Friday, May 2, 2014

Bahagianya Lulus TB

Pak Amat beringsut jalan ke meja saya ketika suster memanggil namanya. Tubuhnya masih kurus, tapi saya melirik ke kartu rekam medisnya dan nemu bahwa berat badannya sudah naik tujuh kilo dari enam bulan yang lalu. Saya menyeringai dan mengucapkan kalimat andalan saya yang sering saya ucapkan kepada semua pasien langganan, "Selamat siang, Pak Amat, Bapak segar sekali hari ini."

Dia nampak sumringah. "Selamat siang, Bu Dokter," dia menyodorkan kedua tangannya sembari membungkuk.

Ia duduk di depan saya dan menyodorkan amplop besar, bagaikan orang mau mengantar sesembahan. "Ini saya bawa foto Rontgen yang Bu Dokter minta dua hari yang lalu."

"Oh iya, betul, betul," saya mengangguk dan membuka amplopnya. Amplop itu berisi tiga lembar foto Rontgen dada.

Pak Amat, sebetulnya bukan nama sebenarnya, adalah pasien langganan di klinik paru itu. Enam bulan sebelumnya dia datang dengan badan kurus kering, nampak kecapekan karena batuk-batuk terus, dengan surat pengantar dari dokter Puskesmas yang bilang bahwa orang ini sakit TB. Kami memotret dadanya di lab Rontgen, lalu memintanya minum obat TB standar yang kami berikan dan mewanti-wantinya untuk segera ke klinik kami lagi begitu obatnya habis. Setelah minum obat selama dua bulan, kami memotret dadanya kembali dan menemukan parunya sudah mulai membaik. Kami menyuruhnya melanjutkan obatnya dan bulan ini, tepat enam bulan ia minum obat, kami memintanya untuk foto Rontgen lagi dan melihat parunya.

Saya memasang ketiga foto itu di lampu besar dan mengajaknya ngobrol. "Masih batuk, Pak?"

"Sudah nggak batuk, Bu Dokter," Pak Amat berseri-seri.

"Badannya masih sering panas kalau malem-malem, Pak?"

"Wah, saya sudah lama nggak panas lagi, Bu Dokter," kilahnya.

Saya melihat ketiga foto itu dan menyeringai. "Ya, saya kira juga begitu."

Saya mencabut ketiga foto itu dari lampu dan mengembalikan foto itu kepada Pak Amat. "Yah, Pak Amat, saya rasa Pak Amat sudah sembuh dari TB."



Laki-laki itu terpana dan nampak tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya. "Maksudnya, Bu Dokter, saya sudah tidak perlu minum obat lagi?"

Saya menggeleng dan tersenyum. "Pak Amat, Bapak tidak batuk lagi. Tanda-tanda bahwa Bapak kena TB sudah hilang. Bapak sudah minum obat dengan rajin setiap hari selama enam bulan. Kita sudah melihat foto dada Bapak dan paru-paru Bapak sudah lebih baik daripada enam bulan yang lalu. Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, kami menyatakan Pak Amat sudah sembuh dari TB."

Pak Amat tertegun. Lalu mendadak..dia menangis.

Sekarang ganti saya yang tercengang. Buru-buru saya sodorkan tisu dan menenangkannya. "Maaf, Pak, apakah saya membuat Bapak tersinggung?"

"Oh, enggak, enggak, Bu Dokter, saya cuma.." Pak Amat menerima tisu saya dan sesenggukan.

Terbata-bata dia bercerita. Sebelum dia berobat ke klinik, hidupnya begitu sulit. Dia sakit batuk-batuk terus, istrinya risih kepada tetangga. Mereka miskin, tidak bisa keluar dari rumah mereka yang pengap, dan tidak tahu ke mana harus cari jalan keluar. Suatu hari ada mahasiswa sekolah kesehatan yang KKN di kampungnya, menemukannya nampak sakit, lalu mengantarnya ke Puskesmas. Puskesmas itu memeriksanya, dan bilang dia kena TB dan mengajarinya untuk membuka semua jendela rumahnya. Semakin malu dia, dan istrinya ingin meninggalkannya karena malu punya suami miskin bin sakit TB.

Puskesmas itu mengijinkannya berobat gratis di situ, tapi syaratnya ia harus ke Puskesmas setiap bulan. Tapi untuk ke Puskesmas ia harus naik ojek yang biayanya Rp 20k pulang pergi dan itu terlalu mahal. Lalu ia mendengar bahwa di klinik kami berada di dekat stasiun kereta Cimahi dan bisa mengobati TB. Kebetulan Pak Amat ini tinggal dekat stasiun Kiaracondong, jadi ia pilih berobat ke klinik kami karena untuk ke klinik kami ia hanya perlu naik kereta pulang pergi sejauh sekitar 20 km dengan tarif Rp 4k saja, setiap bulan.

Saya terhenyak. Untuk orang tertentu, selisih biaya transport Rp 16k ternyata bisa mempengaruhi kemauan orang untuk mengobati penyakit TB. Padahal kalau dia tidak diobati, barangkali sekarang dia sudah kena meningitis.

Semenjak dia punya pilihan yang lebih hemat, batuk-batuk TB-nya mulai mereda. Sedikit demi sedikit ia merasa lebih bugar, ia lebih percaya diri kepada istri dan tetangganya, dan istrinya memperlakukannya lebih baik.

Dan sekarang kami bilang bahwa TB-nya sudah sembuh, dan ia terharu karena seolah-olah kami membebaskannya dari TB-nya yang menggerogotinya.

"Pak, kalau lain kali Bapak batuk-batuk lagi, Bapak boleh ke sini lagi kok. Jangan ditanggung di rumah sendirian ya. Askes di sini gratis kok, Pak," saya menepuk-nepuk bahunya.

Pak Amat bilang terima kasih lagi, mengucapkan selamat tinggal dan membawa foto Rontgen-nya. Seolah-olah foto itu tanda sertifikatnya bahwa ia sudah lulus TB.

***

Itu tujuh tahun lalu, ketika saya masih kerja di klinik paru di Cimahi. Peristiwa manis itu membekas di ingatan saya, dan seringkali menjadi motivator untuk mengembalikan semangat saya setiap kali kesulitan mengobati orang. TB begitu banyak menyebar di antara masyarakat, masyarakat begitu sulit untuk mengakuinya, padahal teknik pengobatannya sendiri terhitung sangat mudah.

TB bisa disembuhkan. Bila penderitanya mau patuh berobat.
http://laurentina.wordpress.com
http://georgetterox.blogspot.com