Wednesday, May 12, 2010

Jangan Sepelekan Tetangga!

Usahanya mungkin cuman kecil-kecilan, tapi ternyata bisa bikin geger tetangga kalau dari awal sudah nggak dikelola dengan benar. Itu yang terjadi ketika sebuah kafe di Bandung terpaksa ditutup gara-gara dianggap belum memiliki ijin usaha. Pasalnya dari awalnya pemilik tempat itu cuman ngajuin ijin galeri, bukan ijin kafe. Dan memang upayanya buat bikin kafe nggak terlalu besar, coz untuk mendirikan kafe itu dos-q cuman memanfaatkan teras dari bangunan yang berada di Jalan Banda itu.

Jika Anda bukan warga Bandung dan nggak tahu Jalan Banda, maka jangan bayangin teras bangunannya macam teras rumah tipe 56 atau tipe 112 BTN. Rumah-rumah di Jalan Banda rata-rata berdiri di tanah yang luas, dan penarikan pajak buminya tinggi banget lantaran daerah itu cocok banget buat aktivitas perdagangan. Jadi sebenarnya wajar aja kalau yang punya rumah di sana kepingin bikin kafe coz pengunjungnya biasanya bejibun. Tetapi akan jadi masalah besar kalau ternyata para tetangga sekitar rumah itu merasa bahwa keberadaan kafe itu “mengganggu lingkungan”. Dan sang pemilik kafe mengaku bahwa dos-q sudah berusaha membuka silaturahmi dengan warga sekitar, tapi belum sempat terlaksana.

Baca berita ini, gw jadi inget sama pengalaman di lingkungan tempat gw tinggal. Jadi gini ceritanya, gw tinggal di sebuah perumahan berupa jalan kecil yang terdiri atas sekitar 10-12 rumah aja. Perumahan itu tadinya tenang dan aman-damai aja, sampai suatu hari pada beberapa tahun yang lalu, tetangga gw yang janda tua meninggal. Anak dari ibu janda itu sudah menikah dan tinggal di luar kota, jadi karena rumah itu nggak ada yang ngejagain, maka separuh rumah itu diberdayakan jadi kost-kost-an mahasiswa, sedangkan separuhnya lagi disewain buat jadi kantor. Ternyata yang menyewa kantor-kantoran itu adalah seorang pengacara.

Konsekuensi dari pekerjaan pengacara tentu adalah akan banyak klien datang keluar-masuk ke kantor(-kantoran)-nya itu. Ternyata si pengacara menemukan bahwa kliennya butuh sambungan telepon. Tapi kan nggak mungkin minta sama Telkom buat bikin sambungan telepon anyar, padahal satu-satunya sambungan telepon yang sudah ada di rumah itu sudah dipakai buat telepon kost-kost-an. Maka sebagai solusi, dia pun memutuskan untuk membangun telepon umum berupa telepon koin, di pinggir jalan depan rumahnya. (Yupz, dia bisa bikin telepon umum. Dia kan pengacara.) Dan dia nggak konsul dulu sama para tetangga. (Ya iyalah, kan dia cuman penyewa separuh bangunan, bukan penghuni rumah itu.)

Ternyata, yang makai telepon koin umum itu nggak cuman klien-kliennya doang. Mulailah orang di luar kompleks superkecil itu tahu bahwa di jalan kami ada telepon umum, dan orang asing pun sering terpancing untuk ke kompleks kami cuman buat nelepon. Nampaknya orang lama-lama sering nongkrong nggak jelas di kompleks kami, dan mulai suka ngecengin rumah-rumah di situ. Lalu, satu per satu, rumah-rumah mulai kemalingan. Entah itu mobil digarong. Pintu rumah dicongkel. Pokoknya, nggak aman.

Waktu berlalu, dan rupa-rupanya sewa kantor oleh pengacara itu udah habis. Si pengacara pun pindah entah ke mana. Tapi telepon koinnya nggak ikutan dibawa pindah! Dan maling-maling makin merajalela. Gw yang sampek sekarang masih trauma, adalah pintu garasi rumah gw yang pernah dicongkel.

Untung para tetangga di perumahan kami kompak. Akhirnya seorang tetangga bikin petisi ke entah siapa, minta supaya tuh telepon umum nista dicabut aja. Jadi orang asing nggak punya alasan buat nongkrong nggak jelas di perumahan kami.

Kejadian itu bikin gw menarik pelajaran bahwa kita kalau mau bikin usaha tuh memang ijinnya harus dipikirin benar-benar. Sebetulnya esensi ijin usaha tuh bukan mau memeras-meras pajak, tapi karena dampak dari suatu usaha dipastikan akan mempengaruhi lingkungan sekitar. Misalnya kita buka praktek dokter, terus kalau kita didatengin pasien yang banyak, misalnya, nanti parkir mobil para pasien bisa menghalangi pagar rumah-rumah tetangga. Kalau kita buka kafe, musik yang kita pasang buat menghibur para konsumen, mungkin bisa bikin tetangga nggak bisa bobok siang. Kita buka motel-motelan, makin banyak tamu nginep, berarti makin banyak satpam yang mesti kita pekerjakan supaya tuh para tamu nggak sampek bikin bentrok sama tetangga. Memang kita maunya untung meraup penghasilan banyak, tapi kita nggak bisa mengatur-ngatur para konsumen pengunjung kita yang berbeda-beda adat, kelakuan, dan kadar kesopanan.

Oleh karena itu, penting sekali kita minta restu sama para tetangga, boleh nggak kita bikin usaha di rumah yang sudah jadi milik kita sendiri itu. Kalau tetangga nggak mufakat, ya jangan bikin. Karena sebaik-baiknya kita hidup bermasyarakat, janganlah kita jadi makhluk yang potensial gangguin orang lain.

Gambar tetangganya diambil dari sini