Tuesday, January 7, 2014

Imunisasi yang Gagal

Sepertiga penduduk Indonesia punya kuman TBC di dalam dirinya. Saya diberi tahu itu waktu kuliah dan terhenyak. Lho, imunisasi anti-TBC kan sudah 30 tahun lebih digalakkan di Indonesia, kok hari gini masih banyak orang kena TBC juga?

***

Sewaktu saya kerja di Cali, beberapa tahun lalu juga, suatu hari seorang perawat marah-marah. Karena mendadak hari itu kantor klinik kami kena pemadaman listrik bergilir dan PLN lokal nggak bilang-bilang. Yang paling membuat perawatnya senewen waktu itu, karena pemadaman bergilir bikin kulkas di kantor jadi ikutan mati. Sedangkan kulkas itu kami pakai buat nyimpan vaksin hepatitis B yang mau ditujukan buat nyuntik orang-orang yang mau naik haji.

Di masa-masa sulit itu saya berkawan dengan beberapa perawat dan mendengar curhatan paramedis lokal. Tentang Puskesmas-puskesmas yang nggak dapet listrik sehingga dokternya sampek nggak berani minta kulkas ke Dinas Kesehatan. Padahal di pelosok-pelosok itu masih banyak anak-anak kecil yang kudu diimunisasi BCG, tetanus, atau campak.

Jadi perawatnya pun nggak kurang akal. Mereka ngepak vaksin-vaksin itu di dalam peti, lalu petinya diangkutin pake perahu kano, terus dengan kano itu mereka nyusurin sungai ke desa-desa terpencil membawa peti itu, menyasar desa-desa yang banyak anak kecilnya. (Bahwa orang tuanya banyak yang dihasut tentang imunisasi-bisa-bikin-anak-setep, itu cerita lain.)

Saya tahu kadang-kadang sungai di Cali itu begitu mengerikan, di musim hujan debit airnya begitu deras, kadang-kadang sungai itu lebih mirip badai banjir, perjalanan vaksin dengan perahu itu bisa prolong. Bagaimana nasib vaksinnya? Kan vaksin bisa rusak kalau berada di luar kulkas lama-lama?

Perawat itu menjawab sembari nyengir, "Dok, yang penting programnya jalan.." Maksudnya, cakupan imunisasinya desa itu harus terlengkapi. Bahwa yang disuntikin itu vaksin yang sudah rusak, hanya Tuhan Yang Mahatahu..

Sejak itu saya jadi ngerti kenapa masih banyak orang di negeri ini kena TBC. Meskipun katanya sih dulu waktu kecilnya sudah disuntik lengkap di Posyandu. Bisa jadi, yang disuntikin itu vaksin yang sudah rusak. Vaksinnya rusak karena kulkasnya mati. Kulkasnya mati karena kena pemadaman bergilir..

***

Kemaren seorang kolega cerita bahwa dos-q baru senewen. Waktu itu dos-q nyimpenin vaksin dalam kulkas di sebuah gudang di tempat prakteknya. Pas tempat praktek lagi tutup, ternyata mati lampu. Nggak ngerti itu mati lampunya berapa lama, tapi vaksin-vaksin yang belum terpakai itu terpaksa dibuang.. :(

Saya teringat perawat di Cali dan bilang, "Kita nggak mau pakai metoda Puskesmas-korban-pemadam-bergilir?"

Kolega saya nampak terperanjat, seolah saya baru ngucapin kalimat dosa. Lalu katanya, "Mbak..vaksin itu urusannya sama Lillahi Ta'ala. Kita bisa aja pura-pura angkat bahu, tapi kan Allah Maha Melihat?"

Buka usaha praktek dokter itu nggak gampang. Ini bukan cuman duduk-duduk doang dan notol-notolin stetoskop di dada orang, lalu nagihin duit dan dicap mata-duitan.

Pasien nggak tahu apakah mereka disuntikin vaksin yang masih bagus atau vaksin yang udah rusak. Mereka tahunya cuman mereka udah diimunisasi, itu doang. Cuman kita para dokter, dan paramedis, dan Tuhan, tentu saja, yang tahu apakah vaksin itu akan bekerja atau tidak.

Buat pembaca blog saya yang kena sakit padahal merasa udah diimunisasi, terimalah kenyataan. Bukan salah suster atau dokternya yang nggak becus nyuntik. Bukan salah tubuh Anda juga yang terlalu letoy. Masalahnya cuman satu, Anda diimunisasi di negara yang voltase listriknya naik turun..