Sunday, May 2, 2010

Disakiti Guru


Ironisnya, curhat ini gw tulis pada Hari Pendidikan Nasional.

Hari masih pagi, mata gw masih kriyep-kriyep waktu kemaren adek gw memberondong sambil mengacungkan sebuah lukisan cat minyak. "Ky, menurutmu ini gambar apa?"

Gw membuka sebelah mata dan memandangnya sekilas. "Musim gugur," jawab gw pendek, lalu merem lagi.

Tapi adek gw nggak puas. "Bisa nggak kamu lihat di sini ada pohon?"

Gw melek lagi, menatapnya agak lama. "Itu pohon besar dan daun-daun berguguran," lalu gw merem lagi.

Adek gw kemudian mendengus.
"Katanya guruku, pohon ini pohon setan. Ini mah gambarnya anak te-ka." Dia terdengar marah. "Menurutku, dia bukan (pantas jadi) guru seni."

Kali ini gw melek sungguhan. Hati gw tersinggung. Mosok karya adek gw dibilang pohon setan? Memangnya adek gw pemuja aliran sesat?

Gw menatap lukisan itu. Oke, memang ada pohon, tapi yang daunnya lebat berguguran melayang-layang, keliatan kok dari sapuan kuasnya yang kasar. Apakah gurunya nggak pernah lihat pohon di musim gugur? Apa wawasan gurunya nggak sampek ke situ?

"Dek," kata gw belagak bijak. "Beberapa orang (yang sebenarnya tidak cukup pantas) ada yang menyogok untuk bisa (diangkat) jadi guru."

***

Gw sering lihat murid trauma kepada pelajaran matematik atau fisika, tapi jarang ada orang trauma kepada pelajaran menggambar seperti gw (dan adek gw). Gw inget jaman kami masih sekolah dulu, pelajaran gambar selalu bikin gw stress. Nggak ngerti kenapa, tiap kali gw ngegambar tuh selalu nampak jelek di mata guru gw. Dia selalu ngetawain gambar gw dan kasih nilai gw 6 (nilai paling jelek dalam pelajaran kesenian), sampek-sampek gw malu sendiri dibuatnya dan gw jadi nggak pe-de kalau ngumpulin karya gw. Maka sekarang nggak ada sisa-sisa gambar gw pas jaman gw masih sekolah dulu, coz sepulang sekolah selalu aja gambar gw yang udah dinilai oleh guru gw tuh gw buang ke tempat sampah.

Padahal, menggambar seharusnya jadi pekerjaan yang mudah. Kan tinggal ambil pensil, terus corat-coret seenak hati. Tapi gw dan adek gw nggak pernah dapet nilai bagus untuk pelajaran seni rupa, maka tidak heran setelah besar kami nggak mau jadi seniman dan malah memilih jadi dokter. Trauma pelajaran menggambar itu membekas di hati kami terlalu dalam.

Yang mengusik gw, gw nggak pernah percaya gw nggak bisa menggambar. Gw jagoan banget kalau ngegambar denah rumah, atau gambar peta kota, atau gambar rute pembuluh darah. Dan itu nggak usah lihat contoh, tinggal lihat objeknya sungguhan, lalu gambarlah. Jadi bo'ong kan kalau dibilang gw nggak becus di pelajaran seni rupa?

Gw nggak pernah ngerti, sebenarnya apa yang jadi standar buat guru pelajaran seni rupa untuk menilai karya muridnya itu bagus apa enggak. Celetukan "pohon setan" yang keluar dari mulut guru kami untuk lukisan adek gw seolah melecehkan karya kreasi adek gw sebagai murid. Kesannya tuh, pohon bikinan adek gw itu jelek banget. Padahal apa yang jelek menurut guru gw bisa jadi indah menurut orang lain. Gw ngomong begini bukan karena murid korban di sini adalah adek gw. Tapi karena seni itu tidak relatif, sehingga mestinya selera tidak bisa jadi standar untuk kasih nilai bagus atau jelek.

Kenapa gurunya nggak bilang aja ke adek gw, "Saya nggak bisa mengerti, sebenarnya kamu ini mau menceritakan apa dalam gambar ini?" Barangkali adek gw mungkin tidak menyampaikan maksud "pohon di musim gugur"-nya dengan jelas, sehingga pesan yang disampaikan dalam gambar itu tidak nyantol di mata orang yang melihat gambarnya. Kan dari situ bisa nampak kekurangan muridnya, sehingga gurunya bisa membimbing bagaimana caranya menggambar supaya fokus pohon itu jelas. Bukan sekedar menggoreskan angka 6 di belakang kanvas dan menyebutnya "pohon setan". Adek gw patah hati gara-gara itu, dan dia mengubur lukisannya dalam peti di kamar, tanpa mau melihatnya lagi sampek belasan tahun kemudian, ketika kami berdua sudah jadi dokter dan dia mau membersihkan kamarnya.

Guru seharusnya membimbing, bukan sekedar menyalahkan murid. Guru seharusnya memotivasi murid, bukan sekedar berpegang pasif pada garis-garis besar pengajaran dari Departemen P & K. Guru seharusnya berupaya supaya murid itu menyukai pelajaran yang diajarkannya, bukan sekedar bertingkah "Kamu kalau nggak suka pelajaran saya, keluar!" Guru seharusnya merangsang rasa percaya diri murid untuk menghargai hasil kerjanya sendiri, bukan malah menjelekkan hasil jerih payah murid dengan angka pas-pasan.

Adek gw, kini menggantung lukisan pohon itu di kamarnya. Persetan gurunya cuman kasih gambar itu nilai 6, tapi adek gw bangga dengan hasil karyanya sendiri. Dan buat gw, itu bukan gambar pohon setan. Itu pohon di musim gugur, dan gambar itu adalah bikinan adek gw, dan gw bangga bahwa dia bisa menggambar musim di negeri yang tidak pernah dia lihat.