Friday, April 8, 2011

Boss, Nggak Usah Tahulah!

“Apa yang terjadi di dalam ruang praktek, tetaplah di dalam ruang praktek.”

Tetangga saya mengeluh beberapa hari yang lalu ke saya. Waktu itu dia kena flu, jadi dia berobat ke dokter. Dokternya melayaninya, menagihkan sekian puluh ribu rupiah, dan kasih kwitansi. Tetangga saya, karena peraturan di kantornya menyebutkan bahwa karyawan yang berobat ke dokter bisa minta ganti pembiayaan berobat ke kantor, mengklaimkan kwitansi itu ke bosnya. Lalu datanglah jawaban itu. Kwitansi tetangga saya nggak bisa diganti, coz di kwitansi itu nggak ada diagnosa penyakitnya.

Saya mengernyit. Semenjak kapan dokter harus nulis diagnosa penyakit di kwitansi? Memangnya kami ini ember bocor?

Saya tahu bahwa peraturan ketenagakerjaan mewajibkan perusahaan memastikan semua pegawainya selalu dalam keadaan sehat wal afiat supaya kegiatan perusahaan berjalan lancar. Maka, kalau pegawainya sampek sakit, selayaknya perusahaan meringankan beban sakit pegawainya itu dengan membayari pegawainya berobat. Karena itu banyak perusahaan mewajibkan pegawainya ikutan asuransi kesehatan kerja (misalnya Jamsostek atau entah apa lagi), supaya beban sakitnya pegawai bisa ditanggung oleh asuransi. Protokol umumnya, pegawai pergi berobat ke dokter dengan membawa formulir asuransi. Nanti setelah berobat, dokter mengisi formulir itu dengan kasih tahu diagnosanya apa, dan apa aja obat yang dianjurkan. Jadi asuransi bisa tahu, mereka tuh bayarin asuransinya untuk beli obat apa aja.

Pada kasus yang menimpa tetangga saya, kantornya tetangga saya nggak ikutan asuransi kesehatan. Akibatnya dia nggak dikasih formulir asuransi, sehingga dokter nggak bisa nulis diagnosa apa dan terapi apa yang mesti ditanggung oleh kantor tetangga saya. Ujung-ujungnya, biaya berobat yang udah telanjur dikeluarin oleh tetangga saya nggak bisa diganti oleh kantornya.

Timbul pertanyaan, apakah bisa dokter nulis diagnosa di kwitansi dan resep pasiennya aja, supaya pasien alias pegawai bisa mengklaimkan kwitansi dan resep itu ke perusahaan?
Jawabannya, TIDAK.

Semua orang yang nggak pernah sekolah juga tahu, bahwa sakit adalah wilayah pribadi masing-masing orang. Dokter nggak boleh ngomong ke siapapun di luar ruang prakteknya, bahwa pasien si Siti sakit anu, atau pegawai si Polan sakit anu, termasuk ke bossnya si Siti atau si Polan. Jangankan ke bossnya, ke orang tuanya si pasien aja belum tentu boleh kecuali kalau si pasien dalam keadaan sekarat atau sakit jiwa. Itu sudah kode etik dokter yang berlaku di mana-mana. Dengan demikian, ngomong aja nggak boleh, apalagi menulis penyakitnya si pasien di resep atau kwitansi.

Kenapa dokter boleh nulis diagnosa di formulir asuransi? Simpelnya, asuransi kesehatan itu bagian dari kedokteran kerja. Kedokteran kerja sudah disahkan sebagai sistem kedokteran yang punya kode etik, sehingga dokter boleh nulis diagnosa si pasien di formulir asuransi.

Coba bayangin, seandainya pasien saya mengidap penyakit yang malu-maluin, misalnya cacar air. Pasien akan malu karena di mukanya ada bekas bopeng-bopeng. Karena itu saya sebagai dokter ya nggak boleh bilang-bilang ke orang lain bahwa dia sakit cacar air. Kalau sampek orang kantor pasiennya tahu, mungkin dia akan dijauhin karena dia dianggap berpenyakit menular, akibatnya akan mengganggu situasi psikologis di kantor itu sendiri. Ini baru contoh kecil. Gimana kalau pasien saya mengidap TBC? Atau panu? Atau epilepsi? Atau lebih jelek lagi, AIDS?

Jadi ya, jemaah Georgetterox yang pintar-pintar, kalau Sodara-sodara jadi boss, sebaiknya Sodara-sodara tahu bahwa Sodara-sodara nggak berhak menolak klaim pengobatan pegawai cuman gara-gara nggak tahu pegawai Sodara-sodara itu sakit apa. Sebaliknya, kalau Sodara-sodara dalam posisi karyawan, sebaiknya carilah pekerjaan yang memastikan bahwa asuransi kesehatan kerja Sodara-sodara itu ditanggung dengan protokol yang tegas. Biar semua sama-sama enak. Bossnya senang punya pegawai yang sehat, dan pegawai juga bisa bekerja dengan tenang dan nyaman..

Gambarnya diambil dari sini