Tuesday, July 27, 2010

Merdeka dari Ketergantungan

Seorang teman cerita ke saya bahwa dia be-te berat sama nyokapnya. Jadi minggu lalu dia kan dalam perjalanan panjang dengan sebuah bis bersama nyokapnya, lalu ketika perjalanan di-break buat istirahat, nyokapnya ini turun beliin teman saya nasi padang buat dimakan di bis. Teman saya sebenarnya nggak suka kalau makan nas di bis, dia lebih suka makan roti coz lebih praktis.

Memang kalau dipikir-pikir, ada aja sebagian orang yang naik kendaraan gitu lebih senang beli roti ketimbang beli nasi. Kalau kita makan roti, kan sebenarnya tinggal dipegang pakai tisu atau plastic pembungkusnya, terus digigit deh. Bandingkan dengan orang makan nasi, kan harus pakai sendok, lalu bungkusnya dipegang pakai tangan kiri (singkirkan ide pakai kotak Styrofoam yang mencemari lingkungan!). Bayangin ribetnya kalau mau motong ayamnya harus pakai bantuan garpu. Ini kan lagi makan di bis, di mana sedapat mungkin tangan harus dalam keadaan bersih, coz selama perjalanan tentu saja kita susah nemuin tempat buat cuci tangan.

Ketika denger cerita itu, saya berpikir-pikir kenapa para nyokap lebih milih nas sih ketimbang makan roti. Padahal ditinjau dari segi nutrisi, kalori yang timbul dari nasi sebenarnya sama aja dengan kalori yang dihasilkan dari roti. Lalu saya berpikir bahwa mungkin selera nyokapnya temen saya itu lebih berat ke nasi ketimbang roti. Ya nggak pa-pa sih, saya nggak niat menggugat selera orang, setidaknya sampek beberapa hari lalu saya baca tulisan Zulfikar Akbar di sini.

Negara kita saat ini punya masalah besar dengan yang namanya stok nasi. Terlalu banyak orang di meja makan Indonesia yang harus diisi mulutnya dengan nasi, padahal produksi beras di negara kita makin lama makin seret. Memang para insinyur pertanian Indonesia sudah kerja keras menciptakan bibit-bibit padi yang unggul, yang niscaya bikin padi jadi sering panen dalam setahun, bulirnya lebih banyak, dan kalau dimasak jadi nasi pnu lebih pulen. Tapi ketika bibit unggul ini disodorin ke tangan petani di lapangan, ternyata petani harus bayar mahal; bibit ini cuman tumbuh bagus seandainya dikasih pupuk yang bagus, dan siyalnya pupuk yang bagus susah terjangkau oleh daya beli petani. Bibit ini bisa tumbuh subur asalkan pengairannya cukup, sayangnya berkat penggundulan hutan yang massif, hujan yang malah bikin banjir, petani makin lama makin kekurangan air. Singkatnya, bagaimana padi mau panen yang banyak, dan bagaimana kita mau kasih cukup nasi untuk semua orang di Indonesia?

Sebenarnya kalau mau ditilik-tilik dari sejarah, rakyat kita memang sudah salah kelola isi perutnya oleh negara. Harap diingat, tidak semua daerah di Indonesia senang makan nasi. Daerah Cimahi, Jawa Barat, sebenarnya sudah merasa cukup kenyang dengan singkong. Ajaran masa es-de kita bahwa makanan pokok penduduk Madura adalah jagung juga bukan ngibul. Artinya ada beberapa daerah di Indonesia yang sebenarnya tidak butuh nasi, tapi mereka cukup saja ma’em dengan singkong, jagung, atau sagu. Namun kebijakan Orde Baru yang bercita-cita memproduksi beras sebanyak-banyaknya, telah memaksa petani yang awalnya biasa menanam jagung menjadi menanam padi. Yang bisa menanam singkong sampek surplus, lama-lama dipaksa juga buat meninggalkan singkong supaya menanam padi. Akibatnya potensi bangsa kita untuk memproduksi tanaman-tanaman bukan padi, pun tertekan.

Hasilnya, nampak pada pembentukan selera makan bangsa kita. Banyak dari kita yang mengeluh: belum kenyang, kalau belum makan nasi. Ini anggapan yang menyesatkan, karena sebenarnya perut kita kenyang, kalau jumlah glukosa dalam darah kita normal. Supaya glukosa dalam darah kita jumlahnya normal, ya kita mesti makan makanan yang mengandung glukosa dalam jumlah cukup. Dan makanan yang mengandung glukosa nggak cuman nasi, tapi juga bisa dari roti, gandum, sereal, jagung, atau pun singkong. Jadi, untuk kenyang, nggak mesti harus pakai nasi..

Kita perlu mengubah cara pikir kita yang kecanduan nasi, terutama untuk melatih mental kita supaya lebih fleksibel dan tidak tergantung pada nasi. Contoh kecil ya dalam kasus teman saya di atas, misalnya kalau kita harus melakukan perjalanan panjang, kita nggak perlu ribet nyiapin bekal nasi dari rumah, atau panic di tengah jalan nyari tempat persinggahan restoran yang jualan nasi. Lebih praktis kalau kita bawa roti buat makan, yang bisa dimakan dalam kendaraan tanpa harus cuci tangan. Bisa pilih sandwich isi daging asap, atau isi kulit ayam, lebih seru lagi diselipin daun selada yang dicocolin mayonaise. Kalau dirasa ribet nyiapinnya, bisa beli di toko-toko roti. Kayak roti yang saya foto ini, isinya roast beef dilumurin saos tomat, beli di toko kue paling tua di Braga, bandung. Minggu ini, toko kue yang paling beken di Bandung pada tahun 1930-an dan suka jadi langganan nonik-nonik Belanda ini, jual roti-rotinya sampek turun setengah harga. Cuman sampek 1 Agustus ini. Lumayan, roti ginian 10.000-an dapet tiga, hehehe..

Eh, ini sebenarnya mau cerita pengalaman temen, cerita Indonesia rawan pangan, atau mau ngiklan toko kue??