Saturday, January 18, 2014

Gravitasi Bicara

Akhir-akhir ini foto Veri Afandi lagi jualan bakmi bareng Pasha Wijaya di Tangerang wara-wiri di internet. Bikin saya terharu.

Bagi yang nggak tahu siapa dua orang itu, sini saya bantuin. Pasha juara ke-6 (kalau nggak salah) AFI musim ke-2. Veri lebih parah lagi, juara pertama musim ke-1.

AFI, alias Akademi Fantasi Indosiar adalah kontes nyanyi bikinan Indosiar yang pernah ngetop sembilan tahun lalu. Kontes ini adalah "cabang" dari kontes Academia bikinan Mexico.

Sewaktu itu, AFI adalah acara yang punya rating yang tinggi banget. Juaranya jadi terkenal di mana-mana, dan sering muncul di tivi. Sayangnya, dua tahun kemudian, AFI anjlok. Penonton bosan. Satu per satu artis-artis AFI tenggelam dan nggak pernah kedengeran lagi namanya. Malah yang justru masih membekas dari AFI hanya jurinya, Trie Utami, yang gara-gara acara itu sampek beken dengan istilah "pitch control" yang lebih sering dos-q ucapin ketimbang namanya sendiri.

Ada beberapa sebab kenapa AFI ini gagal memperpanjang umur popularitas artis-artisnya sendiri. Salah satunya, karena AFI mewajibkan juara-juaranya untuk kontrak eksklusif dengan Indosiar doang selama tiga tahun. Artinya, artis-artisnya dilarang main di stasiun tivi lain. (Juara ketiga AFI musim pertama, Mawar, ngambek gegara kontrak ini dan mutusin nggak mau ikut manajemen AFI lagi semenjak kontes musim pertama itu ditutup.) Ini jadi bumerang karena Indosiar gagal mempertahankan mutu acaranya sendiri, sehingga penonton bosan, lalu market share menurun, dan itu mengurangi popularitas artis-artis Indosiar sendiri.

Yang kedua, AFI menjadi pelopor kontes artis instant di tivi. Dan ini pun diikuti tumbuhnya kontes-kontes serupa, misalnya Audisi Pelawak Indonesia di TPI, Kontes Dangdut Indonesia di TPI, bahkan ada kontes nasyid segala. Sebenarnya ini lumrah, tapi yang jadi problem adalah dibikinnya acara behind the scene dibalik acara-acara tersebut. Acara-acara behind the scene itu menyedot slot siaran yang banyak, akibatnya penonton jadi kebosanan, dan market share menurun, sehingga lama-lama acara itu ditinggalkan penontonnya.

Persoalan jadi muncul ketika show sudah selesai, produksi sudah berakhir, tetapi artis yang baru diorbitkan ini belum cukup populer untuk berdiri sendiri. Manajemen acara Indosiar yang morat-marit ternyata kewalahan memberi job buat mereka, sedangkan para artis baru ini nggak bisa tampil kreatif menjual diri karena terperangkap kontrak eksklusif Indosiar.

Padahal beberapa dari mereka sudah kadung berkoar-koar di kampung halaman bahwa mereka udah kadung jadi artis. Kalau diingat bahwa dulu untuk bisa menang kudu banyak-banyakan dapet SMS, keluarga mereka ada yang sampek jualan ini-itu demi nyogok beli pulsa.

Dengan tingginya tekanan yang harus dihadapin sebagai artis instant yang menang dari kontes, maka tidak heran nggak banyak dari mereka bisa bertahan. Maka melihat Veri dan Pasha sekarang jualan mie seharga ceban di Tangerang, seharusnya ini bukan hal yang mengejutkan.

Teman saya bilang, ini hukum gravitasi. Dulu di atas, sekarang di bawah. Dulu pernah hidup jetset jadi orang beken, sekarang ya jadi orang sederhana aja.

Saya memang nggak pernah percaya Indosiar bisa mengelola artisnya dengan baik. Kalah jauh dengan bagaimana RCTI memelihara Delon sebagai runner-up Indonesian Idol.

Coba kalau hadiahnya menang AFI itu bukan kontrak jadi artis, tapi digratisin sekolah di sekolah bisnis yang bermutu. Barangkali akan jauh lebih berguna. Ah, mungkin nunggu saya jadi produsernya AFI dulu..
Powered by Telkomsel BlackBerry®