Friday, December 17, 2010

Jor-joran Peredaran Magnum

Korban iklan. Itu kesan saya saban kali denger orang bicara tentang Magnum. Dan ternyata saya juga korban iklan. Buktinya, saban kali saya masuk toko dan nemu lemari esnya Wall's, saya nggak bisa nahan diri buat nggak ngelirik ke dalamnya, nyari-nyari siapa tahu di dalamnya ada Magnum.

Kok bisa ya Magnum laris-manis, padahal kita semua tahu bahwa Magnum bukanlah barang baru? Saya sendiri udah ngincipin Magnum sekitar 10-15 tahun lalu, waktu saya masih nganggep Magnum sebagai barang mewah, coz saya cuman boleh malakin bokap saya Magnum kalau saya mau berkelakuan jadi anak baik (dan itu sangat jarang terjadi, hihihi.. :p). Temen saya, @ferrymalvinas, mencoba menganalisis ini di Twitter beberapa minggu lalu, dan dos-q mengijinkan saya mengutip hipotesa-hipotesa dummy-nya..

Pada dasarnya, ada dua macem konsumen untuk es krim. Yang pertama adalah konsumen yang cuman sudi beli barang murah, dan yang satu lagi adalah konsumen yang mau beli barang mahal. Lalu produsen es krim sendiri punya konsumen sasaran untuk itu, dan polanya gampang ditebak: Produk es krim yang cukup murah di pasaran adalah Campina, Diamond, dan hampir semua produk Wall's. Sedangkan es krim yang mahal antara lain Haagen Dazs dan Baskin Robbins.

Waktu itu, Wall's kepingin memperluas laba dengan bikin produk mahal juga. Maka dibikinlah Magnum. Cuman pada wangsa 10-15 tahun lalu itu, Magnum nggak terlalu ditonjolkan juga, setidaknya coz saat itu Wall's juga punya produk lain yang hampir sama mahalnya, yaitu Vienetta. Inget kan, jaman segitu jarang-jarang kita bisa nemu kue es krim?

Tahun ini, kita bisa membaca bahwa perekonomian memang lebih baik. Kendati penghasilan per kapita menurun, tapi nggak dipungkiri bahwa rasa seneng publik terhadap es krim nggak pernah berkurang. Malah, kini konsumen nggak cuman terdiri atas konsumen tajir dan konsumen yang cuman mau beli barang murah, tapi juga ada jenis konsumen lain, yaitu konsumen yang cukup berpenghasilan buat rela merogoh koceknya untuk beli es krim sekelas Haagen Dazs atau Baskin Robbins, tapi nggak mau sering-sering juga milih merk itu (karena mereka sadar, terus-terusan beli barang mahal ternyata nggak selalu bisa memuaskan batin). Nah, konsumen inilah yang dilirik Wall's dan dimanfaatin buat naikin profit. Ada dua produk Wall's yang kira-kira cocok buat konsumen ini: Vienneta dan Magnum. Masalah kecil: Vienneta mungkin punya kelemahan besar, coz kalau mau dimakan kudu dipotong pakai pisau, akibatnya nggak bisa dimakan sambil jalan-jalan. Alias, tidak praktis. Maka jadilah Magnum yang dipromosikan.

Gimana caranya supaya pemasarannya Magnum sukses? Pakai aja rumus sakti 4P: Product, Price, Promotion, Place.

Product: Magnum menggembar-gemborkan keunggulannya bahwa kandungan utama es krim ini adalah cokelat Belgia. Belum lagi Magnum konon punya macem-macem rasa, ada yang klasik, ada yang almond, dan rasa entah apa lagi.

Price: Dengan harga yang tetap di atas level "biasa-biasa aja", Magnum memberi kesan seolah-olah produknya itu "eksklusif". :p Dengan harga yang dibanderol ceban, praktis Magnum cuman punya satu saingan berat di level harga ini: Bazzoka-nya Campina.

Promotion: Ini gampang banget. Selain pasang iklan yang cukup berkelas juga, media jejaring sosial jadi sarana ampuh buat promosi gratis. Sebarkan via Facebook, dan kalau perlu bikin account Twitter khusus untuk "pemburu Magnum". Kenapa tidak?

Place: Magnum bisa menggaet konsumen-konsumen sok mahal yang disebut di atas, dan nggak perlu takut bersaing dengan Baskin Robbins dan Haagen Dazs. Kenapa? Coz Magnum dijual di counter-counter Wall's yang gampang banget ditemukan di mini market ecek-ecek deket rumah. Sedangkan Baskin dan Dazs? Kalau mau makan itu kan harus ke mal yang keren dulu..

Saya tergelak-gelak waktu baca ora-twit Ferry ini, dan langsung berniat nulisnya buat blog saya. Tapi saya nggak mau buru-buru waktu itu, coz saya baru mau nulisnya kalau saya udah ngincipin Magnum-nya sendiri. Dan ternyata nggak gampang mendapatkan Magnum.

Saya udah nyusurin super-supermarket yang ada di deket rumah saya di Bandung, tapi nggak pernah nemu Magnum. Pelayannya selalu jawab, Magnumnya abis. Dan ternyata nggak cuman saya yang selalu keabisan stok Magnum. Teman-teman di kota-kota lain di Indonesia ternyata juga mengeluh sering keabisan Magnum. Begitu seringnya Magnum diberitakan abis, sampek-sampek dibikin account Twitter sendiri bernama @MyMagnumID. Isi twit-nya? Membagi-bagi informasi di mana ditemukan toko yang jual Magnum. Hahaha..kurang kerjaan banget yah..

Sampek minggu ini, ketika saya udah mulai ngurusin sekolah baru saya di Surabaya. Nggak sengaja waktu saya mau beli pembalut di minimarket deket rumah paman saya, ternyata di sana saya malah nemu Magnum bertumpuk-tumpuk..

Dan setelah saya incipin sendiri es krim yang satu itu, entah karena mungkin saya nggak bisa bedain cokelat Belgia dengan cokelat Belanda, cokelat Swiss, cokelat Oz, atau cokelat entah mana lagi. Atau mungkin karena saya udah bisa bikin es krim sendiri. Atau karena saya udah bosen liat promosi yang jor-joran dan mulai curiga dengan stoknya yang cuman seuprit. Tapi menurut saya sih, rasanya Magnum itu..biasa ajah.

Mungkinkah, ini salah satu strategi Wall's supaya dagangannya melonjak laku? Sengaja bikin promosi yang terang-terangan di tivi sampek yang versi bawah tanah di internet, tetapi menahan stoknya sedikit-sedikit supaya kesannya Magnum itu cepet laris? Entahlah, saya cuman dokter, bukan ahli pemasaran. Mungkin Anda lebih ngerti ketimbang saya. Atau lebih enak lagi, mari kita tanyakan kepada Wall's yang bergoyang..
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com