Karena, sakit itu menguras dompet dan bikin kerjaan jadi keteteran. Memaksa tetap kerja padahal badan lagi sakit, bikin performa jadi lelet, dan buat kantor yang mempekerjakan sendiri pun jadi tidak asyik. Bagi penderitanya sendiri, sakit adalah momentum buat mengancam kesejahteraan. Risetnya perusahaan sumber daya manusia Towers Watson bilang bahwa sakit itu bikin bokek lantaran tempat berobatnya sering boros menyuruh pemeriksaan lab ini itu. Plus obat-obatannya yang harganya sering melilit pinggang. Mengharap asuransi kesehatan? Duh, preminya saja mahal nian. Belum lagi kalau pasiennya centil mampir-mampir berobat ke tempat-tempat alternatif yang tidak kompeten lantaran mengharap murah. Makin tinggilah biaya yang kudu keluar cuma karena sakit.
Sebenarnya permasalahannya tidak akan sebegitu peliknya kalau saja orang yang sakit itu ditolong biayanya oleh kantor tempat dia bekerja. Ya dong, kan orang bekerja banting tulang itu untuk kepentingan kantornya, maka produktivitas pegawai adalah sumber untuk profit kantornya juga. Tapi di Indonesia, tidak semua orang punya peluang untuk mendapat pekerjaan, sehingga tidak semua orang yang sakit bisa dibayari oleh kantornya. Bahkan yang sudah dapat pekerjaan pun belum tentu juga dapat asuransi kesehatan dari kantor. Karena kalau perusahaannya sendiri masih usaha kecil-kecilan, dan profit usaha belum besar-besar amat, mana sanggup pemiliknya membayari biaya semua karyawannya yang jatuh sakit?
Kalau ingin sakit yang tidak bikin miskin, baik pegawai maupun bossnya ya tentu kudu mencantumkan jaminan kesehatan dalam perencanaan keuangannya. Jaminan ini bisa datang dibayari oleh kantornya, bisa juga dari pegawainya sendiri punya asuransi kesehatan. Di masa kini asuransi bukan lagi barang mewah, karena makin banyak asuransi mikro dijual dengan premi yang harganya semurah pulsa telepon. Bahkan usaha CV kecil-kecilan pun bisa bikin asuransi untuk pegawai-pegawainya, meskipun mungkin jumlah anak buahnya cuma lima orang. Mudah?
Sebenarnya permasalahannya tidak akan sebegitu peliknya kalau saja orang yang sakit itu ditolong biayanya oleh kantor tempat dia bekerja. Ya dong, kan orang bekerja banting tulang itu untuk kepentingan kantornya, maka produktivitas pegawai adalah sumber untuk profit kantornya juga. Tapi di Indonesia, tidak semua orang punya peluang untuk mendapat pekerjaan, sehingga tidak semua orang yang sakit bisa dibayari oleh kantornya. Bahkan yang sudah dapat pekerjaan pun belum tentu juga dapat asuransi kesehatan dari kantor. Karena kalau perusahaannya sendiri masih usaha kecil-kecilan, dan profit usaha belum besar-besar amat, mana sanggup pemiliknya membayari biaya semua karyawannya yang jatuh sakit?
![]() |
Memiliki jaminan dana kesehatan merupakan bagian dari perencanaan keuangan. Gambar diambil dari sini |