Friday, June 12, 2009

Antara Dua Boss


Lupakan Facebook haram. Lupakan The Master haram. Lupakan Playboy haram. Kita punya masalah yang lebih besar. Mungkin vaksin meningitis itu haram.

Gw dari dulu nggak pernah setuju Facebook dibilang haram. Memangnya Facebook mengandung babi? The Master dan Playboy juga nggak mengandung babi, kenapa kudu dibilang haram? Justru kita kudu naruh ekstra perhatian kepada vaksin meningitis. Soalnya proses bikin vaksin meningitis itu melibatkan unsur babi. Nah, kalo gitu, vaksin meningitis itu haram, nggak?

Seperti yang kita tau sendiri, bahwa pemerintah Arab Saudi mendaulat semua warga yang mau naik haji, kudu disuntik dulu pake vaksin meningitis. Memang ini wajar, coz kadang-kadang seseorang dari luar suatu negara, bawa bibit penyakit yang potensial nular ke dalam negara itu. Salah satu penyakit yang potensial nular itu bernama meningitis oleh bakteri Haemophilus influenzae. Jadi supaya orang-orang nggak ketularan kuman giling ini pas lagi berjejalan wukuf di padang Arafah, mereka kudu disuntik vaksin meningitis dulu. Semua jemaah wajib, termasuk jemaah dari Indonesia.

Lalu datanglah masalah baru. Ternyata vaksin meningitis ini, produksinya melibatkan unsur babi.

Jelasnya, vaksin ini dibikin melalui suatu proses kimiawi yang cukup rumit. Proses ini melibatkan katalisator, suatu enzim yang tugasnya memicu proses tersebut supaya menghasilkan vaksin yang diinginkan. Nah, katalisator yang dipake ini berupa enzim tripsin, dan enzim ini dihasilkan dari babi. Tapi pada akhirnya, setelah vaksinnya udah jadi, hasil vaksin tersebut sama sekali tidak mengandung unsur babi. Jadi yang dimaksud keterlibatan babi di sini hanyalah sebagai katalisator kimiawinya, bukan berupa hasil yang terkandung dalam vaksin itu.

Apakah ini halal buat muslim? Semua orang juga tau bahwa muslim sama sekali nggak boleh nyekokin apapun yang mengandung unsur babi ke dalam mulutnya, apalagi disuntikin ke bodinya. Sialnya, produk vaksin meningitis, yang kudu dipake di Indonesia, juga kudu dipake oleh seluruh orang di dunia, termasuk orang-orang yang naik haji ke Mekkah, hanya diproduksi di Jerman. Artinya, nggak ada lagi pabrik vaksin di dunia ini yang bikin vaksin meningitis selain yang ada di Jerman itu. Dan orang-orang Jerman itu emang nggak mikirin apakah produk mereka memperhatikan konsumennya atau enggak. Buat mereka, yang penting vaksin mereka bisa melindungi dari penyakit. Urusan itu ada babinya apa enggak, mereka nggak mikirin.

Departemen Kesehatan sampai dibikin pusing tujuh keliling gara-gara ini. Kalo sampai muslim Indonesia menolak disuntikin vaksin meningitis ini, maka mereka dipastikan nggak boleh masuk Arab buat naik haji. Tapi kalo disuntikin, maukah mereka terima kenyataan bahwa zat yang disuntikin ke dalam tubuh mereka itu dibuat dengan melibatkan unsur babi?

Para ulama, yang akhir-akhir ini demen ngeluarin fatwa haram buat yang belum tentu haram, perlu bikin urusan ini jelas supaya nggak jadi polemik yang bikin panik para jemaah haji. Dari dulu juga kita belajar bahwa apa yang haram kadang-kadang bisa jadi boleh kalo urusannya udah kepepet. Misalnya kalo kita lagi nyasar di gurun es, nggak punya makanan, dan satu-satunya yang kita temuin buat dimakan adalah bangkai ular, maka mau nggak mau bolehlah kita makan bangkai ular itu. Soalnya kalo nggak makan, bisa-bisa kita mati kelaparan?

*Vic, emangnya di kutub ada ular ya?*
(Tau ah, gw lagi buntu, perut gw laper..)

Lha ini juga kita udah termasuk kategori kepepet. Lebih berbahaya kalo jemaah satu tenda kena wabah meningitis gara-gara nggak divaksin, ketimbang batal naik haji cuman gara-gara takut sama vaksin yang belum valid kadar keharamannya. Harap diketahui bahwa sekali orang kena meningitis, hasilnya adalah demam, setep, koma, dan bahkan ngitung hari sampai meninggal.

Untunglah gw sebagai dokter belum pernah ditugasin nyuntikin vaksin meningitis. Kalo gw terpaksa kudu nyuntikin seorang jemaah haji dengan vaksin meningitis, terus terang aja, gw dengan berat hati akan memperingatkan sang pasien bahwa vaksin itu dibikin dengan melibatkan babi. Karena gw kudu menghormati agama orang yang gw suntikin. Tapi gw juga kudu bilang kepada mereka bahwa mereka nggak boleh masuk Arab kalo nggak disuntik vaksin itu dulu. Selanjutnya, biar aja jemaahnya yang mikir sendiri, dia mau disuntik apa enggak. Memang itu akan menyeret para jemaah dalam kebimbangan yang besar.

Staf-staf kantor kesehatan pelabuian tempat gw kerja, yang tugasnya langsung melakukan penyuntikan vaksin selama bertahun-tahun terhadap jemaah haji asal Kalimantan Tengah, malah udah kena perang batin. Di satu sisi, kita kudu nurutin perintah boss kita, yaitu Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit Menular atas nama Negara, untuk melindungi warga Indonesia yang mau naik haji dengan nyuntikin mereka vaksin meningitis. Tapi di sisi lain, kita punya boss yang lebih tinggi, yaitu Tuhan, yang melarang kita mengonsumsi apapun yang ngandung unsur babi. Jadi, mau nurutin boss yang mana?