Thursday, October 2, 2014

Delegasi Bernama Pembantu

Pembantu rumah tangga saat ini adalah tenaga kerja yang sulit dipisahkan dari keluarga-keluarga di perkotaan. Persoalan jadi pelik bagi sebagian keluarga ketika pembantu mereka pulang dan mereka sulit mencari pembantu pengganti.

Orang-orang yang sering ngobrol sama saya umumnya seumuran dengan saya. Mereka pasangan suami-istri yang mungkin baru punya anak kecil-kecil. Umumnya baru belajar punya rumah sendiri. Suami dan istri sama-sama kerja demi tuntutan ekonomi. Salah satu kesulitan yang sering mereka alami adalah sulit mengurus kerjaan rumah tangga tanpa pembantu. Penyebab paling sering dari kesulitan ini adalah karena mereka tidak punya cukup waktu untuk sekedar nyapu rumah mereka yang cuman seuprit itu.

Beberapa ibu rumah tangga kadang-kadang mencibir sinis kepada ibu-ibu kantoran karena ibu-ibu kantoran umumnya tergantung kepada pembantu. Ibu rumah tangga sering kali merasa lebih keren karena mereka bisa ngepel, masak, setrika, bahkan manjat genteng, sendiri, tanpa harus suruh-suruh orang lain (baca: pembantu). Sepertinya ada gengsi sendiri di kalangan wanita jika semua-semua bisa dikerjakan sendiri.

Saya, penganut setia azas do-it-yourself, selalu salut kepada ibu-ibu macam begini setinggi-tingginya. Tapi itu dulu.



Sampai kemudian saya ketemu ibu-ibu jenis lain. Kelompok yang ini umumnya sudah tua, minimal 60 tahun gitu deh. Mereka tinggal di rumah yang sudah mereka diamin sejak lama. Kadang-kadang anak-anak mereka masih bersama mereka, kadang-kadang mereka cuman hidup bareng suami aja karena anak-anak mereka sudah tinggal sendiri. Ciri khas dari jenis yang saya maksud ini adalah nggak punya pembantu. Dan keluhan utama mereka adalah mereka terlalu capek untuk mengurus rumah mereka sendirian. Padahal mereka memang nggak pernah punya pembantu karena sewaktu jadi ibu muda dulu, bisa ngurus rumah sendiri.

Kita mungkin akan gampang berdalih, sok-sok kasih bermacam-macam saran untuk para manula ini. Kalau udah tua, rumahnya nggak usah besar-besar, pindah aja ke rumah yang lebih kecil. Anak-anak harusnya tau diri, berbakti dengan cara bantu orang tua ngurus rumahnya orang tua. Minta tetangga carikan pembantu. Dan lain sebagainya. Seolah-olah kita mengkambinghitamkan problem ukuran rumah, anak yang durhaka, dan keterbatasan tenaga kerja.

Kita sering lupa bahwa kadang-kadang di lapangan rumah tangga, ternyata akar masalahnya bukan sesimpel itu. Manusia makin tua, akan makin sulit mengkordinasi pikirannya. Termasuk sulit mengatur waktu, salah satunya sulit mengatur waktu untuk ngurus rumahnya. Tanda sederhana bisa dilihat dari kesulitan mengurus kamar tidurnya sendiri. Coba ingat-ingat, pernah nggak Anda ngintip ke kamar Bude/Pakde Anda dan Anda melihat bahwa di atas lemari pakaiannya ternyata banyak tumpukan barang yang nggak terpakai?

Pernahkah Anda sebal kepada pasangan Anda karena menurut Anda pasangan itu terlalu jorok gegara dia sering taruh baju kotor atau handuk basah sembarangan? Sebetulnya mungkin dia tidak jorok, dia hanya sudah merasa cukup dengan kadar kebersihan yang ada. Dan kebetulan kadar kebersihan sang pasangan itu tidak setinggi kadar kebersihan Anda. Ini yang terjadi pada ibu-ibu tua yang sering mengeluh rumah mereka kotor dan merasa keluarganya malas bersihkan rumah. Persoalannya bukan keluarganya malas, hanya mungkin suami atau anak-anak mereka sudah merasa cukup bersih dengan mengepel rumah satu kali sebulan. Ada seseorang yang terlalu perfeksionis di sini.

Dan siapa bilang cari pembantu itu susah? Di daerah-daerah pedesaan banyak banget sebetulnya orang-orang yang fisiknya masih kuat meskipun cuman untuk ngepel rumah. Tapi masalahnya mereka belum dapet agen pembantu rumah tangga untuk menyalurkan mereka ke majikan-majikan yang membutuhkan. Atau mungkin calon majikannya aja yang terlalu pelit untuk membayari mereka dengan gaji sebesar UMR.

Di sini kita bisa melihat bahwa kesulitan cari pembantu umumnya justru disebabkan majikannya sendiri nggak punya sifat "acting like a boss". Majikannya sulit ngatur rumah karena dia sendiri juga nggak tahu persisnya bagaimana mengurus rumah (dia cuma mau tahu beres doang). Majikannya nggak percayaan sama pembantunya bahwa pembantunya akan membersihkan sesuai dengan selera kebersihan majikannya. Dan majikannya medit alias nggak mau berkorban modal buat menggaji pembantu.

Seorang ibu rumah tangga hendaknya bisa jadi boss, dan syarat utamanya adalah dia harus bisa mendelegasikan pekerjaan. Artinya mendelegasikan adalah dia harus bisa mempercayai pembantunya yang digajinya. Untuk bisa mempercayai pembantu, ia harus bisa mengajari pembantunya mengatur pekerjaan. Maknanya, ia sendiri harus bisa mengatur pekerjaan itu dengan tangannya sendiri.

Kemampuan mendelegasikan pekerjaan ini tidak akan terasa jika ibu-ibu rumah tangga ini masih muda-belia, karena di fase ini, tanpa pembantu pun ia masih bisa mengerjakan semuanya sendirian. Tetapi kemampuan mendelegasikan pekerjaan ini baru akan terasa tatkala sang ibu rumah tangga sudah lanjut usia, badannya sudah rontok semua, dan satu-satunya jalan solusi yang bisa ia harapkan untuk mengurus rumah adalah dengan bantuan orang lain.

Karena suatu hari nanti, kemampuan manusia pasti akan menurun. Dan yang bisa kita lakukan hanya mempercayakan pekerjaan kepada orang lain.

Ibu-ibu, ini bukan masalah Anda bisa mengurus rumah dengan pembantu atau tidak. Masalahnya adalah, bisakah Anda mempercayai orang lain?
http://georgetterox.blogspot.com
http://laurentina.wordpress.com