Wednesday, December 30, 2009

Ditowel Hujan

Apakah Anda percaya sama pawang hujan? Gw nggak. Tapi masih banyak orang, tanpa membedakan dia intelek atau enggak, dia religius atau ateis, merasa kurang sreg kalau mau bikin hajatan tanpa ngundang pawang hujan.

Seperti yang gw tulis di sini, Braga Festival digelar di Bandung selama empat hari, mulai Minggu lalu dan baru kelar sedianya tadi sore. Acara ini sebenarnya menarik sekali, siyalnya diganggu oleh hujan. Gw datang hampir setiap hari (kecuali Senin lalu), dan gw perhatiin tiap siang selalu aja hujan mengguyur sampai sore. Sungguh mengganggu, coz acaranya kan digelar outdoor. Akibatnya gw kesulitan menikmati setiap atraksi yang ada, coz tiap atraksi digelar di panggung, gw susah cari tempat strategis buat motret-motret, tapi gw malah sibuk cari tempat buat berteduh.

Panitia seolah-olah nggak belajar dari Braga Festival tahun lalu. Bukankah tahun lalu juga Braga Festival digelar pada akhir tahun? Semua orang juga tahu kalau bulan yang ada ”ber”-“ber” di belakang namanya ya pasti rawan hujan. Mbok bikin festival tuh jangan pas waktunya musim hujan dong, bikin rusak dandanan penonton aja..

Padahal gw hadir lho di hari pembukaan festival Minggu lalu. Ada pidatonya pejabat gitu deh, pakai upacara resmi segala plus pelepasan burung-burung, dan gw duduk di deretan bangku penonton tapi gw duduk paling pinggir. (Tahu kenapa gw cuman bisa duduk di pinggir? Padahal gw tadinya kepingin duduk di bangku paling depan lho sebagai penonton setia. Tapi entah kenapa gw dilarang duduk di bangku paling depan, soalnya alasannya, bangku paling depan itu buat walikota. Hah, alasan apaan tuh, jelas-jelas walikotanya lagi pidato di atas panggung, lha kalau ada kursi nganggur mosok nggak boleh gw dudukin?)

Maka jadilah gw duduk di pinggir. Nah, tahu-tahu gw lihat ada laki-laki aneh di pinggir jalan. Dia jongkok megang air mineral kemasan gelas plastik. Lalu tiba-tiba dia pecahin gelas plastiknya itu sehingga airnya muncrat ke jalan yang bersih. Gw terhenyak, lho kok air dibuang-buang sih? Setelah itu dia melakukan gerakan aneh dengan kedua lengannya yang panjang, yang mengingatkan gw pada gerakan senam Tai Chi. Lalu dia pergi. Plastik yang sudah penyok, dia buang ke pinggir trotoar.

Gw pikir tadinya dia orang gila yang buang-buang air mineral, coz jaket dan topinya rada kumal gitu. Tapi kalau dilihat dari gerak-geriknya kok nggak kayak orang skizofrenia. Maka gw terpikir, jangan-jangan itu pawang hujan?

Tapi kalau benar panitia sudah menyewa pawang hujan, kenapa selama empat hari festival ini sorenya hujan melulu? Dan kenapa hujannya selalu jatuh pada jam-jam yang sama? Apakah bayaran pawangnya kurang?

Oh ya, hujan ternyata bawa hikmah juga. Sewaktu gw ke festival pada hari terakhir tadi sore, gw cuman bentar aja di situ coz nggak betah sama hujannya. Gw pulang sama kolega gw jam 3 sore, meskipun katanya satu jam kemudian gubernur mau dateng buat menutup festival. (Maaf ya, Pak Gubernur, saya pulang duluan tanpa menunggu Bapak.) Gw pulang ke rumah, sementara kolega gw yang udah kopi darat sama gw dua hari ini, turun di stasiun kereta buat pulang ke Jogja. Ternyata pas dia mau pesen tiket, kereta yang jam 8 malem tinggal nyediain tiket berdiri. Tiket yang duduk ada di kereta yang jam 5 sore itu juga. Hwaduh, untung gw ngajak pulang lebih awal dari festival! Tuhan ada-ada aja ya kalau mau menyelamatkan manusia dari ketinggalan kereta, ck ck ck..

Oke, jadi maaf ya, nggak kayak kebiasaan gw kalau lagi jalan-jalan sambil motret-motret, kali ini gw nggak bisa nampilin banyak foto dari festival itu. Ini ada foto engkong-engkong lagi (heran, kenapa yang gw liput selama festival ini selalu engkong-engkong?) yang mengira dirinya adalah penari ular. Hujan sedang turun rintik-rintik dan gw motret ini sambil payungan, bingung kenapa ada orang senang main-main sama piton dan sanca. Badan ular itu lebih gede dari betis gw, dan moncongnya mangap lebih gede dari mulut gw. Apa orang ini nggak takut dimakan? Pasti sebelum atraksi, ular-ular ini sudah dikasih makan dulu sampai kenyang. Tapi kok ularnya masih lincah ya? Padahal gw kalau udah makan kekenyangan bawannya kepingin molor aja, nggak mau diganggu apalagi disuruh nari-nari, hihihi.. (Itulah sebabnya, Vic, dirimu nggak sama dengan ular.) Oh ya, menurut pembawa acaranya yang bicara diiringi musik kendang Sunda, engkong-engkong penari ular ini bernama Ki Kebo. (It must’ve been incomplete. His middle name must be “Dangerous”.) Bolak-balik pembawa acaranya memperingatkan kepada penonton supaya tidak meniru ini di rumah. Tapi mereka nggak ngusir anak-anak yang nonton, sungguh paradoks. Gw aduin KPI loh!

Mudah-mudahan, tahun depan ada festival lagi di Braga. Mudah-mudahan, tahun depan festivalnya lebih menarik dan promosinya lebih informative lagi. Mudah-mudahan, tahun depan festivalnya nggak ditowel hujan lagi. Dan mudah-mudahan, tahun depan gw masih punya cukup nyawa dan waktu buat dateng ke sana..