Wednesday, December 23, 2009

Nonaktif Bikin Masalah

Nonaktif tidak bersodara dengan nona-nona manapun, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan hiperaktif.

Ini cerita tentang kolega gw, yang sempat musibah gara-gara dia harus menangani sebuah musibah, dan ujung-ujungnya malah menimbulkan musibah yang lebih berantakan dari musibah itu sendiri. *kok gw jadi bingung begini, nulis kalimat kok ribet amat..*

Kolega gw, sebut aja namanya Rachel, tiga tahun lalu lagi jaga sebuah rumah sakit waktu pasien ini diopname di sana dalam keadaan parah. Tibalah saatnya pasien ini kritis dan Rachel sebagai satu-satunya dokter seharian itu harus menolongnya. Ternyata Tuhan lebih kuasa, coz setelah diberi tindakan pertolongan oleh Rachel, pasien itu meninggal. Keluarganya pasien itu ngamuk-ngamuk dan tidak menerima kematiannya, menuduh Rachel melakukan malpraktek, lalu menekan pejabat manajemen rumah sakit supaya Rachel diganjar. Demi menyelamatkan muka rumah sakit tanpa harus mencelakakan karier Rachel, Rachel dibisikin supaya mengundurkan diri atas keinginan sendiri. Mereka bilang ini namanya “non-aktif”, tapi gw bilang itu namanya cara halus untuk memecat orang.

Ternyata, kepergian Rachel yang setengahnya dipaksa itu menimbulkan masalah baru. Pasalnya, selain bertugas sebagai dokter jaga seminggu sekali, sehari-hari Rachel adalah pejabat sebuah poliklinik di rumah sakit itu. Setelah Rachel pergi, posisi kepala operasional poliklinik itu kosong blong tanpa dokter sama sekali. Siyalnya, manajemen rumah sakit yang “menon-aktifkan” Rachel belum mencarikan dokter pengganti baru, akibatnya seorang dokter lain yang merupakan rekan Rachel harus turun tangan buat mengisinya. Padahal sang dokter rekan itu sudah sibuk meladeni ruang rawat inap, jadi bisa dibayangkan dia harus jumpalitan mengurusi pasien-pasien yang diopname pasien rawat jalan sekaligus. Kualitas pelayanan departemen di rumah sakit itu menjadi menurun, dan ujung-ujungnya yang dirugikan tetap saja pasien-pasien yang berobat ke sana.

Di sini kita menarik hikmah bahwa tindakan me-non-aktifkan seorang pegawai kadang-kadang bisa berakibat fatal terhadap institusi itu sendiri. Seorang pegawai biasanya diserahi tanggung jawab untuk mengurusi suatu pekerjaan yang menjadi denyut nadi institusi itu, jadi kalau dia tidak masuk satu hari saja, kegiatan operasional institusi itu berantakan. Apalagi kalau dia diberhentikan dari pekerjaannya, siapa yang akan menggantikan posisinya, dan siapa yang bisa menjamin bahwa orang baru yang menggantikannya akan bisa bekerja secekatan orang lama?

Tindakan penonaktifan terhadap seseorang mungkin diperlukan jika dirasakan bahwa kinerja orang itu mungkin merugikan institusi tersebut. Tetapi sebelum menonaktifkan orang, perlu dipikirkan masak-masak, mana yang lebih besar, manfaat untuk tetap mempekerjakan orang itu, atau malah kerugian yang terjadi jika orang itu diberhentikan? Dalam kasus penonaktifan kolega gw Rachel, satu-satunya manfaat yang bisa ditarik oleh rumah sakit hanyalah bahwa para manajer rumah sakit tidak jadi “benjol” gara-gara diamuk keluarga pasien yang meninggal. Kerugiannya lebih banyak, posisi yang ditinggalkan Rachel tidak diisi dokter yang baru -> dokter yang lain terpaksa bekerja dobel -> terlalu banyak pekerjaan, terlalu sedikit waktu -> pasien-pasien tidak tertangani dengan memuaskan -> pasien pun ngomel-ngomel -> citra rumah sakit sebagai sarana pelayanan medis yang gesit pun menurun.

Fenomena penonaktifan yang cuman berujung pada masalah baru ini pasti nggak cuman terjadi di rumah sakit doang, tapi juga bisa terjadi di lembaga-lembaga lain yang bukan medis. Di kantor Anda, mungkin? Atau mungkin di negara Anda?

Gw menulis ini, karena sekarang lagi ngetrennya kata “non-aktif”. Menuntut untuk menon-aktifkan polisi. Menon-aktifkan menteri. Menon-aktifkan wakil presiden. Seolah-olah gampang aja nyari pejabat-pejabat baru dalam waktu singkat tanpa harus mengorbankan stabilitas aktivitas nasional.

Adakah solusi yang lebih baik?