Monday, August 24, 2009

Pengakuan Hati yang Remuk


Gw menatap tumpukan koper di apartemen gw. Di dalam kepala gw, berdendang lagu Roxann-nya David Foster, "So it's down to this.. Your bags are packed, you're at the door.."

Sebentar lagi gw mau cabut dari Pulang Pisau. Gw akan ke Palangka, menghadiri pelepasan dokter PTT di sana, dan setelah itu gw akan bebas sebagai dokter merdeka.

Gw akan ambil pesawat, lalu pulang ke Bandung. Tak ada lagi kerja di Cali. Selamat tinggal, pelosok nan terisolir. Halo, peradaban nan intelek.

Dan untuk pertama kalinya, gw melempar pertanyaan keramat itu pada diri gw sendiri, kok mau-maunya lu jadi dokter PTT, Vic? Meninggalkan hedonisme kesayanganmu dan milih bertapa di tempat yang jauh dari mana-mana?

Gw mencoba ngumpulin puluhan alasan yang berserakan di kepala gw. Butuh pekerjaan dengan gaji yang terstruktur. Butuh pengakuan sebagai dokter yang pernah nanganin orang susah. Pengen jalan-jalan. Sampai terpikir juga alasan yang paling bikin gw empet itu, I wanted to get over him.

Tadinya, gw pikir, kesulitan utama gw jadi PTT adalah sengsara karena berada di daerah yang susah makan enak, kurang air bersih, dan doyan mati lampu. Tapi ternyata, kesulitan utama gw adalah nggak sabaran menghadapi pola pikir masyarakat lokal.

Kenapa Pulang Pisau? Kalo buat PTT gw bisa pilih daerah lain di Indonesia. Gw bisa aja ke Manggarai Barat, Halmahera Selatan, atau Wakatobi. Tapi gw malah pilih Pulang Pisau.

Gw lahir di sini. Bokap gw pernah ditugasin di sini, jadi nyokap gw terpaksa ngelahirin di sini. Gw nggak pernah liat tanah kelahiran gw, coz pas umur gw 1 tahun gw udah keburu pindah ke Surabaya dan gw nggak pernah balik ke Pulang Pisau lagi.

Tahun lalu pendaftaran dokter PTT dibuka dan gw bisa milih daerah penugasan mana pun yang gw mau. Inilah kesempatan emas gw buat liat Pulang Pisau dan berbuat sedikit untuk menolong tanah kelahiran gw.

Dan sekarang, setelah gw setahun kerja di sini, gw mengakui gw dapet apapun yang gw inginkan dulu. Penghasilan, gengsi, wawasan baru. Kesepian telah memaksa gw buat temenan dan nyantol sama orang-orang baru, sehingga gw berhasil lupa bahwa pas gw dateng ke sini dulu, gw lagi patah hati.

Tapi hati gw juga remuk. Coz gw kecewa, gw belum bisa perbaikin cara mikir pasien-pasien gw bahwa mencegah itu lebih baik daripada mengobati. Gw masih nolak nyuntik dengan pura-pura bilang obat suntiknya abis, padahal mestinya gw bilang suntikan itu nggak akan menyembuhkan apapun. Mental penduduk yang mikirnya pendek jadi penghalang buat dokter-dokter yang idealis kayak gw. Dan belum lagi kondisi dinas lokal yang susah buat diajak maju.

Tapi setahun udah cukup buat gw. Coz mau dikasih lima tahun pun dokter di sini, tetap nggak ada peningkatan kualitas hidup rakyat selama bau nepotisme masih kental dalam pembangunan di Pulang Pisau.

Kemaren sore, gw nongkrong di depan gedung DPRD Pulang Pisau. Gedung yang cukup bagus, dicat indah dengan ukiran-ukiran khas Dayak. Gw membatin, bangunan ginian kalo di Bandung Utara pasti udah dibeli dan dijadiin rumah tinggal. Ironisnya, persis di sebelah gedung itu berdiri rumah petak di mana pemiliknya buka warung kecil. Gw mikir, begitu banyak orang senang jadi pejabat tapi lupa melirik tetangganya yang melarat. Padahal tetangganya yang melarat itu yang bayar pajak buat bayarin gajinya pejabat.

Persis di depan gedung itu, ada lapangan kecil buat ngecengin sungai. Gw nongkrong di situ kemaren sambil motretin langit yang merona merah dimakan senja. Sebuah klotok melintas pelan di sungai, dan gw motret diri gw sendiri dengan latar klotok itu.

Di pinggiran sungai ini, gw dilahirkan. Sungai ini, yang sering diliat Little Laurent yang masih bayi kalo ngintip dari jendela dapurnya. Kadang-kadang nyokap gw ngegendong gw ke belakang rumah, cuma buat ngeliatin perahu yang lewat.

*Tahukah kenapa kita menyukai perahu, Vicky? Karena waktu itu nggak ada mobil. Perahu satu-satunya alat transportasi yang bisa membawa kita pergi dari sini, keluar dari pelosok ini, menuju tempat di mana kita bisa mencium peradaban dan wawasan hidup yang lebih baik. Catat, Vicky: Wawasan!*

Yang paling berharga di hidup kita bukanlah harta, cinta, atau tahta; tapi yang berharga adalah mental untuk mencapai hidup yang lebih baik, supaya jadi manusia yang diberkati di dunia dan akhirat. Itulah sebabnya kenapa ada rakyat yang bisa maju, dan ada rakyat yang tetap jalan di tempat.

Sudah 27 tahun semenjak gw dilahirkan di tempat ini, tapi gw nggak pernah bosan liat sungai. Saya mencintaimu, Sungai Kahayan. Makasih udah kasih saya minum waktu saya bayi dulu.

Pulang Pisau, gw emang cuma turis dengan visa kerja yang numpang lahir di sini.

Gw siap cabut sekarang, menggeret koper gw naik ke travel. Sementara di kepala gw, lagu Roxann pun udah gw ganti pake nama gw sendiri.
"Laurent, don't go,
Can't we try and work it out?
Isn't that what love's about?
Laurent, I know that I'll be a broken man if you just turn me away,
Baby, won't you stay?"

Tidak, I don't wanna stay.