Wednesday, October 21, 2009

Dilarang Salah Sebut Nama


Jemaah yang sering baca blog gw pasti udah tau gw kali ini bakalan nyindir tentang siapa, huehehehe..

Tapi sebelumnya gw mau cerita dulu tentang sebuah adegan menarik pas gw nonton Festival Bambu Nusantara tiga hari lalu. Jadi gini, malam itu di Mal Paris van Java, kan show-nya adalah permainan angklung bareng-bareng antara beberapa sekolah sekaligus. Gw sih nggak nonton dari awal ya coz gw telat datang ke situ satu-dua menit, tapi dari layar proyektor yang menyuting satu per satu artis yang main, gw bisa nebak bahwa salah satu sekolah yang lagi manggung menit itu adalah SMP 2 Bandung. Soalnya gw sempat nonton show mereka siangnya dan rupanya malam itu mereka belum ganti kostum.

Nah, lagu berakhir dan pengunjung pun tepuk tangan keprok-keprok. Lalu naiklah MC-nya ke pentas, mengumumkan, “Demikianlah
permainan angklung kolosal yang sekaligus menutup festival, bla...bla..bla..” sementara pemain-pemain angklung yang kira-kira jumlahnya sekitar 100-200 orang itu turun satu per satu dari panggung. Setalah ngomong beberapa kalimat basa-basi, MC-nya sempat terdiam sejenak (mungkin dia noleh ke seseorang di bawah panggung, nampak dari kamera yang menyorot dia dan nyambung ke layar proyektor), lalu berujar di depan mic dengan kalimat yang kira-kira seperti ini.. “Permainan angklung tersebut baru saja dibawakan oleh murid-murid dari..” dia diem dulu lho. “..SMA 2 Bandung..”

Spontan terdengar suara anak-anak teriak, “Es-Em-Pee..!!!”

Gw ketawa geli dari kawasan penonton dan melihat ke layar proyektor. Si MC-nya diem sebentar, lalu dia melanjutkan.. “Juga dimainkan bersama-sama SMP Taruna Bakti dan Universitas Pendidikan Indonesia..” Intinya dia sama sekali nggak meralat bahwa yang main barusan itu bukanlah SMA 2 Bandung yang di Cihampelas itu, tetapi sebenarnya yang main adalah SMP 2 yang di Jalan Sumatera.

Sebagai seorang mantan murid sekolahan yang dulu sering tampil di pentas sekolahan hanya untuk menguji apakah urat saraf malu gw masih utuh atau udah putus, gw pernah ngerasain jadi bagian segala tim seni musik di sekolah, mulai dari paduan suara, tim angklung, sampai
marching band. Jadi gw tau persis bahwa untuk bisa tampil di muka umum mewakili sekolah itu bukan hal yang gampang, tapi perlu latihan berbulan-bulan. Bisa gw bayangin betapa sewotnya anak-anak SMP 2 yang namanya disalahbacakan oleh pembawa acara menjadi SMA 2. Kan nama sekolah yang jadi harum malah SMA 2, bukan SMP 2. Padahal yang udah latihan capek-capek sampai punggung mau putus itu anak SMP 2, bukan anak SMA 2. Apa si MC karbitan nggak tau bahwa SMP dengan SMA itu beda? Lulus es-de nggak sih, Jeng?

Hehehe..jadi inget pelajaran pertama bahasa Indonesia gw di SMA dulu. Pada hari pertama ngajar, guru gw menulis namanya sendiri di papan tulis, lalu berkata, “Perhatikan baik-baik! Ini nama Ibu, dan ini adalah gelar Ibu. Ibu mau kalau kalian menulis nama Ibu harus lengkap seperti ini, komplit dengan gelarnya. Gelar ini diperoleh melalui proses bersekolah dengan susah-payah, jadi Ibu minta kalian menghargai baik-baik gelar pada nama setiap orang. Dan termasuk juga menyebutkan nama seseorang harus dengan lengkap tanpa salah sebut. Karena kalau kalian salah menyebut nama seseorang, salah membaca gelarnya, maka itu sama saja kalian tidak menghargai orang tersebut.”

Pelajaran itu gw ingat selalu sampai hari ini. Maka gw bisa ngerti kenapa kemaren waktu pelantikan presiden, Pak SBY nampak ekspresi mukanya berubah waktu denger namanya berulang kali salah disebut dan gelarnya dibolak-balik nggak karuan. Kata yang mbaca namanya, “Haji Susilo Doktor Bambang Yudhoyono..” Apakah petugas protokoler tidak menulis namanya dengan benar sampai-sampai pembacanya salah sebut melulu?

Terus terang aja, kalo misalnya suatu teks udah diketik dengan benar dan tugas kita cuman tinggal mbaca doang tapi kita salah mbaca melulu, kita harus mempertanyakan validitas mata kita. Barangkali mata kita kena katarak, jadi kudu dioperasi. Atau mata kita kena retinopati diabetik, suatu penyakit pada retina yang terjadi karena komplikasi sakit gula. Dan kalau mau nebak apakah diri kita kira-kira ngidap gula atau enggak, liat aja lingkar perut kita, perut kita ini buncit apa enggak?

Tulisan ini gw dedikasikan buat guru bahasa Indonesia gw, dra. Hj. Zulma Kartini. Terima kasih Bu, sudah mengajari saya pelajaran penting tentang itu. Saya mungkin tidak cukup beruntung jadi pejabat sekarang, tapi saya sangat beruntung sudah menjadi murid Ibu. Setidaknya, sampai sekarang saya tidak pernah salah menyebut nama dan gelar seseorang, seperti segelintiran orang yang saya lihat akhir-akhir ini.