Tuesday, June 2, 2009

Pegawainya Nggak Nyantol


Semua orang kepingin jadi pegawai negeri. Bisa dapet tunjangan. Kredit rumah. Asuransi kesehatan. Beras gratis. Dan yang paling menyenangkan, tak ada ancaman pemecatan sampai waktunya pensiun.

Karena itu, adalah jamak kalo sarjana-sarjana fresh-graduated yang gw temui rata-rata punya omongan yang seragam, "Yah kalo bisa syukur-syukur saya pengen diangkat jadi pegawai negeri."

Gw sering merasa aneh denger cita-cita itu. Anak-anak kecil kalo ditanya kan rata-rata jawab kepingin jadi pilot, jadi dokter, jadi presiden, tapi nggak ada yang bilang kepingin jadi pegawai negeri. Kenapa cita-citanya berubah semua setelah lulus sekolah?

Seumur-umur, hidup gw telah akrab dengan namanya instansi pemerintah. Gw sekarang kerja di klinik milik pemerintah. Tahun lalu gw kerja di rumah sakit milik pemerintah. Keluarga gw sendiri pensiunan dari instansi pemerintah. Dan gw sekolah dari kecil sampai gede di sekolah-sekolah milik pemerintah. Cuman TK aja yang swasta. Lagian jaman Little Laurent kecil dulu, Pemerintah belum mampu bikin TK.

Semua itu, bikin gw apal betul bagaimana kehidupan pegawai negeri. Banyak bagusnya, tapi yang jeleknya juga bejibun.

Mereka yang berprestasi maupun yang tidak, gaji nggak ada bedanya. Naik gaji didasarkan naik pangkat, naik pangkat didasarkan ijazah dan lama bekerja. Pertanyaan gw, mana tantangannya?

Padahal tantangan itu yang maksa kita mikir kreatif. Kalo kita udah kreatif, kita akan terangsang buat bekerja sebaik mungkin. Dan bekerja sebaik mungkin itulah yang bikin kita jadi pegawai profesional.

Hari ini, kantor gw kedatangan stafnya Menteri Kesehatan. Orangnya baik banget. Lalu belio nanya apakah gw mau jadi pegawai negeri buat Kantor Kesehatan Pelabuhan Pulang Pisau tempat gw kerja sekarang.

Biasanya tawaran macam gini bisa bikin gw semaput. Apa iming-imingannya? Tunjangan beras. Tunjangan asuransi kesehatan. Tak perlu lagi gw kirim-kirim CV buat ngelamar kerjaan di rumah-rumah sakit swasta.

Dokter sangat kurang di Cali. Apa lagi yang sudi tinggal di Pulang Pisau. Gw sendiri lahir di Pulang Pisau, dan gw udah tinggal di sini selama delapan bulan sebagai dokter pegawai tidak tetap. Jadi tunggu apa lagi buat naik pangkat jadi pegawai negeri?

Gw menyeringai. Kelihatannya gw satu-satunya manusia yang nganggap bahwa menjadi pegawai negeri bukanlah naik pangkat.

Apa enaknya makan beras gratis kalo perut kita sakit karena tetangga gangguin terus? Apa enaknya jadi dokter satu-satunya kalo penyakit yang kita ladenin cuman itu-itu aja? Apa enaknya punya gaji tetap kalo gajinya habis cuman buat nge-mailin kekasih yang jauh di ujung dunia? Apa enaknya penghasilan udah di tangan tapi ilmunya nggak berkembang?

Orang sering lupa, mereka bekerja mestinya karena senang, bukan karena butuh. Kalo sudah seneng sama kerjaannya, dia akan kerja setengah mati sebagus mungkin. Tapi kalo kerja cuman karena butuh, mereka cuman kerja setengah-setengah seadanya sambil nunggu pensiun. Itukah hidup yang kita cari?

Gw harus akuin, Pulang Pisau kasih gw banyak pelajaran. Tentang segelintir masyarakat yang tajir tapi akhlaknya jongkok. Tentang profesi dokter yang nggak dihargain mulia. Tentang rumah tempat gw lahir yang jadi saksi perkembangan dusun jadi kota.

Tapi Pulang Pisau juga bikin gw lelah. PAM menyaring air tanah pake filter bocor. PLN yang seneng byar-pet tiga kali seminggu. Guru yang banyak protes ke Pemda dimutasi ke daerah tanpa aspal. Apartemen kontrakan yang mirip pondok lucu tapi induk semangnya ngidap gangguan psikotik. GPRS yang megap-megap. Dan Pemda yang jarang banget liat seperti apa rakyatnya merana di hari Minggu.

Kalo kita kepingin jadi pegawai tetap di suatu tempat, maka kita harus menganggap tempat itu sebagai rumah. Dan sulit sekali gw nganggap Pulang Pisau sebagai rumah gw. Tempat kerja harusnya bikin kita betah, bukan jadi sarang di mana kerjaan kita cuman kebelet liat jam tangan atau bahkan kalender karena kepingin buru-buru pulang.

Maka gw tersenyum kepada sang stafnya Menteri, dan bilang bahwa sebaiknya belio segera nyari dokter pengganti yang baru. Coz kontrak gw selesai September nanti, dan gw hengkang dari Pulang Pisau.

Menjadi pegawai negeri mestinya menyenangkan, tapi gw nggak mau jadi pegawai negeri di Pulang Pisau. Gw nggak nyantol di sana.

Sang staf Menteri bisa aja nugasin gw ke kantor-kantor kesehatan pelabuhan di seluruh Indonesia kalo gw jadi pegawai negeri, tapi gw nggak tertarik buat ngeronda anak-anak buah kapal yang mungkin terjangkit flu babi. Yang gw sukai adalah ngobatin, bukan meronda. Gw suka nyebarin ilmu, bukan duduk pasif nunggu perintah atasan. Tempat gw jelas bukan di instansi ini.

Maka untuk pertama kalinya dalam hidup gw, gw menolak tawaran menjadi pegawai negeri untuk Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit dan Pengendalian Lingkungan.

Rakyat sudah bayar pajak. Janganlah dipake buat bayar pegawai negeri yang nggak profesional. Dan pegawai yang profesional itu, harus kerja mulai dari hatinya.