Saturday, November 27, 2010

Standar-standaran Dodol

"Karena saya sekolah tinggi-tinggi, untuk berpikir. Bukan buat jadi robot."

Kemaren adek saya nelfon dan cerita-cerita. Jadi, dia baru dapet kerjaan, disuruh gantiin praktek seorang dokter di deket rumahnya. Pasiennya banyak sih, jadi lumayan adek saya dapet penghasilan. Cuman adek saya nggak seneng praktek gantiin dokter itu.

Si dokter itu bikin peraturan, misalnya kalau penyakitnya A, lantas pasiennya diobatin dengan paket obat X. Sedangkan kalau penyakitnya B, lantas pasiennya diobatin dengan paket obat Y. Dan seterusnya. Pokoknya tiap penyakit tuh sudah ada daftar obatnya sendiri-sendiri. Dan adek saya mesti nurutin "standar" itu. Persis robot.

Adek saya nggak suka. Pasalnya, standar itu juga nggak bener-bener amat. Di dalam tiap paket tuh ada obat yang sebenarnya nggak perlu buat diminum pasiennya. Alhasil, kalau dipaksakan buat dikasih ke pasiennya, maka pulang-pulang pun pasiennya jadi bawa terlalu banyak obat. Otomatis, pasiennya jadi bayar lebih kan?

Memang sih, kalau di dusun-dusun gitu, jarang banget ada toko obat. Biasanya dokter praktek sembari jualan obat, jadi supaya pasiennya nggak mondar-mandir cari-cari toko obat lagi. Lebih praktis sih.

Tapi ya itu. Dokter jadi tergoda buat obral obat-obatan. Mana kalau di dusun-dusun gitu pasien kan suka nggak mikir panjang. Disuruh dokternya minum obat lima biji sekaligus, ya manut aja. Mana tahu pasiennya kalau sebenarnya obat itu nggak perlu diminum semuanya?

Akibatnya dokternya praktek bukan buat ngobatin orang sakit lagi. Tapi tujuannya lebih untuk jualan obat.

Adek saya, dokter yang baru lulus, merasa idealismenya diganggu. Dia mulai seperti saya, yang nggak suka profesi penyembuh disamaratakan dengan tukang jualan obat. Dari dulu saya selalu bilang, kalau pasien nggak butuh obat banyak-banyak, ya nggak usah dikasih obat yang memang nggak diperlukan. Janganlah cuman gara-gara nyari duit lantas kita membodohi pasien-pasien kita yang memang nggak tahu apa-apa soal obat.

Jadi inget, dulu pertama kali saya dapet kerjaan, di sebuah klinik. Ada standar prosedur di klinik itu, kalau orang luka dan harus dijait, diobatinnya pake amoksisilin dan asam mefenamat. Amoksisilin buat basmi kuman, asam mefenamat buat pereda nyeri.
Ya Tuhan, saya mbatin. Amoksisilin nggak akan cukup manjur untuk membasmi seluruh kuman di luka itu. Kenapa nggak pakai obat yang lain aja?
Tapi boss saya di klinik itu melarang saya ngobatin pakai obat lain yang lebih manjur. Alasannya, obat itu nggak dijual dalam klinik itu.
Saya bilang, ya udah, kasih resep ke pasiennya, suruh pasiennya nebus obat di apotek seberang jalan. Saya dilarang juga, coz itu kan namanya bukan bikin kliniknya laku, tapi malah bikin tempat usaha orang lain laku.

Saya nggak tahan. Coz saya tahu kalau pasien luka jait itu cuman diminumin amoks, dia akan menghadapi resiko kena tetanus di kemudian hari karena amoks tidak cukup membunuh kuman anaerob di tempat lukanya.

Saya langsung keluar dari klinik itu begitu nemu kerjaan yang lebih enak di klinik lain.
Buat saya, kerjaan yang enak itu bukanlah kerjaan yang gajinya lebih banyak. Tapi kerjaan yang enak adalah kerjaan yang nggak bertentangan dengan hati nurani saya.

Pasien itu sendiri memang tabiatnya macam-macam. Ada jenis pasien yang seneng bawa pulang obat banyak-banyak. Buat dia, makin banyak obat yang mesti dia minum, dan bahkan makin mahal obatnya, makin senenglah dia. Maka saya bisa ngerti kenapa dokter yang disubstitusi adek saya di dusun itu demen kasih obat banyak-banyak. Mungkin supaya pasiennya puas dan besok-besok balik lagi ke dokternya.
Oh well, tentu saja pasiennya balik lagi. Karena minum obat yang nggak perlu-perlu justru bikin penyakitnya nggak sembuh-sembuh.

Saya nolak keras ide itu. Coz saya inget dalam sebuah simposium yang saya hadirin, seorang profesor pernah berkata, "Kalau pasien datang ke kita, pikirkan supaya dia sembuh. Jangan pikirkan supaya besok dia datang lagi!"

Jadi, saya bersyukur dalam hati, coz adek saya yang masih fresh-graduated nggak tergoda akan duit banyak yang diperoleh dari menjadi robot yang melakukan standar penjualan obat. Semoga dia nemu kerjaan yang dia senangi, tanpa harus gangguin nuraninya yang nggak mau membodohin pasien.
Dan saya bersyukur idealisme saya belum diusik oleh tuntutan perut. Buat apa capek-capek sekolah dokter, kalau ujung-ujungnya cuman buat jadi robot tukang jualan?
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com