Tuesday, February 22, 2011

Istrinya Teman

"Vicky, gw mau kawin," ucap seorang teman pada saya tahun lalu, dalam sebuah pesan yang dia kirimkan di Facebook.

Saya balas, "Hm? Lu mau kawin? Siapa cewek yang sial dapet lu itu, Lin?"

Colin, 28, bukan nama sebenarnya, temen saya itu, ngegaplok saya di Facebook. (Eh, gimana ya caranya ngegaplok di Facebook ya? Yang pasti bukan pakai "poke" :p) "Siyalan lu, Vic! Udah ah, pokoke dateng ya! Ntar gw kirimin undangannya ke rumah elu! Rumah elu masih di tempat yang dulu kan?"

Singkat cerita, memang bener Colin kirim undangannya ke rumah saya. Undangan cetak lho, bukan undangan basa-basi pakai SMS apalagi undangan massal via Facebook. Saya ketawa geli. Jujur aja, kalau Colin nggak pasang fotonya di Facebook, mungkin saya udah lupa tampangnya Colin. Lha terakhir kali saya ketemu Colin adalah 10 tahun lalu, bo'..

Oiya, nyokapnya Colin sampek bela-belain nelfon nyokap saya demi minta nyokap saya dateng. Sudahkah saya ceritakan bahwa saya dan Colin sudah temenan semenjak SD? Nggak heran nyokap-nyokap kami sama-sama tahu kami berdua semenjak ingusan. (Eh, saya udah nggak ingusan lho waktu kecil..)

Jadi pergilah saya dan nyokap ke kondangannya itu, suatu malam di bulan Desember. Tamunya banyak sekali, dan pestanya super duper meriah. Tapi ketika saya dan nyokap naik ke podium buat nyalamin penganten, mempelai prianya kontan teriak, "VICKY!"

Saya nyengir, dan seketika saya ngulurin tangan, dan mendadak memeluk Colin lalu mencium kedua pipinya. Ya know, sungguh menyenangkan lihat teman kecil saya, yang terakhir kali ketemu saya 10 tahun lalu, dan sekarang mengundang saya ke pernikahannya, dan tetap mengenali saya biarpun tampang saya kan mestinya udah berubah dalam 10 tahun.

Lalu saya menyalami istrinya Colin yang baru itu. Sudah, saya turun dari pelaminan.

Baru seminggu kemudian, nyokap saya negor saya, "Koen waktu itu nyium Colin kan?"

"Uhh, yeah," mendadak saya agak malu. Sebentar lagi saya pasti akan ditegor karena nyium pria yang bukan sodara saya.

Tapi ternyata saya salah. "Mestinya kalo koen nyium Colin, koen juga mesti nyium istrinya sekalian."

Saya terkejut. "Eh..tapi kan aku nggak kenal bininya itu? Kenapa aku harus cium orang yang nggak pernah aku kenal?" Colin memang nggak pernah memperkenalkan pacarnya kepada saya.

"Ya," kata nyokap saya. "Tapi memang begitu sopan-santunnya. Kalau kita memang bersikap akrab sama suaminya, sebaiknya kita juga bersikap sama kepada istrinya."

Saya terdiam. Saya nggak ngerti apa yang dimaksud nyokap saya itu. Buat saya, urusan "teman" itu saklek. Saya bisa mendefinisikan persis mana itu teman, mana yang bukan teman. Dan itu membedakan kadar kesokakraban saya kepada orang. Contohnya ya urusan cium-mencium itu.

***

Sampek akhir-akhir ini, saya dengerin curhat seorang teman pria. Dia mengeluh, bagaimana istrinya protes lantaran temen saya jarang ada di rumah. Kami kan dokter, ya praktis waktu kami lebih banyak untuk urusan rumah sakit ketimbang urusan keluarga. Saya bilang, mungkin si Ibu mengeluh karena dia tidak bisa membayangkan sesibuk apa suaminya di rumah sakit. Mestinya si Ibu sekali-kali dibawa ke rumah sakit supaya dia tahu apa yang dikerjakan si Bapak.

Ternyata itu jadi kendala. Kata teman saya, istrinya belum bisa beradaptasi dengan urusan kantor kami. Penyebabnya, yah..mungkin, karena istrinya belum kenal dengan teman-teman suaminya.

Perlahan-lahan, saya mulai ngerti apa yang dibilang nyokap saya beberapa bulan lalu itu. Laki-laki kadang-kadang punya peran ganda, dia harus jadi kuli di kantor, dia harus jadi kekasih untuk istri (atau mungkin pacarnya). Kadang-kadang harus ada yang dikorbankan, dan seringkali yang dikorbankan adalah peran yang nomer dua. Nggak heran banyak para istri yang cemburu. Termasuk juga, mungkin benar tindakan saya yang kegirangan ketemu Colin yang sudah lama nggak ketemu saya itu sehingga mencium Colin, membuat istri Colin cemburu. Apalagi kan saya melakukannya di pelaminan mereka, hihihi..

Saya rasa, kita semua memang mesti belajar jaga perasaan para kekasih dari teman-teman kita, termasuk juga ngertiin kelakuan para teman dari kekasih kita. Hendaknya kalau teman kita punya istri atau pacar, ya kita mesti kenal sama para WAGs itu. Dan kalau kekasih kita punya teman, mestinya kita kenal teman-temannya juga supaya kita tahu kekasih kita itu gaulnya sama siapa aja. Dan akhirnya saya harap, kekasih saya mau bijaksana ngenalin saya ke teman-temannya.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Sunday, February 20, 2011

Seharusnya Gw..

Seharusnya gw..
1. Cari literatur Filsafat Ilmu.
2. Cari jurnal buat kuliah Evidence Based Medicine.
3. Perbaiki PR Garis-garis Bahan Pengajaran.
4. Bikin PR Perpustakaan.
5. Telaah buku Abbas Immunology.
6. Pelajari soal-soal UTS Metode Belajar Mengajar.
7. Coret-coret buku Imunologi-nya Subowo.
8. Pindahkan foto-foto jepretan bahan kuliah ke laptop.
9. Setrika baju.
10. Ambil cucian di binatu.
11. Merancang wadah besek buat naruh bawang.
12. Betulin korden yang mau copot.
13. Ngelap kipas angin.
14. Perbaikin lensanya Ixus yang rusak.
15. Browsing tempat servis tas buat jahit tas.
16. Jahit ritsleting wadah lotion.
17. Browsing tempat jualan Tupperware.
18. Cari tempat luluran yang ladies only dan tukang pijetnya sopan.

Apalagi ya?

Oh ya.. 19. UPDATE BLOG !

Dan sekarang gw kehilangan selera buat ngapa-ngapain. :((
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Tuesday, February 8, 2011

Plesternya Harus Dibayar..

Ini plester. Warnanya putih, bentuknya modis.

Kesambet apa saya kok sampek iseng nulis plester di sini? Yaa sebagai pengetahuan aja buat para jemaah blog semua. Teman-teman umumnya punya sediaan plester di rumah ya yang standar aja, warnanya cokelat, lebarnya kecil, semacem selotip gitulah. Sekarang banyak dijual plester-plester yang bergambar lucu-lucu, mulai dari gambar dinosaurus sampek gambar benderanya Kompeni. Biasa dipake orang buat nutupin luka setelah sebelumnya diobatin obat merah.

Plester kecil-kecil itu ternyata bisa bikin penderitanya mengeluh panjang pendek. Beberapa orang ternyata ada yang alergi terhadap bahan plester. Akibatnya banyak yang mengeluh lukanya terasa gatel-gatel setelah dibekap plester. Nggak heran, banyak pasien minta lukanya dibedaki dulu sebelum diplester.
Keluhan lainnya adalah terasa nyeri ketika plesternya dicopot. Bayangin plesternya dicabut..kraak! kulit yang terluka terasa perih bukan main seperti baru waxing.

Itulah kenapa saya nampilin gambar plester ini. Plester putih yang saya tampilin ini, nggak bikin alergi. Dan ngelepasinnya pun cukup dilumurin air atau alkohol dulu, dan dia akan copot sendiri. Malah nggak usah cairan atau pun langsung dicopot pun juga nggak akan seperih plester standar.
Plester ini banyak dipakai pada pasien-pasien yang baru mengalami operasi atau baru dijahit. Maka dijualnya terbatas, dan jarang banget dijual di supermarket pasaran.

Masalahnya sekarang, tidak semua orang bisa pakai plester modis ini. Contohnya, pasien miskin yang dirawat di rumah sakit dengan asuransi pemerintah. Asuransi pemerintah sudah menanggung hampir semua alat perawatan untuk pasien, tapi hanya dalam batas-batas tertentu. Item kecil seperti plester misalnya, ditanggung pemerintah hanya berupa plester cokelat yang kadang-kadang bikin gatel itu. Nggak heran, kadang-kadang pasien miskin mengeluh plesternya nggak nyaman, dan ujung-ujungnya bikin dos-q jadi stres sendiri.

Beberapa pasien yang merasa terganggu oleh plester ecek-ecek ini, menyerah dan minta plester putih. Konsekuensinya, mereka rela mbayar sendiri coz plester putih kan nggak ditanggung asuransi pemerintah. Ya nggak pa-pa sih, kalau mereka kepingin nyaman dan rela mbayar, kenapa tidak? Harganya sih relatif terjangkau, masih lebih mahal harga rokok lima bungkus. (Kenapa saya nyantumin rokok sebagai pembanding harga? Soalnya orang miskin itu, lebih stres kalau nggak bisa beli rokok daripada beli nasi).

Siyalnya, isu mengenai "hal-hal yang tidak ditanggung Pemerintah" ini seringkali nggak diketahui orang awam yang nggak ngerti masalah sesungguhnya. Coz sudah diplot dari sononya, orang-orang yang dirawat dengan asuransi Pemerintah, baik itu pakai kartu Gakin atau Jamkesmas, dijanjikan bahwa kalau dirawat di rumah sakit, nggak perlu bayar apapun. Akibatnya, ketika pasien miskin diketahui disuruh bayar karena minta plester putih yang tidak bikin gatel dan tidak perih ketika dicopot, hal ini dipolitisir dengan lebay, seolah-olah rumah sakit memalak kantongnya pasien itu.

Ini memang dilema. Di sisi pasien miskin, kalau dia pakai plester ecek-ecek, dia dapet gratis, tapi mungkin alergi. Tapi kalau dia pakai plester putih, dia memang lebih nyaman, tapi harus bayar.
Buat rumah sakit, kalau dia kasih plester putih, dia mungkin akan ditanyain LSM atau wartawan lebay kenapa dia "morotin" pasien miskin yang katanya mestinya nggak usah mbayar. Tapi kalau dia biarkan pasiennya pakai plester standar yang bikin alergi, mosok dia tega sih membiarkan pasiennya gatel-gatel?
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Friday, January 28, 2011

Tutup pada Siang Bolong?

Saya sibuk, tau nggak. Waktu saya nggak banyak. Jadi kalau saya sampek bisa menyempatkan diri buat dateng ke sini, itu sudah untung. Tapi kenapa sampeyan tutup pada jam 12 siang? Kan sampeyan ini tempat pelayanan umum, ya mesti buka jam kerja dong. Iya, saya tahu sampeyan kepingin ma'em siang, tapi ya mosok satu kantor pegawainya ma'em siang semua pada jam yang sama? Kan bisa 2-3 orang ma'em, sisa yang lain-lainnya jaga gawang. Nanti ma'emnya kan bisa gantian? Itu namanya efisiensi waktu.

Kalau kayak gini, gimana nasib orang-orang yang waktunya sedikit kayak saya? Yang cuman punya waktu luang jam 12 dan jam 1 siang harus sudah kerja lagi? Saya jadi nggak bisa terlayani dong? Memangnya jadwal saya hari ini cuman nyamperin sampeyan thok? Saya hari ini banyak banget kerjaan, tauk.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Tuesday, January 18, 2011

Ada Apa dengan Menyilangkan Kaki?

Suatu hari kolega saya ujian lisan dengan dosennya. Mereka duduk berhadapan, dan di antara mereka ada meja tulisnya si dosen.
Sebelum ujian lisan mulai, dosennya tiba-tiba bilang, "Tolong turunkan kakimu. Tidak sopan."

Kolega saya kaget, lalu buru-buru nurunin kakinya. (Dia memang tadinya duduk dengan sebelah kaki disilang di atas kaki satunya.) Dia kaget, soalnya kan di antara mereka tuh ada meja tulis yang cukup tinggi, tapi kok dosennya tahu ya dia duduk nyilangin kaki?

Tapi saya yang diceritain itu, lebih heran lagi. Lho, memangnya duduk nyilangin sebelah kaki itu nggak sopan ya?

Hari ini, saya dapet kuliah berjudul Perilaku Sakit. Dosen saya menerangkan di mimbar hari ini, bahwa sebaiknya kalau dokter lagi menghadapi pasien di klinik, ada beberapa sikap tubuh yang harus dihindari:
1. Jangan duduk sambil nyender ke kursi, apalagi sambil kaki selonjoran.
2. Jangan ngomong sama pasien, sementara tangan kita malah sibuk mbetulin kancing baju kita.
3. Jangan melipat tangan di depan dada.

Semua sikap di atas seolah nunjukin kita nggak memperhatikan orang (pasien) yang lagi kita ajak ngomong. Saya ngerti itu. Tapi ada butir berikutnya lagi yang saya bingung.

4. Jangan mengangkat sebelah kaki. Kesannya meremehkan.

Eh, iya gitu?

Gimana, Sodara-sodara Jemaah? Apakah menurut Anda, duduk sambil menyilangkan sebelah kaki itu nggak sopan?
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Saturday, January 1, 2011

Membagi Bahagia

Ada dua hal yang paling hype pada waktu Tahun Baru, yaitu kembang api dan terompet. Dan saya nggak suka dua-duanya. Kembang api memang bagus, tapi suara ledakannya bisa bikin telinga rusak. Terompet juga nggak saya sukai, dan alasan kenapa saya nggak seneng terompet pernah saya tulis di sini.

Jadi beberapa hari lalu, saya dimintain tolong kolega yang mau bikin acara tahun baru. Mereka minta bala bantuan saya buat nyediain kipas angin dan terompet.

Saya bisa minjemin kipas angin, tapi saya nggak ngerti gimana mereka mau minta disediain terompet. Kok sudah umur gede gini masih mau niup terompet, bukankah terompet itu mainan anak-anak?

Tapi kolega itu minta tolong saya dan saya akhirnya mau bantuin. Persoalannya sekarang, saya mau beli terompetnya gimana? Saya dimintain buat beli terompet 10 biji, tapi anggarannya terbatas.

Sambil bingung, saya pun jalan-jalan di pasar deket apartemen saya. Eyalaa..di tengah pasar saya lihat ada bapak-bapak jualan terompet. Bentuknya lurus, warnanya emas mencrang bin gonjreng. Setelah tawar-menawar, akhirnya saya mutusin beli terompetnya bapak-bapak itu, 10 biji.

Saya bukannya nggak malu bawa pulang terompet-terompet itu. 10 biji, bo! Dan saya pun bawa terompet-terompet itu sambil jalan kaki ke apartemen saya. Dasar yang saya lewatin kan pasar, sepanjang saya jalan, ada aja orang neriak-neriakin saya dalam bahasa Jawa.
"Owalah, Mbaak, ndak kurang banyak tho Mbak, terompetnyaa?"
"Haa..Mbaknya ayu-ayu mau tahun baruan di manaa?"
"Terompet, terompet, terompeeet!"

Ya ampun, untung pembawaan saya rada gaya dikit. Kalau enggak, saya serasa dikira pedagang terompet deeh.. :p

Kemaren, saya sodorin ke kolega saya, kipas angin dan terompet-terompet itu. Kolega saya pesen, nanti kalau pestanya udah selesai, saya boleh ambil barang-barang yang saya pinjemin.

Maka, semalem, saya merayakan tahun baruan bareng geng sambil lihat kembang api di Surabaya. Nggak ada yang istimewa sih, buat saya Tahun Baru itu ya biasa-biasa aja, tapi saya cuman seneng jalan-jalan sama temen aja.

Lalu datenglah pesen dari kolega saya. Katanya, pestanya sudah selesai. Maka saya dan teman pun cabut ke rumah sakit tempat pesta tahun baru itu kelar digelar.

Ketika saya masuk ke rumah sakit, saya menjumpai pemandangan yang jarang banget saya lihat di siang hari. Koridor-koridor rumah sakit penuh dengan keluarga-keluarga penunggu pasien yang diopname di situ. Keluarga-keluarga itu tidur di koridor, dengan beralaskan tikar, lengkap dengan berbekal selimut dan termos air panas. Perawat kan nggak ngijinin pasien opname ditungguin keluarganya banyak-banyak di kamarnya, jadi sisa keluarga yang rumahnya terlalu jauh pun berkemah di koridor rumah sakit.

Nampaknya saya berjalan di koridor itu bikin mereka terbangun, coz saya merasa beberapa pasang mata melirik saya ketika saya jalan ke blok rumah sakit tempat kolega saya menunggu saya.

Ternyata kolega saya nggak cuman balikin kipas angin saya. Tapi terompetnya juga ikutan dibalikin! Nggak ke-10-nya sih, cuman tinggal empat biji, tapi saya nyaris ketawa dalam hati. Halah, siapa juga sih yang mau pakai lagi tuh terompet, toh saya dan teman nggak seneng niup terompet kan?

Saya ngambil kipas angin, sedangkan teman saya ngambil terompet-terompetnya. Teman saya buru-buru jalan duluan via koridor itu, sementara saya jalan di belakangnya. Lalu saya dengar ada keluarga pasien yang lagi tiduran di koridor itu sembari ngeliatin kami jalan, tahu-tahu ngomong, "Whoaa..terompetnya!" Memang dasar tuh terompet warnanya gonjreng abis, jadi menarik perhatian.

Tapi mendadak saya terpikir sesuatu. Saya berhenti, dan menoleh ke bapak yang barusan berkomentar itu. "Pak? Bapak mau terompet?"

Si Bapak terhenyak. "Ada, Mbak?" Saya mendengar nada terkejut di suaranya, sekaligus pengharapan.

Saya mengernyit. "Bapak mau terompet?" Saya nanya lagi.

Si Bapak: "Ada?"

"Tunggu sebentar," kata saya. Lalu saya lari dan nyusul teman saya.

Beberapa saat kemudian, saya balik ke koridor itu sambil bawa keempat terompet itu. Ternyata si bapak (dan istrinya!) sudah bangun dari tikarnya menyusul saya..

"Ini, Pak, buat Bapak aja semuanya!" kata saya menyodorkan terompet-terompet dari kertas emas itu.

Saya nggak menduga, suami-istri penunggu pasien itu nampak berseri-seri. "Terima kasih, Mbak! Suwun!"

"Selamat tahun baru, Pak! Selamat tahun baru, Bu!" saya melambaikan tangan, dan buru-buru minggat menyusul teman saya.

"Selamat tahun baru, Mbak!" saya dengar mereka teriak di belakang punggung saya.

***

Kadang-kadang saya lupa, betapa hal-hal kecil bisa bikin orang lain senang. Buat saya, terompet kertas mungkin nggak ada artinya. Tapi mungkin buat orang lain, barangkali terompet itu hiburan yang sangat membahagiakan, apalagi buat orang yang cuman bisa menunggui keluarganya yang lagi diopname dengan cara tidur di koridor rumah sakit. Entah mau diapakan terompet-terompet itu oleh suami-istri itu, mungkin mau mereka kasih sebagai hadiah kejutan buat anak mereka yang bangun besok paginya. Atau mungkin mau mereka tiup-tiup sebagai tanda eforia menyambut tahun baru. Terompet yang selama ini saya sepelekan, ternyata adalah benda sederhana yang bisa bikin orang lain senang setengah mati.

Ya Tuhan, mudah-mudahan meniup terompet itu nggak bikin mereka ditangkep satpam rumah sakit. Kalau sampek suara terompet itu mengganggu pasien yang lagi dirawat, bisa repot mereka nanti..

Gambarnya diambil dari http://koranbaran.wordpress.com

http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Wednesday, December 29, 2010

Bagasi Saya Hilang dan Ditemukan Lagi

Hari ini, saya naik Merpati Nusantara Airlines dari Bandung, dengan tujuan Surabaya. Penerbangan dimulai pada pukul 6.00 dari Bandara Husein Sastranegara di Bandung, dengan nomor penerbangan MZ 616, dan saya mendarat di Bandara Juanda Surabaya jam 7.00. Saya check in di counter bawa koper cokelat berukuran besar, seberat 16 kg, ukurannya sekitar 60 cm x 40 cm x 30 cm, dan koper saya dipasangi label bagasi.

Ketika saya mendarat di Juanda, saya menunggu di baggage claim di depan rel yang mengantarkan koper itu. Koper saya tidak ada.

Saat saya menulis blog ini, saya sedang mengklaim kehilangan koper saya di kantor Merpati di Juanda. Saya tidak bisa bergerak dari sini, coz saya tidak bisa melakukan pekerjaan saya di Surabaya selama koper saya belum ditemukan. Karena semua keperluan saya untuk bekerja ada di dalam situ. Koper saya berisi pakaian, bahan-bahan untuk mandi, kipas angin, dan buku-buku.

Mohon doa dari jemaah semua, supaya koper saya ditemukan.

Saya mempercayakan diri saya untuk terbang bersama koper saya di Merpati, karena saya menyangka mereka bisa menjaga koper yang saya titipkan dengan baik. Jadi sebaiknya mereka menemukan koper saya. Karena saya tahu, hanya mereka yang bisa membantu saya menemukan kembali koper yang sudah saya titipkan kepada mereka.

Sunday, December 26, 2010

Absen Doloo..

Sepanjang dua hari kemaren, saya ngiderin alamat e-mail orang-orang buat bilang selamat Natal. Ini kebiasaan saya semenjak kecil, bahkan sewaktu dulu belum ada e-mail dan saya masih ngirimin orang-orang kartu Natal dari Hallmark.

Nah, kemaren pas dateng ke fesbuk seorang temen buat bilang selamet Natal, tahu-tahu saya terhenyak. Ternyata wall-nya sudah penuh dengan berita-berita kematian teman saya. Saya kaget, owalah..pantesan akhir-akhir ini dia jarang nge-buzz saya di chatroom lagi. Temen saya itu, John Sinaga, staf kedutaan besar Amrik di Jakarta, sudah meninggal sebulan lalu, nampaknya karena sakit jantung.

Tahu nggak kenapa saya rajin ngiderin orang-orang buat bilang selamat Natal? Saya hanya mau ngabsen mereka, pastikan mereka masih hidup. Waktu dan jarak kadang-kadang sukses bikin kita putus hubungan sama teman, dan ketika kita akhirnya menemukan teman itu kembali, ternyata si teman itu sudah meninggal..

Jadi buat teman-teman yang Natalan tahun ini, saya mau bilang selamat Natal ya. Mudah-mudahan teman-teman sehat semua.

Oh ya, foto ini saya jepret dua hari lalu di @PvJBandung. Ceritanya di tengah mal ada patung Sinterklas. Lalu saya liat dua orang cewek pakai jilbab ini, mereka foto-fotoan di depan patung Sinterklas dengan riangnya. Buru-buru saya cabut HP saya dari tas, lalu saya jepret, klik! Ria Sugiarto benar kemaren dalam posting saya tiga hari yang lalu, Natal itu bukan cuman milik orang Nasrani. Orang-orang lainnya, bahkan yang pakai kerudung pun, ternyata juga menyukai Natal!

*Eh Vic, katanya lu kan kemaren turun ke mal untuk cari sepatu kets buat main badminton, kok malah jadi motretin orang gaya-gayaan di depan Sinterklas sih?*
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Friday, December 24, 2010

Ada Dufan di Malang

Tidak perlu jauh-jauh ke Jakarta kalau cuman kepingin liat taman ria. Itu komentar saya waktu dateng kemari. Batu Night Spectacular yang letaknya cuman 15 menit nyetir dari perbatasan kota Malang ke arah barat laut ini ternyata bisa jadi tempat pelesir yang ciamik buat masyarakat Jawa Timur. Nggak cuman tamannya yang penuh wahana-wahana asyik buat disatronin, tapi juga jadi tempat asyik buat sarana narsis alias foto-foto.

Batu Night Spectacular, atau yang penduduk lokalnya lebih demen menyingkatnya jadi BNS, umumnya masang wahana-wahana standar dari taman ria. Mulai dari roller coaster, rumah hantu, dan aneka kendaraan yang umumnya menantang adrenalin pengunjung. Saya tertarik dateng ke sini, coz saya kepingin liat potensi daerah Malang buat mendongkrak perekonomiannya. Dan ternyata BNS memang cukup keren buat jadi daya tarik Malang, khususnya buat Batu, kota kecil deket Malang yang jadi tempat berdirinya taman ria ini.

Namanya aja udah mengandung kata Night, maka BNS ini pantesnya ya didatengin malem-malem. Loketnya aja baru buka jam tiga sore. Lhoo..apa menariknya? Yaa..memang daya tariknya BNS ini dari lampu-lampu di tamannya yang kerlap-kerlip sentrong sana-sini. Salah satu site unggulannya adalah Taman Lampion, yaitu taman seluas sehektar yang penuh dengan macem-macem konstruksi dari lampion warna-warni. Ada konstruksi bentuk kurcacinya Putri Salju, ada konstruksi bentuk menara Eiffel, sampek konstruksi bentuk hati raksasa. Pendeknya, surga deh buat yang seneng foto-foto dengan pose alay bin centil.

Ada juga rumah hantu, yang cukup menarik buat orang yang seneng nembak-nembak boneka pakai lampu laser. Saya nggak cerita banyak-banyak ya perkara rumah hantu ini, kan udah saya beberin foto-fotonya di sini.

Bioskop tiga dimensi juga ada lho di sini. Filmnya ya seperti bioskop 3D umumnya, dibikin pake sudut pandang pelakunya, dengan kamera meliuk-liuk nggak keruan. Kursinya penonton ya goyang-goyang mengikuti filmnya, jadi nggak disarankan nonton buat emak-emak hamil yang bolak-balik kontraksi, atau buat anak kecil yang norak nggak mau pakai sabuk pengaman. Nanti jatuh, Sayaaang!

Sebenarnya saya kepingin nyoba wahana-wahana yang naik-turun banting-banting nggak keruan itu, tapi gara-gara saya ke sini dua bulan lalu bareng kakak saya yang rada fobia tempat tinggi, jadi dia nggak mau nemenin saya naik-naik itu. Pelajaran kecil, kalau mau ke taman ria, cobalah pergi dengan sesama penggemar roller coaster. Ada yang mau pergi sama saya? *wink wink*

Favorit saya dari BNS ini sih tempat ice-skating. Selain adem, juga mainnya asik. Sebenarnya lapangan esnya bukan pakai es seluruhnya lho, tapi pakai lilin, jadi nggak terlalu licin. Terakhir kali saya main ice skating adalah 14 tahun lalu waktu saya sekolah di Oz, jadi sekarang saya udah lupa caranya. Ternyata mbak-mbak yang jagain ice-skating di BNS ini sabar banget ngajarin saya, nggak sampek lima menit pun saya udah asik meluncur di sekeliling lapangan. Yang takut jatuh nggak usah ngeri kepeleset, coz kita dipasangin pelindung di lutut dan sikut. Eh ya, kalau ke sini jangan lupa bawa kaos kaki sendiri ya, soalnya kadang-kadang sepatu luncurnya bikin lecet.

Dan..mumpung saya lagi pakai kostum sipil dan nggak ada yang ngenalin saya, saya pun beraniin diri main rodeo. Caranya gini, kita naik ke patung banteng, terus patungnya goyang-goyang ngikutin irama musik tango. Kita disebut sukses kalau selama patung bantengnya goyang itu, kita nggak jatuh. Whoaa..saya nggak tahan lama-lama di atas banteng ngamuk itu, nggak butuh semenit buat saya terpelanting ke atas kasurnya yang empuk! Tapi entah kenapa, petugasnya membiarkan saya bayar satu kali tapi naik bantengnya tiga kali. Barangkali liat saya nggak becus naik banteng tapi semangat belajarnya tinggi, atau memang jarang-jarang ada pengunjung yang cantik sekaligus urat malunya udah putus kayak saya.. :p

Jadi kesimpulannya gimana ya? Lantaran saya tinggal di Bandung dan udah kenyang bolak-balik ke Dufan, maka mau nggak mau saya pun bandingin BNS dengan Dufan. Dufan kan sekarang tiketnya udah Rp 100k lebih, tapi itu sudah termasuk tiket terusan. Adapun di BNS nggak menganut sistem tiket terusan. Kalau ke BNS cukup bermodal minimal Rp 7k aja di hari Senen sampek Kamis, sudah bisa keliling-keliling seluruh taman, tapi tentu saja nggak naik apa-apa. Kalau mau naik wahana ya kudu bayar lagi, tarifnya antara Rp 7-20k per wahana, tergantung kadar kekerenan wahana yang bersangkutan.

Wahana ini sama sekali nggak cocok buat mereka yang jaim atau kepingin pacaran, tapi lebih cocok buat mereka yang seneng main gila-gilaan bareng temen-temen se-gank atau bareng keluarga. Syukur-syukur bawa anak kecil, coz menurut saya sebagian besar wahana lebih bernuansa kekanak-kanakan ketimbang mewah. Yang jelas, jangan pakai rok, apalagi sepatu hak tinggi keliling taman ria. Bisa mati pegel, tau..

Bagusan mana sama Dufan? Ah, pertanyaan sadis itu, hahaha.. Tapi cukuplah ini buat kalangan masyarakat Jawa Timur yang kepingin seneng-seneng tanpa harus perjalanan terlalu jauh. Yang jelas sih, saya kepingin ke sini lagi, apalagi karena developer-nya BNS udah janji bahwa setiap tahun akan ada empat wahana baru. Dan di seberang BNS ada Jatim Park yang belum sempat saya satronin juga. Ada yang kepingin ke Malang dan senang-senang di BNS? Ayuk, ayuk, ajak saya dong.. :)

Tuesday, December 21, 2010

Simbol Natal dan Protes Lebay

Sewaktu umur saya 15 tahun, guru fisika saya curhat di depan kelas saya. Dia bilang, kalau Lebaran, sekolah dikasih libur seminggu. Tapi kalau Natal, guru yang Nasrani cuman dikasih libur pas 25 Desember doang. Jadi guru saya, yang memang agamanya Protestan, merasa iri..

Guru saya ngomong gitu sambil ketawa, sehingga murid-murid sekelas ikutan ketawa juga. Tapi saya, saat itulah untuk pertama kalinya belajar, bahwa negara ini memang nggak bersikap adil terhadap golongan minoritas.

Oh ya, waktu itu saya sekolah di SMA negeri yang mayoritas murid dan gurunya muslim.

Saya sering mikir, kenapa Pemerintah kasih cuti Lebaran sampek seminggu, sedangkan cuti Natal aja nggak sampek tiga hari. Memangnya orang-orang yang Natalan nggak kepingin kumpul lama-lama sama keluarganya ya? Lalu kalau kayak gitu caranya, sekalian aja pas Nyepi dikasih cuti seminggu untuk orang-orang Hindu, dan ada cuti Waisak seminggu untuk orang-orang Budha. Adil toh? Jangan bilang itu nggak mungkin.

Saya bisa bayangin, penduduk Indonesia yang mayoritas muslim ini pasti ngamuk kalau cuti Lebaran cuman dikasih dua hari. Tapi dalam sejarah Indonesia, nggak ada ceritanya orang Kristen ngamuk kalau dikasih cuti Natal dua hari. Tanpa bermaksud kasar, memangnya didengerin ya?

Jadi, saya ketawa denger sebuah lembaga religius kemaren bilang bahwa simbol Natal dipasang berlebihan di tempat-tempat umum. Sayang berita itu nggak melansir definisi kata "berlebihan". Apanya yang lebay sih? Kalau nggak suka liat pohon Natal dipasang menjulang tinggi setinggi 30 meter di mal, ya nggak usah ke mal aja selama bulan Desember. Kalau pegawai toko yang pakai jilbab nggak mau disuruh pakai topi Sinterklas, ya nggak usah masuk kerja. Memangnya dengan mengagumi semarak Natal bisa merusak akidah ya? Kok kesannya mental religiusnya jadi nggak tahan godaan?

Saya suka ngeliat semarak warna merah, ijo, dan emas di mana-mana. Lagu Natal favorit saya adalah All I Want for Christmas is You-nya Mariah Carey. Dan saya juga seneng ciuman di bawah mistletoe. Tapi Natal tidak lantas mengubah saya menjadi seorang Kristen atau pun Katolik. Karena pandangan religius saya nggak bisa digeser cuman gara-gara simbol sebuah hari raya.

Jadi, sodara-sodara mayoritas yang nggak seneng liat simbol Natal, segel saja mulutmu dan berhentilah jadi orang lebay. Negara ini bukan cuman milik umat agama kalian sendiri, tahu. Biarkan orang lain merayakan hari rayanya dengan bersorak-sorai, toh mereka juga nggak pernah laporin anak-anak kalian yang main mercon saban kali habis taraweh. Kenapa kita nggak coba berkontribusi kreatif dengan bikin pohon Natal dari seribu ketupat? Selain buat dekorasi, toh bahannya bisa dimakan bersama-sama..