Tuesday, November 24, 2009

Robot Pakai Blangkon

Mau memperkenalkan sesuatu? Jangan tanggung-tanggung. Bikin orang lain supaya ingat, bukan cuman sekedar lihat sepintas dan seterusnya lupa lagi. Seperti yang gw pelajarin waktu Sabtu lalu gw bela-belain ke mal buat nonton pertunjukan gamelan. Yup, sekarang udah bukan jamannya lagi gamelan cuman diputer di gedung-gedung kesenian yang sepi penonton, atau sekedar jadi hiasan di acara-acara kondangan. Kalo mau gamelan dikenal lebih banyak orang, ya mesti jemput bola di tempat-tempat yang menyolok, antara lain ya nanggap gamelan di mal.

Pemerintah kota Jogja nampaknya lagi getol mempromoin pariwisata mereka ke mana-mana, jadi sepanjang minggu lalu mereka menyewa hall lantai dasarnya Bandung Indah Plaza buat bikin pameran. Yang dijual di situ macem-macem, ada batik, tas rotan, dan sebagainya. Kalo gw sih lebih naksir booth yang jual bakpia dan yangko, hahaha.. *dasar gembul*

Truz, biar nggak kurang heboh, mereka juga bikin panggung segala buat nanggap gamelan. Hahaa..ini nih yang gw cari-cari! Maka mal yang biasanya semarak oleh lagu-lagu top 40, sekarang pun jadi bernuansa njawani karena suara sinden yang menggaung sampai ke seluruh mal. Sabtu lalu, gw ada di sana, dan gw pun dengan sigap nyabut kamera dari tas, lalu siap-siap motret.

Gw berdiri di depan panggung itu. Ada satu orang sinden duduk, di sampingnya ada 4-5 pemain gamelan di balik instrumen masing-masing. Gw menatap pasukan kecil itu, menunggu momen. Satu menit, dua menit. Gw terhenyak. Mana seninya?

Sinden itu menyanyi. Ada seorang laki-laki menabuh saron. Ada seorang yang lain memetik rebab. Ada suara musik mengiringi lagu. Tapi pemain kendang menganggur dan tidak menabuh kendangnya. Rekannya yang kebagian menotok saron yang satu lagi, juga diam aja dan nggak nabuh-nabuh apapun. Padahal, jelas-jelas gw denger ada suara kendang kok!

Ini lip-sync?!

Gw memberengut manyun. Niat mulia mau motret orang main gamelan, terpaksa batal gara-gara musisi-musisi berblangkon itu diam aja di balik alat gamelan mereka. Kalo nggak main, kenapa malah duduk di atas panggung? Turun sajalah dan biarkan kendang dan saron-saron itu cukup jadi pajangan belaka.

Lalu gw berpikir, kadang-kadang di satu lagu ada saat di mana yang bersuara hanya vokalis dan satu orang pemain instrument, sementara anggota-anggota band lainnya dalam posisi istirahat. Tapi di atas panggung itu pun mereka nggak semata-mata diam, setidaknya mereka pura-pura nabuh bilah dengan pelan tanpa sudara. Karena penikmat musik itu bukan cuman dengerin suaranya doang, tapi mereka juga ngeliatin gerak-gerik musisinya. Diam saja di atas panggung itu merusak estetika pertunjukan.

Agak lama gw di mal itu. mondar-mandir masuk supermarket, toko baju, dan toko buku. Keluar lagi, berharap orang-orang itu memainkan instrumennya “sungguhan” supaya gw bisa motret pemandangan bagus. Semangat gw naik waktu pembawa acara ngumumin bahwa ada pertunjukan tari. Asyik!

Lalu masuklah tiga perempuan menari di depan panggung. Tariannya sih kayaknya nyeritain perempuan-perempuan Jawa yang lagi dandan. Gw malah ngeliatin pasukan gamelan yang jadi latar di panggung. Sindennya diam aja, padahal terdengar suara perempuan nyanyi. Awak-awak gamelannya juga nganggur.

*Apa yang kauharapkan, Vic? Sebuah pertunjukan live di mana sinden dan anak-anak gamelan bermain musik mengiringi orang menari?*

Well, gw mengakui. Ya, begitulah.

***

Ada beberapa alasan kenapa gamelan makin terpinggirkan bahkan di kalangan masyarakat Jawa sendiri. Pelajaran tentang gamelan di sekolah-sekolah dasar nggak nyantol, coz nggak semua sekolah punya alatnya. Maka digelarlah pertunjukan gamelan di mal, coz pelajaran di mal tentu lebih nyantol ketimbang pelajaran sekolah, coz kemasannya lebih menarik.

Tapi sedikit banyak pelestarian gamelan juga dipengaruhi kemampuan sumber daya manusianya buat menjadikan gamelan sebagai tontonan menarik. Perlu dibikin penelitian tentang lagu-lagu apa yang disukai orang buat dimainkan gamelan. Sindennya mesti atraktif, minimal ya nyanyi sambil senyum. Pemain gamelannya juga mesti main dengan penuh penghayatan, bukan cuman sekedar berperan jadi robot yang disuruh pake blangkon. Hal-hal kecil seperti itu, bisa bikin orang mau berdiri lama-lama terpaku menonton gamelan. Bukan cuman sekedar melihat sekilas, kemudian pergi begitu aja seolah-olah gamelan itu hanya musik tukang kentrung biasa.

Jadi, apakah kira-kira para pelaku seni gamelan itu sudah berpikir ke arah situ?