Tuesday, December 21, 2010

Simbol Natal dan Protes Lebay

Sewaktu umur saya 15 tahun, guru fisika saya curhat di depan kelas saya. Dia bilang, kalau Lebaran, sekolah dikasih libur seminggu. Tapi kalau Natal, guru yang Nasrani cuman dikasih libur pas 25 Desember doang. Jadi guru saya, yang memang agamanya Protestan, merasa iri..

Guru saya ngomong gitu sambil ketawa, sehingga murid-murid sekelas ikutan ketawa juga. Tapi saya, saat itulah untuk pertama kalinya belajar, bahwa negara ini memang nggak bersikap adil terhadap golongan minoritas.

Oh ya, waktu itu saya sekolah di SMA negeri yang mayoritas murid dan gurunya muslim.

Saya sering mikir, kenapa Pemerintah kasih cuti Lebaran sampek seminggu, sedangkan cuti Natal aja nggak sampek tiga hari. Memangnya orang-orang yang Natalan nggak kepingin kumpul lama-lama sama keluarganya ya? Lalu kalau kayak gitu caranya, sekalian aja pas Nyepi dikasih cuti seminggu untuk orang-orang Hindu, dan ada cuti Waisak seminggu untuk orang-orang Budha. Adil toh? Jangan bilang itu nggak mungkin.

Saya bisa bayangin, penduduk Indonesia yang mayoritas muslim ini pasti ngamuk kalau cuti Lebaran cuman dikasih dua hari. Tapi dalam sejarah Indonesia, nggak ada ceritanya orang Kristen ngamuk kalau dikasih cuti Natal dua hari. Tanpa bermaksud kasar, memangnya didengerin ya?

Jadi, saya ketawa denger sebuah lembaga religius kemaren bilang bahwa simbol Natal dipasang berlebihan di tempat-tempat umum. Sayang berita itu nggak melansir definisi kata "berlebihan". Apanya yang lebay sih? Kalau nggak suka liat pohon Natal dipasang menjulang tinggi setinggi 30 meter di mal, ya nggak usah ke mal aja selama bulan Desember. Kalau pegawai toko yang pakai jilbab nggak mau disuruh pakai topi Sinterklas, ya nggak usah masuk kerja. Memangnya dengan mengagumi semarak Natal bisa merusak akidah ya? Kok kesannya mental religiusnya jadi nggak tahan godaan?

Saya suka ngeliat semarak warna merah, ijo, dan emas di mana-mana. Lagu Natal favorit saya adalah All I Want for Christmas is You-nya Mariah Carey. Dan saya juga seneng ciuman di bawah mistletoe. Tapi Natal tidak lantas mengubah saya menjadi seorang Kristen atau pun Katolik. Karena pandangan religius saya nggak bisa digeser cuman gara-gara simbol sebuah hari raya.

Jadi, sodara-sodara mayoritas yang nggak seneng liat simbol Natal, segel saja mulutmu dan berhentilah jadi orang lebay. Negara ini bukan cuman milik umat agama kalian sendiri, tahu. Biarkan orang lain merayakan hari rayanya dengan bersorak-sorai, toh mereka juga nggak pernah laporin anak-anak kalian yang main mercon saban kali habis taraweh. Kenapa kita nggak coba berkontribusi kreatif dengan bikin pohon Natal dari seribu ketupat? Selain buat dekorasi, toh bahannya bisa dimakan bersama-sama..