Saturday, October 30, 2010

"Pindah"? Pindah Kepalamu!

Seorang pejabat parlemen beberapa hari lalu bikin geger dunia maya gara-gara pernyataannya yang bilang, "Mentawai kan jauh. Itu konsekuensi kita tinggal di pulaulah." Katanya kemudian, "Siapa pun yang takut kena ombak jangan tinggal di pinggir pantai. Sekarang kalau tinggal di Mentawai ada peringatan dini dua jam sebelumnya, sempat nggak meninggalkan pulau?" "Kalau tahu berisiko pindah sajalah.. Kalau rentan dengan tsunami dicarikanlah tempat. Banyak kok di daratan."

Sewaktu saya baca berita itu, saya nggak bisa nggak tertegun. Sedikit banyak dari sudut pandang logika, mungkin dos-q benar. Tapi dari sudut pandang orang Mentawai sendiri, apakah itu logis untuk dilakukan? Gimana dengan segi psikologis orang Mentawai yang sudah bertahun-tahun tinggal di sana? Apakah psikologis tidak bisa disebut logis? Waduh, kalau sampek beneran, bisa-bisa temen-temen saya yang psikolog bakalan ngamuk berat.

Kemaren saya nonton berita di tivi, tentang gimana ngungsiin orang-orang Umbulharjo itu setengah mati susahnya lantaran mereka nggak mau turun biarpun Merapi sudah kepul-kepul. Ternyata semenjak tahun 2004, artinya sudah enam tahun ini, sudah ada wacana supaya penduduk tuh jangan diijinkan tinggal di sekitar gunung Merapi dan mendingan para penduduk itu direlokasikan aja. Penduduk ternyata rada sensi kalau dengar kata “relokasi”, coz itu berarti memaksa mereka untuk meninggalkan desa yang sudah mereka huni semenjak mereka semua masih kecil. Di desa yang mereka dipaksa untuk tinggalkan itulah, mereka menjalani seluruh kehidupan mereka; ya sekolah, ya berladang, ya beternak sapi, ya gangguin anak gadis Pak Kades, ya beranak, ya semuanya.

Di sini kita melihat bahwa kadang-kadang niat pemerintah untuk memindahkan penduduk dari daerah rawan bencana itu tidak selalu berhasil, meskipun kita tahu pasti bahwa niat pemerintah itu kan baek. Siapa sih yang tega lihat anak-anaknya setiap saat bisa terancam disamber tsunami atau gunung meletus?

Saya mendadak inget diri saya sendiri. Saya tinggal di Bandung sebelah utara. Gunung Tangkuban Perahu sebenarnya letaknya cuman beberapa kilometer dari rumah saya. Memang sudah berabad-abad lamanya gunung itu nggak meletus, tapi tidak ada satu pun saya pernah dengar jaminan bahwa gunung itu sudah mati.

Saya merenung. Kira-kira kalau saya disuruh pergi dari tempat ini, misalnya karena takut Gunung Tangkuban Perahu aktif lagi, saya mau, nggak? Toh keluarga saya tidak seperti penduduk Mentawai atau Merapi, kami kan nggak lahir di Bandung, bahkan kami baru tinggal di Bandung selama 23 tahun. Kami ini berdarah Jawa Timur, jadi kami bisa pergi dari tempat ini kapan saja.

Jadi saya tanya sama nyokap saya yang lagi njahit sambil nonton tivi, “Mom, kalau Mom direlokasi dari rumah ini, mau nggak, Mom?”

Nyokap saya terdiam. Lalu melanjutkan jahitannya. Katanya, nyokap dan bokap saya udah pasang investasi di Bandung selama bertahun-tahun, sayang kalau ditinggal. Itu alas an kedua. Alasan pertamanya? Mom punya ikatan emosional dengan tempat ini selama 23 tahun.

Ganti saya terdiam. Kedengarannya nggak logis memang, tapi mungkin kami akan sedih banget kalau disuruh pergi, meskipun dengan alas an kota kami nggak aman dari ancaman gunung meletus. Bayangkan, di kota ini, saya tumbuh. Saya belajar, terseok-seok menghadapi menstruasi pertama, mabuk dan jatuh cinta, stress tiap ulangan sekolah, nangis menjelang skripsi, mendapatkan pekerjaan pertama, dan entah apa lagi. Bokap saya memulai prakteknya di kota ini, mulai dengan pasien yang cuman do-re-mi sampek akhirnya pulang telat setiap malam lantaran pasiennya membludak. Nyokap saya gonta-ganti teman-temannya sesama ibu-ibu, dari kelompok satu ke kelompok yang lain, yang mengajarinya tentang segala hal, termasuk mana sekolah terbaik buat anak-anak dan mana tempat paling murah buat nyari kain sutra yang bagus.

Saya rasa apa yang dirasakan oleh keluarga kami terhadap Bandung, juga dirasakan oleh keluarga-keluarga di Mentawai dan Merapi. Betapapun tempat-tempat mereka rawan gempa vulkanik dan tsunami, tetap aja susah banget bagi mereka untuk pergi dari lahan yang sudah membesarkan mereka selama bertahun-tahun. Kalau Anda disuruh merelokasi mereka, dan Anda mengerti posisi psikologis mereka terhadap tempat itu, tegakah Anda?

Mungkin perlu pendekatan psikologis yang baik buat menghindarkan tiap orang dari marabahaya. Tapi yang jelas, bukan dengan nyuruh orang pindah tempat tinggal seenaknya, seperti orang mindahin sapi ke daratan yang masih kosong.

Fotonya diambil dari sini