Thursday, July 30, 2009

Minta Cerai

"Kekasih, terbacakah tulisan hatiku, saat langkah mulai tak sejalan?"

Saya menulis ini, mungkin dengan penuh etika, tapi ada makna yang tersirat biarpun tidak tersurat.
Dulu kamu menginginkan saya. Saya juga menginginkan kamu. Tapi sekarang nampaknya kita tidak saling menyayang lagi.

"Suratku itu lukisan luka di hati."

Bahkan di sebelah kiri atasnya, sudah tersirat di situ, saya minta cerai.

"Jangan kauhempas, meski tak ingin kausentuh."

Saya tahu kamu akan suruh pembantu kamu saja yang baca surat saya, tapi sebaiknya kamu baca dulu sampai selesai.

"Kutahu pasti hatimu tahu walau tak baca suratku."

Meskipun kalau kamu tidak membacanya pun, kamu sudah mengerti apa yang saya mau.

"Kekasih, masih kuingat janji di suratmu."

Kan dulu waktu kamu minta tentara bayaran kiriman dari Menteri, kamu janji akan piara tentara-tentara bayaran itu dengan baik.

"Mengapa kini kauingkari janjimu?"

Tapi ternyata, kenapa kamu malah sia-siakan semua tentara kiriman itu dan membiarkan mereka jadi kurus, bosan, dan kesepian? Termasuk saya?

"Suratku itu lukisan luka di hati."

Tahukah kamu, ketika saya menulis di surat itu bahwa saya hanya disuruh bersama kamu setahun, artinya setahun itu 12 bulan, dan jangan lebih karena saya kebelet sudah nggak tahan kepingin pulang?

"Jangan kauhempas, meski tak ingin kausentuh."

Saya percaya kamu tidak ingin diingatkan tentang itu, karena tentara-tentara bayaran selalu datang dan pergi. Tapi tidak inginkah kamu tahu kenapa mereka selalu pergi?

"Kutahu pasti hatimu tahu walau tak baca suratku."

Kamu pasti bisa menebak, mereka tak tahan karena karier di bawah "comfort zone"-mu tak akan pernah berkembang. Menjadi pegawai tetap tidak lebih menggiurkan ketimbang menolong pasien dengan kualitas pelayanan yang lebih baik.

"Tak ingin kusesali seluruh cintaku, walau kini ternyata ku melangkah tanpamu, kasih."

Saya tidak menyesal pernah datang kemari. Saya menyerahkan seluruh kemampuan saya di sini. Tapi kini saya harus meninggalkan kamu. Meskipun kamu tempat tumpah darah saya, di tanah kamulah saya lahir, dan untuk itu, saya sangat menyayangi kamu.

"Suratku itu lukisan luka di hati."

Saya menyesal kamu belum bisa menghargai tentara bayaran macam saya dengan baik. Karena itu saya minta pergi, dan tidak mau memperpanjang jabatan saya lagi.

"Jangan kauhempas, meski tak ingin kausentuh."

Terimalah permohonan diri saya, jangan kamu tolak.

"Kutahu pasti hatimu tahu walau tak baca suratku."

Dan kamu pun tahu, saya sangat berterima kasih, jika kamu mengabulkan surat pengunduran diri saya ini, sesegera mungkin.

***

Pagi ini, ajudan gw nganterin gw ke Dinas Kesehatan Kabupaten Pulang Pisau. Sepanjang perjalanan, gw terus-menerus nyanyiin lagu Yovie Widianto ini. Gw baru berhenti nyanyi pas gw ketemu pegawai bagian Kepegawaian buat nyerahin surat pengunduran diri gw sebagai dokter PTT, coz kontrak gw selesai bulan depan.

Sewaktu gw keluar dari kantor itu dan nggak sengaja melirik cermin di situ, gw tercengang liat bayangan Little Laurent tersenyum ke gw.
Gw lupa, kapan terakhir kali Little Laurent sesumringah itu.