kamera, sementara tangan kanan gw ambil daun pandan itu. Lalu gw percikin ke dahinya Rafi. Lalu dadanya. Lalu bahu kanannya, dan kirinya. Dasar, hati gw malah berucap, "Ash to ash, dust to dust.." Lho?!
Kok gw jadi berasa mirip dukunnya Simba?
Tadi siang, gw ceritain adegan percik-percikan daun kemaren itu ke staf-staf kantor gw, Rahmi dan Yexi. Kedua perempuan lokal itu bilang, itu adat Banjar, namanya tapung tawar. Maksudnya buat ngedoain si bayi supaya jadi anak saleh dan nggak rewel. Bahan buat mercikinnya itu dari daun pandan, air, dicampur minyak wangi. Diadainnya pas hari-hari baik, misalnya menjelang Maulud Nabi Muhammad.
Owalah..jadi ini adat Banjar tho? Pantesan gw tercengang-cengang nggak ngerti. Waduh, kenapa mercikinnya mesti pake daun pandan ya? Kenapa nggak sekalian pake air mawar, gitu? Kalo gw jadi bayinya sih jangan tanggung-tanggung, percikin aja pake Chanel sekalian biar wangi..
Yang bikin gw tersenyum, acara-acara mercikin air gini perasaan nggak ada dalilnya di agama Islam. Ritual pemberkatan dengan air itu pernah gw tonton dalam seremoni Kristen. Gw sendiri pernah ikutan ritual yang melibatkan adegan percik-percikan air, waktu gw ikutan iring-iringan longmarch orang Hindu di Uluwatu. Seorang pandita Bali berdiri di atas batu, mercikin air kepada jemaah yang lewat sambil berdoa, termasuk gw yang waktu itu lagi jadi turis. Rasanya, seneng banget!
*Gw jadi bingung, Vic, sebenarnya agamamu apa sih? Kok ikutan ritual sana-sini ya seneng aja?*
Lah, mana ada acara beginian di tempat asal gw? Di mana kamu bisa ikut-ikutan belagak memberkati tapi kelakuanmu mirip dukun Simba?
Memahami kebingungan gw yang khas turis, ibu kost gw nanya, "Di sana nggak ada yang seperti ini?"
Gw jawab, di Bandung, kami nggak mandiin bayi pakai daun.
Yang lucu, setelah gw ngejampiin Rafi, giliran Fira dan emaknya yang nyodorin daun minta berkah. Pas gw percikin airnya ke jidatnya Fira, mendadak Fira nangis. "Huwaaa!"
Lho, bayinya didoain kok nangis?
Pas gw ceritain ke Rahmi dan Yexi besoknya, Rahmi ketawa dan bilang, "Kalo nangis, berarti jinnya keluar.."
Pelajaran moral dari orang Banjar hari ini: Jika anak Anda nampak kerasukan, percikkanlah air daun pandan ke mukanya. Kalo bukan jinnya gagal hinggap di situ, paling-paling besok anaknya jadi gatel-gatel..
Gw nanya pada beberapa orang apa yang dimaksud dengan posisi wuenaak.
"Posisi wuenak itu, di bangku barisan tengah, deket jendela, persis di belakang supir," kata temen gw, yang suka mondar-mandir keluar kota pake travel.
Kakak gw lain lagi. Jawabnya, "Posisi wuenak itu, di atrium lantai dasar mall, ada eskalator di pinggirnya, tempat semua orang dari seluruh lantai bisa liat geraimu melalui void." Perlu diketahui kakak gw adalah pemilik gerai taman bermain yang buka di mall-mall.
Seorang teman gw yang pecandu sepakbola, bilang, "Aku nggak punya posisi favorit. Posisi wuenakku bisa di mana aja: aku bisa jadi kiper, striker, gelandang juga bisa. Tapi aku paling benci di posisi sayap."
Jawaban-jawaban itu bikin gw sadar bahwa ternyata relativitas itu memang ada. Einstein nggak pernah ngibul.
Gw ngomongin posisi wuenaak setelah kemaren chatting sama kolega gw, sebut aja namanya Erman, 25. Dia fresh-graduated yang lagi milih tempat buat PTT.
Erman: "Posisi lu di mana, Vic?"
Gw: "Pulang Pisau."
Erman: "Di mana tuh?"
Gw: "Kalimantan."
Erman: "Vic, tau nggak di mana PTT yang posisinya enak?"
Gw: "Enak gimana maksud lu? Kalo di tempat gw sini, gw suka kepanasan. Soalnya daerahnya dataran rendah, deket khatulistiwa.."
Erman: "Bukan, maksud gw, di mana posisi PTT yang insendanya gede? Yang sebulannya di atas Rp 2 juta?"
Gw ketawa. Dalam hati gw membatin, ya ampun, belum tentu juga lu diterima, udah minta gaji 2 juta.
Gw selalu bilang, cuman ada dua macam dokter yang mau ikut PTT. Yang pertama, dokter yang seneng jalan-jalan. Yang kedua, dokter yang nggak waras.
*Lu masuk yang mana, Vic?*
(Dua-duanya.;))
Kenapa? PTT memungkinkan dokter-dokter yang parlente dari kota besar bisa jalan-jalan ke negeri-negeri antah-berantah yang nggak pernah mereka bayangkan dan cuman bisa diliat di acara-acara tv-nya Ryani Djangkaru atau Adita Suryadi. Kalo kamu dokter PTT, kamu bisa ngerasain naik speedboat tanpa make rompi pelampung, naik andong turun gunung tiap hari, dan disambut penduduk setempat dengan upacara di mana sebagai kehormatan kamu dipersilakan mengisap gelendong mammae istri kepala suku setempat.
Segi tidak warasnya? Kamu hidup tanpa sinyal 3G, tanpa air bersih, dan listrik mengalir antara jam 10 malam sampai jam 4 pagi.
Kalo kamu bukan pegawainya Negara, kamu pasti nggak tau apa itu insentif daerah alias insenda. Perlu diketahui bahwa gaji dokter PTT sama aja dengan gaji PNS golongan III, tapi tanpa tunjangan. Ini yang gw sebut nggak waras. Dengan gaji segitu, mana bisa kita nabung buat beli genset buat nyalain vacuum cleaner? Mana bisa pula kita beli Land Rover buat naik-turun bukit supaya kita nggak perlu ngetem andong? Karena itu kabupaten lokal yang merekrut dokter PTT ngasih insentif daerah supaya dokternya betah. Besarnya sih variatif. Kalo daerahnya tajir, ya insentifnya bejibun. Kalo daerahnya kere, ya insentifnya dikit. Mungkin dipikirnya, kebahagiaan dokter itu bisa dibeli pake duit. Padahal salah tuh, dokter cuman bahagia liat pasiennya sembuh (cieehh..:-D).. dan balik lagi ke tempat prakteknya (*gubrax!:-S*).
Itu yang bikin dokter mau ikut PTT, coz insentif daerahnya (katanya) gede.
Sialnya dokter sekarang banyak yang matre. Udah tau ada insentif, tapi masih nanya insentifnya berapa. Pikirnya, kalo insentifnya dikit, dia nggak mau melamar penempatan ke situ.
Biasanya dokter ikut PTT karena dia emang belum diterima kerja di mana-mana. Ya gimana dia mau diterima kerja di rumah sakit besar, orang dia kan baru lulus dan belum punya pengalaman profesional? Maka umumnya, PTT itulah pekerjaan pertama para dokter, yang penghasilannya tetap, dan yang lebih penting lagi: legal. (Ada lho penghasilan dokter yang nggak legal).
Insentif memang bikin dokter jadi ngiler. Tapi sialnya, biasanya makin banyak insentif, makin banyak juga biaya hidup yang mesti dikeluarin, coz insentif biasa dikeluarin oleh daerah yang super terpencil.
Contohnya, kolega gw di Pulang Pisau, yang tinggal di daerah yang saking keringnya, sampai air mandinya aja terasa asin. Karena mandi air garam tiap hari bikin kulit perih, dia bela-belain belanja air galon cuman buat mandi. Bisa dibayangin insentifnya abis cuman buat air galon.
Lain lagi kolega gw di Yapen-Waropen. Begitu terpencilnya daerah di Papua itu, sampai-sampai air bersih di rumah dinasnya aja nggak ada. Akibatnya, dia terpaksa ngabisin insentifnya buat sewa rumah di kota yang jauh banget dari Puskesmasnya.
Jadi kesimpulannya, enak itu relatif. Gaji besar, tapi selalu ada ketidaknyamanan yang harus dibayar. Jangan keburu seneng dulu dapet penghasilan besar.
Lain dari itu, kursi PTT itu cuma 500-an, tapi dokter yang daftar ada seribu. Jadi diterima PTT, dapet daerah tajir atau kere sekalipun, itu udah untung.
Jadi, posisi di mana yang wuenak?
Kata para pecandu Kama Sutra, "Posisi yang asik tuh, nggak penting woman on top, atau man on top. Yang penting, posisinya: 69. Itu baru posisi wuenaak!"
Gw nenggak soda gw. SETUJU! ;-)
Untung gw nggak punya tivi. Kalo gw liat sendiri, bisa-bisa tuh tivi ancur lantaran gw lemparin sendal jepit. Tapi pembicaraan itu ditulis ulang di internet. Tanpa edit. Bahkan mbacanya aja, bikin gw merah padam karena malu.
"..Saya tidak akan tanya pada saudara-saudara yang baru dilantik tentang kedudukan saudara yang secara jujur, Anda belum cukup umur sebagai dirut."
"Anda bukan the right man." "..." "The right woman juga bukan. Jangan karena dekat dengan si A, si B. Anda tidak mampu sebagai dirut.."
"...Ini kelas angpau besar..." "..." "Saudara tidak tahu karena cuman operator.."
"...kalau hanya untuk melindungi bisnis para Bohir, kualitas Anda lebih dari cukup. Satpam rumah saya sudah cukup. Saya tidak katakan Ibu Karen.."
Karen yang dimaksud di atas adalah Karen Agustiawan, Direktur Utama Pertamina. Kalimat-kalimat di atas diucapin langsung ke pada Karen, pada dengar pendapat antara Komisi VII DPR dengan sang direktur, pada tanggal 10 Februari, oleh seorang anggota DPR yang males banget gw sebut namanya di sini (coz gw takut jadi mencemari blog gw nan indah ini!). Pembicaraan itu direkam Metro TV, diperdengarkan luas ke mana-mana, dan berikutnya sang legislatif terkait dihujat habis-habisan di berbagai website, blog, dan milis. Belum selesai, Kompas kembali menulis dialog di atas di edisi on-line-nya, Minggu, 1 Maret '09, 1:31, di kolom Kehidupan, dalam artikel "Dengar Suara Dewan".
Mungkin maksudnya mengkritik Pertamina. Tapi entah gimana, kedengerannya malah seperti menghina. Kalo bahasa Jawanya sih, ngenyek.
Kok bisa sih kita punya anggota parlemen yang ngomong kayak gitu? Siapa yang milih dia masuk legislatif?!
Sudah berminggu-minggu gw jalan dari blog satu ke blog lain, dan gw nemu makin banyak blogger yang menyatakan kepingin golput. Ini merepotkan.
Gw ngerti, para blogger yang pinter-pinter ini nganggap para caleg rata-rata nggak layak masuk legislatif. Mereka main amplop, tukang tidur, dan senang bikin sandiwara mesum di HP dengan artis dangdut. Tapi karena paman gw sendiri adalah caleg, maka gw harus bilang tidak semua caleg itu punya mental jorok. Paman gw adalah contohnya, dia caleg yang jujur, melek waspada, dan setia sama istri dan anak-anaknya. Sialnya nggak semua caleg sebersih paman gw, dan akibatnya hampir semua caleg identik dengan main kotor.
Bayangin kalo kita golput. Kemungkinan caleg bersih untuk menang, akan makin kecil. Caleg-caleg busuk akan melenggang menang, coz didukung para pemilih yang mau aja disogok duit dan dihipnotis SMS serangan fajar. Maka caleg bermental bobrok pun jadi legislatif beneran, dan makin banyak yang kelakuannya mirip penghujat Bu Karen di atas, persis orang nggak pernah ditatar P4. Kehormatan parlemen jadi turun, rakyat malu sama wakilnya sendiri. Akhirnya, siapa yang rugi? Kita!
Sodara-sodara, orang-orang cerdas yang melek internet macam kita ini cuman 20% dari total populasi pemilih Pemilu. Kalo kita golput, akan ada 20% kertas suara yang nggak kepake. Partai-partai yang jelek akan bisa menyalahgunakan surat-surat suara kosong ini buat menyontreng caleg-caleg yang mereka inginkan, bukan yang kita restuin. Mau jadi apa parlemen kita kalo wakil rakyatnya nggak bisa mewakili rakyat?
Ayo kita jadi bangsa cerdas. Nggak nemu caleg yang yahud, browsing caleg yang paling mendingan menurut nurani kita. Jangan sia-siakan surat suara yang jadi milik kita. Jangan mau diwakili anggota legislatif bermental bobrok. Stop geleng-geleng kepala, stop elus-elus dada. Berhenti cuman bersabar, sudah waktunya kita bertindak. Kalo bukan kita yang mengubah nasib bangsa kita sendiri, siapa lagi?
Sebenarnya, dulu gw selalu ngira Offspring itu band berisik yang beken dengan lagu Come Out and Play-nya. Gw nggak suka lagu itu coz benci reffrain-nya yang kayak gini nih, "Give it to me, baby.. Uh huh, uh huh.. Give it to me, baby.. Uh huh, uh huh.." Gw pikir lagu itu diciptain orang yang udah kelamaan horny..
Sampai kemudian gw baca kitab andalan gw, Cosmo. Di situ ada artikel seks yang nulis kira-kira begini.. "Dan janganlah absen menggunakan kondom bila Anda tidak mau terjadi offspring.." Saat itu barulah gw ngeh.. ooh itu tho artinya offspring?
Kali ini gw akan nulis tentang kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Ketika orang awam seenaknya menghakimi para ibu penderitanya sebagai ibu yang tidak mensyukuri pemberian Tuhan, kami para dokter menganggap serius kejadian ini sebagai masalah yang bisa berdampak kematian. Lho kok bisa ya?
Tahun 2003, angka kematian ibu di Indonesia mencapai 307 per 100.000. Artinya, kalo ibu hamil di Indonesia disuruh baris berjejer sebanyak 1000 orang, maka sebanyak 3,07 ibu di antaranya akan meninggal karena hamil atau melahirkan. Hii..serem dong ya? Sangat!
Berapapun jumlah ibu yang meninggal, tidak bisa diampuni. Coz, kalo ibunya meninggal, siapa yang mau nyusuin bayinya?
Dari semua kehamilan yang terjadi, separuhnya tidak direncanakan. Sang ibu ternyata tidak berencana hamil, dan kehamilannya itu tidak disengaja. Macam-macam lho alasan ibu tidak mau hamil:
1. Karena merasa sudah cukup punya anak. Misalnya, dua anak udah cukup bikin rumahnya berisik.
2. Karena ibu kepingin punya kegiatan lain selain ngurus anak. Misalnya bungee jumping, sekolah S2, atau menggembala kambing.
3. Karena ibu belum punya duit buat nyuapin anak. Misalnya karena suami masih kerja serabutan, baru bisa numpang Pondok Mertua Indah, dan belum bisa nyicil apartemen sendiri.
4. Ibu punya penyakit yang bisa jadi parah kalo sampai hamil. Misalnya darah tinggi, sakit ginjal, diabetes, pernah kecanduan ganja, dan lain-lain.
5. ... (Silakan isi sendiri).
Akibatnya ya banyak perempuan milih nggak mau hamil. Tapi ketika mereka telanjur hamil, mereka jadi bingung sendiri. Mau digugurin, dosa. Mau dilahirin, belum tentu juga orang tua sanggup ngurusinnya. Siapa yang mau beliin popok? Siapa yang mau nyekolahin? Belum lagi kalo ibu jadi sakit-sakitan waktu hamil. Kematian ibu banyak terjadi pada ibu yang hamil terlalu muda (di bawah 20 tahun), terlalu tua (di atas 35 tahun), terlalu banyak beranak (lebih dari 4 anak). Kondisi-kondisi inilah yang justru paling banyak tidak kepingin anak, dan malah mengalami KTD.
Jadi, gimana caranya supaya yang lagi nggak mau hamil jadi nggak perlu hamil. Kuncinya adalah keluarga berencana (KB), alias Planned Parenthood (bukan Family Planning lho yaa..). KB ini bukan sekedar ngurusin alat kontrasepsi lho, tapi intinya adalah nolongin para manusia (bukan pasangan!) buat bikin strategi untuk beranak yang nyaman. Ini menyangkut rencana mau punya anak berapa, mau hamil pada usia berapa, mau pake cara KB apa, dan kapan mau berhenti ber-KB.
Tanpa memuji pemerintah yang cuman sudi menanggung dua anak aja dari para pegawai negeri sipilnya, gw setuju bahwa seyogyanya satu pasang suami-istri cukup punya dua anak aja. Alasannya praktis, kalo waktunya anak bagi rapot, nyokap bisa ambil rapot si sulung, bokap bisa ambil rapot si bungsu. Orang tua bisa nanya kepada guru masing-masing kenapa anak mereka dapet nilai merah untuk pelajaran menggambar, dan bisa konsul untuk nentuin apakah anak mereka lebih baik jadi pengacara ketimbang jadi astronot.
Lalu, kalo bisa jangan hamil ketuaan, atau justru malah hamil pada saat masih ABG. Umur segitu, kasarnya sih, bisa bikin janinnya kelainan. Janin yang nggak tahan punya kelainan, akan keguguran. Kalo dia bertahan, waktu lahir malah jadi anak yang cacat. Ibunya sendiri bermasalah, karena pada umur segitu, rahimnya nggak cukup kuat buat nanggung bayi. Maka kehamilannya pun sulit, mulai dari darah tinggi sampai perdarahan berlebihan.
Nggak setiap alat KB cocok untuk semua orang. Pil KB harus diminum tiap hari, dan kalo sekali lupa minum, bisa repot. Suntikan cukup 1-3 bulan sekali, tapi nggak asik buat yang darah tinggi. IUD cukup nyaman, sekali pasang, kontrolnya 5 tahun sekali. Tapi benang IUD yang kepanjangan, bikin sakit para suami. Paling praktis, ibunya ya disteril aja.
Dan jangan ibunya aja yang disuruh KB. Bapak-bapak juga mesti repot, mau pake kondom atau malah divasektomi. Kalo nggak mau pake alat, ya kudu rela senggama terputus. Boleh nowel, tapi nggak boleh invasi. Duh, apa enaknya?! Memang, semua pilihan ada kelemahannya. Tapi semua efek samping yang timbul, masih jauh lebih enak daripada munculnya KTD.
Sampai kapan ber-KB? Yaa sampai ibu menopause. Atau, sampai ibu siap punya anak lagi.
Kita yang belum menikah juga mesti ber-KB lho. Bukan, bukan beli kondom! Tapi alat KB-nya satu: ..iman. Hahaha!
Hidupkan seks dengan indah dan sehat. Selamat ber-KB! Jangan sampai offspring nongol yaa..
Kolega gw dikalahkan Alanis.
*Alanis yang penyanyi itu?*
(Bukan, Alanis yang jualan martabak.
Ya iyalah, Alanis yang penyanyi. Emangnya ada Alanis yang mana lagi?!)
Kemaren, kolega gw nelfon. Dia kesulitan, lalu minta bantuan gw untuk proyek pimpinannya itu. Karena gw lagi tumben-tumbennya baik hati, ya gw sanggupin aja. Itung-itung, gw bisa dapet penghasilan tambahan. Lumayan, buat beli tiket pesawat. Tapi belum cukup buat beli pesawat.
Nah, setelah pembicaraan singkat padat itu, kolega gw menutup telfon. Klik. Gw terhenyak.
Kok dia nggak bilang terima kasih, sih?
Memang, umurnya kira-kira udah 40-an. Tapi umur segitu belum termasuk faktor resiko buat ngidap penyakit dementia kronis alias pikun.
Lalu gw pikir, dia begitu terpesona sama suara gw yang lembut dan hangat sampai-sampai dia lupa bilang terima kasih. Tapi saat ini gw lagi nggak narsis.
Mungkin dia lupa bilang terima kasih karena ada setumpuk pekerjaan lain yang harus dia lakukan. Misalnya motong sayur, mandiin kucing, menggembala kambing. Tapi seingat gw, kolega gw itu dokter, punya istri, dan nggak punya piaraan binatang. Ah, pokoknya harusnya dia ingat buat bilang terima kasih!
Memang, apa yang ditawarkannya kepada gw itu nggak gratis. Pekerjaannya berat. Bayangin, gw mesti jadi pemeran pengganti sekaligus satpam. Nggak heran, gw minta macem-macem selain gaji. Gw minta makan ditanggung, dan diantar-jemput ke tempat lokasi. Satpam mana coba yang permintaannya semanja gw? Tapi itu masih untung. Gw masih tau diri, nggak kayak Mariah Carey, yang minta kamar tidur hotelnya dihiasin 100 kuntum mawar merah. Gw tau, ngga ada orang jual mawar di Pulang Pisau. Gw juga nggak kayak jin, yang buat melakukan tugasnya minta dibayar pake darah perawan. Gw kan bukan lesbian, nggak mungkin minta darah perawan. Masa' mintanya darah perjaka?
Tapi dengan segala permintaan compliment gw itu, mestinya kolega gw tetap bilang terima kasih.
Apa sih susahnya bilang terima kasih? Cuman dua kata, nggak berat buat diucapin. Alanis Morrissette aja ampe bela-belain telanjang di stasiun kereta api demi nyanyiin lagu terima kasih. Masih ingat lagunya? "Thank you India, thank you terror, thank you disillusionment.. Thank you poverty, thank you consequence, thank you, thank you silence.."
Alanis nggak pernah sekolah tinggi, tapi tau caranya bilang terima kasih. Kolega gw udah lulus sekolah master dari luar negeri, tapi nggak ingat bilang terima kasih.
Jangan ragu-ragu bilang terima kasih, kapanpun, kepada siapapun, untuk sekecil apapun.
Pasienmu memang dikasih obat sama kamu, tapi jangan lupa bilang terima kasih. Coz dari sekian banyak dokter, dia memilih memercayai kamu.
Kamu masuk menara apartemen dan dibukain pintu sama sang concierge, jangan lupa bilang terima kasih. Coz mestinya dia enak-enak duduk di posnya sambil nonton bola di tv yang ditaro di sebelah monitor CCTV, tapi dia malah bukain kamu pintu seolah-olah kamu nggak punya tangan buat buka sendiri.
Kamu dianterin tukang ojek, jangan lupa bilang terima kasih. Masih untung dia nggak jungkalin kamu dari motornya di tengah jalan.
Maaf, gw pake contohnya tukang ojek, yang mungkin nggak relevan buat kalian. Lha nggak mungkin gw pake supir pesawat sebagai contoh, orang gw nggak pernah bilang terima kasih sama pilotnya. Gw nggak bisa bedain yang mana pilot, yang mana pramugara. Abis dua-duanya tegap-tegap dan ganteng-ganteng..:$ Wuih, apalagi kalo yang jadi pilotnya Tom Cruise, Val Kilmer, atau Anthony Edwards di Top Gun, aih..maulah gw dikawinin sama mereka! (Dasar, hasrat jadi istri pilot nggak kesampaian..)
Teman-teman, makasih udah dateng ke blog gw..:)
Gw kadang-kadang bingung, gw ini kerja untuk klinik atau mesjid. Soalnya, pasien-pasien yang datang ke gw, selalu buka sendal. Entah apakah karena satpam kantor gw yang ngepelnya nampak bersih. Atau pasien-pasien gw orangnya sopan-sopan, jadi dianggapnya pergi ke dokter sama kayak main tamu-tamuan, mesti copot sendal kalo mau masuk. Atau mereka biasa ke mesjid, jadi biasa nyopot sendal.
Nah, pasien gw biasanya gw ladeni, lalu seperti biasa sesudah selesai berobat, mereka gw tagihin bayaran. Biasanya mereka keluarin beberapa lembar duit dari kantong mereka; duit yang kadang-kadang udah lecek lantaran dijejalin begitu aja ke saku celana. Gw heran, kenapa mereka ngga memanfaatkan teknologi bernama dompet.
Lalu gw menyadari bahwa mereka mungkin NGGAK PUNYA dompet.
Jangan tanya gw bagaimana orang bisa punya duit tapi nggak punya dompet.
Kalian pasti punya dompet, kan? Apa yang biasanya menuh-menuhin dompet kalian?
Belum tentu jawabnya duit. Temen gw ada yang cuman bawa duit dikit. Dompetnya penuh sama kartu kredit; ada Visa, MasterCard, DinersClub, dan entah apa lagi. Gw suka becandain dia, "Pasti lu banyak utangnya ya?"
Adek sepupu gw yang baru ABG, jarang bawa duit. Dompetnya penuh sama foto-foto mungil hasil perburuannya di photobox. Hampir semua photobox di sekitar Ciputat pernah dia satronin.
Gw juga jarang bawa duit banyak. Dompet gw penuh sama kartu, mulai dari KTP, SIM, kartu IDI, sampai kartu anggota taman bacaan, pertanda gw orang yang sangat waspada bencana.
Apa gunanya kartu IDI? Kalo gw lagi dugem, siapa tau polisi dateng dan maksa gw tes urin, gw tinggal bilang gw dokter sambil acungin kartu asosiasi gw itu (emang itu bisa mencegah lu ditangkep polisi, Vic?:-o).
Apa gunanya SIM? Kalo gw lagi naik bis, truz ada orang stres nembakin supir bisnya hingga supirnya nggak bisa nyetir, maka gw bisa gantiin nyetir bisnya dengan legal, bak Sandra Bullock di film Speed (Vic, lu nggak bisa pake SIM A lu buat nyetir bis!).
Lalu apa gunanya kartu anggota taman bacaan? Ah, sudahlah..
Nah, dengan dalil-dalil ngawur gw di atas, terbukti kan, bahwa dompet nggak selalu harus berisi duit?
Karena itu, banyak banget program kesehatan gratis yang gagal diakses masyarakat miskin. Contohnya aja, banyak banget yang nggak tau bahwa berobat ke Puskesmas itu gratis. Rakyat yang dengar kata gratis, pasti langsung berduyun-duyun ke Puskesmas. Tapi kalo mereka nggak bisa nunjukin KTP yang membuktikan bahwa mereka adalah warga kecamatan yang diwenangi Puskesmas itu, tetap aja ujung-ujungnya mesti bayar.
Rakyat yang nggak bisa nunjukin KTP-nya, otomatis dipulangin lagi kalo masih kepingin gratis. Kebanyakan mereka males balik lagi ke rumah, jadi mereka lebih suka bayar aja ke Puskesmasnya. Memang kalo bayar, cukup 2500-an doang.
Selanjutnya, apakah mereka jadi bawa KTP kalo mau berobat lagi? Belum tentu juga. Kadang-kadang mereka tetap berobat cuman berbekal duit di sakunya, tanpa repot-repot mikirin bawa dompet, apalagi KTP. Dipikirnya pergi ke dokter sama dengan pergi ke warung. Nggak heran pasien gw nyopot sendalnya waktu masuk kantor gw. Soalnya orang-orang juga nyopot sendalnya kalo masuk ke warung-warung kelontong di sini.
Pemerintah sudah melaksanakan sebagian komitmennya untuk menjamin kesehatan warganegaranya yang tidak mampu. Tapi mental rakyat memang kadang-kadang suka males mematuhi aturan sepele yang berlaku. Masalahnya, KTP bukanlah barang yang jadi kebiasaan rutin di kalangan mereka. Padahal apa ruginya sih, kalo selalu bawa KTP saban kali keluar rumah?
*Rugi, Vic! Kalo KTP ilang, nggak bisa kawin, nggak bisa daftar nyoblos pemilu.. Makanya, KTP harus selalu disimpan rapat-rapat di laci lemari di rumah..*
Mau nggak kamu diobatin dokter yang mutunya cuman setengah-setengah? Jangan ketawa ya, coz ini nggak mustahil lho terjadi..
Gw mau punya adek baru. Bukan, bukan berarti nyokap gw hamil lagi (tolonglah, adek gw cuman satu itu aja udah cukup merepotkan, nggak perlulah ada bayi lain lagi di rumah!). Tapi maksud gw, gw mau punya kolega-kolega baru dari fakultas kedokteran yang mau dibangun bentar lagi di Universitas Palangka Raya, yang biasa disingkat Unpar itu (ternyata nggak cuman Bandung aja yang punya Unpar alias Universitas Parahyangan itu).
Bahkan gw aja terheran-heran. Soalnya, jangankan buat ngajarin mahasiswa, untuk ngelayanin kesehatan rakyat aja Kalimantan masih kewalahan. Contohnya aja, setau gw, sampai sekarang Kalimantan Tengah belum punya spesialis anestesi. Operasi yang dilakukan di sini, ternyata cuman dipimpin oleh dokter bedah dan dibius oleh perawat anestesi, yang sebenarnya nggak kompeten buat menentukan obat-obat anestesi. Ngga ada spesialis urologi, jadi ngga ada yang cukup kompeten buat mecahin batu ginjal, padahal ginjal para penduduk Kalimantan Tengah itu pada ngga beres lantaran mereka minum dari air sungai yang penuh kalsium. Nah, kalo ngeladenin publik yang sakit aja belum memenuhi standar, kok berani pula bikin sekolah kedokteran?
Tapi gitu deh, gelisah para praktisi medis pun tinggallah gelisah. Kalimantan Tengah maju terus mencanangkan impiannya punya sekolah kedokteran sendiri, biarpun masih terengah-engah bak pelari kurang minuman isotonik. Nggak cukup dokter lokal yang disuruh ngajari 40 mahasiswa angkatan percobaannya nanti, Unpar pun sepakat mau ngimpor dokter-dokter dari Universitas Indonesia untuk sudi ngajar di Palangka. Gw rasa tinggal dosen-dosen yang bersangkutan itu yang mesem-mesem girang. Kapan lagi sih bisa jalan-jalan ke Cali gratis? Dan karena gw tau betul perangainya orang-orang Jakarta yang nggak akan betah tinggal lama-lama di kota kecil yang doyan mati lampu ini, gw bisa nebak seberapa seringnya para dokter impor ini bakalan kabur ke rumah mereka di Jakarta di saban akhir pekan. Maka siapa yang pada akhirnya diuntungkan paling banyak dengan dokter impor dari Jakarta ini? Tepat: perusahaan maskapai penerbangan.
Seolah belum cukup, Kalimantan Tengah berusaha keras merayu para dokter PTT-nya untuk jadi PNS lokal. Hadiahnya cukup menggiurkan: beasiswa gratis sekolah spesialisasi. Konsekuensinya, para dokter mahasiswa bayaran ini mesti sudi bekerja di Kalimantan Tengah begitu lulus nanti.
Kenapa Kalimantan Tengah begitu bernafsu merekrut banyak sekali dokter? Bukan rahasia lagi, sebagian besar dokter di sini adalah perantauan dari Jawa yang asal-muasalnya ditugasin Inpres buat nolong Cali yang tertinggal. Dokter-dokter perantauan ini, kalo ngga jadi menantu penduduk lokal, rata-rata langsung minggat begitu masa kerjanya selesai. Jadi semangatnya bekerja untuk Cali hanyalah semata-mata karena alasan profesional, bukan karena alasan betah. Lha gimana mau betah? Gw aja contohnya, waktu nulis blog ini, udah tiga kali dapet mati lampu. Dan ini bukan pemadaman listrik bergilir. Belum lagi ngomongin pasien-pasien yang selalu datang ke dokter dengan penyakit yang udah dalam keadaan stadium susah ditolong. Saban kali ditanya, kenapa baru datang sekarang? Jawabnya, rumahnya jauh, jalannya rusak.
Nggak heran, praktis Cali bergantung secara psikologis kepada dokter-dokter putra daerah asli yang beretnis Dayak dan Banjar, yang sayangnya jumlahnya masih dikit. Jadi wajar juga kalo Kalimantan Tengah kepingin punya fakultas kedokteran sendiri. Supaya anak-anaknya yang kepingin jadi dokter ngga perlu jauh-jauh sekolah ke Banjarmasin, dan pada akhirnya mereka bisa dipake buat membangun daerah mereka sendiri.
Tapi balik lagi ke masalah mutu pendidikan. Mudah-mudahan aja para pembina sekolah kedokteran Unpar betul-betul perhatiin kesejahteraan dosen-dosennya, baik dosen lokal maupun dosen impornya. Nggak asik aja kalo mereka niru-niru kelakuan kampus-kampus swasta di Jawa Barat, yang ambisius doang bikin sekolah kedokteran, tapi nggak sanggup bayar dosen-dosennya dengan layak. Pantas aja banyak dosen kedokteran swasta yang minggat dan ninggalin mahasiswanya yang melongo.
Karena, tanpa persiapan dosen yang memadai, sama aja kayak bikin kampus kualitas nomer dua. Ibaratnya, ya sama aja kayak bikin arena kuliah di gang, padahal mestinya di jalan raya. Lagian, memangnya gampang ngajarin orang jadi dokter? Nanti kalo ngajarnya cuman setengah-setengah, ya mahasiswanya juga cuman dapet ilmunya ya setengah-setengah. Kalo lulus kelak ya cuman jadi dokter setengah-setengah. Nanti ngobatin pasiennya juga cuman setengah-setengah. Sembuhnya pasien juga setengah-setengah. Waduh!
Ngeyel adalah ngeyel. Tidak percaya itu lumrah. Pasien suka nggak percaya dokter, biarpun katanya kami bisa nolongin orang sakit. Seperti halnya keluarga pasien gw yang nggak percaya waktu gw bilangin pasiennya punya darah tinggi. "Masa' sih Dok?" tukasnya. "Kan cuma 150?"....
Gw tersenyum geli. *CUMA katamu?!*
Gw bisa ngerti kenapa orang awam itu ngga percaya gw. Pasiennya baik-baik aja kok, masih bisa jalan, masih bisa dagang, ngga keliatan sakit apa-apa. Kalo tekanannya udah 200, naah..itu baru darah tinggi. Gitu menurut nalarnya yang awam itu.
Apa yang akan kamu lakukan kalo ada di posisi gw? Alternatifnya bisa begini:
1. "Bapak ngga percaya ya? Nih alat tensimeternya, ukur aja sendiri!" sambil nyodorin spigmo dan stetoskop sekalian.
2. Dengan gusar berkata, "Sampeyan kalo ngga percaya ya sudah! Ngapain tanya-tanya saya? Tanya aja sama orang lain!"
3. Menatapnya dengan a la If-Looks-Could-Kill, dan berkata dengan tenang, "Yang dokternya siapa di sini? Saya atau situ?"
Gw nggak melakukan ketiganya. Gw nggak mau pinjemin dia stetoskop gw, coz takut kuping dia congekan. Gw nggak nyuruh dia cari dokter lain, coz itu bukan ide bagus untuk menyuburkan rejeki gw. Dan tatapan gw nggak membunuh; sebaliknya, tatapan gw sangat lembut dan provokatif. *kena timpuk*
Maka, gw tinggalin bentar tuh pasien, lalu gw masuk kamar. Keluar lagi, bawa buku STANDAR PELAYANAN ILMU PENYAKIT DALAM. Di depan idung sang keluarga tukang ngeyel, gw bukain bab Hipertensi.
"Gini lho Pak. Bapak liat kan yang ditulis di dalam sini? Tekanan yang normal itu, tekanan atasnya harus di bawah 120, dan tekanan bawahnya harus di bawah 90. Kalau sudah di atas 140, seperti yang ditulis di sini, namanya hipertensi. Alias darah tinggi. Tekanan 140 aja udah DARAH TINGGI, apalagi 150..?" gw berusaha supaya nada gw seperti sedang menerangkan kepada anak TK bahwa 1 + 1 = 2, bukan 11.
Sang keluarga tak berkutik. Dia kan guru SD, ya mana mau melawan buku? Lalu kata pasien gw, yang hanya seorang pedagang pasar itu, "Kalau sudah bawa buku kedokteran, pastilah benar yang dibilang Dokter."
Akhirnya sang keluarga pun mengeluh, "Kenapa dokter-dokter yang dulu praktek di sini ngga bilang kalau darahnya sudah tinggi? Kenapa baru sekarang kita diberi tahu yang begini? Kan kita jadi tambah wawasan.." nadanya lega, seperti sudah lama meraba dalam gelap dan baru sekarang lihat cahaya.
Saat itu gw baru ngeh, betapa info sepele dari gw itu berharga banget buat mereka. Mungkin benar, orang ngeyel karena nggak ngerti, nggak ngerti karena awam, awam karena nggak tau, nggak tau karena sulit dikasih tau, sulit dikasih tau karena sulit percaya, sulit percaya karena nggak liat bukti yang meyakinkan. Dan bukti itu adalah sebuah buku.
Pasien tentu nggak harus baca buku kedokteran supaya ngerti apa yang terjadi pada badan mereka. Tapi kita para dokter yang mesti belajar meyakinkan orang atas ilmu kita. Masalahnya, ilmu meyakinkan orang itu nggak termasuk kurikulum di kuliah kedokteran. Itu cuman kurikulum kuliah hukum.
Perhatian! Tips di atas jangan dipake di sembarang tempat. Tidak berlaku untuk pasien kecelakaan, pasien operasi dengan bius total, atau pasien otopsi. Masa' kita mau bawa buku untuk meyakinkan pasien-pasien kayak gitu?