Friday, May 9, 2014

Aku Pernah Di-Bully Guruku

Karena sekarang lagi musim berita pelecehan anak, saya juga mau ikut-ikutan cerita.

Saya bersekolah di sebuah SD negeri yang letaknya di depan kantor balai kota Bandung. Nyokap pilih nyekolahin saya di sana karena reputasinya bagus di kalangan tetangga.

Salah satu memori kelam yang sampek sekarang masih saya inget adalah guru agamanya. Saya nggak tahu sebenernya berapa jumlah guru agama yang ngajar di sana, tetapi guru agama yang ngajarin saya dari kelas satu sampek kelas enam ya orangnya itu-itu aja. Adek saya juga sekolah di sana, dan pelajaran agama di kelasnya diajar oleh orang yang sama.

Saya menanggung beban berat selama SD karena selama SD itu saya selalu mondar-mandir di lingkaran tiga besar ranking. Jaman itu adalah jaman jahanam di mana gengsi seorang murid ditentukan dari ranking-nya, dan itu sangat merepotkan murid bersangkutan coz begitu dos-q terhempas dari ranking langganannya maka dos-q akan jadi bulan-bulanan. Ya bulan-bulanan gurunya, orangtuanya, bahkan teman sekelasnya sendiri. It is menjijikkan.



Suatu hari otak saya lagi mandek. Saya kehilangan konsen. Saya lupa sebabnya apa, entah kurang makan, ngantuk, atau kepikiran acara tivi. Hari itu guru yang biasa ngajarin matematik, nggak masuk. Mendadak dos-q digantikan oleh guru agama.

Guru agamanya ngajarin topik matematik itu. Lalu tibalah saatnya ngerjain soal cerita. Tahu-tahu dos-q manggil saya, suruh saya kerjain soal itu di papan tulis. Lalu saya nggak bisa.

Dos-q marah-marah. Mengucapkan sesuatu seperti, "Kamu anak pinter kok nggak bisa ngerjain ini?"

Umur saya 10 tahun waktu itu, dan sudah mulai belajar logika. Sumpah, saya nggak tahu bagaimana caranya saya bisa dibilang pintar. Menurut saya, reputasi selalu masuk ranking nggak bisa dibilang pintar. Apalagi cuman untuk ukuran sebuah sekolah negeri di Bandung. Bandung itu kota kecil lho.

Hati saya ngamuk waktu itu. Ngamuk karena dimarahi guru untuk sesuatu yang menurut saya bukan salah saya. Iya, saya salah karena nggak bisa ngerjain soal matematik sederhana yang brengsek itu. Tapi apakah saya salah kalau sekali-kali saya nggak bisa memenuhi ekspektasi seorang penghuni "ranking"?
Itu adalah masa di mana saya benci banget jadi "anak pintar".

Kalian kalau jadi saya, mau ngapain? Mendam kemarahan di dalam hati? Tolong jangan bilang curhat ke ortu, please..

Ortu saya nggak bisa berbuat apa-apa. Protes ke kepala sekolah? Haha. Kayak yang kepseknya bisa menenangkan ortu aja. Saya juga nggak berharap banyak pada sekolah negeri. Apalagi dengan menteri pendidikan yang kayak gitu.

Yang masih saya sesalin sampek sekarang, ortu nggak pernah bisa menghibur saya. Bilang apa gitu kek. "Sudahlah, tiap manusia bisa salah sekali-dua kali." Atau "Mom nggak peduli kowe nggak bisa kerjain soal matematik itu, toh selama ini saban TPB kowe selalu dapet nilai sepuluh." (Jaman dulu evaluasi tiap empat bulan itu namanya Tes Prestasi Belajar. Sekarang mungkin namanya Ulangan Umum.)
Saya kepingin banget dibilangin begitu.

Tapi apa yang saya dapet dari ortu? Mereka hanya bilang, "Mosok soal gitu aja kowe nggak bisa ngerjain? Makanya tho jangan nonton Santa Barbara terus!" Lha, yang disalahin kok Robin Wright dan Brandon Call..

Adek saya ternyata dapet musibah yang sama beberapa tahun kemudian. Nggak bisa ngerjain soal juga. Yang marahin dos-q itu guru agama yang sama. Tapi penghinaannya lebih brengsek lagi. Saya inget bunyinya begini, "Mosok anaknya dokter nggak bisa ngerjain soal beginian?"

Sumpah, saya marah sekali waktu itu dan langsung berdoa semoga si guru nggak bisa pup. Apa sih hubungannya nggak bisa ngerjain satu nomer soal dengan pekerjaan orangtuanya?

Adek saya pulang dari sekolah, mengadu ke nyokap dan menceritakan kejadian itu. Nyokap terdiam. Lalu beberapa saat kemudian, nyokap cerita. Kepada adek saya yang baru berumur 9 tahun dan saya yang baru berumur 12 tahun. Tentang kesejahteraan guru di negara ini yang undervalue. Tentang murahnya biaya sekolah guru sehingga bisa dijangkau oleh orang miskin. Tentang perekrutan guru sekolah negeri, yang sarat nepotisme dan kolusi.

Saya mengerti, dan berhenti marah-marah. Lalu belajar memaafkan keadaan. Itu beban yang terlalu berat untuk harus saya dengar padahal saya terlalu kecil waktu itu.

Saya mencoba mengingat-ingat secara obyektif tentang sang guru agama. Tapi saya tidak bisa ingat jelas tentang jasa-jasanya. Dia tidak membuat saya mengerti bahwa menjadi bertakwa akan membuat saya lebih menarik (saya baru rajin sholat setelah umur 14 tahun). Sampai umur 13 tahun saya masih mengharapkan pelajaran agama itu dihapuskan saja karena saya nggak merasakan manfaatnya, justru pelajaran itu penuh dengan pungutan-pungutan liar (apakah cuman kebetulan bahwa pada umur segitu, saya selalu dapet guru-guru agama yang doyan cari "obyekan"?).

Mbok ya, kalau murid nggak bisa itu, ya dibimbing.
Guru tugasnya membimbing, bukan mem-bully.
Bullying itu nggak selamanya dalam bentuk kekerasan fisik. Di kehidupan nyata, justru lebih banyak bullying verbal ketimbang bullying fisik.
Orang tua mestinya melindungi anaknya dari bullying, bukan memperberat bullying terhadap anaknya. Minimal ya ngajarin anak untuk jadi lebih tegar dan tabah.
Anak yang tegar mungkin akan berumur lebih panjang di sekolah yang berat itu. Tapi ketegarannya itu tidak akan membuatnya bisa menikmati masa kanak-kanaknya. Saat dia bisa menikmati masa kanak-kanaknya, dia lebih siap jadi orang sukses ketika dewasa.

Saya belum jadi orang tua. Tahu apa saya tentang membesarkan anak-anak, apalagi melindunginya dari bullying oleh gurunya?
http://laurentina.wordpress.com
http://georgetterox.blogspot.com