Sunday, December 27, 2009

Nostalgia Nanggung

“Saksikan berbagai keunikan, romantika, memori, gegap-gempita musik, keindahan Seni, dan berbagai ragam pameran dan pertunjukan, serta menikmati kelezatan makanan dan segarnya minuman di Braga Festival 2009.”

Gw harus mengakui bahwa orang-orang ini pintar berkata-kata untuk bikin orang tertarik datang ke festival ini. Termasuk gw.

Jadi, gw menulis ini sambil kecapekan lantaran jalan sepanjang siang tadi di sepanjang Jalan Braga. Orang-orang panitia itu telah menutup dua pertiga ruas jalan buat diadakan festival. Braga adalah sebuah jalan paling beken di Bandung lantaran menjadi kawasan penuh nostalgia. Seperti yang digambarkan pada salah satu lukisan yang dijual di festival ini, Braga adalah sebuah jalan di mana orang-orang Belanda dulu sering mejeng buat belanja. Umumnya bangunan bekas toko peninggalan jaman Belanda masih dipertahankan sampai sekarang. Festival ini diadakan untuk mengenang Braga sebagai pusat ekonomi kelas atas jaman dulu, makanya banyak pendukung acaranya yang didaulat buat berkostum a la sinyo-nonik Belanda dan mang-mang Sunda yang ke mana-mana suka naik sepeda ontel, coz memang begitulah keadaan Jalan Braga jaman dulu.

Lumayan ada beberapa atraksi yang cukup menarik perhatian gw di festival ini, salah satunya adalah pertunjukan perkusi dari Tatalu, sebuah klub penggemar alat musik pukul dari Universitas Pasundan. Yang unik di sini, kalau biasanya kita nonton orang main musik dengan peralatan snare drum, ketipung, gong, dan semacamnya, maka kali ini alat musik yang dipukul-pukul oleh klub ini adalah barang-barang yang biasa kita temuin sehari-hari, seperti panci, mangkok, tong sampah, kaleng cat, sampai drum yang biasa dipakai buat bak mandi. Ternyata lagu yang dihasilkan oke punya lho, biarpun tentu saja nggak ada melodi do-re-mi-fa-sol-la-si-do-nya, hahaha.. Gw aja bawaannya kepingin joget-joget melulu pas nontonnya, tapi nggak bisa. Lantaran gw kan megang kamera, kalau gw joget-joget ntar motretnya jadi goyang dong..

Sudut yang juga paling banyak ditonton orang adalah engkong-engkong ini. Bayangin, dari pas gw dateng ke venue, sampai gw pulang, nih engkong masih aja tekun menyulap batang pohon jadi patung, tanpa peduli orang-orang udah rebutan motret dos-q. Gw nggak tahu persis sih berapa waktu yang engkong ini perlukan buat menyulap batangan menjadi sebuah patung, tapi bisa diperkirakan dari foto ini. Foto pertama, diambil jam 11.04, sang engkong lagi bikin tangannya. Foto kedua, diambil 39 menit kemudian, sang engkong lagi memahat mukanya. Foto ketiga, diambil hampir dua jam semenjak foto pertama, perhatikan bahwa mukanya udah berbentuk dan sang engkong sedang berusaha supaya patung itu bisa berdiri tegak.

Nanti, hasil akhirnya kira-kira jadinya kayak ini. Ciamik kan? Hihihi..

Gw harus mengakui bahwa festival ini nggak secihui yang dicitrakan di iklannya, coz festivalnya lebih didominasi bazaar makanan dan barang mode ketimbang atraksi seninya. Memang sih kuliner yang dijual nampak enak-enak, tapi yah kalau gw lihat, tempat ini lebih layak disebut pasar kaget berkelas ketimbang parade budaya. Citra Braga sebagai ikon memori Bandung jaman doeloe malah tidak terlalu menonjol, kecuali kalau mendongak ke atas tenda-tenda bazaar dan menyadari bahwa bangunan di kiri-kanan jalan rata-rata udah berusia tua sekali. Nama Braga cuman diusung sebagai lokasi festival, tetapi makna nostalgianya nggak terlalu dioptimalkan. Pindahkan festival ini ke Jalan Cihampelas, maka nama festival ini akan berubah jadi Cihampelas Festival, tetapi hasilnya juga akan sama-sama aja: bazaar lagi, bazaar lagi.

Pameran seni yang dijanjikan ternyata nggak begitu eksis, coz sampai gw tersesat di festival itu, gw nggak melihat ada tanda-tanda ekshibisi barang-barang seni dalam jumlah banyak. Selain itu, biarpun di iklan sudah dijanjikan akan ada beberapa seniman beken yang mau tampil, tidak ada informasi tentang run down acara, tentang siapa yang mau tampil pada jam berapa, atau lebih spesifik lagi, pada hari apa. Padahal, gw kepingin nonton Saratus Persen, Musik Genteng Jatiwangi, dan Panas Dalam.

Akan lebih baik kalau panitia bisa menyediakan guideline buat pengunjung, minimal kasih jadwal acara. Kalaupun nggak sempat nyetak brosur, minimal kan bisa nampilin jadwalnya di website. Ngomong-ngomong, wahai panitia, website resminya Braga Festival ada di mana sih? Saban gw googling tentang keyword ini, kok gw nemunya halaman-halaman dari situs-situs berita melulu deh.

Masih terlalu dini buat menilai apakah festival ini bisa menaikkan pamor industri budaya kreatif di Bandung atau tidak, seperti yang direncanakan oleh panitia sebagai tujuan awal festival ini. Festival ini masih berlangsung sampai Rabu nanti, dan gw berencana ke sini lagi besok buat hang out. Pada akhirnya, meskipun nggak terlalu puas, gw tetap pulang dari festival dengan sumringah karena sudah melihat banyak pemandangan bagus. Biarpun kuping gw jadi agak pekak dikit, soalnya tadi gw berdiri terlalu dekat sama anak-anak pemukul tong sampah itu, hahaha..