Sunday, November 1, 2009

Suatu Hari "Sok Nyeni"

Menjadi perempuan ternyata cukup pusing. Harus bisa dandan cantik, harus bisa isi perut. Dan harus selalu nampak bersih. Siyalnya nggak semua perempuan bisa kayak gitu. Setidaknya itu yang gw tangkap dari pameran lukisan ini.

Sebenarnya gw nggak tau persis alasan gw ke pameran seni rupa kemaren. Gw lagi kepingin belajar memahami profesi orang lain, dan waktu gw baca bahwa ada pameran tunggal seorang seniman bernama Hanafi, gw mutusin untuk datang biarpun gw nggak pernah kenal namanya. Soalnya:
1. Masuknya gratis, nggak bayar.
2. Tempatnya nggak jauh dari rumah. Pamerannya digelar di Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung.
3. Digelar di Gedung Indonesia Menggugat. Katanya itu gedung bersejarah di Indonesia. Gw penduduk Bandung, tapi gw nggak pernah dateng ke situ. Sungguh memalukan. Meskipun menurut gw, bukan salah gw juga. Di sana nggak ada yang jual makanan.
4. Pada waktu gw bisa ke sana kemaren, nggak ada jadwal syuting, nggak ada janjian wawancara dengan pers, nggak ada pemotretan..:-P

Jadi gw dateng ke sana, agak sedikit pangling coz gw sempat mengira gw kesasar. Tempat itu nyaris kosong, nggak ada apa-apanya. Satu-satunya yang menyambut gw adalah meja buku tamu, menandakan bahwa di situ sedang digelar "sesuatu". Gw nyaris ketawa coz di meja itu nggak ada yang jaga. Batin gw, ini yang bikin acara, niat nggak, seeh? Kalo gw maling yang niat nyolong lampu, gimana dong?

Jadi gw melangkah masuk, lalu celingukan di ruangan dalam. Yang pertama kali menarik perhatian gw adalah barisan baju ini. Dan gw sempat mengira gw sudah kesasar masuk butik setengah jadi.

Untunglah daya nalar gw masih bekerja. Butik mana pun nggak akan gantung baju di tempat gantungan yang bentuknya mirip cewek yang gesturnya berkata, "Cape deeh..!"

Oke, gw salah. Ini bukan baju. Ini adalah kain-kain yang dibentuk dengan dua dimensi sehingga membentuk baju. Tiap figur dipasangin celana dalam putih (itu CD beneran!) seolah menegaskan seksualitas perempuan. Hm, sayang. Mestinya senimannya cari celana dalam cewek yang bentuknya lebih modis, jangan yang model konvensional gitu.

Selanjutnya gw disambut lukisan-lukisan yang digantung berjejer di tembok. Eh, bukan tembok ding, seseorang nampaknya telah menggantung kain belacu putih di sepanjang dinding, menyulap gedung yang tadinya rumah biasa itu menjadi sebuah galeri yang cukup ciamik (atau dalam kesan awam gw: polos).

Lukisannya rata-rata suram. Gw sengaja nggak riset duluan tentang pelukisnya, coz gw kepingin mengapresiasi karya-karyanya dengan jujur dari pandangan orang awam yang nggak tau apa-apa tentang seni rupa. Lukisannya menggambarkan perempuan telanjang yang mukanya ketutupan rambutnya yang panjang, dan semuanya digambar dalam posisi putus asa. Semuanya nampak sedih dan perempuan di sini nampak menderita.

Karena gw nggak suka gambar yang suram-suram, maka gw nggak motret banyak-banyak. Jujur aja, ini bukan jenis lukisan yang mau gw pasang di ruang tamu gw. Satu-satunya lukisan yang jadi favorit gw justru lukisan ini.

Perempuan ini telanjang dalam keadaan posisi nelangsa. Pelukisnya membelah lukisannya menjadi dua bagian, lalu menancapkan gergajinya persis di gambar selangkangan. Adakah ini bercerita tentang perempuan yang sudah ngalamin pelecehan seksual habis-habisan dan pada akhirnya daya kewanitaannya telah dikebiri?

Setelah puas ngecengin lukisan-lukisan perempuan sedih itu sendirian (nggak ada pengunjung lain saat itu), akhirnya seorang satpam menyambut gw di pintu dan ngasih gw souvenir berupa buku, dan gw baca pas gw udah pulang ke rumah.

Hahahah..ternyata memberikan buku pengantar acara, ngasih pengaruh beda ke gw. Ternyata, pameran lukisan itu diilhami dari puisi Rendra yang berjudul Nyanyian Angsa. Puisi ini berkisah tentang Maria Zaitun, perempuan yang terpaksa jadi pelacur lantaran kepepet jadi melarat. Sampai kemudian Maria Zaitun kena sifilis sehingga dia nggak laku lagi jadi perek. Sudah telat stadium sifilisnya buat diobatin waktu Maria Zaitun minta bantuan dokter, dan ketika ia minta bantuan religius kepada pastor, dia nggak mendapatkan ketenangan yang dia impikan.

Barulah gw ngerti kenapa lukisan-lukisan itu tadi nampak suram sekali. Bahkan keseluruhan pamerannya mencerminkan sedih. Dinding dan lantai ruangan yang dibungkus kain yang putih bersih, kontras dengan lukisan-lukisannya yang hampir semuanya bercerita tentang perempuan "kotor". Seolah-olah mau bilang, di dunia ini nggak ada yang seluruhnya baik-baik aja. Pasti ada yang nggak beres, dan siyalnya, yang nggak beres itu hampir selalu diumpetin, tapi sebenarnya keliatan kalo kita mau perhatikan dengan jeli.

Gw bukan peminat seni rupa. Gw adalah dokter, dan satu-satunya kerjaan seni rupa yang gw sukai hanyalah menjahit luka orang. Tapi datang ke pameran seni rupa dalam keadaan tidak tahu apa-apa dan belajar sesuatu, adalah pengalaman yang sangat mengesankan buat gw.