Wednesday, March 18, 2009

Tumbangnya Personal Assistant


Gimana reaksi kamu kalo Personal Digital Assistant (PDA) kamu ngadat?
*Nggak masalah, kan ada Blackberry, hehehe..*
Lha jaman dulu belum ada Blackberry, yang ada PDA. Om gw kelimpungan waktu PDA-nya rusak gara-gara keujanan (lha kenapa nggak pake payung sih, Om?). Seolah-olah hidupnya semua tergantung sama PDA itu.

Kita semua mungkin juga punya personal assistant, tapi bukan dalam bentuk digital, melainkan dalam bentuk hidup. Yap, kalian sebut itu namanya pembantu. Istilah personal assistant gw jiplak dari Raditya Dika, yang nyebut pembokat rumah tangga keluarganya sebagai "asisten pribadi ibuku". Itu bener sih. Kita butuh asisten pribadi, buat jaga rumah, buat ngepel, buat cuci baju. Memang sekarang buat cuci baju ada mesin cuci, tapi buat masukin baju kotor aja kita masih nyuruh pembokat. Apanya yang nggak asisten tuh?

Nah, kalo PDA ngadat aja bikin kelimpungan, gimana kalo yang ngadat tuh asisten pribadi yang hidup? Pernah nggak pembokat kamu tumbang karena sakit? Ini sepele, tapi ternyata akibatnya serius. Rumah jadi kapal pecah, nggak ada yang ngasuh anak-anak, halaman pun jadi hutan lantaran rumputnya gondrong. Kalo udah gini baru kerasa, uh, nggak enak ya kalo pembokat sakit?

Karena itu hari ini gw mau flashback ke kisah gw tahun lalu. Waktu itu gw lagi jaga sebuah unit gawat darurat di rumah sakit di Cimahi. Seorang perempuan berumur 36 tahun, sebut aja namanya Lastri, terbaring dengan keluhan demam dua hari. Badannya pendek, tambun, pipinya tembem. Gw periksa dia dan meskipun dia nggak nampak sehat-sehat aja, provokasi gw terhadap lengannya nunjukin kalo dia ngidap demam berdarah.

Buat konfirmasi, gw cek darahnya. 15 menit kemudian, mantri gw memberondong gw dengan hasil lab yang bikin gw nyaris terjengkang dari kursi.

Trombosit 98 ribu. Oke, dia demam berdarah. Tapi Hb-nya 3. Hah?!

Jangan main-main sama anemia. Kurang zat besi bisa bikin penderitanya gagal jantung. Gw pelongin si pasien. Tidak, dia cengar-cengir cengengesan. Masa' sih pasien seger gini kurang darah? Apa petugas labnya lagi ngantuk gara-gara shift 24 jam?

Gw deketin si pasien. "Bu Lastri, Ibu suka pusing-pusing?"
Si pasien muter bola matanya. "Yah, kadang-kadang."
Aha, sahut gw dalam hati. "Sudah berapa lama sering pusingnya, Bu Lastri?"
Pasien itu diam sejenak. Lalu dia jawab, "Bu, saya hamil lima bulan."

Hah?! Gw kaget. Hamil?! Kok nggak ada laporan pasiennya lagi hamil? Olala, gw nggak ngeh. Gw kirain pasiennya cuman gendut doang?

Gw minta ketemu keluarganya.
Mantri kembali beberapa saat kemudian dengan seorang wanita paruh baya.
Gw ajak omong wanita itu dengan tenang, sembari nunjukin hasil labnya yang jelek itu. Lalu gw akhiri penjelasan gw dengan kesimpulan, "Kami harus rawat Bu Lastri di sini. Kami tidak bisa melepaskan pasien demam berdarah yang punya anemia berat dan sedang hamil lima bulan."
Tapi kemudian, wanita itu terperanjat, "Lastri hamil?!"
Gw terhenyak. Lalu dengan begonya gw ngomong, "Ibu tidak tahu keluarga Ibu hamil?"
Wanita itu kaget setengah mati. Lalu katanya pelan, "Lastri pembantu anak perempuan saya. Dia baru ikut anak saya 10 hari. Kami tidak tahu Lastri hamil."
Kok bisa? "Putra Ibu ada? Saya perlu bicara dengan putra Ibu."
Wanita itu menatap gw. "Anak saya ada di Majalaya. Dia nelfon saya begitu pembantunya sakit. Makanya saya bawa ke sini."
Gw baca alamat Lastri di rekam medis itu. Alamatnya di real estate di Cimahi. "Rumah Ibu di mana?"
"Rumah saya deket sini, Dok."

Gw menghela napas panjang di kursi gw. Masalah medis pasien sekaligus masalah rumah tangga sebuah keluarga terhampar tepat di depan gw.

Sebuah pasangan muda yang tinggal di Majalaya baru saja mempekerjakan seorang pembokat. Pada hari ke-10 bekerja, sang pembokat sakit, dan si majikan wanita malah menelepon nyokapnya buat ngurusin sang pembokat. Padahal ibunya itu tinggal jauh banget dari Majalaya. Si majikan tidak memeriksa latar sang pembokat betul-betul sebelum mempekerjakannya, pantesan mereka nggak ngeh bahwa pembokat mereka lagi hamil.

Di mana tanggung jawab para majikan ini terhadap buruh mereka?

Pembokat sakit mbok ya dirawat sendiri tho. Dianterin ke dokter sendiri. Jangan minta mamanya yang nganterin. Ini kan pembokat kamu, bukan pembokat nyokapmu? Memangnya di Majalaya nggak ada rumah sakit ya?!

Hari itu gw dapet pelajaran. Pembokat juga manusia. Mereka layak dapet tunjangan kesehatan seperti majikan mereka.

Bokap gw kirim pesan kemaren. Mbok Yam, asisten pribadi tetangga depan rumah gw di Bandung, meninggal dunia. Mbok Yam nggak punya keluarga. Dia mengabdi seumur hidup untuk tetangga gw dan berlebaran bersama mereka. Keluarga tetangga gw membawanya ke sebuah rumah sakit bereputasi bagus di Dago setelah dia terserang asma dan sakit maag. Begitulah seharusnya majikan merawat kesehatan asisten pribadi yang telah mengabdi untuk keluarga mereka selama bertahun-tahun.

Jangan biarkan pembokatmu sakit. Tanpa mereka, kamu nggak ada apa-apanya. Jasa mereka tiada tara.