Wednesday, January 15, 2014

Plonco Petugas Asuransi

Saya ke bank hari ini. Cuman mau ngeprint buku tabungan. Lalu teller-nya, seorang cewek bersasak tinggi yang sekseh, nawarin saya ikutan asuransi jiwa.

Saya tanyain apa yang ditanggung. Katanya Miss Sasak Tinggi Sekseh, kalau saya meninggal, saya dapet santunan.

Saya nanya, kalau rawat jalan, ditanggung nggak? Miss Sasak Tinggi Sekseh tampak ragu, takut salah njawab, lalu dos-q minta ijin saya untuk hubungkan ke pegawai lainnya. Saya yang hari ini lagi nggak ada kerjaan, menyilakan. Barangkali pegawainya ada yang butuh speaking training, saya bersedia kalau kuping saya dijadikan kelinci percobaan.

Lalu datang pegawai lain, seorang pria yang membungkuk rendah banget. Saya heran ngeliatnya, apakah dia kena hernia nucleus pulposus di punggungnya?



Mr Curiga Hernia Nucleus Pulposus tanya apakah yang saya butuhkan itu asuransi kesehatan, bukan asuransi jiwa.
Saya nyengir dalam hati. Lho, saya nggak butuh asuransi. Tapi sepertinya kalian butuh kuping untuk percobaan speaking training.

Saya tanya asuransi kesehatan itu apa.
Jawabnya kalau saya sakit, akan dapet santunan.

Saya mikir, maksudnya kalau gw pilek dan keluar lendir ijo, jadi gw dibayar, gitu?
Saya tanya, santunannya bentuk apa? Kalau berupa sumbangan mukena, gw ogah.

Jawab Mr Curiga Hernia Nucleus Pulposus, kalau saya dirawat di rumah sakit, maka seseorang akan membayari.

Saya mengerutkan kening. Mosok gw mau dirawat di rumah sakit cuman gara-gara pilek keluar lendir ijo? Bisa abis gw diketawain dunia.

Saya nanya, kalau rawat jalan, dapet santunan berapa?
Mr Curiga Hernia Nucleus Pulposus mulai kebingungan. Lama-lama membungkuknya kok makin rendah. Saya mulai gatal untuk tidak bertanya, Hey, Dude, punggung situ kenapa?

Lalu dia mengoper nasabah skeptis ini ke pegawai lain. Pegawai yang juga sama-sama rendah sekali membungkuknya. Sehingga saya mulai curiga di bank ini ada wabah hernia nucleus pulposus. Cuman pegawai yang ini sibuk megang tablet. Saya diem aja di kursi nasabah sementara dia sibuk mencet-mencet talenan listrik itu berupaya "simulasi".

Gini, Bu, katanya, asuransi kesehatan ini ada lima tipe paket. Masing-masing tipe dibedakan menurut plafon dan biaya preminya. Ia melirik KTP saya, lalu berujar bahwa umur semakin tua maka paket yang diperlukan juga membutuhkan premi lebih mahal.

Saya nanya, beda plafonnya apa?
Dia jawab, asuransi kesehatan juga memerlukan premi lebih mahal daripada asuransi jiwa.

Mata saya yang udah sipit karena eye shadow, jadi semakin menyipit. Mr Talenan Listrik ini sudah mengucap kata "mahal" dua kali. Dari tadi siapa yang tanya biaya? Barangkali pertanyaan saya kurang efektif efisien.

Saya meluruskan duduk saya dan berkata dengan sabar, "Coba Anda terangkan kepada saya bedanya plafon A, plafon B, plafon C, dan seterusnya."

Saya mengharapkan jawaban seperti plafon A dapet obat antibiotik tanpa tes resistensi. Plafon B dapet obat antibiotik dengan tes resistensi, jadi preminya pun lebih mahal. Plafon C dapet obat antibiotik plus kultur resistensi ulang bila sakit tidak sembuh dalam 7 hari. Plafon D dapet obat antibiotik plus kultur dengan media anaerob. Plafon E dapet..

Tapi Mr Talenan Listrik berkata, "Oh, plafonnya beda pada jumlah santunan rawat inap, Bu Vicky."
Masya Allah, rawat inap lagi.
Saya bertanya lagi, "Terus, santunan rawat jalannya dapet nggak?"
Mr Talenan Listrik langsung berujar bahwa bank mereka tidak menyediakan asuransi dengan santunan untuk rawat jalan.

Saya langsung tersenyum, memuji keterangannya yang sangat mengesankan, dan saya tidak mau ikut asuransinya.
Mr Talenan Listrik membungkuk rendah sekali dan mohon maaf karena nggak bisa memenuhi apa yang saya inginkan. Dia bilang, rawat jalan bisa disantuni oleh asuransi yang di-cover dari perusahaan tempat suami saya bekerja.

Saya melempar senyum menghibur it's-okey-you-have-done-your-job-untuk-beriklan-di-hadapan-gw. Situ-nggak-akan-dapet-apa-apa-kecuali-speaking-training-di-hadapan-calon-nasabah-yang-terlalu-kritis. Sambil simpati dalam hati, kenapa dia harus kerja pada perusahaan yang menyuruhnya membungkuk-bungkuk terus-menerus. Kapitalisme kadang begitu kejam. Atau jangan-jangan bossnya itu keluaran abdi dalem keraton Jogja, makanya mbungkuk-mbungkuk terus.

***

Asuransi jiwa buat saya adalah omong kosong. Saya mati, tidak bisa dibeli dengan duit. Keluarga saya tidak akan terhibur dengan duit bila saya mati. Kecuali kalau asuransi mau membayar supaya umur saya bisa rada lebih panjang dikit. Dan memperpanjang umur tidak bisa hanya dengan menginapkan nasabah di rumah sakit pada kamar kelas satu atau kelas VIP sekalipun. Justru berobat rawat jalan itu yang memperpanjang umur. Atau setidaknya meningkatkan kualitas hidup pada sisa umur nasabahnya. Itu yang seharusnya ditanggung oleh perusahaan asuransi.