Wednesday, November 4, 2009

Nyamar buat Nonton Film

Sebuah film kadang-kadang terpaksa dilarang untuk diputar di masyarakat gara-gara beberapa hal tertentu, biasanya lantaran nabrak norma-norma yang berlaku di masyarakat itu. Kadang-kadang karena film itu dianggap nggak sopan, rentan disalahartikan sebagai pelecehan, atau juga dianggap punya makna menyinggung otoritas yang berkuasa di masyarakat. Hari ini gw dapet kesempatan buat nonton film terlarang itu.

Tadi siang gw nonton film Kantata Takwa yang kebetulan diputer di Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung. Waktu gw baca promosinya di koran minggu lalu, katanya sih ini film musikal bikinannya Eros Djarot. Sehubungan gw sangat suka dengan show apapun yang mengandung nama orang beken dan gratis (hahahah.. Pelit MODE : ON), maka gw pun datang ke show ini, berharap dapet sesuatu.

Yang nonton kira-kira jumlahnya 200-an, hampir semuanya adalah mahasiswa yang kuliah di situ. Sempat dibuka prolog dari panitia, yang ngumumin bahwa Kantata Takwa ini sebenarnya film yang sempat dilarang beredar selama masa pemerintahan Orde Baru, dan baru boleh diputar pada tahun-tahun belakangan. Wow! Hati gw langsung antusias denger kata "dilarang", hehehe..

Film Kantata takwa, pada dasarnya adalah teater a la WS Rendra yang diangkat ke dalam bentuk film. Ceritanya sendiri nggak jelas. Isinya adalah orang-orang berpuisi yang mengkritik keadaan politik sosial budaya pada zaman itu. Rakyat hidup susah, sementara banyak orang-orang tajir hidup foya-foya sambil nyedot duit rakyat. Ketika beberapa orang berani protes lantaran otoritas membiarkan korupsi itu, maka para pemrotes itu dikurung. Ada beberapa yang nggak dikurung, tapi langsung dihabisi dengan kejam oleh sekelompok orang bersenjata yang pake topeng seperti pasukan Hazmat.

Kalo Anda biasa nonton film cerita, maka dengan baik hati gw saranin jangan nonton film ini deh, coz pasti Anda ngomel-ngomel sdndiri. Gw perhatiin dari awal sampai selesai, nih film isinya puisi melulu, tapi dihiasin lagu-lagu yang dinyanyiin Iwan Fals dan Sawung Jabo.

Kenapa film ini sempat didaulat terlarang ya? Mungkin coz amanat dari film ini sarat sindiran yang mengingatkan orang pada penguasa yang suka menegakkan kekuasaan dengan tangan besi. Entah gimana, tokoh kelompok bersenjata yang membunuh para pemrotes itu, mengingatkan gw pada "petrus"..

Tapi lain dari itu, memang banyak unsur film ini yang gw perkirakan bakalan bikin film ini kesandung di badan sensor manapun. Ada adegan Iwan Fals dikerubutin anak-anak yang lagi mandi di sungai, dan anak-anak itu di-syuting dalam keadaan telanjang bulat. Waduh, kalo nih film diputar di bioskop komersil, gw rasa bisa terjadi psikopat nyamar jadi penonton bioskop, truz nyuting layar dari bangku puncak ya..

Lalu yang bikin gw mual pas nonton, ada adegan anak-anak diiket di pohon truz ditembak. (Waduh, mudah-mudahan para aktris-aktris cilik ini sudah dikonseling dulu sebelum syuting bahwa ini hanya kerjaan seni.) Yang bikin gw sesak adalah adegan Iwan Fals yang dicabutin giginya satu per satu oleh orang-orang berkostum a la Hazmat itu.. Perasaan Kill Bill-nya Quentin Tarantino aja nggak sesadis ini deh..

Jadi, gw setuju nih film memang bagusnya cuman diputer di komunitas-komunitas tertentu aja dengan tujuan pendidikan, bukan buat kepentingan dagang. Nggak kecewa sebenarnya kalo nonton, coz pemeran utamanya adalah tampang-tampang yang cukup beken seperti WS Rendra, Iwan Fals, Sawung Jabo, dan Setiawan Jody. Dan akhirnya, hampir semuanya nggak ada yang idup..

Gw sendiri seneng banget sama soundtrack musiknya yang menghiasi adegan-adegan sepanjang film itu. Gw bukan penggemar Iwan Fals sih, tapi aransemen ulang pada lagu-lagu Iwan bikin musik pengiring filmnya jadi ada rohnya, bukan cuman sekedar tempelan doang.

Buat gw, makna istimewa dari sini bukanlah filmnya, tapi menontonnya itu yang spesial buat gw. Gw sebenarnya nggak niat nonton, tapi niat gw adalah ketemu Remy Sylado. Selama ini gw cuman tau dia dari buku-bukunya yang ada di ruang kerja gw, tapi gw nggak pernah liat langsung. Jadi denger Remy mau ke Bandung dan dateng ke acara diskusi film hari ini, maka gw pun dateng meskipun gw nggak pernah denger judul Kantata Takwa.

Ternyata, gw malah kecebur ke sebuah aula teater a la kampus seni, bersama ratusan mahasiswa seni yang kelakuannya beda banget dari mahasiswa kampus gw dulu. Buat gw tuh pengalaman unik sendiri, coz gw nggak pernah jalan-jalan ke kampus orang yang bukan bidang studi gw. Untunglah muka gw masih muka ranum gitu, jadi gw paling-paling dikira masih mahasiswa gitu. Pas gw mendatangi buku tamu, seseorang sempat nanya gw dari komunitas mana. Gw tulis aja, gw dari Kompasiana.com. Lebih mudah buat gw untuk mengaku blogger. Bayangin kalo gw mengaku profesi gw yang resmi, bisa lebih panjang nanti orang-orang nanyain gw, hahaha..

Oh ya, lantaran di aula itu aturannya nggak boleh ada yang motret-motret pake blitz, maka gw nggak bisa motret banyak-banyak. Gambar penonton di atas itu gw potret sendiri. Sedangkan gambar-gambar adegan gw culik paksa dari http://img258.imageshack.us, http://muhsinlabib.files.wordpress.com, dan http://filmfestivalrotterdam.com.

Kau nggak perlu jadi seniman, buat menilai sebuah karya seni. Tapi kau perlu usaha sedikit, untuk tahu apa yang digeluti orang-orang yang bukan berada di lingkunganmu. Hari ini, gw telah berpetualang berbaur dengan kaum dari dunia yang nggak pernah gw lihat.